PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa variabel dukungan
suami memiliki hubungan dengan tingkat depresi pasien kanker payudara paska
mastektomi. Penjelasan tentang tiap variabel dalam penelitian ini akan dijelaskan
sebagai berikut:
5.1. Dukungan Suami Pasien Kanker Payudara Paska Mastektomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan suami pasien kanker
payudara paska mastektomi pada kategori dukungan suami cukup yaitu 31 orang
(50,0%) dan dukungan suami pasien kanker payudara paska mastektomi pada
kategori dukungan suami baik yaitu 31 orang (50,0%). Perhatian dari pasangan
(suami) termasuk kedalam kelompok dukungan internal yang sangat membantu
pemulihan kesehatan bagi pasangannya yang dirawat. Ketiadaan perhatian
kelompok internal ini berpengaruh pada kekuatan semangat pasien untuk
menyelesaikan program pengobatan kanker payudaranya (Friedman, 1988).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siburian
(2012) yang menyatakan bahwa dukungan yang baik dipengaruhi oleh dukungan
dari orang yang sangat berarti atau orang yang dekat dengan pasien dalam hal ini
suami dan anak-anak pasien. Pasien sangat membutuhkan dukungan dari orang
yang paling dekat sebagai tempat mereka mendapatkan semangat, kasih sayang
64
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Sudrajat (2012) yang menyatakan bahwa dukungan suami membuat penderita
kanker payudara merasa dicintai, diperhatikan, percaya bahwa dirinya dihargai
dan bernilai. Selain itu banyaknya jumlah penghargaan seperti dukungan yang
diberikan oleh suami dan perhatian yang diterima seseorang dari orang lain yang
dekat dalam kehidupannya dapat berperan dalam perkembangan harga diri dan
meningkatkan kesehatan pasien.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh suami setelah istrinya menjalani
mastektomi yaitu memberikan dukungan, menerima keadaan istri sama seperti
saat sebelum menderita kanker payudara dan belum menjalani mastektomi, dan
tetap harmonis dalam menjalani kehidupan rumah tangga (Zoya dalam Hamzah,
2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan penilaian yang diberikan
suami pasien kanker payudara paska mastektomi berada pada kategori baik yaitu
41 orang (66,1%), dukungan suami cukup yaitu 20 orang (32,3%) dan dukungan
suami kurang yaitu 1 orang (1,6%). Dukungan penilaian yang baik yang diberikan
oleh suami membuat penderita kanker payudara paska mastektomi merasa mampu
menghadapi masalah, merasa berharga dan dapat mengambil keputusan terhadap
masalah yang dihadapi (Sudrajat, 2012).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Siburian (2012) bahwa
dukungan penilaian merupakan bantuan yang diberikan untuk perasaan berharga,
memberikan nilai positif terhadap orang tersebut di tengah keadaannya yang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan nyata/instrumental yang
diberikan suami pasien kanker payudara paska mastektomi berada pada kategori
baik yaitu 23 orang (37,1%), dukungan suami cukup yaitu 32 orang (56,1%) dan
dukungan suami kurang yaitu 7 orang (11,3%). Dukungan Nyata yang diberikan
membuat penderita kanker merasa mendapatkan bantuan yang sifatnya nyata dan
langsung dalam bentuk finansial, waktu, tenaga sehingga bantuan dapat langsung
menyelesaikan masalah atau mengurangi beban stress penderita kanker payudara
paska mastektomi (Sudrajat, 2012).
Menurut pendapat Chandra dalam Siburian (2012) bahwa dengan adanya
pendampingan keluarga, pasien akan merasa nyaman, tenang dan lebih kuat dalam
menerima keadaan fisiknya yang memberi dampak baik terhadap proses
penyembuhan penyakit.
