• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Hal tersebut menunjukan bahwa hipotesis adanya hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik telah terbukti. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan beberapa data hasil penelitian terkait relasi self esteem dengan kecemasan yang dicantumkan dalam penelitian milik Sowislo dan Orth (2013). Meskipun bukan merupakan penelitian yang serupa dengan penelitian ini, namun data hasil penelitian – penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa self esteem memiliki korelasi yang negatif terhadap kecemasan (bandingkan dengan Sowislo dan Orth, 2013).

Self-esteem memiliki hubungan yang negatif dengan kecemasan kesempatan kerja pada difabel menunjukkan bahwa semakin tinggi self- esteem yang dimiliki penyandang disabilitas fisik, maka penyandang disabilitas fisik tersebut akan memiliki kecemasan yang semakin rendah akan kesempatan kerja yang ada. Individu dengan self-esteem yang tinggi mengevaluasi dirinya dengan lebih positif dan mengalami perasaan

keberhargaan diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki self-esteem rendah (Brown, 1998 dalam Brown & Marshall, 2006). Individu dengan self-esteem tinggi juga cenderung lebih bersikap proaktif dan optimis, sedangkan individu dengan self-esteem rendah cenderung lebih bersikap reaktif dan pesimis (Rosenberg & Owens, 2001 dalam Owens & McDavitt, 2006). Evaluasi positif membuat individu dengan self-esteem tinggi memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan dalam kehidupannya. Berbeda dengan individu yang memiliki self-esteem rendah, mereka akan memandang dirinya dengan penuh ketidakberdayaan dan cenderung menyerah terhadap suatu persoalan atau tidak menggali kemampuannya (Tajbakhsh, 2012), sedangkan Mikulincer (1994) menyatakan bahwa kecemasan adalah ekspresi emosional dari perasaan ketidakberdayaan yang dirasakan dua kali lipat, yakni dari perasaan ketidakberdayaan untuk mengubah lingkungan yang mengancam dan ketidakberdayaan untuk menampung perasaan terancam tersebut. Perasaan ketidakberdayaan tersebut muncul dari adanya penilaian yang menyertai bahwa coping yang tersedia tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan maupun tidak mampu digunakan untuk menghindari konfrontasi dengan suatu ancaman (Mikulincer, 1994). Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa difabel yang memiliki self-esteem tinggi akan mampu bersikap lebih optimis dalam menghadapi realitas akan kesempatan kerja yang ada, sedangkan difabel dengan self-esteem rendah akan bersikap lebih pesimis dan merasa tidak

berdaya dalam menghadapi realitas akan kesempatan kerja yang ada. Perasaan ketidakberdayaan tersebut memiliki kaitan erat dalam membentuk kecemasan akan kesempatan kerja pada difabel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kecemasan kesempatan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis adanya hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kecemasan kesempatan kerja pada difabel telah terbukti. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yasin dan Dzulkifli (2010) terkait dengan hubungan antara variabel dukungan sosial dan kecemasan secara umum. Meskipun bukan merupakan penelitian yang serupa dengan penelitian ini, namun penelitian yang dilakukan oleh Yasin dan Dzulkifli (2010) juga menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap kecemasan. Hubungan negatif yang dimiliki variabel dukungan sosial terhadap kecemasan kesempatan kerja pada difabel juga sejalan dengan penelitian Teoh dan Rose (2001) yang menyatakan bahwa rendahnya dukungan sosial merupakan salah satu hal yang menjadi prediktor pada permasalahan psikologis. Hal tersebut diasosiasikan dengan tingginya level depresi, kecemasan, masalah dalam hal memperhatikan (attention problem), masalah dalam berpikir, permasalahan sosial, keluhan somatik, dan rendahnya self esteem (dalam Yasin dan Dzulkifli, 2010).

Dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif dengan kecemasan kesempatan kerja pada difabel menunjukkan bahwa semakin

tinggi dukungan sosial yang dimiliki oleh seorang difabel, maka difabel memiliki kecemasan yang semakin rendah akan kesempatan kerja yang ada. Mikulincer (1994) menyebutkan bahwa kecemasan adalah ekspresi emosional dari perasaan ketidakberdayaan dan perasaan ketidakberdayaan tersebut muncul dari adanya penilaian yang menyertai bahwa coping yang tersedia tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan maupun tidak mampu digunakan untuk menghindari konfrontasi dengan suatu ancaman (Mikulincer, 1994). Meskipun demikian, dukungan sosial yang didapatkan seseorang dapat meningkatkan performansi akan suatu penyelesaian masalah (coping performance) selama individu mempersepsi bahwa ia memiliki dukungan sosial yang cukup dan membawa individu menilai bahwa situasi yang mengancam hanyalah sebagai stressor yang kurang berarti (Lakey dan Cohen, 2000). Seorang difabel yang memiliki dukungan sosial yang baik akan mampu mengembangkan coping yang baik untuk mengatasi stressor yang ia hadapi, dalam hal ini adalah pandangan akan ketersediaan kesempatan kerja yang semakin sempit. Hal ini juga akan berlaku sebaliknya ketika difabel kurang mendapatkan dukungan secara sosial, maka difabel tidak akan mampu mengembangkan coping yang baik untuk mengatasi stressor yang ia hadapi.

