Berdasarkan analisis PSR dapat dikatakan bahwa kawasan konservasi perairan Kabupaten Ciamis cukup mengalami tekanan yang besar terhadap kerusakan sumber daya terutama oleh aktivitas penangkapan ikan. Ukuran kapal penangkapan yang relatif kecil menjadikan masyarakat sekitar sangat menggantungkan mata pencahariannya terhadap penangkapan ikan disekitar kawasan konservasi perairan. Namun response masyarakat sekitar wilayah kawasan konservasi perairan menunjukkan persepsi yang positif dengan adanya kawasan konservasi perairan. Guna menjamin kelestarian sumber daya ikan disekitar kawasan konservasi perairan, masyarakat menganggap perlu adanya kesepakatan bersama masyarakat untuk menjaga ekosistem pesisir. Kesepakatan yang telah ada nantinya dapat diperkuat ataupun dilegitimasi menjadi peraturan desa, bahkan untuk tingkat yang lebih tinggi. Peraturan ini diperlukan agar adanya kejelasan pengelolaan kawasan konservasi perairan sehingga semua stakeholder dapat berperan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Masyarakat juga menyadari perlunya mereka membentuk kelompok nelayan untuk memudahkan koordinasi dan kerjasama dalam menjaga kelestarian sumber daya ikan.
Keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat tercapai yang dapat dilihat berdasarkan 3 (tiga) aspek yaitu ekologi, ekonomi dan sosial; (1) Aspek ekologi ditunjukkan dengan peningkatan stok sumber daya ikan, bahwa kawasan konservasi perairan telah membuat adanya sebuah mekanisme penjagaan terhadap daerah pemijahan ikan, sehingga dengan terjaganya daerah ini maka produktivitas ikan tetap terjaga dan stok ikan menjadi bertambah; (2) Aspek ekonomi ditunjukkan dengan sebagian masyarakat merasakan bahwa terjadi peningkatan pendapatan setelah dibentuknya kawasan konservasi perairan di wilayah mereka, disisi lain kesejahteraan masyarakat juga meningkat dengan terbukanya alternatif mata pencaharian yaitu sektor pariwisata bahari; (3) Aspek sosial memang tidak terjadi perubahan yang signifikan, hal ini disebabkan nelayan di sekitar wilayah kawasan konservasi perairan adalah tradisional, sehingga belum ada peningkatan perubahan sosial yang berarti, namun nelayan mulai membentuk kelompok nelayan untuk memudahkan koordinasi dan kerjasama dalam penangkapan dan kelestarian sumber daya.
Pada tahun 2009 seluruh trip alat tangkap mengalami peningkatan yang cukup signifikan, tetapi tidak disertai dengan kenaikan produksi hasil tangkapan. Hal ini merupakan sebuah biaya potensial bagi nelayan, pendapatan mungkin akan menurun, setidaknya dalam jangka pendek sebagai akibat dari larangan penangkapan di zona inti. Potensi manfaat berupa pengurangan variasi dalam tingkat tangkapan agregat, peningkatan jumlah tangkapan atau lebih berharga ikan ukuran yang lebih besar menangkap berkat efek spillover dari populasi ikan meningkat dalam kawasan konservasi perairan mungkin hanya dihasilkan dalam jangka panjang (FAO 2007).
Jumlah hasil tangkapan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2011 meskipun tidak ada penambahan jumlah unit penangkapan ikan dan trip penangkapansehingga nilai CPUE juga mengalami peningkatan. Kelompok ikan demersal mengalami kenaikan yang paling signifikan disusul kemudian oleh kelompok ikan pelagis dan ikan karang. Kelompok ikan demersal yang meliputi
49
bawal hitam, bawal putih, manyung, kuwe, gulamah/tigawaja, petek, kuro/senangin ditangkap dengan banyak alat tangkap seperti jaring dogol, pukat pantai, trammel net dan gillnet yang merupakan alat tangkap dominan yang dioperasikan oleh nelayan setempat. Sedangkan untuk ikan pelagis dan ikan karang dominan ditangkap dengan menggunakan pancing rawai dengan CPUE lebih kecil. Manfaat kawasan konservasi perairan terkait dengan perikanan utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik, seperti spillover atau dampak limpahan, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan, yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Manfaat lainnya untuk perikanan yaitu adanya peningkatan stabilitas perikanan. Kawasan konservasi perairan memiliki banyak manfaat signifikan yang akan membantu pengelolaan sumber daya ikan dalam jangka panjang. Beberapa hasil studi terakhir menunjukkan bahwa kawasan konservasi perairan telah menunjukkan manfaat yang berarti, yaitu berupa peningkatan biomas. Alder et al. (2002) telah mencatat adanya peningkatan biomas, kelimpahan, atau keanekaragaman hayati ikan di kawasan konservasi perairan. Hasil studi Halpern (2003), misalnya menunjukkan bahwa secara rata-rata, kawasan konservasi telah meningkatkan kelimpahan (abundance) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keanekaragaman hayati meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomas ini juga mengakibatkan peningkatan produksi perikanan atau jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya (CPUE).
