• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Sedimen Dasar Perairan

Pantai di daerah Paiton terdiri dari pasir dan lempung dengan diameter rata-rata 150 mikron (PPGL, 1994; PT Ciriajasa, 1985 dalam PE, 2008). Analisis ukuran butiran sedimen dilakukan terhadap tiga fraksi penyusun sedimen yakni liat, debu, dan pasir. Klasifikasi butiran sedimen ditentukan berdasarkan ukurannya yaitu, liat < 0.003905 mm, debu 0,003905-0,0625 mm, dan pasir 0.0625-2 mm. Histogram persentase ukuran butiran sedimen disajikan pada Gambar 6, sementara gambaran (foto) mengenai visualisasi kondisi sedimen disajikan pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis ukuran butiran sedimen diketahui bahwa komposisi sedimen di lokasi penelitian didominasi oleh fraksi pasir dan debu. Berdasarkan komposisi fraksi penyusunnya, tipe sedimen di lokasi penelitian didominasi oleh jenis lempung, kecuali untuk stasiun 3 dan 13 memiliki tipe sedimen lempung berpasir serta stasiun 9 memiliki tipe lempung berdebu. Berdasarkan hasil uji indeks similaritas berdasarkan fraksi sedimen diketahui bahwa lokasi penelitan mengelompok menjadi tiga kelompok besar. Kelompok 1 terdiri dari stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, dan 13; kelompok 2 tediri dari stasiun 6, 8, 10, dan 11, sementara stasiun 9 merupakan satu kelompok tersendiri (Gambar 7). Dominasi fraksi debu sebesar 77,64% merupakan penyebab stasiun 9 merupakan satu kelompok tersendiri. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena transport sedimen akibat pola arus dan aktivitas di lokasi tersebut yang merupakan dermaga bongkar muat kapal pengangkut batu bara. Hasil analisis laboratorium terhadap tekstur sedimen disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 6 Histogram persentase fraksi sedimen pada setiap stasiun pengamatan Keterangan tipe sedimen : L (Lempung); LP (Lempung berpasir); LD (Lempung berdebu)

St.9 St.11 St.10 St.8 St.6 St.12 St.7 St.4 St.3 St.5 St.2 St.13 St.1 49,89 66,60 83,30 100,00 Stasiun S im il a ri ty

Gambar 7 Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan ukuran butiran sedimen

Terkait belum ditetapkannya baku mutu logam pada sedimen di Indonesia, acuan yang digunakan untuk menilai kualitas sedimen pada penelitian ini bersumber dari Canadian Sediment Quality Guidelines for The Protection of Aquatic Life yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup Kanada/Canadian Council of Ministers of the Environment (CCME) pada tahun 2002. Nilai batas bawah merupakan Threshold Effect Level (TEL) yang merepresentasikan batas konsentrasi logam yang menyebabkan efek biologis yang merugikan diperkirakan jarang terjadi, sementara Probable Effect Level (PEL) merupakan batas atas konsentrasi logam yang menyebabkan efek biologis yang merugikan dapat sering terjadi. Hasil analisis logam berat dalam sedimen di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6 dan Lampiran 3.

Tabel 6 Kandungan logam dalam sedimen di lokasi penelitian

Stasiun Hg As Se Mn Cu Cr Fe Pb Zn (µg/kg) (mg/kg) St.1 380,06 163,61 <0,20 345,86 63,41 310.08 7.177,50 8,55 90,04 St.2 66,08 346,88 272,07 605,94 58,2 310,94 7.384,89 14,75 102,25 St.3 27,95 1296,83 <0,20 492,27 48,85 278,57 6.840,30 17,17 111,62 St.4 74,74 1065,42 <0,20 261,00 35,42 142,06 5.639,45 7,46 52,39 St.5 125,73 3371,20 <0,20 2997,72 24,46 149,03 5.868,41 6,64 47,02 St.6 7.560,92 675,56 <0,20 398,96 78,8 381,01 7.203,27 5,98 91,36 St.7 615,20 1317,66 <0,20 394,13 67,62 247,3 6.964,84 5,8 90,22 St.8 390,83 1015,88 <0,20 380,67 64,5 307,69 7.071,01 5,92 133,73 St.9 289,84 918,41 <0,20 270,07 58,58 271,9 6.523,72 13,32 76,82 St.10 153,62 1082,43 <0,20 334,73 53,4 215,18 6.525,20 17,13 147,64 St.11 150,08 920,08 <0,20 356,87 58,78 234,73 6.841,60 5,73 52,86 St.12 1.860,74 1285,09 <0,20 199,96 60,58 193,03 6.378,93 5,94 55,04 St.13 496,55 681,36 <0,20 381,99 51,85 274,96 6.765,05 5,54 85,44 Acuan* 130-700 7240-41600 - - 18,7 -108 52,3-160 - 30,2-112 124-271 Keterangan : *Nilai acuan berdasarkan CCME (2002)