Dukungan sosial dapat berasal dari banyak pihak, seperti orang tua, keluarga, teman, maupun orang – orang di sekeliling individu. Meskipun banyak pihak yang dapat menyediakan kebutuhan individu akan dukungan sosial, dukungan yang diberikan mungkin saja tidak membantu bahkan

ditolak oleh individu yang akan menerima ketika dukungan itu diberikan oleh orang yang tidak tepat. Setiap keadaaan dengan stressor yang berbeda akan memunculkan kebutuhan dukungan yang berbeda pula (dalam Taylor, 1999).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada difabel dibandingkan dengan self-esteem, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar. Hal ini sekaligus membuktikan hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini.

Hubungan dukungan sosial yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja dapat terkait dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Individu sejak kecil tinggal dan berkembang dalam suatu sistem sosial, mulai dari perkembangan dalam keluarga hingga berinteraksi dengan masyarakat luas. Perkembangan awal dalam keluarga tersebut yang menjadi landasan penting bagi kondisi psikososial individu (dalam Uchino, 2009). Lingkungan keluarga yang positif di awal perkembangan individu (seperti dukungan dari orang tua, rendahnya konflik dalam keluarga) akan mengembangkan profil keadaan psikososial yang positif pada individu (dalam Uchino, 2009). Profil yang positif tersebut membuat individu dapat mengatasi stressor/ permasalahan dalam hidupnya dengan lebih efektif, fleksibel, dan proaktif. Individu memiliki banyak pilihan dan kemampuan yang luas atau sekumpulan coping yang dapat digunakan untuk mengatur dan mengantisipasi tantangan-tantangan

dalam hidup (dalam Uchino, 2009). Hasil dari perkembangan dalam keluarga di masa awal kehidupan tersebut dapat digeneralisasikan pada masa perkembangan anak dan dewasa, sebagai faktor yang menggambarkan bahwa rendahnya dukungan sosial yang diterima dari keluarga akan terkait dengan strategi coping yang buruk ( Hardy, Power, & Jaedicke, 1993; Valentiner, Holohan, & Moos, 1994 dalam Uchino, 2009). Coping yang buruk tersebut yang pada akhirnya berkaitan dengan perasaan kecemasan akan kesempatan kerja.

Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat menjadi prediktor munculnya kecemasan kesempatan kerja pada difabel, sedangkan self-esteem tidak dapat dijadikan prediktor munculnya kecemasan kesempatan kerja pada difabel. Meskipun dukungan sosial dan self-esteem sama-sama memiliki hubungan dengan kecemasan kesempatan kerja, namum self-esteem tidak dapat dijadikan faktor yang memprediksi kecemasan kesempatan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan prediktor utama yang dapat digunakan untuk memprediksi munculnya kecemasan kesempatan kerja pada difabel, sehingga bila individu ingin melakukan tindakan untuk mencegah munculnya kecemasan kesempatan kerja pada difabel, maka harus lebih banyak ditekankan pada faktor dukungan sosialnya.

Difabel pada tahap perkembangan remaja akhir hingga dewasa awal memiliki tugas perkembangan untuk meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonominya (dalam Dariyo, 2003). Ketika

penyandang disabilitas fisik belum memiliki pekerjaan di tahap perkembangan ini, maka difabel lebih rentan untuk merasa cemas saat memikirkan peluang kerja yang terbilang sempit bagi penyandang disabilitas. Dalam hal inilah peran dukungan sosial yang tepat mampu mereduksi perasaan – perasaan cemas yang berpotensi untuk muncul.

