• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdapat empat percobaan berbeda yang dilakukan dalam mempelajari beberapa aspek dalam induksi poliploidi anggrek bulan seperti pengaruh kolkisin terhadap persentase hidup, pertumbuhan dan perkembangan bahan tanaman, serta potensi dan keberhasilan dalam memperoleh planlet poliploid. Perbedaan mendasar dalam penelitian ini adalah penggunaan jenis bahan tanaman untuk perlakuan kolkisin, yaitu organ generatif dan protocorm. Jenis bahan tanaman akan menentukan sel apa yang menjadi target duplikasi kromosom. Sel induk baik polen ataupun megaspora merupakan target dari perlakuan kolkisin pada organ generatif, sedangkan pada protocorm adalah sel-sel somatik. Salah satu percobaan dalam penelitian ini, yang menggunakan bunga setelah penyerbukan sebagai bahan perlakuan kolkisin merupakan percobaan yang pertama kali dilaporkan dalam induksi poliploidi pada anggrek.

Percobaan pada organ generatif dilakukan di dua tempat yang berbeda, yaitu perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan dan kuncup bunga di kawasan Puncak dan perlakuan kolkisin pada spike di Leuwikopo, Kabupaten Bogor. Kawasan puncak merupakan dataran tinggi yang memiliki suhu rendah, sedangkan Leuwikopo adalah dataran rendah dengan suhu yang tinggi. Kondisi lingkungan dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan poliploid. Berdasarkan Sinha dan Sinha (1982), tanaman poliploid dapat terbentuk melalui pemberian suhu tinggi (shock temperature) yang dapat menyebabkan injuri secara mekanik pada jaringan. Pada tanaman jagung, pemberian suhu tinggi (shock temperature) dapat menginduksi terjadinya poliploid akibat sitokinesis yang tidak terorganisasi. Jika inti sel tidak terbagi ketika sitokinesis, maka akan dihasilkan satu sel yang memiliki inti sel dengan jumlah kromosom dua kalinya dan satu sel lain tidak memiliki inti sel. Sel dengan inti sel yang telah mengganda akan membelah dan menghasilkan poliploid, sedangkan sel tanpa inti sel akan menghilang. Menurut Ramsey dan Schemske (1998), faktor-faktor lingkungan seperti temperatur, herbivory, pelukaan, dan cekaman air dan hara, telah diketahui dapat menstimulasi pembentukan gamet diploid. Lee et al. (2007) menyatakan bahwa endoreduplikasi pada sel selama proses pembentukan bunga dari anggrek

Oncidium varicosum secara signifikan mengalami penurunan pada suhu 15 oC, dibandingkan dengan bunga yang terbentuk pada suhu 25 oC. Kondisi tersebut dapat dilihat dari jumlah sel diploid yang ditemukan lebih banyak dari bunga yang berkembang pada suhu 15 oC. Terkait hal tersebut, kemungkinan percobaan yang dapat menghasilkan planlet poliploid melalui proses endoreduplikasi dari bunga yang terbentuk di kawasan puncak lebih rendah jika dibandingkan dengan bunga yang terbentuk di Leuwikopo.

Tiga jenis organ generatif P. amabilis yang digunakan mampu berkembang dan menghasilkan buah setelah diberi perlakuan kolkisin. Jumlah buah yang relatif banyak pada perlakuan bunga setelah penyerbukan diperoleh pada konsentrasi 500 mg L-1, sedangkan kuncup bunga dan spike pada konsentrasi 50 mg L-1. Perlakuan kolkisin pada konsentrasi yang lebih tinggi secara umum menurunkan jumlah bunga setelah penyerbukan, kuncup bunga, dan spike dari P. amabilis yang mampu berkembang menjadi bunga mekar dan menghasilkan buah, serta menurunkan persentase hidup pada perlakuan protocorm P. gigantea.

50

Pengaruh kolkisin terhadap organ generatif anggrek pertama kali dilaporkan oleh Nakasone (1960), yaitu pada spike Vanda Miss Joaquin tanpa diperoleh satupun buah anggrek karena kuncup bunga mengalami kerontokan sebelum mekar.