Hal ini didukung oleh Wortman & Dunkel-Schetter dalam Helgeson &
Cohen (1996) bahwa dukungan instrumental melibatkan penyediaan
barang-barang materi, misalnya, bantuan pengobatan, transportasi, uang, atau bantuan
dalam pekerjaan rumah tangga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan informasi yang diberikan
suami pasien kanker payudara paska mastektomi berada pada kategori baik yaitu
7 orang (11,3%%), dukungan suami cukup yaitu 32 orang (5,1%) dan dukungan
suami kurang yaitu 23 orang (37,1%). Dukungan Informasi membuat penderita
kanker payudara paska mastektomi merasa diterima dalam suatu komunitas,
66
membuat penderita kanker payudara tidak merasa menjadi satu-satunya yang
mengalami penderitaan di dunia ini (Sudrajat, 2012).
Menurut Katapodi (2002) bahwa keluarga berusaha mencari informasi
tentang pengobatan, memberikan nasihat, dan membantu mereka dalam
pemecahan masalah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosional yang diberikan
suami pasien kanker payudara paska mastektomi berada pada kategori baik yaitu
36 orang (58,1%), dukungan suami cukup yaitu 25 orang (40,3%) dan dukungan
suami kurang yaitu 1 orang (1,6%). Dukungan emosional membuat penderita
kanker payudara paska mastektomi merasa dicintai, dipedulikan dan diperhatikan
(Sudrajat, 2012).
Hasil penelitian ini di dukung oleh Anne & David (2006) dalam Anggraini
(2007) yang menyatakan bahwa dukungan emosional merupakan dukungan
keluarga yang paling penting yang seharusnya diberikan kepada anggota
keluarganya karena merupakan hal penting dalam meningkatkan semangat pasien
dan memberikan ketenangan.
5.2. Tingkat Depresi Pasien Kanker Payudara Paska Mastektomi
Hasil penelitian menunjukkan tingkat depresi pada pasien kanker payudara
paska mastektomi pada 62 responden didapat sebanyak 32 responden (51,6%)
mengalami depresi, dan 30 responden (48,4%) tidak mengalami depresi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Geiger
paska mastektomi mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan oleh
Golden-Kreutz & Andersen (2004) menyatakan bahwa pasien mastektomi juga lebih
depresi dari pada pasien lumpektomi.
Ada dua rekasi yang ditimbulkan paska mastektomi yaitu reaksi psikis
positif dan reaksi psikis negatif. Reaksi psikis positif yang dapat muncul adalah,
meningkatnya penyesuaian diri penderita karena kehilangan payudara. Sedangkan,
reaksi psikis negatif yang dapat muncul adalah menurunnya self esteem (harga
diri) sebagai perempuan karena kehilangan payudara, stress, atau depresi
(Wagman dalam Dewi et al, 2004).
Kehilangan payudara secara utuh baik bagian kanan atau kiri akan
mengubah gambaran diri perempuan. Mastektomi tidak hanya meninggalkan
bekas luka secara fisik, tetapi juga luka secara psikologis, yaitu menurunnya
perasaan bangga dan harga diri perempuan. Berbagai reaksi pada perempuan
paska mastektomi dapat muncul dalam bentuk depresi (menarik diri dari
lingkungan), menurunnya harga diri, anoreksia dan insomnia. Salah satu dari
masalah klinis yang paling sering terjadi adalah gangguan depresi (Zamralita
dalam Dewi et al, 2004).
Ketakutan yang dialami penderita kanker payudara berhubungan dengan
kematian, kekambuhan penyakit, gambaran diri yang rendah, perubahan
feminitas, seksualitas dan ketertarikan merupakan faktor yang menyebakan
terjadinya tekanan psikologis baik setelah didiagnosa maupun setelah menjalani
68
Hasil Penelitian menunjukkan dari 32 responden yang mengalami depresi
mayoritas berada pada usia 46-60 tahun yaitu sebanyak 23 orang (71,87%).
