HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA
PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK
Dorotea Hening Adiana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik, serta melihat self esteem atau dukungan sosial yang memiliki hubungan lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini adalah 1) ada hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dan 2) dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem. Subjek dalam penelitian sebanyak 74 orang yang menyandang disabilitas fisik (daksa), berusia 18 – 40 tahun, dan belum bekerja. Alat pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala pengukuran self-esteem, dukungan sosial, dan skala pengukuran kecemasan kesempatan kerja yang dikonstruksikan dengan model penskalaan Likert. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi Product Moment Pearson dengan program SPSS 16.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik (r = -0.648, p = 0.000), 2) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik (r = -0.710, p = 0.000), dan 3) dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem.
THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM AND SOCIAL SUPPORT WITH THE ANXIETY OF JOB OPPORTUNITIES ON
PERSONS WITH PHYSICAL DISABILITY
Dorotea Hening Adiana
ABSTRACT
This study was aimed to determine whether there was the relation between self-esteem and social support with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability, and to know self-esteem or social support that had more strong correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability. The hypotheses of this study were 1) there was negative significant correlation between self-esteem and social support with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability and 2) social support had more strong negative correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability than self-esteem. Subject in this study were 74 persons with physical disabilities, aged 18 – 40 years, and unemployed. This study used scale measurement of self-esteem, scale measurement of social support, and scale measurement of anxiety on job opportunities that constructed with Likert model scale. The data was analyzed using Product Moment Pearson Correlation analysis by SPSS 16.0. The result shown that 1) there was a negative significant correlation between self-esteem and anxiety of job opportunities on persons with physical disability (r = -0.648, p = 0.000), 2) there was a negative significant correlation between social support and anxiety of job opportunities on persons with physical disability (r = -0.710, p = 0.000), and 3)social support had more strong negative correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disabilities than self-esteem.
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA
PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK
Skripsi
Diajukkan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Dorotea Hening Adiana
119114095
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA
PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK
Skripsi
Diajukkan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Dorotea Hening Adiana
119114095
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA
PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK
Disusun oleh:
Dorotea Hening Adiana
NIM: 119114095
Telah Disetujui Oleh:
Pembimbing Tanggal: 29 Oktober 2015
iii
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA
PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Dorotea Hening Adiana NIM: 119114095
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 23 November 2015
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
1. Ketua : YB. Cahya Widiyanto, M.Si. _______________
2. Penguji 1 : Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. _______________
3. Penguji 2 : Debri Pristinella, M.Si _______________
Yogyakarta, ______________ Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Dekan,
iv
HALAMAN MOTTO
“Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah
dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan
hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita,
karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,
dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan
pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih
Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5: 2-5)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan bagi keluargaku tercinta,
Mama dan Papa,
adikku tercinta, Michael Hikari Adiana,
dan terutama bagi
kakakku tercinta dan terkasih,
Yudith Nikita Gusti Adiana.
Terima kasih karena kalian menjadi satu bagian yang paling penting dan
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 1 Oktober 2015
Penulis,
vii
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA
PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK
Dorotea Hening Adiana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik, serta melihat self esteem atau dukungan sosial yang memiliki hubungan lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini adalah 1) ada hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dan 2) dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem. Subjek dalam penelitian sebanyak 74 orang yang menyandang disabilitas fisik (daksa), berusia 18 – 40 tahun, dan belum bekerja. Alat pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala pengukuran self-esteem, dukungan sosial, dan skala pengukuran kecemasan kesempatan kerja yang dikonstruksikan dengan model penskalaan Likert. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi Product Moment Pearson dengan program SPSS 16.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik (r = -0.648, p = 0.000), 2) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik (r = -0.710, p = 0.000), dan 3) dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem.
viii
THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM AND SOCIAL SUPPORT WITH THE ANXIETY OF JOB OPPORTUNITIES ON
PERSONS WITH PHYSICAL DISABILITY
Dorotea Hening Adiana
ABSTRACT
This study was aimed to determine whether there was the relation between self-esteem and social support with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability, and to know self-esteem or social support that had more strong correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability. The hypotheses of this study were 1) there was negative significant correlation between self-esteem and social support with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability and 2) social support had more strong negative correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability than self-esteem. Subject in this study were 74 persons with physical disabilities, aged 18 – 40 years, and unemployed. This study used scale measurement of self-esteem, scale measurement of social support, and scale measurement of anxiety on job opportunities that constructed with Likert model scale. The data was analyzed using Product Moment Pearson Correlation analysis by SPSS 16.0. The result shown that 1) there was a negative significant correlation between self-esteem and anxiety of job opportunities on persons with physical disability (r = -0.648, p = 0.000), 2) there was a negative significant correlation between social support and anxiety of job opportunities on persons with physical disability (r = -0.710, p = 0.000), and 3)social support had more strong negative correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disabilities than self-esteem.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Dorotea Hening Adiana
NIM : 119114095
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya, yang berjudul:
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA
PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau di media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 1 Oktober 2015
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas
segala berkat dan rahmat-Nya yang selalu diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan Skripsi ini dengan baik. Terima kasih karena Tuhan
Yesus selalu menopang dan memberikan jalan pada setiap hal yang terjadi selama
proses pembuatan Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa banyak sekali pihak yang membantu dalam
proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Ratri Ratri Sunar Astuti, M. Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak YB. Cahya Widiyanto, M. Si. selaku dosen pembimbing Skripsi.
Terima kasih Pak atas bimbingan, kepercayaan, dukungan, dan nasihat –
nasihat yang Bapak berikan selama ini.
4. Ibu Debri Pristinella, M. Si selaku dosen pembimbing akademik. Terima
kasih Bu atas dukungan, bantuan, dorongan semangat, dan
kepercayaannya kepada saya selama ini.
5. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Psi. yang telah meluangkan waktu dan
xi
6. Bapak Agung Santoso, M. A. yang selalu meluangkan waktu untuk
membalas email dan menjawab pertanyaan – pertanyaan saya di tengah –
tengah kesibukan Bapak (tentunya).
7. Sr. Lidwina Tri Ariastuti, FCJ., M. A. dan Ibu Sylvia CMYM., M. Si.
yang meluangkan waktunya ketika saya ingin menanyakan tentang
statistika dan masalah perkembangan selama proses pembuatan skripsi ini.
8. Seluruh dosen dan staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
9. Keluargaku tercinta, mama dan papa, terima kasih atas setiap cinta, doa,
kepercayaan, dukungan, dan kesabaran yang selalu diberikan. Kakak ku
yang tercinta dan teristimewa, Yudith Nikita Gusti Adiana, terima kasih
atas semua perjuangan yang kita lalui bersama, terima kasih karena telah
menjadi sumber kekuatan, semangat, inspirasi, dan segala-galanya bagiku.
Adikku tercinta, Michael Hikari Adiana, yang selalu menjadi sumber
motivasiku.
10.Mas Bejo (dan kawan-kawan), Mas Arif (YPCM), Mbak Juju (dan kawan
– kawan Sapda), Mas Yuli (FPDB), Pak Widodo (dan kawan – kawan
PPCK), Pak Sarjiya (dan kawan – kawan PPCKP), pihak SLBN 1 Bantul,
dan pihak BRTPD Pundong, terima kasih atas bantuanya selama ini.