Protocorm merupakan jenis bahan tanaman pada anggrek yang paling banyak digunakan untuk perlakuan kolkisin, diantaranya dilakukan oleh Griesbach (1981) pada Phalaenopsis, Chaicharoen dan Saejew (1981), Sarathum et al. (2010), dan Atichart (2013) pada Dendrobium, dan Kerdsuwan dan Te-chato (2012) pada

Rhynchostylis.

Sebagian besar buah yang diperoleh dari perlakuan kolkisin pada organ generatif dipanen sekitar 24 MSP. Lee et al. (2008) melaporkan bahwa biji P. amabilis var. formosa yang matang dan berwarna kuning kecoklatan diperoleh pada 150 HSP, atau sekitar 20 minggu setelah penyerbukan. Biji yang disemai secara in vitro pada media Knudson C menunjukkan bahwa kisaran jumlah

protocorm yang banyak dari perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan dan juga spike, diperoleh pada konsentrasi 50 mg L-1. Perlakuan kolkisin pada kuncup bunga masih mampu menghasilkan kisaran jumlah protocorm yang banyak sampai konsentrasi 500 mg L-1. Variasi dalam kisaran jumlah protocorm

dapat diduga akibat perlakuan kolkisin yang mempengaruhi fertilitas bunga ataupun ketika proses penyerbukan. Tanaman yang secara alami adalah diploid umumnya akan mengalami gangguan fertilitas ketika dikonversi menjadi tanaman poliploid. Kondisi terserbut terkait dengan peluang perpasangan kromosom secara bivalen yang menjadi lebih kecil ketika proses meiosis berlangsung. Chaicharoen dan Saejew (1981) menemukan bahwa anggrek Dendrobium tetraploid menghasilkan abnormalitas pembelahan ketika proses mikrosporogenesis, selain itu pertumbuhan tabung polen juga lebih lambat dan pendek dibandingkan diploidnya. Pada tanaman semangka (Citrulus lanatus), Jaskani et al. (2005) juga menemukan penurunan fertilitas tetraploid, terlihat dari jumlah biji perbuah berkurang dari 323.5 pada diploid menjadi 79.3 perbuah pada tetraploid. Hal yang sama dilaporkan oleh Torres et al. (2011) pada tanaman Physalis tetraploid, yang menunjukkan keberadaan perpasangan kromosom univalen, bivalen, trivalen, dan kuadrivalen pada diakinesis dan metafase I, akibatnya viabilitas polen berkurang dari 82.5% pada diploid menjadi 61.9% pada tetraploid. Laporan lain terkait penurunan fertilitas tanaman poliploid dilaporkan oleh Palii dan Batiru (2013) pada jagung. Faktor lain seperti perbedaan waktu panen buah anggrek juga dapat berpengaruh terhadap variasi kisaran jumlah protocorm. Vasudevan dan Staden (2010) melaporkan bahwa perkecambahan biji anggrek Dendrobium dipengaruhi oleh waktu pemanenan, viabilitas biji secara signifikan berkurang pada pemanenan 96 hari setelah penyerbukan (HSP) dan meningkat pada 116 HSP.

Planlet yang dihasilkan dari perlakuan bunga setelah penyerbukan dan kuncup bunga P. amabilis menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang baik, tidak terdapat masa recovery planlet karena pengaruh toksik dari kolkisin terlewati ketika perlakuan. Perlakuan kolkisin pada protocorm P. gigantea

menghasilkan senyawa fenolik pada media selama masa recovery, yang mengganggu pertumbuhannya. Kondisi yang sama juga dilaporkan oleh Griesbach (1981) pada protocorm anggrek bulan, sehingga diperlukan subkultur secara berkesinambungan selama protocorm tersebut menghasilkan senyawa fenolik. Planlet yang diperoleh dari bunga setelah penyerbukan dan juga kuncup bunga siap dilakukan aklimatisasi pada umur sekitar enam bulan setelah perkecambahan.

