• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan pada 47 orang yang memenuhi kriteria dari penderita Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan. Umur penderita yang dimasukkan kedalam penelitian ini adalah antara umur 12 – 40 tahun. Pemilihan umur ini berdasarkan pertimbangan bahwa pada umur 12 tahun, anak sudah lebih kooperatif untuk pemeriksaan audiometri sedangkan batas umur 40 tahun untuk menghindari adanya proses presbiakusis. Berdasarkan tabel 5.1 penderita OMSK terbanyak pada penelitian ini adalah pada kelompok umur 21 – 30 tahun yaitu 42,6%. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian lain yaitu Mardhiah di Medan (1995) mendapatkan kelompok umur terbanyak menderita OMSK adalah 20 – 24 tahun yaitu sebesar 25,4%. Awarudin dkk di Ujungpandang (1996) mendapatkan penderita OMSK terbanyak pada kelompok umur 20 - 29 tahun sebanyak 43,5%. Budiati di Medan (2001) mendapatkan kelompok umur terbanyak menderita OMSK adalah kelompok umur 20 – 29 tahun sebesar 42,5%. Rambe di Medan (2002) mendapatkan persentase terbesar penderita OMSK pada kelompok umur 21 – 30 tahun sebanyak 42%. Suryanti di Surabaya (2003) mendapatkan kelompok terbanyak menderita OMSK adalah kelompok umur 21 – 30 tahun sebesar 51,95%. Albert di India (2006) mendapatkan penderita OMSK terbanyak pada umur di atas 31 tahun (32,5%) pada OMSK tipe benigna, sedangkan pada OMSK tipe maligna terbanyak pada umur di

bawah 20 tahun (51,3%). Gul et al di Turki (2006) mendapatkan penderita OMSK terbanyak pada umur 19 – 25 tahun. Hasil yang berbeda didapat oleh Sari dan Samiharja di Semarang (1999) yang mendapatkan jumlah penderita OMSK terbanyak adalah pada kelompok umur 10 – 20 tahun yaitu 36,11%. Sementara Nursiah di Medan (2000) mendapatkan persentase tertinggi penderita OMSK pada kelompok umur 12 – 20 tahun sebesar 33,3% dan Wajdi di Medan (2000) mendapatkan penderita OMSK terbanyak pada kelompok umur 14 – 20 tahun (53,3%).

Kepustakaan menyebutkan seperti yang dikutip oleh Sari dan Samiharja (1999) OMSK tersering pada anak dengan persentase 9 perseribu dan mulai usia di atas 30 tahun insiden sangat menurun. Pada penelitian ini penderita OMSK terbanyak adalah pada kelompok umur 21 – 30 tahun (42,6%).

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat penderita OMSK terbanyak pada penelitian ini adalah perempuan sebanyak 57,4%. Perbandingan antara laki- laki dan perempuan adalah 1 : 1,35. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian lainnya seperti oleh Wajdi di Medan (2000) mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 : 1,3. Rambe di Medan (2002) juga mendapatkan penderita OMSK terbanyak adalah perempuan dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 1 : 1,3. Setiani di Medan (2007) mendapatkan perbandingan laki-laki dengan perempuan penderita OMSK adalah 1 : 1,1. Lin et al (2009) di Taiwan mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan penderita OMSK adalah 1 : 1,6. Hasil yang berbeda

didapat oleh Sari dan Samiharja di Semarang (1999) mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan penderita OMSK adalah 1,2 : 1. Akinpelu et al di Nigeria (2008) mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan penderita OMSK adalah 1,2 : 1.

Kepustakaan menyebutkan bahwa prevalensi OMSK adalah sama antara laki-laki dan perempuan (Parry, Roland, 2006).

Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa penderita OMSK terbanyak pada penelitian ini hanya sakit pada satu telinga saja (unilateral) sebanyak 63,8%. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yaitu Rambe di Medan (2002) mendapatkan penderita OMSK unilateral lebih banyak daripada OMSK bilateral yaitu sebesar 64%. Setiani di Medan (2007) juga mendapatkan penderita OMSK unilateral lebih banyak daripada OMSK bilateral yaitu sebesar 75%. Albert di India (2005) juga mendapatkan penderita OMSK unilateral lebih banyak daripada penderita OMSK bilateral yaitu 86,4%.

Pada tabel 5.4 dapat dilihat bahwa rata-rata lamanya sakit penderita OMSK pada penelitian ini adalah 9,69 ( SD = 7,04 ) tahun. Shebubakar di Jakarta (1996) mendapatkan sebanyak 56% penderita mengalami OMSK lebih dari 10 tahun. Sari dan Samiharja di Semarang (1999) mendapatkan sebanyak 70,97% penderita telah mengalami OMSK > 3 tahun. Setiani di Medan (2007) mendapatkan lamanya sakit penderita OMSK adalah 1 - 5 tahun (38,9%). Albert di India (2005) mendapatkan lamanya sakit penderita OMSK tipe benigna terbanyak antara 6 – 19 tahun (60,0%), sedangkan pada

OMSK tipe maligna terbanyak juga antara 6 – 19 tahun (46,2%). Hai ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita OMSK tidak memahami penyakitnya sehingga tidak serius dalam berobat.