Berdasarkan hasil analisis logam berat dalam sedimen di lokasi penelitian diketahui bahwa beberapa parameter logam berat telah melebihi nilai PEL, yakni kandungan merkuri (Hg) di stasiun 6 dan 12 serta logam Kromium (Cr) pada seluruh stasiun. Tingginya kandungan logam Hg pada stasiun 6 dan 12 serta logam Se pada stasiun 2 diperkirakan terkait dengan dan ceceran batu bara pada lokasi penelitian. Pada saat pengambilan sampel sedimen, ceceran batu bara banyak ditemukan terakumulasi pada sedimen di beberapa lokasi pengamatan yang diperkirakan terkena pengaruh dari aktivitas operasional PLTU Paiton. Ahrens dan Morrisey (2005) menyatakan bahwa sekitar 60% konsumsi batu bara digunakan untuk memproduksi panas (sebagai bahan bakar pemanas pada musim dingin) dan energi, termasuk sekitar 39% dari pembangkit listrik di dunia. Merujuk pada hasil penelitian Lee et al. (2006) yang menganalisis kandungan merkuri pada batu bara jenis bitumen dari Indonesia yang digunakan sebagai bahan bakar pada PLTU di Korea Utara, menunjukkan bahwa kandungan merkuri yang terukur pada 5 sampel batu bara berdasarkan kondisi berat kering adalah berkisar 42,67 hingga 78,0 mg/kg. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nunes et al. (2008) menyatakan bahwa peningkatan kandungan merkuri di sedimen akan berhubungan dengan komunitas makrobentos berupa penurunan kelimpahan total dan keragaman yang rendah. Namun demikian, tingginya kandungan logam Hg pada sedimen di stasiun 6 dan 12 belum tampak pengaruhnya terhadap struktur komunitas makrozoobentos di daerah tersebut.

Sementara itu, tingginya kandungan logam Cr dan Besi (Fe) pada seluruh stasiun pengamatan diperkirakan terkait dengan kondisi kimia tanah di daerah Paiton. Berdasarkan hasil analisis rona awal lingkungan dari dokumen ANDAL PT Jawa Power (JP,1996) diketahui bahwa tanah di daerah Paiton memiliki kandungan beberapa logam berat yang cukup tinggi. Parameter logam berat yang terdeteksi cukup tinggi kandungannya pada tanah di daerah Paiton adalah Cu (64 ppm), Pb (26 ppm), Zn (49 ppm), Fe (49.000 ppm), dan Mn (370 ppm). Sifat permeabilitas tanah di daerah Paiton yang tinggi memungkinkan terjadinya pencucian logam-logam tersebut dari dalam tanah ke badan perairan.

Struktur Komunitas Makrozoobentos

Analisis makrozoobentos terhadap hasil pengambilan data primer menunjukkan pada lokasi sampling ditemukan secara total 77 jenis taksa dengan kepadatan berkisar antara 250-1.453 ind/m2. Urutan kelas makrozoobentos yang ditemukan berdasarkan rangking taksa adalah sebagai berikut Polychaeta (36 taksa), Crustaceae (23 taksa), Pelecypoda (empat taksa), Sipuncula (tiga taksa), Nemertina (dua taksa), Echinodermata (dua taksa), Coelenterata (dua taksa), Gastropoda (dua taksa), Brachiopoda (satu taksa), Cephalochordata (satu taksa), Urochordata (satu taksa), dan Turbelaria (satu taksa). Hasil identifikasi dan perhitungan terhadap struktur komunitas makrozoobentos di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 2.