11.Flaviana Rinta Ferdian (2011), Kak Engger (2010), Sadriyah Pratiwi
(2011), Ricca, Mariana Aprilia I. A. Sogen (2011), dan Pakdhe (2009)
xii
12.Teman – teman satu bimbingan skripsi, terutama Ruth, Clara, Beatriks,
Arum, Reza, Kak Tirza, dan Kak Efrem yang mau berdiskusi, selalu
mendengarkan keluh kesahku, dan memberi semangat tentunya.
13.Seluruh teman – teman yang tidak mampu kusebutkan satu per satu
(terutama yang angkatan 2011). Terima kasih atas semua bantuan,
semangat, dan perhatian yang selalu diberikan baik secara langsung
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I ...1
A. Latar Belakang ...1
B. Rumusan Masalah ...10
C. Tujuan Penelitian ...10
D. Manfaat Penelitian ...11
1. Manfaat Teoritis ...11
2. Manfaat Praktis...11
BAB II ...13
xiv
1. Pengertian Self-Esteem ...22
2. Komponen Self-Esteem ...25
3. Faktor Pembentuk Self-Esteem ...27
B. Dukungan Sosial ...16
1. Pengertian Dukungan Sosial ...16
2. Jenis Dukungan Sosial...18
3. Faktor Pendukung Dukungan Sosial ...21
C. Kecemasan Kesempatan Kerja Penyandang Disabilitas Fisik ...22
1. Pengertian Kecemasan ...22
2. Jenis Kecemasan...25
3. Gejala Kecemasan ...27
4. Dampak Kecemasan………..……..31
5. Kecemasan Kesempatan Kerja pada Penyandang Disabilitas Fisik……31
D. Penyandang Disabilitas Fisik ...33
1. Pengertian Disabilitas Fisik ...33
2. Sebab dan Jenis Disabilitas Fisik ...35
3. Dampak Psikologis dan Permasalahan Penyandang Disabilitas Fisik ....36
E. Remaja Akhir dan Individu Dewasa Awal ...39
F. Hubungan Antara Self-Esteem Dan Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Kesempatan Kerja Pada Penyandang Disabilitas Fisik ...42
G. Hipotesis ...46
BAB III ...48
A. Jenis Penelitian ...48
B. Variabel Penelitian ...48
1. Variabel Bebas ...48
2. Variabel Tergantung ...48
xv
1. Kecemasan kesempatan kerja ...49
2. Self-Esteem ...49
3. Dukungan Sosial...50
D. Subjek Penelitian...51
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ...53
F. Validitas dan Reliabilitas ...57
1. Validitas Skala ...57
2. Reliabilitas Skala ...58
G. Metode Analisis Data ...60
1. Uji Asumsi ...60
2. Uji Hipotesis ...62
BAB IV ...63
A. Persiapan Penelitian ...63
B. Proses Penelitian ...64
C. Hasil Penelitian ...66
1. Uji Linearitas ...66
2. Uji Normalitas ...67
3. Hasil Uji Hipotesis ...68
4. Hasil Analisis Tambahan...70
D. Pembahasan ...72
E. Keterbatasan Penelitian ...80
BAB V...82
A. Kesimpulan ...82
B. Saran...69
DAFTAR PUSTAKA ...84
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1Cetak Biru Skala Self-Esteem Sebelum Seleksi Aitem ... 54
Tabel 2 Cetak Biru Skala Dukungan Sosial Sebelum Seleksi Aitem ... 55
Tabel 3 Cetak Biru Skala Kecemasan Kesempatan Kerja Sebelum Seleksi Aitem
... 56
Tabel 4 Sistem Skoring Skala Pengukuran ... 56
Tabel 5 Cetak Biru Skala Self-Esteem Sebelum dan Setelah Seleksi Aitem ... 59
Tabel 6 Cetak Biru Skala Dukungan Sosial Sebelum dan Setelah Seleksi Aitem 60
Tabel 7 Cetak Biru Skala Kecemasan Kesempatan Kerja Sebelum dan Setelah
Seleksi Aitem ... 60
Tabel 8 Deskripsi Jenis Kelamin Subjek ... 65
Tabel 9 Deskripsi Tempat Tinggal ... 66
Tabel 10 Ringkasan Hasil Uji Linearitas Variabel Self Esteem dengan Kecemasan
Kesempatan Kerja ... 67
Tabel 11 Ringkasan Hasil Uji Linearitas Variabel Dukungan Sosial dengan
Kecemasan Kesempatan Kerja ... 67
Tabel 12 Hasil Uji Statistik Non-Parametrik Kolmogorov-Smirnov ... 68
Tabel 13 Hasil Uji Korelasi Product Moment Pearson antara Self-Esteem dengan
Kecemasan Kesempatan Kerja ... 69
Tabel 14 Hasil Uji Korelasi Product Moment Pearson antara Dukungan Sosial
dengan Kecemasan Kesempatan Kerja ... 69
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian ... 93
Lampiran 2. Reliabilitas ... 108
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak individu yang pernah merasakan sebuah kecemasan dalam
kehidupannya sehari-hari. Contohnya saja ketika individu akan
menghadapi sebuah ujian atau saat akan membacakan sebuah pidato di
depan umum. Kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak
menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan – perasaan subjektif, seperti
ketegangan, ketakutan, kekhawatiran, dan juga ditandai dengan aktifnya
sistem syaraf pusat (Post, 1978 dalam Gunawan & Anwar, 2012).
Kecemasan seringkali mengganggu performansi individu dalam
kehidupan sehari-hari. Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan
bahwa kecemasan yang tinggi memiliki asosiasi dengan pemikiran
individu yang dapat mengganggu kinerja individu tersebut (dalam Byrne
& Kelley, 1981). Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa
kecemasan memiliki hubungan negatif dengan motivasi untuk berprestasi
atau sukses (achievement motivation) pada individu (Bhagirathi, 2008).
Di era modern ini, individu seringkali mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan. Padahal pekerjaan memiliki kaitan dengan salah
satu tugas perkembangan di masa remaja akhir dan dewasa awal. Salah
satu tugas perkembangan yang ada pada masa remaja adalah
meniti karir dalam rangka memantapkan kehidupan ekonominya pada
masa dewasa awal (Dariyo, 2003). Hal – hal tersebut berhubungan dengan
perubahan status ekonomi yang dimiliki individu. Individu akan berusaha
memenuhi tugas perkembangan ini dengan baik karena tujuan dari tugas
perkembangan ini memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan individu
tersebut. Salah satu cara individu untuk mempersiapkan karir ekonominya
adalah dengan cara bekerja. UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal
68 dan UU No. 20 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138
tahun 1973 juga mengimplikasikan bahwa individu yang telah berusia 18
tahun ke atas merupakan individu yang sudah dianggap mampu
menjalankan fungsinya untuk bekerja secara penuh menurut hukum yang
berlaku.