Masing-masing jenis komoditas unggulan yang ditangkap menggunakan alat tangkap yang berbeda meskipun terdapat komoditas unggulan yang dapat ditangkap menggunakan beberapa alat tangkap. Kakap merah dominan ditangkap dengan pancing rawai tetap (Abdillah 2001) selain kerapu. Bawal putih (Nurhaeti 2002) dan lobster (Nawangwulan 2001) ditangkap menggunakan gillnet monofilament/jaring sirang, tenggiri dominan ditangkap menggunakan gillnet (Mutakin 2001). Udang jerbung ditangkap menggunakan trammel net (Hartani 2006). Sedangkan ikan layur ditangkap menggunakan pancing rawai dan gillnet.
Pancing rawai tetap yang dioperasikan di dasar perairan merupakan alat tangkap yang paling efektif dan efisien untuk menangkap ikan karang seperti kakap dan kerapu (Wudianto 2010). Gillnet lebih banyak digunakan oleh nelayan karena hasil tangkapan yang didapat merupakan hasil tangkapan yang bernilai ekonomis tinggi seperti lobster, ikan bawal putih, dan jenis udang lainnya. Apriyanti (2006) menyatakan bahwa teknologi penangkapan ikan yang tepat guna untuk daerah Pangandaran yaitu alat tangkap gillnet. Dari semua alat tangkap yang dibahas, pancing adalah alat tangkap yang paling selektif dan ramah terhadap lingkungan, sangat memenuhi dari seluruh kriteria persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Gillnet memenuhi sembilan kriteria persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Latuconsina (2010) menyatakan bahwa pancing rawai dan gillnet dasar maupun permukaan tergolong alat tangkap yang ramah lingkungan. Kriteria yang kurang dipenuhi trammel net sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, yaitu by-catch, target spesies alat tangkap ini adalah udang tetapi juga dapat menangkap ikan yang berukuran kecil. Perlu juga diketahui alat tangkap ini direkomendasikan untuk menggantikan pengoperasian trawl karena dapat menangkap udang dengan efektif. Dari berbagai
jenis alat tangkap yang digunakan nelayan, ketiga jenis alat tangkap ini paling banyak memenuhi kriteria sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Selain itu ketiganya juga paling banyak dipilih dan digunakan oleh nelayan setempat.
Hasil optimalisasi jumlah unit penangkapan dengan beberapa tujuan yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya komoditas unggulan, penyerapan tenaga kerja, ketersediaan bahan bakar dan luasan fishing ground, dapat terpenuhi jika unit penangkapan yang tersedia adalah pancing rawai tetap berjumlah 461 unit, gillnet 650 unit, dan trammel net 677 unit. Jumlah unit penangkapan pada kondisi optimal untuk gillnet dan trammel net masih dapat dilakukan penambahan unit penangkapan, sedangkan untuk unit penangkapan pancing rawai tetap telah melebihi kondisi optimalnya sehingga harus dikurangi sebanyak 8 unit penangkapan pancing rawai tetap.
Berdasarkan daerah operasi penangkapan dan alat tangkap, perikanan tangkap di Kabupaten Ciamis dapat digolongkan menjadi perikanan tradisional dengan menggunakan kapal berukuran < 5 GT dengan fishing ground didominasi pada jarak 1-2 mil laut dari garis pantai. McConney dan Charles (2008) menyatakan bahwa nelayan skala kecil beroperasi dekat dengan pantai dan menggunakan penangkap ikan yang relatif kecil.
Alat tangkap yang ada didominasi oleh gillnet dan pancing rawai tetap yang pengoperasiannya bersifat pasif sehingga sesuai dengan arahan jenis alat tangkap di setiap zona penangkapan. Penempatan alat penangkapan ikan belum seluruhnya mengikuti aturan sesuai PerMen KP RI No Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPP RI. Penempatan jalur penangkapan ikan 1A sesuai aturan yang ada adalah pukat pantai, bagan tancap, gillnet dan trammel net. Sedangkan untuk pancing rawai tetap dan dogol seharusnya ditempatkan pada jalur penangkapan ikan 1B.