Papu (2002) menjelaskan bahwa individu tunadaksa mengalami kesusahan dalam mencari kerja karena banyak orang yang menganggap atau memberi stigma bahwa individu tunadaksa tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk bekerja (dalam Machdan & Hartini, 2012). Individu tunadaksa jika bekerja lebih banyak merepotkan, serta menambah pengeluaran perusahaan karena harus menyediakan akomodasi dan fasilitas khusus untuk membantu tunadaksa dalam melakukan pekerjaannya. Lapangan pekerjaan khusus individu tunadaksa juga sangat minim sekali, meskipun telah dibuatnya UU bagi penyandang cacat. Hal – hal tersebut yang seringkali membuat para pelamar tunadaksa gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukkan kualifikasinya (Machdan & Hartini, 2012). Gambaran tersebut mencerminkan situasi dukungan sosial yang kurang mendukung bagi difabel. Gambaran dukungan sosial seperti inilah yang dapat menimbulkan kecemasan yang tinggi pada difabel. Situasi yang bertolak belakang dengan gambaran dukungan sosial tersebut, seperti menghilangkan stigma negatif terhadap kemampuan difabel maupun menjalankan UU bagi penyandang cacat sebagaimana mestinya merupakan salah satu bentuk

dukungan sosial yang dapat diberikan oleh semua pihak, baik dari dalam keluarga maupun lingkungan yang berada di sekitar para difabel.

Hasil analisis tambahan juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dukungan sosial yang dimiliki oleh penyandang disabilitas fisik yang tinggal di asrama, tinggal bersama keluarga di rumah pribadi, ataupun tidak tinggal di asrama maupun bersama dengan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tempat tinggal tidak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dukungan sosial yang dimiliki oleh difabel, melainkan siapa pun orang yang berada dekat dengan difabel dan mampu memberikan dukungan sosial yang tepat dapat lebih berperan dalam penilaian difabel terhadap dukungan yang ia miliki.

Penyandang disabilitas fisik yang tinggal bersama dengan keluarga di rumahnya maupun yang tinggal di asrama memiliki peluang yang sama besar untuk dapat memperoleh dukungan sosial yang positif. Penyandang disabilitas fisik yang tinggal dalam keluarga dapat memperoleh dukungan sosialnya dari anggota keluarganya maupun dari pasangannya (suami atau istri bagi yang sudah berkeluarga). Penyandang disabilitas fisik yang tinggal di asrama juga dapat memperoleh dukungan sosialnya dari teman- teman yang juga tinggal di asrama, serta dari para pendamping yang ada di asrama. Besar dukungan yang diterima tersebut yang berkaitan dengan perasaan kecemasan pada penyandang disabilitas fisik dalam menyikapi realitas tentang kesempatan kerja bagi para difabel.

Hasil analisis tambahan yang terakhir menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan kesempatan kerja pada difabel. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat adanya gerakan kesetaraan gender yang sudah ada di masa kini. Walsh (1985) menyatakan bahwa selama tahun 1960-an, 1970-an, dan 1980-an, perempuan yang masuk dalam angkatan kerja tercatat cukup banyak dan membuat perubahan pada kehidupan perempuan, laki-laki, dan anak-anak (dalam Brannon, 1996). Hal ini membuat perempuan memiliki hak yang sama untuk bisa bekerja dan memungkinkan dapat merasakan kecemasan kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki.

E. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak lepas dari adanya beberapa keterbatasan akan penelitian. Subjek penelitian ini adalah penyandang disabilitias fisik (daksa) saja, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada kelompok masyarakat pada umumnya dan kelompok penyandang disabilitas lain, seperti penyandang disabilitas netra, tunarungu, tunagrahita, dan sebagainya. Penelitian ini juga dilakukan pada penyandang disabilitas fisik yang berada pada tahap perkembangan remaja pertengahan hingga dewasa awal, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat

digeneralisasikan pada tahap perkembangan lainnya. Selain itu, penelitian ini dilakukan pada subjek yang memiliki konteks budaya kolektif, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada subjek dengan konteks budaya lainnya.

82

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka terlihat bahwa self-esteem memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Meskipun tidak berbeda jauh, hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem.

Berdasarkan hasil analisis tambahan yang telah dilakukan, maka terlihat bahwa dukungan sosial dapat menjadi prediktor yang baik bagi kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik, namun self-esteem tidak dapat menjadi prediktor bagi kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Hasil analisis tambahan juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dukungan sosial yang dimiliki oleh penyandang disabilitas fisik yang tinggal di asrama, tinggal bersama keluarga di rumah pribadi, ataupun tidak tinggal di asrama maupun bersama dengan keluarga. Selain itu, hasil analisis tambahan

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecemasan kesempatan kerja pada difabel yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki.

