• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subyek penelitian ini terdiri dari dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 25 orang wanita hamil dan 25 orang wanita tidak hamil, dengan rentang usia 20-39 tahun dan rerata 28 tahun. Pada kelompok wanita hamil frekuensi kelompok umur terbesar adalah ≥ 28 tahun sebesar 15 orang (60%). Hasil ini menyerupai hasil penelitian oleh Wang & Young (2006), dimana frekuensi kelompok umur terbesar pada wanita hamil adalah 28-30 tahun. Ini sesuai dengan usia hamil yang ideal bagi seorang wanita adalah umur 20-35 tahun, karena pada usia tersebut rahim sudah siap menerima kehamilan, mental juga sudah matang dan sudah mampu merawat bayi dan dirinya (Draper 2001). Menurut American Society for Reproductive Medicine tahun 2012 bahwa masa reproduksi terbaik pada wanita adalah semasa usia 20-an. Kesuburan wanita akan menurun setiap tahunnya pada masa usia 30- an, terutama setelah usia 35 tahun. Pada saat memasuki usia 30-an, wanita memiliki kesempatan untuk hamil sebesar 20%. Saat mencapai usia 40 tahun, seorang wanita akan mempunyai kesempatan untuk hamil berkurang sebesar 5% pada setiap siklusnya.

Pada penelitian ini wanita dengan kehamilan primigravida lebih banyak dijumpai daripada multigravida. Hal ini juga dijumpai pada hasil penelitian oleh Wang & Young (2006) dimana wanita hamil primigravida dijumpai sebesar 7 orang (63.6%) sedangkan wanita hamil multigravida dijumpai sebesar 4 orang (36.4%). Hal ini dapat dimungkinkan karena adanya rasa intens yang masih tinggi untuk melakukan pemeriksaan kehamilan (antenatal care) semasa kehamilan pertama. Faktor yang dapat mempengaruhi adalah bahwa tingkat pengetahuan wanita hamil primigravida yang tidak sebaik multigravida terhadap tanda bahaya kehamilan (Agus & Horiuchi 2012).

Pada distribusi wanita hamil berdasarkan masa gestasi selama trimester ketiga yang berkisar 27-40 minggu dengan rerata 33 minggu, dimana kelompok < 33 minggu mempunyai frekuensi yang lebih besar yaitu 13 orang (52%). Hal ini menyerupai pada hasil penelitian Wang & Young (2006) dimana wanita dengan

kehamilan < 33 minggu mempunyai frekuensi yang terbesar yaitu sebanyak 9 orang (90.9%). Ini dikarenakan pada saat kehamilan berjalan pada akhir trimester ketiga berat badan wanita hamil dan terutama berat badan janin akan bertambah berat akhirnya tubuh lebih cepat lelah dan kehilangan keseimbangan sehingga wanita hamil akan lebih mengurangi aktivitasnya seperti melakukan kontrol ke dokter. Selain itu, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Bonzini et al (2009) terhadap wanita hamil dengan usia kehamilan 34 minggu yang melakukan aktivitas fisik seperti bekerja (salah satunya membungkuk >1jam/hari), ditemukan bahwa adanya peningkatan resiko kelahiran preterm hampir sebesar tiga kali lipat.

Hasil distribusi ambang dengar pada kelompok wanita hamil adalah normal dan gangguan pendengaran ringan, sedang pada kelompok wanita tidak hamil seluruhnya mempunyai nilai ambang dengar yang normal. Dimana pada ketiga wanita hamil tersebut jenis gangguan pendengarannya adalah sensorineural. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tsunoda et al (1999) dan Sennaroglu & Belgin (2001) yang mendapatkan bahwa keseluruhan nilai ambang dengar pada audiometri nada murni tidak menunjukkan adanya gangguan pendengaran. Namun berbeda halnya pada penelitian Wang & Young (2006) yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran sedang sampai sangat berat ( 44-104 dB) pada wanita hamil. Hal ini dikarenakan jika perubahan fisiologis yang muncul selama kehamilan berubah menjadi perubahan patologis, seperti kadar hormon yang tinggi secara abnormal sehingga resiko trombosis lebih tinggi dibandingkan kehamilan normal, maka kemungkinan terjadinya gangguan pendengaran menjadi lebih besar (Pawlak-Osinska, Burduk & Kopczynski 2009; Hou & Wang 2011).