Pekerjaan merupakan hal yang cukup penting dalam kehidupan
manusia. Individu bekerja karena hal tersebut merupakan salah satu cara
yang dapat digunakan untuk memenuhi kesejahteraan hidupnya dan
mencapai kemapanan dalam hal ekonomi. Seorang individu memiliki
keinginan untuk mencapai kemapanan ekonomi karena status ekonomi
seseorang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu tersebut,
misalnya saja dalam hal kemiskinan yang memiliki hubungan dengan
kesehatan mental seseorang (Kuruvilla & Jacob, 2007). McClelland
(dalam Riggio, 2009) juga memaparkan bahwa individu bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya akan prestasi, kekuasaan, dan kedekatan secara
pekerjaan bagi kehidupan psikologis individu, sehingga membuat setiap
individu berlomba – lomba untuk mencari dan memiliki sebuah pekerjaan.
Individu mengalami kesulitan dalam mendapat pekerjaan karena
tingginya permintaan pasar akan kemampuan dan kompetensi individu
yang diperlukan untuk masuk dalam dunia kerja, serta kecilnya
kesempatan kerja yang disediakan oleh lapangan pekerjaan saat ini.
Kesempatan kerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah
tersedianya lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja, baik
oleh pemerintah maupun oleh swasta. Hubungan antara angkatan kerja dan
kemampuan penyerapan tenaga kerja akan menggambarkan adanya sebuah
kesempatan kerja.
Besarnya jumlah individu yang hendak mencari pekerjaan tidak
diimbangi dengan luasnya lapangan pekerjaan yang tersedia membuat
persaingan individu yang hendak mencari sebuah pekerjaan semakin lama
semakin ketat. Persaingan tersebut membuat individu – individu yang
hendak mencari pekerjaan seringkali mengalami kecemasan bahwa mereka
mungkin tidak akan mendapatkan sebuah pekerjaan. Hal tersebut
dikarenakan persaingan dipandang sebagai realitas yang mengancam dan
menimbulkan kecemasan pada individu dalam mencapai pemenuhan
fungsi kerja individu.
Kecemasan memiliki kaitan erat dengan perasaan
ketidakberdayaan. Kecemasan menjadi ekspresi emosional dari perasaan
ketidakberdayaan untuk mengubah lingkungan yang mengancam dan
ketidakberdayaan untuk menampung perasaan terancam tersebut
(Mikulincer, 1994). Perasaan ketidakberdayaan tersebut muncul dari
adanya penilaian yang menyertai bahwa coping yang tersedia tidak
mampu menyelesaikan suatu permasalahan maupun tidak mampu
digunakan untuk menghindari konfrontasi dengan suatu ancaman
(Mikulincer, 1994).
Perasaan ketidakberdayaan memiliki kaitan yang erat dengan self
esteem yang dimiliki individu. Self esteem adalah evaluasi yang dibuat
oleh individu mengenai hal – hal yang berkaitan dengan dirinya, yang
diekspresikan melalui suatu bentuk sikap setuju atau tidak setuju dan
menunjukkan tingkat individu dalam meyakini dirinya sendiri sebagai
individu yang mampu, penting, dan berharga (Coopersmith, 1967 dalam
Fitria, Brouwer, Khan, & Almigo, 2013). Seseorang dengan self esteem
yang relatif tinggi akan memiliki pandangan positif terhadap dirinya dan
memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki kemampuan dalam mengatasi
persoalan dalam kehidupannya. Seseorang dengan self esteem yang relatif
rendah akan memandang dirinya dengan penuh ketidakberdayaan dan
merasa tidak aman terhadap keberadaan dirinya, sehingga ia merasa tidak
mampu menghadapi persoalan dalam kehidupannya.
Self esteem adalah salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan
karena memiliki kaitan yang luas dengan kehidupan sehari-hari. Penelitian
kemampuan individu dalam mengambil keputusan. Ketidakmampuan
seseorang untuk mengambil keputusan dikarenakan adanya permasalahan
pada self esteem individu yang membuat individu memiliki kecurigaan
pada pemikiran dan penilaian yang dimiliki individu itu sendiri (dalam
Branden, 1992). Self esteem juga dikaitkan dengan tingkat ekspektasi
individu terhadap suatu kesuksesan dan penetapan suatu tujuan. Individu
dengan self esteem yang tinggi akan memiliki sedikit sekali permasalahan
yang berkaitan dengan kontrol penetapan sebuah tujuan (dalam Branden,
1992).
Coping performance yang terkait dengan perasaan
ketidakberdayaan juga memiliki kaitan erat dengan dukungan sosial yang
dimiliki individu. Dukungan sosial merupakan perasaan atau persepsi
menjadi seseorang yang penting di hadapan orang lain, dipedulikan dan
dicintai oleh orang lain, serta diterima keberadaannya oleh orang lain
(Peterson, 2007 dalam Farzaee, 2012). Orang – orang terdekat, seperti
keluarga dan sahabat dapat menjadi sumber pemberian dukungan sosial
pada individu. Dukungan yang didapatkan seseorang akan meningkatkan
performansi akan suatu penyelesaian masalah (coping performance)
(Lakey dan Cohen, 2000). Seseorang yang mendapatkan dukungan sosial
juga lebih memiliki perasaan aman dan tenteram bila dibandingkan dengan
individu yang tidak memperoleh dukungan sosial. Perasaan dicintai dan
dihargai yang ditimbulkan oleh dukungan yang diberikan oleh orang lain
terhadap dirinya, sehingga dukungan sosial juga menyumbangkan nilai
positif bagi self esteem yang dimiliki individu.
Menjadi seorang difabel bukanlah hal yang diinginkan oleh
individu. Individu lebih menyukai hidup secara normal seperti individu –
individu lain pada umumnya. Difabel merupakan istilah yang tidak asing
lagi dalam kehidupan masyarakat sehari – hari. Istilah difabel digunakan
untuk menyebut orang – orang yang memiliki kemampuan berbeda jika
dibandingkan dengan kemampuan orang pada umumnya. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008), difabel diartikan sebagai penyandang
cacat, sedangkan Undang – Undang No. 4 tahun 1997 pasal 1 menyatakan
bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan / atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri
dari: penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang
cacat fisik dan mental.
Difabel memiliki tahap perkembangan yang sama dengan individu
pada umumnya. Difabel juga akan mengalami perkembangan pada masa
remaja akhir dan dewasa awal, sehingga mereka sama-sama memiliki
tugas perkembangan untuk mempersiapkan karir ekonomi. Bekerja adalah
salah satu cara yang juga dapat digunakan difabel dalam memenuhi tugas
perkembangan tersebut, sama seperti individu pada umumnya.
Difabel seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan sebuah
para difabel dalam hidup sehari-hari, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Contohnya saja dalam hal pendidikan. Saat ini kita berhadapan
dengan kecanggihan teknologi, namun pelatihan bagi difabel kebanyakan
masih berkutat pada keterampilan menjahit, sablon, atau bagian
pertukangan. Hal ini menyebabkan keterampilan yang mereka miliki
menjadi kurang dibutuhkan oleh pasar kerja. Hal ini didukung oleh
pernyataan Ir. Ronny Hudi Prakoso, selaku Ketua Persatuan Penyandang
Cacat Indonesia untuk Daerah Provinsi Jawa Tengah, yang menyatakan
bahwa saat ini telah ada upaya dari pemerintah dalam rangka fasilitasi
kerja bagi penyandang disabilitas. Salah satu bentuk upayanya adalah
melalui pelatihan. Adapun contoh pelatihan yang pernah diberikan adalah
pelatihan menjahit, menganyam, sablon, dan komputer. Namun beliau
merasa bahwa jenis pelatihan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah
sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan tidak mampu
lagi memenuhi kebutuhan hidup penyandang disabilitas (dalam
Latuconsina, 2014).