B. Saran

1. Bagi Penyandang Disabilitas Fisik

Penyandang disabilitas fisik yang memiliki kecemasan tinggi dalam merepon realitas sosial terkait dengan kesempatan kerja yang ada di tengah – tengah masyarakat saat ini diharapkan mampu merefleksikan kembali pandangan yang dimiliki terkait kondisi diri secara pribadi dan pandangan terhadap dukungan-dukungan yang didapatkan dari lingkungannya. Hal ini dikarenakan pentingnya pandangan yang dimiliki oleh kaum difabel dalam membentuk dan mengembangkan dirinya.

Tidak setiap orang mampu mendapatkan dukungan sosial yang mereka butuhkan karena banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Individu yang tidak terbuka pada lingkungan sosialnya atau tidak suka memberi bantuan pada orang lain akan sulit mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya (Sarafino, 2008). Oleh karena itu, memiliki sikap terbuka pada lingkungan dan mampu berinteraksi dengan baik dengan lingkungannya merupakan salah satu hal penting untuk dilakukan para difabel agar lingkungan juga mampu membangun dukungan sosial terhadap dirinya.

2. Bagi Orang Tua, Anggota Keluarga, dan Masyarakat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan sosial yang diberikan lingkungan secara khusus memiliki sumbangan terhadap rasa kecemasan kesempatan kerja yang dimiliki oleh penyandang disabilitas fisik. Oleh karena itu, baik bila orang tua dan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas fisik dapat memberikan dukungan yang positif dan penerimaan yang baik bagi para penyandang disabilitas fisik. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang dapat menyediakan suatu dukungan pada difabel dalam bentuk moral maupun material. Hal ini juga akan turut mereduksi perasaan-perasaan cemas pada para penyandang disabilitas fisik, sehingga para penyandang disabilitas fisik dapat lebih baik dalam mempersiapkan diri dalam menghadapi realitas sosial terkait dengan kesempatan kerja yang ada di tengah – tengah masyarakat saat ini.

Lingkungan masyarakat juga diharapkan dapat menyediakan dan memberikan dukungan yang positif dan membangun pada para penyandang disabilitas fisik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan penerimaan yang baik dan tidak memarginalisasikan para penyandang disabilitas fisik, sehingga para penyandang disabilitas fisik dapat mengembangkan diri dalam masyarakat. Baik bila masyarakat juga dapat membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas fisik dan tidak memberikan penilaian

dengan pandangan sebelah mata pada kondisi secara fisik yang dimiliki oleh difabel, melainkan dengan melihat kemampuan dan kemauan para penyandang disabilitas fisik untuk berkarya.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini memiliki keterbatasan pada subjek dengan disabilitas fisik (daksa), sehingga penelitian selanjutnya baik bila dapat mengembangkannya pada karakteristik disabilitas yang lain. Selain itu, penelitian ini secara khusus belum mampu merepresentasikan keadaan penyandang disabilitas fisik pada umumnya dikarenakan jumlah subjek yang tidak terlalu besar. Oleh sebab itu, baik bila peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian semacam ini dengan jumlah subjek yang cukup besar dan yang terutama adalah dapat merepresentasikan keadaan para penyandang disabilitas fisik. Penelitian ini juga belum melakukan pembatasan pada keadaan disabilitas yang dimiliki sejak lahir ataupun dimiliki akibat suatu peristiwa tertentu, sehingga hal ini mungkin juga dapat turut

86

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (1999). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bhagirathi. (2008). Relationship of Anxiety and Achievement Motivation to Goal Keeping among Secondary School Level Girl Hockey Players. Journal of Exercise Science and Physiotherapy. Vol. 4. No. 2: 115-118

Branden, Nathaniel. (1992). The Power of Self-Esteem. Florida: Health Communications, Inc.

Brannon, L. (1996). Gender: Psychological Perspectives. Boston: Allyn and Bacon

Brown, Jonathon D., & Marshall, Margaret A. (2006). The Three Faces of Self Esteem. Self-Esteem Issues and Answers: A Sourcebook of Current Perspectives. New York: Psychology Press

Buss, Arnold H. (1995). Personality: Temprament, Social Behavior, and the Self. Boston: Allyn and Bacon

Byrne, Donn & Kelley, Kathryn. (1981). An Introduction to Personality. 3rd Ed. New Jersey: Prentice-Hall

Carter, David C. (2004). Quantitative Psychological Research. New York: Psychology Press

CHE. (2010, Juli 29). Jabar Belum Ramah bagi Difabel * Mereka Belum Dapat Pekerjaan Layak. Jawa Barat: KOMPAS

Dariyo, Agoes. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo

DOE. (2013, Desember 14). Persamaan Hak: Rendah, Kesempatan Kerja Penyandang Disabilitas. KOMPAS (Nasional)

Farzaee, N. (2012). Self Esteem and Social Support vs. Student Happiness. International Research Journal of Applied and Basic Sciences. Vol 3. Feist, Jess & Feist, Gregory J. (2008). Theories of Personality . 6th. New York:

McGraw Hill

Fitria, I., Brower, Rachel J., Khan, Shams Ur R., & Almigo, N. (2013). Does Self-Esteem Contribute Any Effect to Social Anxiety among International University Students. Malaysian Journal of Research. Vol 1. No 1

Forouzan, Ameneh S., et al.(2013). Perceived Social Support among People with Physical Disability. Iranian Red Crescent Medical Journal. 15(8).