51 Planlet P. amabilis yang diperoleh dari perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan dan kuncup bunga menunjukkan adanya perbedaan pada kemampuan pertumbuhan. Kondisi tersebut bisa dijadikan sebagai petunjuk bahwa terdapat potensi dalam menghasilkan planlet-planlet poliploid. Secara umum, awal pertumbuhan planlet poliploid hasil perlakuan kolkisin memiliki pertumbuhan lebih lambat jika dibandingkan dengan planlet diploidnya. Hal tersebut telah dilaporkan dari beberapa penelitian induksi poliploidi anggrek, diantaranya oleh Griesbach (1981) pada anggrek bulan, Chaicharoen dan Saejew (1981) pada anggrek Dendrobium, dan Kerdsuwan dan Te-chato (2012) pada anggrek Rhynchostylis. Pada tanaman lain juga ditemukan kondisi yang sama, yaitu pada Phytolacca (Yang et al. 2013). Proliferasi dalam membentuk kalus embriogenik pada jeruk ponkan (Citrus reticulata) lebih lambat sekitar dua minggu pada perlakuan kolkisin dibandingkan dengan kontrol (Dutt et al. 2010).

Umumnya terdapat perbedaan mendasar pada karakter morfologi ataupun anatomi antara individu poliploid dan diploid. Tipe planlet diduga poliploid (DP) hasil perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan dan kuncup bunga menunjukkan perbedaan nyata pada karakter basal organ of the protocorm (BOP), daun, dan akar dengan kontrol diploidnya. Pada anggrek, perubahan morfologi setelah perlakuan kolkisin telah dilaporkan oleh Griesbach (1981), Chaicharoen dan Saejew (1981), Sarathum et al. (2010), Kerdsuwan dan Te-chato (2012), Atichart (2013), dan Rahayu (2014). Jaskani et al. (2005) secara rinci menyebutkan perubahan morfologi pada karakter morfologi bunga semangka tetraploid (Citrulus lanatus), yaitu pedicel, ovary, anther, stigma, dan petal menjadi lebih besar dari diploidnya. Torres et al. (2011) juga menyebutkan bahwa perubahan morfologi yang terjadi pada Physalis tetraploid diantaranya peningkatan pada bobot buah, tinggi tanaman, waktu berbunga, dan waktu panen buah. Urwin et al. (2007) juga menemukan peningkatan ukuran pada peduncle, bunga, dan biji tanaman lavender (Lavandula) tetraploid.

Analisis anatomi pada tipe planlet DP dari perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan menghasilkan perbedaan nyata pada stomata dengan ukuran yang lebih besar dan densitas lebih kecil. Ukuran yang lebih besar ataupun densitas stomata yang lebih kecil pada tanaman poliploid juga dilaporkan oleh Lu dan Bridgen (1997) pada tanaman Alstroemeria, Liu dan Gao (2007) pada tanaman Chrysanthemum, Nilanthi et al. (2009) pada tanaman Echinacea purpurea, Omidbaigi et al. (2010) pada tanaman Ocimum, Ajayi et al. (2010) pada tanaman Dioscorea alata, Kulkarni dan Borse (2010) pada tanaman cabai (Capsicum annuum), Nonaka et al. (2011) pada tanaman Lychnis, Hua et al. (2011) pada tanaman Zingiber, dan Cai dan kang (2011) pada tanaman Populus. Berbeda dengan Yang et al. (2013) yang menemukan peningkatan ukuran sejalan dengan peningkatan densitas stomata pada tanaman Phytolacca. Identifikasi planlet poliploid berdasarkan morfologi dan anatomi merupakan langkah awal untuk memperkecil jumlah sampel dalam pengujian baik secara sitologi ataupun

flow cytometry.

Berdasarkan hasil skrining secara morfologi, perlakuan kolkisin pada kuncup bunga memiliki potensi dalam menghasilkan planlet poliploid. Diperlukan pengujian jumlah kromosom untuk dapat mengkonfirmasi penggandaan kromosom hasil skrining tipe planlet DP tersebut. Tahapan percobaan yang lebih lengkap dari perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan sampai pada