Di Indonesia juga terdapat Undang-Undang yang mengatur
peluang kerja untuk difabel secara khusus. Hal tersebut tertuang pada
Undang – Undang no. 4 tahun 1997 pasal 14 yang menjelaskan bahwa
sebuah perusahaan harus mempekerjakan sekurang – kurangnya 1 (satu)
orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi
Hal tersebut menjelaskan bahwa penyandang cacat memiliki peluang kerja
dengan perbandingan 1:100.
Adanya Undang – Undang yang mengatur hak peluang kerja
difabel dengan perbandingan 1:100 seringkali tidak berjalan sebagaimana
mestinya di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini didukung oleh
pernyataan Ir. Ronny Hudi Prakoso yang mengatakan bahwa kuota
tersebut tidak pernah terpenuhi, baik untuk di perusahaan swasta maupun
daerah (BUMD). Penyandang disabilitas masih merasa kesulitan untuk
memperoleh kerja (dalam Latuconsina, 2014). Data Kompas Jakarta pada
tahun 2013 juga menyebutkan bahwa partisipasi badan usaha milik negara
dan badan usaha milik daerah dalam pemenuhan kuota 1% bagi
penyandang disabilitas tergolong rendah. Terhitung baru 76 perusahaan
saja yang telah memenuhi kuota 1% dan kebanyakan merupakan
perusahaan swasta nasional dan internasional. Data Kompas pada tahun
2006 menyebutkan bahwa terdapat sekitar 2000 orang difabel yang tinggal
di daerah Solo dan sekitar 20% di antaranya menggantungkan hidup di
jalan sebagai pengamen atau pengemis karena sulitnya mencari pekerjaan
dengan status difabel. Data Kompas pada tahun 2010 juga menyebutkan
bahwa jumlah difabel di Jawa Barat diperkirakan 120.000 orang, yang
antara lain terdiri dari cacat badan dan mata. Diperkirakan 60% atau
72.000 orang dari data tersebut sudah memiliki keterampilan, namun baru
20% yang bekerja sesuai kemampuan atau diterima sebagai PNS. Sisanya
dengan keterampilannya. Ditambah lagi dengan data Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Jawa Barat yang menyebutkan ada sekitar 400.000 orang
difabel produktif dan tak sedikit yang memiliki ijazah S1 atau D3, namun
hanya sekitar 1% yang bisa bekerja dari sekitar 26.000 perusahaan di Jawa
Barat (Kompas, 2013).
Kenyataan memperlihatkan adanya tuntutan yang tinggi dalam
memasuki dunia kerja dan seringkali tidak diimbangi oleh situasi
pendidikan keterampilan yang dimiliki orang difabel. Hal tersebut
membuat kaum difabel seringkali dipandang kurang memiliki kompetensi
standard, sehingga mudah termarginalisasi dalam persaingan untuk
mendapatkan pemenuhan kesejahteraan yang akan didapatkan dari sebuah
pekerjaan. Situasi tersebut membuat kaum difabel memiliki
kemungkinannya untuk mengalami kecenderungan merasakan sebuah
kecemasan karena kecilnya kesempatan kerja yang diberikan pada difabel.
Menjadi seorang difabel memang bukanlah hal yang mudah.
Damayanti dan Rostiana (2003) memaparkan bahwa individu tunadaksa
seringkali menghadapi berbagai masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan
bekerja dikarenakan kecacatan yang dimilikinya (dalam Machdan &
Hartini, 2012). Hal ini membuat difabel lebih rentan untuk memiliki self
esteem yang rendah karena sulit menerima keadaan dan kurang
memberikan pandangan yang positif pada dirinya, serta memandang
dukungan sosial yang didapatkan secara negatif. Penelitian sebelumnya
self esteem, baik dalam kompetensi atletik, sosial, maupun penampilan
fisik. Penyandang disabilitas fisik tidak hanya merasa kurang mampu
dalam kemampuan secara fisik, namun juga pada penampilan fisik dan
kehidupan sosialnya (Miyahara & Piek, 2006). Penelitian Forouzan (dkk)
juga menunjukkan bahwa penyandang disabilitas fisik tidak memiliki
keadaan yang menyenangkan sehubungan dengan dukungan sosialnya
yang diterima dari lingkungan sosialnya. Padahal dukungan sosial
merupakan salah satu faktor sosial yang menentukan kesehatan, serta
memiliki peran dalam meningkatkan keadaan psikologis individu
(Forouzan dkk, 2013). Berangkat dari realitas yang telah dipaparkan
tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara self esteem
dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada
penyandang disabilitas fisik.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang ingin diungkap oleh peneliti dalam penelitian
ini adalah “Apakah secara empirik ada hubungan yang signifikan antara
self esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada
penyandang disabilitas fisik?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya
kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Penelitian ini juga
dapat melihat self esteem atau dukungan sosial yang memiliki hubungan
lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang
disabilitas fisik.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
bagi kajian ilmu psikologi industri dan organisasi terkait dengan
self-esteem, dukungan sosial, dan kecemasan kesempatan kerja pada
penyandang disabilitas fisik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penyandang disabilitas fisik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
bagi penyandang disabilias fisik terkait dengan self esteem dan
dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik, sehingga para
penyandang disabilitas fisik dapat lebih mengenali diri mereka dan
mempersiapkan diri dalam merespon realitas sosial terkait dengan
b. Bagi orangtua dan masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
bagi orangtua dan masyarakat terkait dengan self esteem dan
dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik, sehingga
orangtua dan masyarakat dapat lebih memahami dan mendukung
para penyandang disabilitas fisik dalam mempersiapkan para
penyandang disabilitas fisik untuk dapat menghadapi realitas sosial
terkait dengan kesempatan kerja yang ada di tengah – tengah
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Self-Esteem 1. Pengertian Self-Esteem
Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi
personal atau penilaian atas keberhargaan yang diekspresikan dalam
sikap yang dibawa individu tentang diri mereka (dalam Fitria,
Brouwer, Khan, & Almigo, 2013). Mendukung pernyataan tersebut,
Branden (1992) mendefinisikan self-esteem sebagai kekuatan yang
besar dari setiap orang. Self-esteem adalah pengalaman yang sesuai
dengan kehidupan dan kebutuhan hidup seseorang. Self-esteem
merupakan kepercayaan individu pada kemampuan dirinya untuk
berpikir dan mengatasi tantangan dasar kehidupan, serta percaya pada
hak individu untuk merasa bahagia, merasa layak, dan berhak
mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya, serta menikmati hasil
usahanya. Dapat dikatakan bahwa harga diri merupakan penilaian
terhadap diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh
karakteristik yang dimiliki orang lain yang menjadi pembanding.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa self-esteem merupakan evaluasi
keberhargaan atas dirinya. Penilaian tersebut dapat dipengaruhi oleh
karakteristik individu lain yang menjadi pembanding.