Tingginya kelimpahan makrozoobentos dari kelas Polychaeta di daerah penelitian selaras dengan hasil penelitian Dean (2008) yang menyatakan bahwa Polychaeta umumnya merupakan kelas yang memiliki kepadatan tertinggi pada komunitas bentik dibanding kelas lainnya dan sering digunakan sebagai indikator

(2011) yang mengkaji dampak pembangkit listrik tenaga uap di India terhadap komunitas bentik yang mendapatkan hasil bahwa kelas Polychaeta berada pada peringkat teratas makrozoobentos berdasarkan kepadatannya, kemudian diikuti oleh Gastropoda, Crustacea, dan Bivalvia. Penelitian yang dilakukan oleh Giangrande et al. (2005) dan Sivadas et al. (2010) menerangkan bahwa makrozoobentos dari kelas Polychaeta sering ditemukan mendominasi komposisi struktur komunitas dikarenakan kelompok bentos ini terdiri dari beragam taksa serta memiliki pola makan dan strategi reproduksi yang beragam. Selain sebagai indikator lingkungan, Polychaeta juga berperan penting pada rantai makanan ekosistem bentik perairan laut (Musale dan Desai, 2010; Tomasetti dan Porello, 2005).

Berdasakan nilai indeks keseragaman pada setiap stasiun yang mendekati nilai 1 mengindikasikan suatu komunitas yang relatif mantap. Nilai indeks keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan suatu komunitas yang berada dalam kondisi relatif mantap pada faktor-faktor lingkungan (Krebs, 1989). Kondisi kemantapan struktur komunitas makrozoobentos juga ditunjukkan dengan nilai indeks dominansi yang relatif rendah (mendekati 0). Berdasarkan hasil perhitungan indeks dominansi dapat dinyatakan bahwa pada seluruh stasiun pengamatan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lainnya. Hasil perhitungan uji similaritas berdasarkan kepadatan makrozoobentos menunjukkan bahwa lokasi penelitian terbagi menjadi 6 kelompok (Gambar 8). Stasiun 1 dan 13 yang merupakan lokasi kontrol (diperkirakan tidak terpengaruh oleh aktivitas operasional PLTU Paiton) membentuk kelompok tersendiri.

Tabel 7 Struktur komunitas makrozoobentos hasil pengambilan data primer Stasiun Jumlah Taksa Kepadatan (ind/m2) Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi Indeks

1 22 823 3,70 0,83 0,11 2 29 1344 3,49 0,72 0,18 3 35 1453 3,92 0,76 0,12 4 18 227 3,68 0,88 0,11 5 33 439 4,54 0,90 0,06 6 27 305 4,38 0,92 0,06 7 23 284 4,17 0,92 0,07 8 22 272 4,17 0,94 0,07 9 21 254 3,86 0,88 0,10 10 29 481 4,33 0,89 0,07 11 23 279 4,23 0,94 0,06 12 13 250 3,09 0,84 0,16 13 22 279 3,88 0,87 0,10

Gambar 8 Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobentos

Status Kondisi Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton

Selain fungsi pada rantai makanan, bentos juga dapat berfungsi sebagai indikator kualitas lingkungan perairan. Simboura dan Zenetos (2002) menyatakan bahwa organisme indikator adalah jenis organisme yang digunakan berdasarkan sensitivitas atau toleransinya terhadap berbagai polutan. Salas et al. (2006) menyatakan bahwa indikator-indikator ekologis seringkali digunakan untuk memberikan informasi ringkas mengenai kondisi suatu ekosistem. Keragaman struktur dari suatu himpunan organisme berdasarkan lokasi dan waktu merupakan respon dari kondisi fisik dan biotik lingkungan tempat tinggal organisme tersebut (Gholizadeh et al. 2012). Berbagai istilah yang digunakan untuk mengkualifikasikan spesies bentik dalam kaitannya dengan status komunitas bentik dirangkum oleh Dauvin et al. (2010) sebagai berikut:

 spesies sensitif, adalah spesies yang hanya dapat bertahan pada kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan seringkali menghilang pada area yang tercemar dan zona yang mengalami perubahan lingkungan (seperti perubahan habitat atau iklim);

 spesies tolerant, merupakan spesies yang tidak sensitif terhadap tekanan tertentu dan/atau pencemaran;

 spesies oportunis, adalah spesies yang dapat secara cepat memanfaatkan sumberdaya baru atau relung ekologi yang tersedia;

 spesies penciri (characteristic), spesies yang terkait dengan struktur biocenotic yang khusus seperti komunitas, kumpulan biotik, atau biocenosis;

 spesies penjaga (sentinel), spesies tertetu yang dengan kehadirannya atau kepadatan relatifnya memperingatkan akan kemungkinan ketidakseimbangan pada lingkungan sekitar dan/atau perubahan dari fungsi komunitas;

 spesies indikatif atau spesies indikator, adalah spesies yang menandakan keberadaan faktor tertentu pada lingkungan, seperti faktor abiotik atau lebih

10 12 5 4 8 7 6 11 9 3 2 13 1 49.17 66.12 83.06 100.00 Stasiun S im il a ri ty Dendrogram

sering digunakan pada jenis yang jumlahnya meningkat seiring dengan peningkatan bahan organik;

 spesies umum (indifferent), adalah spesies yang tidak mempunyai hubungan yang nyata pada komunitas tertentu atau tidak menunjukkan respon terhadap pencemaran.