Pada tabel 5.5 dapat dilihat bahwa penderita OMSK terbanyak pada penelitian ini adalah tipe maligna yaitu sebanyak 57,8%. Setiani di Medan (2007) juga mendapatkan tipe OMSK terbanyak adalah tipe maligna yaitu sebanyak 86%. Hal yang berbeda didapat oleh Suryanti di Surabaya (2003) dimana tipe OMSK terbanyak adalah tipe benigna sebanyak 75,36%. Albert di India (2005) juga mendapatkan tipe OMSK terbanyak adalah tipe benigna yaitu sebanyak 50,6%.

Pada tabel 5.6 dapat dilihat bahwa jenis perforasi membran timpani terbanyak pada penelitian ini yaitu perforasi total sebesar 56,2%. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, Wajdi di Medan (2000) mendapatkan perforasi sentral adalah jenis perforasi membran timpani yang terbanyak yaitu sebesar 50%, sedangkan Rambe di Medan (2002) juga mendapatkan perforasi sentral adalah jenis perforasi membran timpani yang terbanyak yaitu 60,6%.

Pada tabel 5.7 dapat dilihat bahwa jenis ketulian terbanyak pada penelitian ini adalah tuli konduktif yaitu sebanyak 62,5% sedangkan tuli campur dan tuli saraf masing-masing sebesar 35,9% dan 1,6%. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu Rambe di Medan (2002) mendapatkan tuli konduktif adalah jenis ketulian terbanyak pada penderita OMSK yaitu 79,8% sedangkan tuli campur dan tuli saraf masing-

masing adalah 17% dan 3,2%. Wisnubroto di Surabaya (2003) juga mendapatkan tuli konduktif adalah jenis ketulian terbanyak yaitu sebesar 73,3% sedangkan tuli saraf didapatkan sebesar 26,7%. Hal yang berbeda didapat oleh Santoso dan Ahadiah di Surabaya (2007) dimana tuli campur adalah jenis ketulian yang terbanyak ditemukan yaitu sebesar 46,43%.

Pada umumnya gangguan pendengaran pada OMSK berupa tuli konduktif namun dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campur apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam misalnya akibat proses infeksi yang berkepanjangan atau infeksi yang berulang (Djaafar, 2004). Setiap kali ada infeksi di dalam telinga tengah, maka ada kemungkinan produk-produk infeksi akan menyebar melalui fenestra rotundum ke telinga dalam, dan akan mengakibatkan ketulian sensorineural (Sari dan Samiharja, 1999). Pada penelitian ini didapatkan tuli saraf sebesar 1,6% kemungkinan akibat hal diatas, sementara adanya sekret ataupun kolesteatoma yang ada dapat menghantarkan gelombang suara ke telinga tengah dan telinga dalam sehingga gangguan hantaran udara pada pemeriksaan audiometri tidak seberat pada hantaran tulang.

Pada tabel 5.8 dan 5.9 dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis OMSK dengan jenis dan derajat ketulian dimana nilai p = 0,0001 (p < 0,05). Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi seringkali kolesteatoma bertindak

sebagai penghantar suara ke foramen ovale sehingga gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologis sangat hebat (Djaafar, 2004). Kekurangan pendengaran derajat yang lebih tinggi lagi dapat terjadi bila proses infeksi melibatkan koklea atau saraf pendengaran (Aboet, 2007).

Pada tabel 5.10 dan 5.11 didapatkan hubungan yang bermakna antara

lama sakit dengan jenis dan derajat ketulian, dimana nilai p = 0,0001 (p < 0,05). Hal yang sama dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Nani

dkk di Yogyakarta (1996), Titik dan Wisnubroto di Surabaya (1999) dan Sari dan Samiharja di Semarang (1999) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama sakit dengan jenis dan derajat ketulian.

Lamanya proses OMSK mempengaruhi terjadinya perubahan mukosa pada telinga tengah dan juga dapat berakibat kerusakan komponen sensorineural. Paparella et al (1970) menjumpai adanya korelasi antara lamanya penyakit dengan kejadian kurang pendengaran jenis sensorineural. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh English et al (1973) yang menyimpulkan bahwa kejadian tuli sensorineural pada penderita OMSK sangat dipengaruhi keparahan penyakit dan lamanya infeksi. Dari beberapa hasil penelitian tersebut, para peneliti umumnya berpendapat bahwa semakin lama proses infeksi maka kerusakan organ-organ telinga tengah dapat meluas ke organ koklea. Hal ini mungkin disebabkan oleh mikrotoksin hasil proses peradangan yang berhasil melewati foramen rotundum dan masuk ke

telinga dalam serta juga dipengaruhi oleh faktor sirkulasi akibat peradangan kronis dan hipoksia (Sari dan Samiharja, 1999).

Pada tabel 5.12 dan 5.13 dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis perforasi membran timpani dengan jenis dan derajat ketulian dimana nilai p = 0,0001 (p < 0,05). Hasil ini sama dengan penelitian sebelumnya yaitu Suri dkk di Yogyakarta (1999) dan Rambe di Medan (2002) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis perforasi membran timpani dengan jenis dan derajat ketulian. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh karena hilangnya tulang-tulang pendengaran pada perforasi yang besar dibanding masih adanya tulang-tulang pendengaran pada perforasi yang kecil. Perforasi yang lebih besar dapat menyebabkan lebih banyak kehilangan suara yang ditransmisikan ke telinga dalam (Maqbool, 1993).

Dokumen terkait