2. Komponen Self-Esteem
Buss (1995) menyatakan bahwa self-esteem memiliki 2 aspek,
yakni aspek percaya diri dan aspek kecintaan pada diri. Aspek
percaya diri terdiri atas komponen penampilan (appearance),
kemampuan (ability), prestasi (performance), dan kekuatan (power).
Kecintaan pada diri diartikan sebagai penghormatan terhadap diri
sendiri atau pemusatan cinta kepada diri sendiri. Aspek kecintaan
pada diri terdiri atas komponen penghargaan sosial (social rewards),
pengalaman (vicariousness), dan moral (morality).
Heartherton dan Polivy (1991) mengungkapkan bahwa
self-esteem terdiri atas 3 komponen, yaitu performance self-self-esteem, social
self-esteem, dan physical self-esteem. Performance self-esteem
merupakan perasaan terhadap kompetensi umum yang meliputi
kemampuan intelektual, prestasi di sekolah, kapasitas regulasi diri,
percaya diri, efikasi diri, dan agency. Social self-esteem merujuk pada
keyakinan individu akan persepsi orang lain terhadap dirinya,
sedangkan physical self-esteem merujuk pada pandangan seseorang
terhadap keadaan fisiknya yang meliputi kemampuan atletik,
ketertarikan fisik, body image, seperti stigma fisik dan perasaan
Berdasarkan komponen yang telah dikemukakan oleh para ahli
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa self-esteem terdiri atas 3
komponen. Komponen – komponen tersebut meliputi komponen
performansi, sosial, dan fisik. Komponen performansi meliputi
evaluasi individu terhadap kemampuan – kemampuan intelektual,
kepercayaan diri, prestasi, dan kompetensi – kompetensi umum yang
dimiliki oleh individu tersebut. Komponen sosial meliputi evaluasi
dan persepsi individu terhadap respon yang diterima individu dari
lingkungan sosialnya. Komponen fisik meliputi evaluasi individu
terhadap kondisi dirinya secara fisik.
3. Faktor Pembentuk Self-Esteem
Coopersmith (dalam Fitria, Brouwer, Khan, & Almigo, 2013)
mengungkapkan bahwa terdapat 4 faktor yang berkontribusi pada
perkembangan self-esteem. Faktor – faktor yang membentuk
self-esteem adalah
- besar penerimaan individu dari orang – orang terdekat,
- sejarah keberhasilan yang dicapai, status, dan posisi mereka di
dunia,
- pengalaman yang diinterpretasikan dan dimodifikasi yang sesuai
dengan nilai – nilai dan menjadi aspirasi individu karena
segera dipersepsikan, tetapi disaring melalui nilai – nilai dan tujuan
yang dimiliki individu,
- cara seseorang menghadapi devaluasi karena individu dapat
meminimalkan, mendistorsi, atau menekan tindakan merendahkan
orang lain karena kegagalan mereka sendiri, mereka mungkin
menolak hak orang lain untuk menghakimi mereka, serta dapat
menjadi sangat sensitif terhadap penilaian yang dibuat orang lain.
B. Dukungan Sosial
1. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan suatu hal yang mengacu pada
persepsi individu terhadap perasaan nyaman, kepedulian,
penghargaan terhadap dirinya, atau pertolongan yang diterima oleh
individu dari orang lain atau suatu kelompok tertentu (Wallston et al.,
1983; Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2008). Dukungan dapat
berasal dari banyak sumber, misalnya pasangan, keluarga, teman –
teman, dokter, atau organisasi kemasyarakatan (Sarafino, 2008).
Siegel (1993) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu
informasi dari individu bahwa ia merasa dicintai dan diperhatikan,
dihormati dan dihargai, menjadi bagian dari sebuah jaringan
komunikasi dan melakukan hubungan yang saling menguntungkan
dengan orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat, teman – teman,
Thompson (1995) menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri
dari relasi sosial yang menyediakan (atau berpotensi untuk dapat
menyediakan) sumber material dan interpersonal yang bernilai bagi
penerimanya, seperti konseling, akses informasi dan pelayanan,
berbagi tugas dan responsibilitas, dan kemampuan akuisisi (dalam
Miyahara, 2008). Sedikit berbeda dengan Thompson, Peterson (2007)
mendefinisikan dukungan sosial sebagai perasaan menjadi bagian,
diterima, dicintai, dan dipedulikan oleh keluarga, teman, rekan kerja,
dan orang lain yang dapat memberikan hal – hal tersebut. Dukungan
sosial membentuk perasaan aman dalam berelasi, yakni perasaan
cinta dan kedekatan yang menjadi aspek utama dalam relasi tersebut
(dalam Farzaee, 2012). Walen dan Lachman (2000) menyatakan
bahwa dukungan sosial dioperasionalkan sebagai persepsi seseorang
yang melihat sikap kepedulian dan sikap memahami yang
ditunjukkan oleh orang lain.
Dengan melihat beberapa penjelasan terkait dengan pengertian
dukungan sosial yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan
bahwa dukungan sosial merupakan pandangan dan perasaan diterima,
dicintai, dan dipedulikan oleh orang lain di sekitarnya, serta menjadi
bagian dalam kelompok yang dimiliki oleh tiap individu. Dukungan
sosial yang didapatkan individu akan membentuk perasaan aman
dalam berelasi yang didasarkan pada dua aspek utama, yaitu cinta dan
orang – orang di sekitar individu, antara lain dari keluarga, teman,
masyarakat, ataupun kelompok – kelompok sosial tertentu.
2. Jenis Dukungan Sosial
Dukungan sosial menyediakan empat fungsi dasar bagi individu
(Cutrona & Gardner, 2004; Schaefer, Coyne, & Lazarus, 1981; Wills
& Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2008).
- Dukungan emosional (emotional atau esteem support)
memberikan empati, kepedulian, perhatian, pandangan positif,
dan dorongan pada individu tersebut. Hal ini memberikan rasa
nyaman dan keyakinan akan rasa saling memiliki dan dicintai,
terutama saat individu dalam keadaan yang tidak menyenangkan.
- Dukungan instrumental (tangible atau instrumental support)
meliputi bantuan secara langsung, seperti saat seseorang
meminjamkan uang atau membantu tugas yang dimiliki oleh
individu tersebut.
- Dukungan informasional (informational support) meliputi
pemberian nasihat, arahan, saran, atau masukan terkait hal – hal
yang individu tersebut lakukan.
- Dukungan pendampingan (companionship support) mengacu
pada kesediaan orang lain untuk menghabiskan waktu bersama
sebagai anggota dalam suatu kelompok individu yang dapat saling
berbagi minat dan aktivitas secara sosial.