Diperoleh hasil analisis statistik bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara kehamilan dengan gangguan pendengaran berdasarkan hasil pemeriksaan audiometri nada murni (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Tsunoda et al (1999) melaporkan adanya gambaran audiometri nada murni yang normal pada semua kasus wanita hamil. Hal yang sama juga diperoleh Sennaroglu & Belgin (2001) dimana tidak dijumpai adanya gangguan pendengaran berdasarkan nilai ambang dengar pada hasil audiometri nada murni, walaupun ditemukan hubungan yang bermakna antara kelompok wanita hamil trimester ketiga dengan penurunan

ambang dengar pada tiga frekuensi rendah (125 Hz, 250 Hz dan 500Hz) dibandingkan dengan wanita tidak hamil. Walaupun secara perhitungan statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kehamilan dengan gangguan pendengaran, namun dengan diperolehnya 3 orang wanita hamil dengan gangguan pendengaran ringan dapat dikatakan secara klinis bahwa kehamilan dapat mempengaruhi fungsi pendengaran. Pada beberapa literatur menyatakan bahwa gangguan pendengaran yang terjadi umumnya bersifat sementara, dimana pendengaran akan kembali dengan spontan paska melahirkan ( Tsunoda et al. 1999; Sennaroglu & Belgin 2001; Bozzato et al. 2004; Sharma, Sharma & Chander 2011; Hou & Wang 2011). Hal ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Sennaroglu & Belgin (2001) dan Sharma, Sharma & Chander (2011) adalah melakukan follow up pada 40 orang wanita hamil secara periodik tiap trimester dan 3 bulan setelah melahirkan. Diperoleh penurunan nilai ambang dengar pada frekuensi 125, 250, 500 dan 1000 Hz dari trimester pertama hingga ketiga. Kemudian ditemukannya perbaikan nilai ambang dengar antara trimester ketiga dengan periode 3 bulan setelah melahirkan, dimana ditemukan adanya hubungan yang signifikan pada kedua kelompok tersebut. Namun pada penelitian ini tidak dilakukan penilaian terhadap ambang dengar di trimester pertama dan kedua sehingga tidak dapat dinilai perubahan ambang dengar yang terjadi pada frekuensi tersebut.

Dari hasil pemeriksaan fungsi koklea (TEOAE), diperoleh 10 orang (90.9%) dengan hasil refer adalah pada wanita hamil dan 1 orang (9.1%) pada wanita tidak hamil. Hal ini mirip pada penelitian pada Murthy & Khrisna (2011) dimana 26% dari keseluruhan hasil OAE refer merupakan pada wanita hamil dan 4 % dari keseluruhan wanita tidak hamil mempunyai hasil pemeriksaan OAE refer. Pada penelitian ini tidak semua wanita hamil mengalami gangguan fungsi koklea, ini dikarenakan adanya perbedaan faktor respon tubuh terhadap perubahan fisiologis terjadi pada masing-masing individu. Sedangkan didapatnya 1 orang wanita tidak hamil dengan hasil refer diduga karena adanya faktor mikro yang juga mempengaruhi fungsi koklea seperti mikronutrisi dan sensitivitas terhadap toksin

yang proporsi dan efeknya dapat berbeda pada tiap individu, dimana dalam hal tersebut tidak dapat dikontrol selama penelitian ini ( Pitkin 1985; Phares et al. 2008) Hasil analisis secara statistik bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kehamilan dengan gangguan fungsi koklea berdasarkan hasil pemeriksaan TEOAE (p<0.05). Hal ini juga menyerupai pada penelitian yang dilakukan oleh Murthy & Khrisna (2011) diperoleh hubungan yang bermakna antara kehamilan dengan hasil pemeriksaan OAE (p=0.0038).

Pada saat kehamilan, diperkirakan terjadi perubahan level hormon estrogen dibandingkan saat tidak hamil terutama saat kehamilan trimester ketiga dimana level hormon estrogen mencapai kadar tertinggi. Hormon estrogen mempengaruhi keseimbangan elektrolit pada fungsi telinga dalam (Strachan 1996). Pendapat lainnya adalah hormon estrogen dapat meningkatkan resiko trombogenik, dan mengganggu mikrosirkulasi koklea (Lavy 1998). Selain itu, perubahan hormonal saat kehamilan juga mempengaruhi sistem kardiovaskular serta terjadinya penurunan deformabilitas eritrosit dan peningkatan viskositas plasma, begitu juga pada aggregasi eritrosit karena peningkatan fibrinogen (Bollini et al. 2005). Hal ini yang diduga dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada koklea pada wanita hamil.