52

konfirmasi jumlah kromosom secara sitologi telah menunjukkan hasil yang diharapkan. Tipe planlet DP hasil perlakuan tersebut memiliki jumlah kromosom yang lebih banyak dibandingkan dengan kontrol diploidnya (2n=2x=38). Hasil tertinggi berdasarkan pengujian secara sitologi menunjukkan bahwa semua tipe planlet DP pada perlakuan kolkisin 500 mg L-1 (92.8%) merupakan planlet poliploid. Persentase keberhasilan induksi poliploidi pada anggrek lain diantaranya dilaporkan oleh Chaicharoen dan Saejew (1981) dan Griesbach (1981) dengan hasil sekitar 50.0% tetraploid, dengan konsentrasi kolkisin masing- masing 50 dan 500 mg L-1. Sarathum et al. (2010) dan Kerdsuwan dan Te-chato (2012) menghasilkan persentase tetraploid anggrek masing-masing sebesar 43.0 dan 60.0%, dengan konsentrasi 750 dan 2000 mg L-1. Keberhasilan induksi poliploidi pada tanaman lain juga dilaporkan oleh Nilanthi et al. (2009) pada

Echinacea purpurea sebesar 23.5% (120 mg L-1), Lam et al. (2014) pada Acacia

sebesar 21% (200 mg L-1), Wu et al. (2007) pada Lilium sebesar 25.8% (1000 mg L-1), Torres et al. (2011) pada Physalis sebesar 67.0% (1200 mg L-1), Yang et al. (2013) pada Phytolacca sebesar 75 % (2000 mg L-1).

Perlakuan kolkisin pada organ generatif akan menghasilkan progeni-progeni poliploid melalui mekanisme yang berbeda-beda bergantung pada jenis material organ generatif yang digunakan. Hasil identifikasi planlet poliploid yang diperoleh dari perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan P. amabilis

yang menunjukkan kecenderungan tetraploid mengindikasikan bahwa induksi poliploidi terjadi pada fase zigot atau embrio. Perbandingan setiap jenis material yang digunakan sebagai bahan perlakuan kolkisin dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 12. Pengujian menggunakan flow cytometry diperlukan untuk dapat mengetahui peningkatan jumlah kromosom dengan lebih tepat, ataupun untuk mengidentifikasi adanya miksoploid atau tidak. Hasil penelitian induksi poliploidi pada anggrek yang menggunakan protocorm, terdapat planlet kimera atau miksoploid pada anggrek Dendrobium (Sarathum et al. 2010) dan anggrek

Rhynchostylis (Kerdsuwan dan Te-chato 2012). Dhooghe et al. (2009) juga melaporkan hal yang sama pada planlet Ranunculus asiaticus yang diberi perlakuan kolkisin, dengan hasil 2 tetraploid dan 13 miksoploid. Induksi poliploidi yang menghasilkan kimera juga dilaporkan oleh Nilanthi et al. (2011) pada tanaman Echinacea purpurea yang menggunakan eksplan tunas dan Lam et al. (2014) pada Acacia yang menggunakan biji.

Penelitian ini telah membuktikan bahwa perlakuan kolkisin pada organ generatif mampu menghasilkan planlet poliploid, khususnya perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan yang menghasilkan planlet tetraploid. Penggunaan organ generatif untuk perlakuan kolkisin pada anggrek diharapkan mampu meningkatkan akselerasi program pemuliaan anggrek dalam menghasilkan varietas-varietas unggul baru, khususnya Phalaenopsis. Induksi poliploidi pada anggrek yang menggunakan organ generatif memiliki banyak keunggulan, diantaranya: 1. Keragaman dapat dihasilkan baik melalui poliploidisasi dan juga persilangan, 2. Planlet poliploid yang diperoleh memiliki peluang kimera lebih kecil, 3. Planlet poliploid dapat dihasilkan dalam jumlah banyak karena berasal dari biji, 4. Tidak ada masa recovery selama masa pertumbuhan planlet karena perlakuan kolkisin dilakukan jauh sebelumnya.