Beberapa peneliti lain juga menunjukkan bahwa dukungan
sosial dapat memiliki beberapa bentuk, antara lain dukungan
penilaian (appraisal support), bantuan secara langsung (tangible
assistance), dukungan informasional (informational support), dan
dukungan emosional (emotional support). Dukungan penilaian
(appraisal support) meliputi bantuan yang diberikan pada individu
untuk memahami peristiwa yang kurang menyenangkan dengan lebih
baik, serta memahami sumber dan strategi coping yang harus
digunakan untuk dapat menghadapi permasalahan tersebut. Individu
yang menghadapi peristiwa tidak menyenangkan dapat menentukan
kemungkinan ancaman yang diberikan oleh situasi tersebut dan bisa
mendapatkan keuntungan dari saran yang diberikan terkait dengan
cara yang digunakan untuk mengelola peristiwa tersebut melalui
pertukaran pandangan dengan orang lain. Bantuan dan dukungan
secara langsung (tangible assistance) melibatkan ketersediaaan
dukungan secara material, seperti layanan bantuan keuangan atau
barang. Keluarga dan teman – teman dapat menyediakan dukungan
informasional (informational support) terkait dengan peristiwa yang
kurang menyenangkan tersebut. Individu juga sering merasa
menderita secara emosional selama berada pada masa – masa yang
kecemasan, dan kehilangan harga dirinya. Teman – teman dan
keluarga yang mendukung dapat memberikan dukungan emosional
(emotional support) dengan meyakinkan individu tersebut bahwa
dirinya merupakan orang yang berharga dan selalu dipedulikan (e.g.,
S. Cohen, 1988; Reis, 1984; Schwarzer & Leppin, 1991; Wills, 1991
dalam Taylor, 1999 ).
Rock dan Itwart (1999; Zaki, 2008; dalam Tajbakhsh & Rousta,
2012) menyatakan bahwa dukungan sosial memiliki dua bentuk,
yakni emosi dan instrumen. Dukungan sosial secara emosional dapat
dianggap sebagai suatu bentuk relasi yang penuh kepercayaan dan
afeksional dengan orang lain, sedangkan tujuan dukungan sosial
instrumental adalah untuk memberikan pelayanan, berkontribusi
dalam kegiatan – kegiatan, menyediakan dukungan finansial, dan
memberi bantuan pada individu tersebut.
Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tersebut, maka
dukungan sosial dapat dikelompokkan menjadi 4 bentuk yang
meliputi dukungan emosional (emotional support), dukungan
instrumental (instrumental support), dukungan informasional
(informational support), dan dukungan pendampingan
(companionship support).
- Dukungan emosional merupakan dukungan yang diberikan pada
individu sehingga individu dapat merasa bahwa dirinya berharga,
dapat diwujudkan dengan cara memberikan empati, perhatian,
kepedulian, dorongan semangat, atau pandangan positif pada
individu tersebut.
- Dukungan instrumental adalah dukungan yang diberikan dalam
bentuk bantuan secara langsung dan biasanya dalam hal material,
seperti meminjamkan barang, uang, atau membantu dalam
mengerjakan sesuatu.
- Dukungan informasional merupakan dukungan yang diberikan
dalam bentuk saran, nasihat, arahan, serta masukan sehingga
individu dapat memahami suatu hal atau peristiwa tertentu dengan
baik.
- Dukungan pendampingan lebih mengacu pada ketersediaan orang
lain dalam meluangkan waktunya untuk mendampingi individu.
3. Faktor Pendukung Dukungan Sosial
Dukungan sosial memiliki peran yang penting dalam kehidupan
individu, namun tidak semua individu mendapatkan dukungan sosial
yang sama besarnya satu sama lain. Banyak sekali faktor yang dapat
mempengaruhi besarnya dukungan sosial yang diterima oleh tiap
individu (Antonnuci, 1985; Broadhead et al., 1983; Wortman &
Dunkel-Schetter, 1987 dalam Sarafino, 2008). Faktor – faktor yang
dapat mempengaruhi besar dukungan sosial yang diterima individu,
- Faktor yang terkait dengan potensi penerimaan individu yang
menerima dukungan sosial. Individu tidak akan mungkin
menerima dukungan sosial apabila individu tersebut tidak ramah
dan tidak membiarkan orang lain mengetahui bahwa dirinya
membutuhkan suatu pertolongan. Beberapa individu tidak cukup
yakin untuk meminta bantuan dari orang lain dan berpikir bahwa
mereka harus bersikap independen atau tidak boleh membebani
orang lain.
- Faktor yang terkait dengan pihak yang memberikan dukungan,
misalnya saja bila individu yang menjadi sumber pemberi
dukungan sosial tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan,
tidak mampu membantu dirinya sendiri, atau tidak peka terhadap
kebutuhan orang lain.
- Ukuran, komposisi, tingkat keintiman, dan frekuensi individu
untuk melakukan kontak dengan lingkungan sosialnya, seperti
jumlah orang yang mereka kenal juga turut mempengaruhi
besarnya dukungan sosial yang dapat dimiliki individu (Cutrona
& Gardner, 2004; Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2008).
C. Kecemasan Kesempatan Kerja Penyandang Disabilitas Fisik
1. Pengertian Kecemasan
Freud (dalam Feist & Feist, 2008) mendefinisikan kecemasan
emosional, dan sangat terasa kuatnya, disertai sebuah sensasi fisik
yang memperingatkan seseorang terhadap bahaya yang sedang
mendekat. Kecemasan seringkali samar – samar, namun selalu dapat
dirasakan dan hanya ego yang dapat mendeteksi tiap jenis
kecemasan, sedangkan id, super ego, dan dunia eksternal masing –
masing terlibat hanya pada satu jenis kecemasan.
Begitu pula dengan Rogers (dalam Feist & Feist, 2008) yang
menyatakan bahwa kecemasan merupakan perasaan tidak nyaman
atau tegang tanpa penyebab yang jelas. Kecemasan muncul saat kita
tidak terlalu menyadari kontradiksi antara penghayatan organismik
dan konsep diri. Gunarsa (dalam Nainggolan, 2011) juga
mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan yang tidak menentu,
takut yang tidak jelas, dan tidak terikat pada suatu ancaman bisa
menyebabkan individu menjauhkan diri, menghindar dari lingkungan,
atau tempat – tempat dan keadaan tertentu.
Sedikit berbeda dengan pengertian sebelumnya, Sullivan (dalam
Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa kecemasan adalah tegangan
yang mengganggu pemenuhan kebutuhan. May (dalam Feist & Feist,
2008) mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan terancam oleh
sesuatu yang belum terjadi. Kecemasan adalah kondisi subjektif
individu yang semakin menyadari bahwa eksistensinya tidak bisa
dihancurkan, tetapi juga bahwa dia bisa saja jadi „tidak – mengada‟.
atau dari ancaman terhadap sejumlah nilai yang esensial bagi
eksistensi dan hadir ketika manusia berkonfrontasi dengan potensi
pemenuhan dirinya.
Seligman (2001) menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu
perasaan gelisah secara umum terkait dengan bahaya – bahaya yang
tidak jelas atau spesifik. Beberapa ahli teori juga memandang
kecemasan sebagai respon terhadap situasi yang mengancam,
sedangkan para ahli yang lain menjelaskan kecemasan sebagai
dorongan yang mengarah pada respon untuk mengatasi situasi
tertentu. Meskipun banyak mekanisme yang berbeda, banyak pihak
merasa setuju bahwa tingkat kecemasan yang wajar bertindak sebagai
perlindungan untuk menjaga individu agar tidak mengabaikan suatu
hal yang membahayakan (Sue dkk., 1986).
