Penelitian ini melibatkan 85 responden yang berasal dari kalangan pegawai
non-akademik Universitas Sumatera Utara dengan kisaran usia 16-53 tahun. Semua
sampel dalam penelitian ini adalah laki-laki.
Dari penelitian yang dilaksanakan, persentase tertinggi kelompok usia mulai
merokok adalah kelompok kurang dari usia 20 tahun yaitu sebanyak 70,6%.
Dibanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Depkes RI pada tahun 2008
prevalensi tertinggi usia mulai merokok di Indonesia adalah kelompok 15-19 tahun.29
Penelitian lain yang pernah dilakukan di Medan yaitu penelitian di kalangan
mahasiswa Fakultas MIPA USU oleh Sitepu LS (2010) dan penarik becak oleh
Syahrir TMR (2009). Kedua penelitian ini juga menunjukkan persentase usia mulai
merokok yang paling tinggi adalah kelompok usia kurang dari 20 tahun. Angka dari
hasil penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan tidak ada perbedaan dengan
hasil penelitian ini.29,30
Prevalensi yang tinggi pada usia mulai merokok di kalangan usia kurang dari
20 tahun disebabkan oleh aksesbilitas anak dan remaja terhadap rokok yang sangat
mudah. Toko rokok di Indonesia dapat dibuka dimana saja, bahkan di depan sekolah.
Rudi Baidaqi, Ketua Lembaga Perlindungan Anak di Sumatera melalui video
menunjukkan bahwa anak yang berusia 7 tahun dapat membeli rokok dengan bebas.
Selain dijual per bungkus, rokok di Indonesia dapat dijual dalam kemasan per batang,
harga sebatang rokok hanya 500 Rupiah dan harga ini setara dengan harga 1 permen
lollipop.
Selain dari faktor aksesbilitas, tingginya prevalensi merokok pada usia kurang
dari 20 tahun juga perlu ditinjau juga dari segi psikologis. Menurut McClellan DE
dan Kinsey SJ, tingkah laku seorang remaja yang berusia 13-18 tahun sangat mudah
dipengaruh oleh teman-teman dan idola-idola yang diminatinya.31
Jenis rokok yang lebih diminati oleh kalangan sampel penelitian ini adalah
rokok putih yaitu sebanyak 61,2% dibandingkan dengan rokok kretek (38,8%). Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian yang dilakukan sebelum ini di
daerah Medan oleh Syahrir TMR (2009) dan Sitepu LS (2010).
Menurut Masli,
mantan manajer periklanan di Marlboro, iklan rokok pada zaman ini sebenarnya
difokuskan pada remaja yang berusia 14-18 tahun. Selebritis yang terdapat pada
iklan-iklan rokok akan menarik perhatian remaja sehingga menghasilkan dorongan
psikologis yaitu ingin tahu dan ingin mencoba. Dengan adanya dorongan psikologis
disertai dengan aksesbilitas yang mudah, hal ini akan menyebabkan tingginya
prevalensi pada remaja di Indonesia untuk mencoba merokok pada usia tersebut.
29,30,32
Namun
demikian, hasil penelitian dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) pada tahun
2000 menyatakan bahwa lebih banyak rokok kretek dikonsumsi dibandingkan dengan
rokok putih, yaitu sebanyak 88,1%.29
Selama penelitian dilaksanakan, hanya terdapat 2 orang sampel (2,35%) yang
mempunyai lesi stomatitis nikotina. Dibandingkan dengan penelitian Ramulu C et al, Hal ini kemungkinan besar karena adanya
perbedaan budaya dan minat terhadap jenis rokok antara penduduk di provinsi
prevalensi stomatitis nikotina yang ditemukan jauh lebih tinggi daripada penelitian
ini, yaitu sebanyak 13,07%.11 Berdasarkan penelitian ini, disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan terjadinya stomatitis
nikotina. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kebudayaan antara Indonesia dengan
India. Di India, rokok yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat adalah chuttas. Chuttas
berbeda dengan rokok putih dan rokok kretek. Bentuk dan ukuran chuttas yang lebih
besar menghasilkan panas asap yang lebih tinggi di rongga mulut sehingga
menyebabkan iritasi yang lebih parah pada mukosa palatum.29
Selain dari faktor jenis rokok yang dikonsumsi, cara merokok juga merupakan
faktor yang signifikan. Dalam penelitian Ramulu C et al jelas terlihat bahwa
prevalensi stomatitis nikotina jauh lebih tinggi di kalangan masyarakat yang merokok
secara terbalik (reverse smoker).
11
Di Saudi Arabia, Mani NJ (1985) menemukan 29,6% perokok mempunyai
lesi stomatitis nikotina.
Hal ini menunjukkan bahwa cara merokok
merupakan faktor yang menonjol.
33
Hal ini karena jumlah rokok per hari yang dikonsumsi
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan sampel penelitian ini.
Berdasarkan penelitian ini, disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara usia mulai merokok dengan terjadinya stomatitis nikotina (nilai P =
0,316). Dalam penelitian Syarir TMR (2009) juga mendapatkan hasil yang sama.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Hoeijmakers JH (2009) bahwa stomatitis nikotina
sangat tergantung kepada durasi, intensitas dan jenis rokok tetapi tidak tergantung
kepada usia mulai merokok.
34
Berdasarkan penelitian ini, hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara jumlah konsumsi rokok per hari dengan terjadinya
stomatitis nikotina (P=0,017). Hal ini menyatakan bahwa H0 ditolak atau Ha diterima
sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah rokok per hari berpengaruh terhadap
terjadinya stomatitis nikotina karena nilai P < 0,05. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Henley SJ (2004) dan Hoeijmakers HJ (2009) yang menyatakan bahwa stomatitis
nikotina dapat ditemui pada perokok berat, yaitu lebih dari 20 batang per hari.7,36
Berdasarkan penelitian ini, terlihat bahwa tidak ada hubungan antara jenis
rokok yang dihisap dengan terjadinya stomatitis nikotina. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan sebelumnya. Lesi stomatitis nikotina terjadi karena iritasi
asap rokok yang panas secara kronis.
37,38
Namun demikian, temperatur membakar
pada rokok kretek dan rokok putih komersial mencapai setinggi 970ºC sementara
temperatur pembakaran dalam rokok pipa dan rokok cerutu lebih rendah
dibandingkan dengan rokok kretek dan rokok putih komersial.22 Menurut Ermala P
dan Holsti LR, walaupun rokok putih dan rokok kretek mempunyai temperatur
pembakaran yang lebih tinggi, panas asap yang dihasilkan dari pembakaran lebih
rendah daripada rokok pipa. Hal ini dikarenakan bentuk pipa yang seperti cawan.22
Penapis dalam rokok komersial juga memainkan peranan yang penting dalam
mengurangi temperatur asap rokok. Selama penelitian ini, tidak ditemukan subjek
yang mempunyai kebiasaan merokok dengan pipa atau cerutu.
Berdasarkan penelitian ini terlihat bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara lama terpapar terhadap rokok dengan terjadinya stomatitis nikotina. Menurut
penelitian, lesi stomatitis nikotina terbentuk bukan karena akumulasi nikotina dari
konsumsi tembakau tetapi karena iritasi panas secara kronis.37,38 Lama terpapar
seorang perokok merupakan hasil perhitungan dari lama merokok dan jumlah rokok
per hari. Menurut penelitian Lam et al, faktor intensitas lebih menonjol dalam