Resiko kanker payudara meningkat seiring dengan pertambahan usia. Kejadian
puncak kanker payudara terjadi pada usia 40 tahun (Brunner & Suddarth, 2002).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lisnawati
(2010) yang menyatakan bahwa usia 40-54 Tahun memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya depresi. Depresi bisa terjadi pada usia berapapun tetapi biasanya sering
terjadi pada usia 20-50 tahun (Stuart & Laira, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden yang mengalami depresi
mayoritas berpendidikan SMA yaitu 16 orang (25,81%). Hal ini sejalan dengan
pendapat Kind dalam Anindita et al (2010) yang menyatakan bahwa seseorang
yang pendidikannya lebih tinggi memiliki tingkat depresi yang lebih rendah dan
sebaliknya seseorang yang pendidikannya lebih rendah memiliki tingkat depresi
yang lebih tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden yang mengalami depresi
mayoritas memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yaitu 25 orang ( 78,12%).
Seseorang yang bekerja penuh waktu memiliki resiko rendah untuk mengalami
depresi dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja (Wade & Travis, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden yang mengalami depresi
mayoritas memiliki penghasilan kurang dari Rp1.000.000 yaitu 15 orang
(46,87%). Tingkat penghasilan seseorang yang rendah dan kemiskinan inilah yang
menjadi tambahan penyebab depresi seseorang (Belle & Doucet dalam Wade &
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 responden yang mengalami
depresi mayoritas responden saat dilakukan mastektomi berada pada stadium III
yaitu 17 orang (53,12%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Suharmillah & Wijayana (2011) yang menyatakan bahwa 42,4%
pasien kanker payudara stadium III mengalami depresi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 responden yang mengalami
depresi mayoritas respoden yang diberikan terapi mastektomi dan kemoterapi
yaitu 28 orang (87,5%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Suharmillah & Wijayana (2011) yang menyatakan bahwa 59%
pasien yang mendapatkan terapi berupa mastektomi dan kemoterapi mengalami
depresi.
5.3. Hubungan Dukungan Suami dengan Tingkat Depresi Pasien Kanker Payudara Paska Mastektomi
Hasil penelitian didapatkan p < 0,05 hal ini berarti ada hubungan
dukungan suami dengan tingkat depresi pasien kanker payudara paska mastektomi
(Ha diterima). Nilai r nya adalah -0,516 yang bermakna tingkat kekuatan
hubungan sedang dan berpola negatif yang berarti semakin baik dukungan yang
diberikan suami kepada pasien kanker payudara paska mastektomi maka tingkat
70
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudrajat
(2012) dimana dukungan suami yang tinggi membuat pasien kanker payudara
merasa suaminya dapat diandalkan bila pasien membutuhkan bantuan, pasien
mendapat dukungan untuk sembuh dan kekuatan untuk menghadapi penyakit
yang sedang diderita.
Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2009) juga mendukung
penelitian ini dimana pasien kanker payudara paska mastektomi bisa terhindar
dari citra tubuh yang negatif yang dapat membuat pasien menjadi depresi dengan
dukungan yang besar dari suami, anak-anak dan teman-teman terdekat pasien.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Dalami
(2010) peran serta keluarga dalam hal ini suami sangat penting untuk
penyembuhan pasien, karena suami merupakan sistem pendukung yang terdekat
bagi pasien. Oleh karena itu suami selalu dilibatkan dalam perencanaan,
perawatan dan pengobatan, persiapan pemulangan pasien, dan rencana perawatan
tindak lanjut di rumah. Hal ini akan memotivasi suami agar berpartisipasi aktif
dalam upaya membantu memecahkan masalah pasien.