Kecemasan terkadang sering dianggap sama dengan perasaan
takut. Kecemasan dan perasaan takut adalah perasaan yang sangat
mirip dan ditandai dengan keadaan yang tidak menyenangkan dari
suatu ketegangan, ketakutan akan suatu objek atau peristiwa tertentu,
dan keinginan untuk menghindari sumber penyebab munculnya
perasaan tersebut. Walaupun sangat mirip, kecemasan berbeda
dengan perasaan takut. Perasaan takut biasanya mengacu pada
sumber tertentu, sedangkan penyebab kecemasan tidak cukup jelas
Berdasarkan beberapa pengertian kecemasan yang ada, maka
dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan suatu kondisi atau
perasaan yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh perasaan –
perasaan subjektif, seperti ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran.
Penyebab perasaan cemas berasal dari hal-hal yang bersifat lebih
abstrak atau tidak jelas.
2. Jenis Kecemasan
Freud (dalam Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa terdapat 3
jenis kecemasan, yakni:
a. Kecemasan neurotis, yakni kekhawatiran mengenai bahaya yang
tidak diketahui. Kecemasan neurotis dihasilkan dari
ketergantungan ego pada id.
b. Kecemasan moral, yang berasal dari konflik antara ego dan
superego.
c. Kecemasan realistik, yakni perasaan tidak tentu yang tidak
menyenangkan terhadap bahaya yang bisa saja terjadi. Kecemasan
realistik dihasilkan oleh ketergantungan kepada dunia eksternal
yang menghasilkan kecemasan analitis.
May (dalam Feist & Feist, 2008) mengemukakan bahwa
a. Kecemasan normal adalah suatu hal yang proporsional bagi
ancaman, tidak melibatkan represi, dan bisa ditentang secara
konstruktif di tingkatan sadar.
b. Kecemasan neurotik merupakan reaksi tidak proporsional terhadap
ancaman, melibatkan represi, dan bentuk – bentuk konflik
intrapsikis lainnya, dan diatur oleh beragam jenis pemblokiran
aktivitas dan kesadaran.
Spielberger membagi kecemasan menjadi dua tipe, yakni
trait anxiety dan state anxiety (dalam Byrne & Kelley, 1981). Trait
anxiety mengacu pada perbedaan tiap individu yang cukup stabil
dalam level kecemasan, sedangkan state anxiety mengacu pada
suatu kondisi yang terjadi sementara waktu dan bersifat fluktuatif
dalam menanggapi suatu situasi tertentu. Spielberger juga
memaparkan bahwa state anxiety ditandai dengan perasaan
subjektif dari sebuah kekhawatiran dan ketegangan yang ditambah
dengan aktivasi sistem saraf otonom, sedangkan trait anxiety lebih
mengacu pada sistem motif atau sebuah kecenderungan yang
merupakan predisposisi seseorang untuk merespon dengan reaksi
state anxiety ke dalam situasi – situasi yang dipersepsikan sebagai
3. Gejala Kecemasan
Kaplan dan Sadock (dalam Nainggolan, 2011) mengatakan
bahwa gejala kecemasan dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu:
a. Kesadaran adanya sensasi fisiologis (seperti jantung berdebar –
debar dan berkeringat).
b. Kesadaran adanya sensasi psikologis (kesadaran sedang gugup atau
ketakutan).
c. Kesadaran adanya sensasi kognitif.
Sue dkk. (1986) menjelaskan bahwa kecemasan dapat
diwujudkan dalam empat hal, yakni secara kognitif (dalam
pemikiran seseorang), motorik (dalam tindakan seseorang), somatik
(berupa reaksi fisik atau biologis), dan secara afekif (emosi
seseorang). Kecemasan yang diwujudkan secara kognitif dapat
bervariasi mulai dari kekhawatiran yang ringan hingga yang paling
panik. Kecemasan yang cukup berat dapat membawa dampak yang
terparah berupa kematian, keterpakuan pada bahaya yang tidak
diketahui, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau membuat
keputusan, dan kesulitan untuk tidur. Perilaku motorik juga akan
terpengaruh ketika individu mengalami kecemasan. Individu yang
mengalami kecemasan memperlihatkan gerakan – gerakan secara
acak mulai dari tubuh yang bergemetar secara halus hingga bergetar
dengan lebih parah. Perilaku yang bermacam – macam dapat
– mandir, menggeliatkan tubuh, menggigit bibir, menggigit kuku,
menggemeretakan ruas jari, dan melompat. Tubuh mempersiapkan
untuk merespon ancaman – ancaman yang mungkin muncul pada
tiap waktu. Perubahan secara somatik juga mungkin muncul dari
cara menarik nafas, mulut yang kering, tangan dan kaki yang terasa
dingin, mengalami diare, meningkatnya frekuensi buang air kecil,
pingsan, jantung yang berdebar – debar, ketegangan otot (terutama di
bagian kepala, leher, bahu, dan dada), dan mengalami gangguan
pencernaan. Manifestasi kecemasan yang paling banyak dialami
berada pada bagian afektif, yakni semacam perasaan ketegangan
yang sedikit berdekatan dengan perasaan terteror dalam keadaan
kecemasan yang cukup kronis. Individu merasa gelisah dan khawatir
terus – menerus akan adanya bahaya yang mungkin terjadi dalam
kondisi semacam ini, tanpa mempedulikan seberapa baiknya kondisi
lingkungan yang terjadi di sekitarnya.
Seligman (2001) juga mengungkapkan bahwa kecemasan
memiliki empat komponen yang sama seperti rasa takut, namun
memiliki perbedaan utama dalam elemen kognitif. Komponen
kognitif dari rasa takut adalah pemikiran bahwa terdapat bahaya
yang jelas dan spesifik, sedangkan komponen kognitif dari
kecemasan adalah pemikiran terhadap bahaya yang lebih menyebar
dan tidak jelas. Komponen somatik dari kecemasan sama dengan
darurat. Banyak sekali elemen emosional dari kecemasan yang juga
terjadi pada perasaan takut, seperti suatu perasaan yang sedikit aneh
pada bagian ulu hati atau merasa ketakutan. Individu merasa
terdorong untuk melakukan tindakan (seperti mematung atau berlari)
ketika merasa ketakutan, namun individu cenderung merasa tidak
pasti untuk bertindak saat mengalami kecemasan. Komponen
perilaku antara kecemasan dan ketakutan tidak jauh berbeda yang
termasuk dalam reaksi „flight’ (kabur atau melarikan diri) atau „fight’
(menghadapi), namun individu mudah untuk menargetkan diri pada
stimulus yang menjadi ancaman dan bereaksi dalam keadaan takut,
sedangkan individu akan merasa panik untuk dapat menemukan
stimulus yang menjadi ancaman saat mengalami kecemasan dan
mengakibatkan individu mengalami kesulitan untuk bereaksi.
Individu akan bereaksi dengan cepat saat merasa takut, sedangkan
individu harus sedikit waspada terhadap pertanda yang akan
membantu dalam mengidentifikasi ancaman yang ada, sekaligus
mempersiapkan diri untuk menghadapi atau melarikan diri dari hal
tersebut.