53

Berdasarkan teknis pemberian perlakuan kolkisin untuk induksi poliploidi pada anggrek bulan, perlakuan kolkisin pada organ generatif relatif lebih praktis dan mudah dilakukan dibandingkan perlakuan kolkisin pada protocorm. Perlakuan kolkisin pada protocorm yang dilakukan secara in vitro lebih sulit karena rentan dengan kegagalan akibat adanya kontaminasi ketika dilakukan perlakuan kolkisin. Perlakuan kolkisin pada organ generatif lebih mudah karena dilakukan di lapang dan tidak membutuhkan kondisi yang steril. Perlakuan kolkisin pada organ generatif, yaitu pada bunga setelah penyerbukan, kuncup bunga, dan spike memiliki potensi yang berbeda untuk induksi poliploidi. Berdasarkan kemampuan dalam menghasilkan jumlah buah dan persentase planlet poliploid yang dihasilkannya, perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan lebih direkomendasikan untuk induksi poliploidi pada anggrek bulan.

Tabel 12 Perbandingan jenis material anggrek bulan untuk perlakuan kolkisin terhadap kemungkinan tingkat ploidi dari planlet yang dihasilkan Jenis material untuk perlakuan kolkisin Jenis Anggrek Mekanisme induksi poliploidi Kemungkinan tingkat ploidi dari planlet yang dihasilkan Bunga setelah

penyerbukan P. amabilis Zigot atau embrio Tetraploid

Kuncup bunga P. amabilis

Sel induk mikro dan megaspora atau sel mikro dan megaspora

Heksaploid atau tetraploid

(penyerbukan sendiri), triploid (penyerbukan silang dengan kontrol)

Spike P. amabilis

Sel somatik yang akan

berdiferensiasi menjadi sel induk mikro dan

megaspora

Tetraploid

Potocorm P. gigantea

Sel somatik yang beregenerasi menjadi planlet

54

7

SIMPULAN UMUM DAN SARAN

Simpulan

Planlet poliploid P. amabilis dapat dihasilkan dari perlakuan kolkisin pada organ generatif, khususnya pada bunga setelah penyerbukan. Kemungkinan tingkat ploidi dari planlet poliploid yang dihasilkan dapat bervariasi, diantaranya ditentukan oleh jenis organ generatif yang digunakan serta teknik penyerbukan silang atau sendiri. Konsentrasi kolkisin yang lebih tinggi menghambat perkembangan organ generatif P. amabilis dalam menghasilkan buah anggrek, termasuk biji dan kemampuan perkecambahannya. Kemampuan regenerasi

protocorm P. gigantea dalam membentuk planlet juga terhambat pada konsentrasi kolkisin yang lebih tinggi. Berdasarkan morfologi, tipe planlet diduga poliploid (DP) P. amabilis yang diperoleh dari perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan dan kuncup bunga memiliki perbedaan yang nyata dengan planlet kontrol untuk karakter BOP, daun, dan akar. Tipe planlet DP dari perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan memiliki densitas stomata yang secara nyata hampir dua kali lebih kecil dari planlet kontrol. Perlakuan pada kuncup bunga memiliki potensi dalam menghasilkan planlet poliploid, terlihat dari banyaknya persentase jumlah tipe planlet DP yang diperoleh. Kemungkinan tingkat ploidi dari planlet hasil perlakuan kolkisin pada kuncup bunga dapat berupa planlet tetraploid atau heksaploid, atau triploid ketika disilangkan dengan bunga kontrol. Sebanyak 100.0% tipe planlet DP P. amabilis yang diperoleh dari perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan merupakan planlet tetraploid. Berdasarkan tingkat keberhasilan pembentukan buah serta planlet poliploid yang dapat dihasilkan, teknik perlakuan kolkisin pada bunga setelah penyerbukan merupakan yang terbaik dibandingkan perlakuan lain.

Saran

Pengujian planlet poliploid menggunakan flow cytometry dianjurkan karena cepat, akurat, serta mudah dilakukan. Penggunaan bahan tanaman yang sudah seragam secara genetik seperti varietas atau klon anggrek sangat dianjurkan untuk menurunkan atau mengeliminasi bias perbedaan morfologi antara planlet poliploid dan diploid. Pengamatan karakter morfologi dan pengujian planlet poliploid dilakukan pada planlet yang sama sehingga dapat dilakukan korelasi antara karakter morfologi dan penggandaan kromosom. Pengamatan mikroskopis pada organ generatif sebaiknya dilakukan untuk mengetahui fase-fase perkembangan embrio.

Dokumen terkait