Berdasarkan identifikasi jenis makrozoobentos hasil pengambilan data primer kedalam grup ekologis (EG), diketahui bahwa makrozoobentos yang ditemukan didominasi oleh jenis pada EG I dan EG II dengan persentase sebesar 31 dan 30% (Tabel 8). Namun demikian, terdapat 13 jenis makrozoobentos yang tidak terdapat dalam daftar grup ekologis AMBI. Sebanyak 12 jenis makrozoobentos yang tidak terdapat dalam daftar tersebut dimasukkan dalam kategori no assigned (n.a) dan 1 jenis yang dihilangkan dari perhitungan (ignore). Berdasarkan perhitungan AMBI, kondisi lingkungan bentik perairan pesisir Paiton dikategorikan terganggu ringan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai AMBI pada seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 1,3 hingga 2,7. Gambar makrozoobentos yang telah dikelompokkan kedalam group ekologis-nya disajikan pada Lampiran 6, sementara perhitungan AMBI dan M-AMBI disajikan pada Lampiran 7.

Tabel 8 Komposisi grup ekologis makrozoobentos yang ditemukan

EG Jenis taksa Jumlah

taksa

%

I Terebellides sp., Pectinaria sp., Scoloplos sp., Maldane sp., Magelona sp., Samytha sp., Ammotryphane sp., Polygordius sp., Phascolion sp., Golfingia sp., Aspidosiphon sp., Ampelisca sp., Atylus sp., Oratosquilla sp., Ptilanthura sp., Ceradocus sp., Gnathia sp., Upogebia sp., Halcampa sp., Lingula sp., Branchiostoma sp., Tellina sp., Modiolus sp., Oliva sp.

24 31

II Glycera sp., Goniada sp., Nephtys sp., Eunice sp., Lumbrineris sp., Syllis sp., Pareurythoe sp., Phyllodoce sp., Paralacydonia sp., Potamilla sp., Pholoe sp., Aglaophamus sp., Marphysa sp., Tubulanus sp., Alpheus sp., Paguridae (sp1), Orchomene sp., Eogammarus sp., Rhitropanupeus sp., Amphiura sp., Ophiuroidea (sp1), Turbelaria (sp1),

23 30

III Notomastus sp., Paraonis sp., Nereis sp., Spiophanes sp.,

Sternaspis sp., Cerebratulus sp., Dulichia sp., Callianassa sp., Heterotanais sp., Ascidiaceae (sp1)

10 13

IV Heteromastus sp., Pseudoeurythoe sp., Cirratulus sp., Sigambra

sp., Polycirrus sp., Cossura sp., Corbula sp.

7 9

n.a Amphitrite sp., Prionospio sp., Ophelina sp., Aricidea sp.,

Parapasiphae sp., Euplax sp., Pinnotheres sp., Diasterope sp., Trachypeneus sp., Thalamita sp., Podopthalmus sp., Anadara sp.

12 16

ignore Megalopa of Brachyura (sp1) 1 1

Perhitungan lebih lanjut untuk mengetahui status ekologis perairan pesisir Paiton menggunakan analisis multivariat M-AMBI menunjukkan kategori yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan (Tabel 9).

Tingkat gangguan dari hasil perhitungan AMBI merupakan rasio antara spesies oportunistik dan sensitif serta gangguan yang berhubungan dengan keadaan tersebut. Penentuan kriteria status ekologis didasarkan pada kerangka arahan pengelolaan air di Uni Eropa (The European Union - Water Framework Directive / WFD) yang dihasilkan dari proses interkalibrasi dari angka-angka yang didapatkan dari hasil perhitungan menjadi sebuah kategori kualitatif yang terdiri dari status ekologis yang tinggi hingga buruk. Status ekologis perairan pesisir Paiton hasil perhitungan M-AMBI memiliki kategori ekosistem perairan pesisir yang sedang hingga tinggi. Beragamnya kategori status ekologis lingkungan perairan pesisir Paiton bila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan dikarenakan pada perhitungan M-AMBI untuk menilai status ekologis turut menggunakan indeks keragaman, indeks dominansi, dan nilai AMBI. Hal ini memberikan bobot yang berbeda pada perhitungan M-AMBI, karena pada nilai AMBI komponen yang digunakan dalam perhitungan lebih bersifat kualitatif yakni dengan mengelompokkan organisme makrozoobentos yang ditemukan ke dalam daftar kelompok ekologis. Hanya satu lokasi yang memiliki status ekologis sedang (stasiun 12), sementara stasiun lainnya berkategori bagus atau tinggi. Status ekologis yang berkategori sedang pada stasiun 12 dapat terkait dengan kondisi daerah tersebut yang merupakan saluran pembuangan air pendingin yang memiliki arus lebih kuat dibanding daerah lainnya sehingga dapat mengakibatkan rendahnya kepadatan bentos di daerah tersebut.