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Anggraeni & Ekowati, (2010)
ketiadaan pasangan (suami) sangat mempengaruhi kondisi psikologis pasien paska
mastektomi, menjadi lebih drop dan kurang kooperatif, berbeda dengan pasien
yang selama pengobatan didampingi oleh suami mereka maka pasien menjadi
Kuijen dalam Halim & Wirawan (2010) menyatakan bahwa dukungan
keluarga dalam hal ini suami dapat mempengaruhi pemulihan fisik dan mental
seorang wanita dan dapat membuat reaksi yang menstimulus sel tubuh untuk
pulih.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh teori yang dikemukakan oleh
Potter & Perry (2005) yang menyatakan bahwa inti dari suatu hubungan yang
menyembuhkan adalah meningkatkan harapan pasien. Harapan adalah motivator
untuk merangkul individu dengan strategi yang dibutuhkan untuk menghadapi
segala macam tantangan dalam hidup. Harapan mempunyai implikasi baik jangka
pendek maupun jangka panjang dan berorientasi pada masa depan yang dapat
membantu pasien berupaya ke arah penyembuhan. Untuk membantu pasien
mencapai harapan, sangat dibutuhkan dukungan dari pasangan, keluarga, teman
dan perawat, sehingga pasien merasa tidak sendiri dalam menghadapi
penyakitnya.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lisnawati (2010) yang menyatakan bahwa penyebab depresi pada pasien kanker
payudara paska mastektomi yaitu ketakutan akan kematian, kekecewaan tidak
dapat meneruskan rencana-rencana hidup, perubahan citra tubuh, sedih karena
merasa tidak normal, perasaan tidak berharga sebagai seorang wanita dan
ketiadaan biaya untuk pengobatan. Depresi dapat hilang dengan dukungan
menyeluruh dari keluarga (suami, anak-anak dan saudara dekat) dan teman-teman,
pemberian informasi tentang penyakit dari tenaga kesehatan dan perawatan yang
72
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa walaupun dukungan suami
yang diberikan sudah berada pada kategori baik dan cukup namun mayoritas
responden mengalami depresi yaitu 32 orang (56,1%). Asumsi peneliti walaupun
dukungan yang didapatkan oleh pasien kanker payudara paska mastektomi sudah
berada pada kategori baik dan cukup namun hal yang menyebabkan pasien kanker
payudara paska mastektomi mengalami depresi yaitu stressor yang ada di dalam
diri pasien sendiri. Pasien tidak siap menerima kekurangan fisik yang sat ini
dialami dan takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Betty Neuman dalam
Marriner Tomey & Alligood (2006) yang menyatakan bahwa ada tiga hal yang
menjadi stressor dalam diri seseorang yaitu stressor interpersonal (berasal dai
dalam diri pasien sendiri), stressor intrapersonal (berasal dari orang yang dekat
hubungannya dengan pasien dan stressor ekstrapersonal (berasal dari orang lain
yang ada disekitar pasien). Sehingga sekalipun stressor dari intrapersonal dan
ekstrapersonal pasien tidak ada namun pasien kanker payudara paska mastektomi
dapat mengalami depresi karena stressor tersebut berasal dari dalam diri pasien
Menurut Kevin (2010) seorang wanita yang akan menjalani mastektomi
tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya, hanya
kesedihan yang selalu ada dipikirannya ketika menghadapi mastektomi. Reaksi
yang timbul dari seorang wanita yang mengalami mastektomi adalah perasaan
tidak percaya bahwa bagian tubuhnya (payudara) sudah tidak ada lagi yang juga
diikuti oleh perasaan sedih dan depresi (McPherson & Anderson dalam Farooqi,
Yasmin, 2005).
5.4. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu menggunakan kuesioner untuk
mendapatkan informasi tentang dukungan suami, sehingga peneliti sulit untuk
menggali lebih dalam informasi yang diberikan oleh responden tentang
bagaimana dukungan suami yang dirasakan oleh responden. Sehingga kedepannya
diharapkan penelitian menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan
informasi yang lebih rinci tentang bagaimana dukungan suami pasien kanker
payudara paska mastektomi.
Selain itu instrumen penelitian ini tidak dilakukan uji validitas sehingga
tidak diketahui item mana yang valid dan yang tidak valid. Instrumen penelitian
hanya dilakukan Content Validity Index (CVI) yang penilaiannya diberikan
74