Ghozali, Imam. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Gilarso, T. (1992). Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Makro. Yogyakarta: Kanisius

Gunawan, Rinawati & Anwar, Amanah. (2012). Kecemasan Body Image pada Perempuan Dewasa Tengah yang Melakukan Bedah Plastik Estetik. Jurnal Psikologi. Vol. 10. No. 2

Heatherton, T. F., Wyland, C. L., & Lopez, S. J. (2003). Assessing self-esteem. Positive psychological assessment: A handbook of models and measures, 219-233.

Hurlock, Elisabeth B. (1999). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Ed 5. Jakarta: Erlangga

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Cetakan Pertama Edisi IV. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Gramedia

Kerlinger, Fred N. (1985). Asas – Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada Press

Kuruvilla, A., & Jacob, K. S. (2007). Poverty, Social Stress, & Mental Health. Indian J Med Res 126. pp 273-278

Lakey, B., & Cohen, S. (2000). Social Support Theory and Measurement. In Cohen, S., Underwood, L., & Gottlieb, B. H. (Eds.), Social Support Measurement and Interventions: A Guide for Health and Social Scientists. New York: Oxford

Latuconsina, Z. (2014). Afirmasi Kebijakan Pemerintah dalam Fasilitasi Kerja bagi Penyandang Disabilitas. Pandecta. Vol. 9. No. 2

London, H., & Exner, John E. (1978). Dimensions of Personality. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Machdan, Denia M., & Hartini, N. (2012). Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Pada Tunadaksa Di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Pasuruan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Vol 1. No 02

Mangunsong, Frieda. (1998). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: LPSP 3 UI

Mikulincer, M. (1994). Human Learned Helplessness: A Coping Perspective. New York: Springer Science + Business Media

Miyahara, M. (2008). Social Support for Developmental Disabilities: Theoretical Framework, Practice, and Research Agenda. New Zealand Journal of Disability Studies

Miyahara, M., & Piek, J. (2006) Self-Esteem of Children and Adolescent with Physical Disabilities: Quantitative Evidence from Meta-Analysis. Journal of Developmental and Physical Disabilities. Vol. 18. No. 3

Nainggolan, T. (2011). Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Sosial Pada Pengguna NAPZA. Jurnal Sosiokonsepsia. Vol 16. No 02. Nugroho, Rony A., & Helmy, C. (2013, Juni 18). Penyandang Cacat: Kami Hanya

Butuh Satu Kesempatan. KOMPAS (Nasional)

Owens, Timothy J., & McDavitt, Alyson R. (2006).The Self-Esteem Motive: Positive and Negative Consequence for Self and Society. Self-Esteem Issues and Answers: A Sourcebook of Current Perspectives. New York: Psychology Press

Papalia, Diane E., Old, Sally W., & Feldmen, Ruth D. (2008). Human Development. Jld 2. Ed 9. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Priyatno, Duwi. (2012). Belajar Praktis Analisis Parametrik dan Non Parametrik dengan SPSS & Prediksi Pertanyaan Pendadaran Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Gava Media

Riggio, Ronald E. (2009). Introduction to Industrial/ Organization Psychology. 5th Ed. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Ritonga, M. T., Firdaus, Y., Wahyono, T., dkk. (2007). Ekonomi untuk SMA Kelas XI. Jakarta: PT. Phibeta Aneka Gama

S, Alam. (2007). Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta: Erlangga

Sangadji, Etta M., & Sopiah. (2010). Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset

Santoso, Agung. (2010). Statistik untuk Psikologi: Dari Blog Menjadi Buku. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Santoso, Singgih. (2014). Statistik Parametrik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Sarafino, Edward P. (2008). Health Psychology Biopsychosocial Interactions. 6th Ed. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

Seligman, Martin E. P., Walker, Elaine F., & Rosenhan, David L. (2001). Abnormal Psychology. 4th Ed. New York: W. W. Norton & Co. Inc. Siregar, Syofian. (2013). Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif.

Dokumen terkait