Adanya pengaruh level hormon estrogen yang tinggi ini tidak hanya terlihat pada kehamilan saja, namun terlihat pada keadaan-keadaan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan beberapa laporan kasus yang melaporkan adanya gangguan pendengaran yang disebabkan pemakaian kontrasepsi oral dan penggunaan terapi hormonal (Hormone Replacement Therapy/ HRT) ( Hanna 1986; Strachan 1996). Selain itu juga Hajioff et al (2003) melaporkan adanya kasus gangguan pendengaran berat pada telinga kiri seorang wanita yang melakukan terapi fertilisasi in vitro untuk menstimulasi ovarium.

Diperoleh hasil analisis secara statistik bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara gravida dengan gangguan fungsi koklea (hasil pemeriksaan TEOAE (p=0.05)). Adanya hubungan gangguan fungsi koklea dengan kehamilan multigravida sesuai dengan beberapa laporan kasus yang melaporkan adanya kemungkinan terjadinya gangguan fungsi koklea pada wanita dengan kehamilan

multigravida (Pawlak-Osinska, Burduk & Kopczynski 2009; Kenny, Patil & Considine 2010). Kenny, Patil & Considine (2010) menyatakan bahwa adanya kemungkinan proses yang disebabkan karena gangguan vaskular. Dimana terjadinya gangguan fungsi koklea yang residual diperkirakan akibat adanya kematian beberapa sel rambut karena suplai darah yang kurang. Namun pada penelitian ini riwayat adanya gangguan fungsi koklea pada kehamilan sebelumnya tidak dapat dinilai karena tidak dilakukannya pemeriksaan TEOAE.

Tsunoda et al (1999) melaporkan adanya gambaran audiometri nada murni yang normal pada semua kasus wanita hamil. Oleh karena itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa estrogen mungkin mempengaruhi fungsi koklea, tapi korelasi level estrogen dengan fungsi pendengaran tidak dapat disimpulkan.

Pada penelitian ini, terdapat satu subyek penelitian dimana pada saat kehamilan 40 minggu dimasukkan ke kelompok wanita hamil, dan pada saat 6 bulan setelah melahirkan subyek dimasukkan ke dalam kelompok wanita tidak hamil. Pada hasil pemeriksaan audiometri saat hamil dijumpai ambang dengar dalam batas normal, begitu juga pada saat setelah melahirkan. Berbeda halnya pada hasil pemeriksaan fungsi koklea (TEOAE), saat hamil hasil pemeriksaan TEOAE pada telinga kiri adalah refer yang artinya terdapat gangguan pada koklea dan pada telinga kanan hasilnya adalah pass. Pada saat 6 bulan setelah melahirkan, hasil pemeriksaan TEOAE pada kedua telinga adalah pass yang artinya tidak terdapat gangguan pada koklea. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa proses perubahan fisiologis pada kehamilan oleh karena adanya perubahan hormon estrogen dapat mempengaruhi fungsi koklea tapi tidak mempengaruhi nilai ambang dengar. Perubahan fisiologis ini akan kembali menjadi semula setelah melahirkan, hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan TEOAE yang kembali normal. Hal ini mendukung hasil penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kehamilan dengan fungsi koklea, namun tidak terdapat hubungan antara kehamilan dengan gangguan pendengaran dalam hal ini berdasarkan nilai ambang dengar. Akan tetapi dikarenakan hanya satu subyek penelitian yang memberikan hasil yang kemungkinan memperjelas kondisi yang ingin diamati dalam penelitian ini, maka penelitian lebih lanjut yang bersifat prospektif sangat direkomendasikan untuk lebih menguatkan dalam menjelaskan

proses gangguan fungsi koklea yang dapat terjadi selama masa kehamilan. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah murni melihat hubungan antara proses kehamilan dengan gangguan pendengaran dan fungsi koklea tanpa mengontrol variabel lainnya yang kemungkinan dapat menimbulkan bias.

Dokumen terkait