State anxiety memiliki tiga komponen, yakni ideational (item –
item yang terkait dengan proses – proses kognitif dan berpikir),
motorik (item – item yang memiliki keterkaitan utama dengan sistem
kerangka otot atau aktivitas motor), dan otonom (item – item yang
otonom). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa stressor secara
fisik dan psikologis akan meningkatkan ketiga komponen state
anxiety, namun Lushene menemukan bahwa stressor fisik akan
memproduksi peningkatan lebih besar pada komponen otonom dari
pada komponen ideational maupun motorik pada state anxiety.
Pendekatan yang mengisolasi pemisahan komponen – komponen
state anxiety mendorong beberapa komponen mungkin berinteraksi
dengan jenis situasi stressor di lingkungan individu berada (London
& Exner, 1978).
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kecemasan secara umum memiliki empat komponen.
Komponen yang dimaksud meliputi gejala secara kognitif yang
terjadi dalam tingkat pemikiran individu, gejala motorik yang
nampak pada perilaku individu, gejala somatik yang terjadi dalam
reaksi – reaksi secara biologis, dan gejala afektif atau emosi
individu. Beberapa komponen mungkin tidak selalu muncul dalam
setiap situasi yang memicu timbulnya kecemasan karena gejala yang
ditunjukkan oleh individu juga dipengaruhi oleh jenis situasi
stressor, maka komponen kecemasan akan kesempatan kerja dalam
penelitian ini dibatasi hanya pada komponen kognitif, somatik, dan
4. Dampak Kecemasan
Kecemasan cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi
persepsi, tidak hanya pada ruang dan waktu, tetapi pada orang dan
arti peristiwa. Distorsi tersebut dapat mengganggu proses kognitif
individu dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian,
menurunkan daya ingat, dan mengganggu kemampuan untuk
menghubungkan satu hal dengan hal lain untuk membuat asosiasi.
Menambahkan penjelasan tersebut, Sullivan (dalam Feist & Feist,
2008) menyatakan bahwa kecemasan menghasilkan perilaku –
perilaku yang:
a. mencegah manusia belajar dari kesalahan – kesalahan mereka,
b. mempertahankan agar mereka terus mengejar harapan – harapan
kanak – kanak terhadap rasa aman, dan
c. umumnya memastikan agar manusia tidak akan pernah bisa
belajar dari pengalaman – pengalaman.
5. Kecemasan Kesempatan Kerja pada Penyandang Disabilitas Fisik
Kesempatan kerja berasal dari kata sempat dan kerja. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kata sempat berarti memiliki
peluang dan kata kerja memiliki arti kegiatan melakukan sesuatu atau
mengindikasikan sebuah matapencaharian atau pekerjaan.
adalah tersedianya lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar
kerja, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.
Kesempatan kerja adalah tersedianya lapangan kerja bagi
angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan (Alam, 2007).
Kesempatan kerja (employment) merupakan penggunaan faktor –
faktor produksi, khususnya tenaga kerja (Gilarso, 1992). Dalam
pengkajian ketenaga kerjaan, kesempatan kerja sering dipicu sebagai
permintaan tenaga kerja (Sumarsono, 2009).
Ritonga, dkk (2007) menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi
dalam masyarakat membutuhkan tenaga kerja dan kebutuhan akan
tenaga kerja tersebut dapat disebut sebagai kesempatan kerja
(demand of labor). Ritonga, dkk (2007) juga menyebutkan bahwa
kesempatan kerja juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan
yang menggambarkan tersedianya lapangan kerja (pekerjaan) untuk
diisi oleh para pencari kerja.
Sukwiaty, dkk (2009) memiliki pandangan yang sejalan dengan
Ritonga, dkk. Sukwiaty, dkk (2009) juga menjelaskan bahwa
kesempatan kerja adalah jumlah lapangan kerja yang tersedia bagi
masyarakat, baik yang telah ditempati (employment) maupun
lapangan kerja yang masih kosong (vacancy). Sukwiaty, dkk
menyatakan bahwa kesempatan kerja menggambarkan tersedianya
lapangan kerja dalam masyarakat, sehingga sering disebut sebagai
erat hubungannya dengan kemampuan perusahaan – perusahaan, baik
swasta maupun pemerintah dalam berbagai jenis dan ukuran untuk
menampung atau menyerap tenaga kerja yang terkait langsung
dengan kegiatan produksi.
Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan,
maka dapat disimpulkan bahwa kesempatan kerja merupakan
ketersediaan lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja
dan dapat menunjukkan besarnya permintaan akan tenaga kerja.
Pendefinisian tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kecemasan
kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik merupakan
perasaan atau kondisi yang tidak menyenangkan pada penyandang
disabilitas fisik yang disebabkan oleh pandangan terhadap
ketersediaan lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja,
baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.
D. Penyandang Disabilitas Fisik
1. Pengertian Disabilitas Fisik
Difabel berasal dari kata different ability yang artinya
kemampuan yang berbeda atau dari bahasa Inggris disabled person
yang dapat diartikan sebagai penyandang cacat. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008), difabel diartikan sebagai penyandang
cacat. Undang – undang No. 4 tahun 1997 pasal 1 menyatakan bahwa
dan / atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang
terdiri dari: penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan
penyandang cacat fisik dan mental.
Damayanti dan Rostiana menjelaskan tunadaksa sebagai
kerusakan, kecacatan, atau ketidaknormalan pada tubuh, seperti
kelainan pada tulang atau gangguan pada otot dan sendi yang
menyebabkan kurangnya kapasitas normal individu untuk bergerak
dan melakukan aktivitas sehari – hari (dalam Machdan & Hartini,
2012). Mangunsong (1998) mendefinisikan tunadaksa sebagai
ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh
seperti dalam keadaan normal. Hasil Seminar Nasional, Puskurandik,
Balitbang, Depdikbud mengartikan anak tunadaksa sebagai anak
yang menderita cacat akibat polio myelitis, kecelakaan, keturunan,
cacat sejak lahir, kelemahan otot – otot, akibat peradangan otak, dan
kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf
atau cerebrum (dalam Mangunsong, 1998).
Somantri (2006) mengartikan tunadaksa sebagai suatu kondisi
yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau
gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas
normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri
sendiri. White House Conference (1931) menjelaskan tunadaksa
bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya
yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan,
atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (dalam
Somantri, 2006).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan, maka
dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas fisik merupakan
setiap orang yang memiliki kondisi cacat secara fisik sehingga
menghambat kapasitas normal individu untuk bergerak dan
melakukan aktivitas sehari – hari. Kecacatan yang dimiliki biasanya
terdapat pada salah satu anggota tubuh, sedangkan anggota tubuh lain
dan bagian otak individu dapat berfungsi secara normal.
2. Sebab dan Jenis Disabilitas Fisik
Somantri (2006) menjelaskan bahwa ketunadaksaan dapat
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penyebab yang timbul sebelum,
sesudah, dan pada waktu kelahiran. Penyebab yang timbul sebelum
kelahiran dapat meliputi faktor keturunan, trauma dan infeksi pada
waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan
anak, pendarahan pada waktu kehamilan, maupun keguguran yang
dialami ibu. Penyebab yang timbul pada waktu kelahiran dapat
meliputi penggunaan alat – alat pembantu kelahiran (seperti tang,
tabung, vacuum, dan lain – lain)