.

Tabel 9 Tingkat gangguan dan status ekologis perairan pesisir Paiton

Stasiun AMBI Tingkat Gangguan M-AMBI Status Ekologis

1 1,3 Terganggu ringan 0,7 Bagus

2 1,3 Terganggu ringan 0,7 Bagus

3 2,2 Terganggu ringan 0,7 Tinggi

4 1,8 Terganggu ringan 0,6 Bagus

5 2,0 Terganggu ringan 0,8 Tinggi

6 1,6 Terganggu ringan 0,8 Tinggi

7 1,7 Terganggu ringan 0,7 Bagus

8 1,7 Terganggu ringan 0,7 Bagus

9 1,7 Terganggu ringan 0,7 Bagus

10 1,9 Terganggu ringan 0,7 Tinggi

11 1,3 Terganggu ringan 0,7 Bagus

12 2,7 Terganggu ringan 0,5 Sedang

13 1,9 Terganggu ringan 0,7 Bagus

Analisis statistik digunakan untuk menilai perbandingan antara daerah kontrol dan daerah yang terpengaruh kegiatan PLTU Paiton dengan menggunakan uji-t. Data yang digunakan adalah data kepadatan makrozoobentos dari laporan pelaksanaan rencana pengelolaan dan pemantuan lingkungan (RKL-RPL) PT Paiton Energy (Unit 3 serta Unit 7-8) dari bulan Februari tahun 2009 hingga bulan Mei 2012 ditambah data pengambilan sampel primer pada bulan April 2013 (Tabel 10 serta Lampiran 8 dan 9). Hasil perhitungan uji-t (Lampiran 10)

daerah kontrol dan terpengaruh, sementara hasil uji-t untuk jumlah taksa memperlihatkan tidak ada perbedaan nyata antara daerah kontrol dan daerah yang terkena pengaruh kegiatan operasi PLTU Paiton. Hal ini juga ditunjukkan dari grafik perbandingan kepadatan makrozoobentos (Gambar 9) dan perbandingan jumlah taksa (Gambar 10) selama periode Februari 2009 hingga Mei 2013. Gambar 9 dan 10 memperlihatkan meskipun kondisi makrozoobentos pada lokasi kontrol mengalami lonjakan kepadatan pada bulan Februari 2010 dan Februari 2011, namun jumlah taksa yang ditemukan pada periode yang sama relatif seragam. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh kegiatan di area penelitian lebih cenderung berdampak terhadap kepadatan bentos dibandingkan jenis taksa. Biota yang mengalami lonjakan paling tinggi di area kontrol pada bulan Feb 2010 dan 2011 didominasi dari kelas Polychaeta yakni jenis Notomastus (EG III) dan Prionospio (not assigned).

Tabel 10 Sumber data sekunder makrozoobentos

Area Kode stasiun sampling Kode data sekunder

Kontrol St.1 SW-1 St.5 BM-1 St.13 BM-7 Terpengaruh St.3 SW-2 St.6 SW-3 St.7 BM-3 St.8 SW-4 St.9 BM-5 St.12 BM-6

Keterangan : Data dengan kode SW bersumber dari laporan pelaksanaan RKL RPL Unit 7&8 Data dengan kode BM bersumber dari laporan pelaksanaan RKL RPL Unit 3

Gambar 9 Perbandingan kepadatan makrozoobentos (ind/m2) pada area kontrol dan area terpengaruh di wilayah kajian selama periode