Masih terdapat alat dan teknologi yang tidak konsisten dengan mekanisme pemanfaatan berkelanjutan dan sempat menimbulkan konflik sosial seperti bagan tancap dan pukat pantai yang beroperasi di kawasan CAL Pananjung Pangandaran dan berdekatan dengan area terumbu karang yang seyogyanya dihapus disertai dengan sosialisasi alternatif baru yang lebih bisa diterima masyarakat dan tidak mengancam kelestarian sumber daya dan ekosistemnya.
Penghapusan beberapa jenis alat penangkapan ikan dan langkah konservasi serta pengelolaan selain harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, juga memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat lokal yang mata pencahariannya dari kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan dan biota lainnya di dalam kawasan konservasi. Pengelolaan perikanan yang bertujuan untuk menggabungkan perikanan tangkap dan konservasi dapat dicapai antara lain melalui penggunaan yang tepat dari sejumlah pendekatan, termasuk pengecualian penggunaan alat tangkap yang dioperasikan secara aktif dengan cara ditarik (FAO 2003).
Berdasarkan area fishing ground terdapat beberapa alat tangkap yang dioperasikan pada area yang sama seperti gillnet dan pancing rawai tetap (Gambar 19) sehingga dapat tersangkut satu sama lain dan dapat menimbulkan konflik sosial. Konflik yang terjadi saat ini masih dapat diselesaikan dengan bantuan mediasi rukun nelayan dan pokmaswas yang ada. Namun ketika sumber daya ikan semakin terbatas dan luasan area fishing ground semakin terbatas akibat
51
penambahan armada, maka peluang terjadinya konflik akan semakin tinggi dan koordinasi antar kelompok nelayan mungkin tidak akan efektif lagi. Peningkatan konflik antara kelompok alat tangkap yang berbeda sebagai hasil dari tekanan penangkapan ikan berlebihan merupakan dampak dari interaksi antar alat tangkap (FAO 2003).
Identifikasi penyebab konflik yang terjadi dapat dikatagorikan tinggi atau rendah sesuai dengan area fishing ground dimana alat tangkap dioperasikan sehingga dapat diantisipasi berdasarkan prioritas penyelesaiannya. Kemampuan mengidentifikasi faktor penyebab konflik secara simultan akan meningkatkan dukungan terhadap pengelolaan sumber daya perikanan tangkap yang bertanggung jawab (Rusmilyansari et al. 2010).
Zona pertambangan (penambangan pasir) berada dekat kawasan konservasi (zona pemanfaatan A) yang digunakan juga sebagai tempat penangkaran dan konservasi penyu yang dikelola oleh masyarakat dan Diskanla Kabupaten Ciamis. Kegiatan penambangan pasir dapat berpotensi mengancam kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehinga perlu dipertimbangkan lebih lanjut adanya area/zona tersebut.
Sejak ditetapkannya kawasan konservasi pada awal tahun 2008 hingga saat ini belum ada rencana pengelolaan sebagai bagian langkah tindak lanjut dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan secara nyata. Berdasarkan The Code of
Conduct for Responsible Fisheries yang menegaskan bahwa keputusan
manajemen dan konservasi untuk kegiatan perikanan harus didasarkan pada faktor lingkungan yang relevan, ekonomi dan sosial (FAO 1995).
Upaya pengelolaan kawasan konservasi perairan dan keberhasilannya merupakan prasyarat untuk mencapai hasil (outcome) dan dampak (impact) pada aspek-aspek sumber daya kawasan, sehingga keberhasilan pengelolaan harus dapat diverifikasi dengan menggunakan aspek-aspek sumber daya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat. Misalnya, penegakan aturan kawasan konservasi merupakan upaya pengelolaan dapat dibuktikan dengan membaiknya kondisi sumber daya kawasan dan berkurangnya tekanan terhadap sumber daya yang merupakan hasil peningkatan dukungan terhadap kawasan. Pengelolaan yang optimum dari suatu kawasan konservasi dapat dicapai apabila dilakukan penataan batas dalam rangka realisasi legalitas status kawasan konservasi untuk menegaskan batas definitif di lapangan sehingga diperoleh status hukum yang pasti. Dengan demikian, kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan perikanan pada kawasan konservasi perairan dapat dilakukan secara efektif.