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 F eb -09 May -09 A ug -09 Nov -09 F eb -10 May -10 A ug -10 Nov -10 F eb -11 May -11 A ug -11 Nov -11 F eb -12 May -12 A ug -12 Nov -12 F eb -13

tahun 2009-2013

Gambar 10 Perbandingan jumlah taksa makrozoobentos pada area

kontrol dan area terpengaruh di wilayah kajian selama periode tahun 2009-2013

Analisis Isi Kebijakan

Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dipayungi secara hukum mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah, peraturan gubernur, hingga peraturan bupati atau walikota. Implementasi dari pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup pada tataran proyek atau unit kegiatan adalah diwajibkannya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan sebelum memulai kegiatannya untuk memiliki izin lingkungan. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, Undang Undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup adalah Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meskipun kegiatan di area komplek PLTU Paiton telah dilaksanakan mulai awal tahun 1990 dan undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup telah mengalami beberapa pergantian, namun pada intinya mekanisme mengenai izin lingkungan bagi suatu kegiatan yang akan dilaksanakan tetap sama. Izin lingkungan bagi suatu kegiatan diperoleh dokumen berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau dokumen/formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Kriteria mengenai penetapan apakah suatu kegiatan diwajibkan memiliki dokumen AMDAL atau UKL-UPL pada intinya didasarkan pada sifat dampak dan skala kegiatan. Sifat dampak yang dimaksud terdiri dari dampak penting dan dampak tidak penting, yakni dikategorikan berdampak penting terhadap lingkungan hidup apabila kegiatan tersebut menimbulkan perubahan

0 5 10 15 20 25 30 F eb -09 M a y -09 Aug -09 N ov -09 F eb -10 M a y -10 Aug -10 N ov -10 F eb -11 M a y -11 Aug -11 N ov -11 F eb -12 M a y -12 Aug -12 N ov -12 F eb -13

bentang alam, eksploitasi sumberdaya alam, kegiatan yang mempunyai resiko tinggi terhadap pertahanan negara, dan lain sebagainya. Suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan menimbulkan dampak penting dan dilakukan dalam skala yang besar, akan diwajibkan memiliki dokumen AMDAL sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan. Sementara itu, rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak tidak penting dan dilakukan dalam skala yang relatif kecil diwajibkan memiliki dokumen UKL UPL atau pada saat ini telah terdapat instrumen baru berupa kewajiban memilki Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantuan Lingkungan Hidup (SPPL). Penapisan atau pemilahan terkait pemenuhan kewajiban penyusunan dokumen lingkungan hidup pada saat ini telah diatur melalui Peraturan Menteri sehingga arahan untuk menentukan suatu kegiatan wajib memiliki AMDAL atau UKL UPL atau SPPL akan lebih mudah meskipun ada peluang pada beberapa jenis rencana usaha/dan atau kegiatan diperlukan penelaahan khusus yang dikarenakan jenis kegiatannya belum diatur atau terdata pada peraturan tersebut.

Berdasarkan telaahan terhadap kebijakan lingkungan yang tercantum pada dokumen RKL dan RPL tahap operasional dari masing-masing pengelola unit pembangkit terkait dengan pengelolaan dan pemantauan yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan bentik perairan pesisir Paiton, hal yang perlu ditingkatkan pengelolaannya adalah penanganan terhadap potensi ceceran batu bara. Hal ini berdasarkan hasil pengamatan pada beberapa lokasi pengambilan sampel sedimen dan makrozoobentos di wilayah kajian dijumpai adanya ceceran batu bara pada sedimen dasar perairan dalam jumlah yang relatif banyak. Pengaruh yang diperkirakan timbul akibat adanya ceceran batu bara tersebut diperkirakan berhubungan dengan tingginya kandungan beberapa parameter logam pada sedimen dasar perairan dan apabila terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang dapat menimbulkan pengaruh negatif pada makrozoobentos, baik pada tataran komunitas maupun individu. Gangguan pada struktur komunitas makrozoobentos dapat berpengaruh lebih lanjut terhadap biota lainnya sehubungan dengan piramida makanan atau trophic level pada ekosistem perairan laut dikarenakan peran makrozoobentos yang berada di tingkat yang rendah pada struktur piramida tersebut. Pencegahan ceceran batu bara ke laut telah dirumuskan dalam dokumen RKL RPL melalui penggunaan pelat pengarah ceceran batu bara agar kembali ke tongkang pada saat pembongkaran batu bara dari kapal atau tongkang ke unit penerima batu bara di dermaga. Selain itu, terdapat pengelola unit pembangkit yang menggunakan kapal berukuran besar untuk mengangkut batu bara dari lokasi penghasil batu bara ke komplek PLTU Paiton. Penggunaan kapal tersebut dinilai dapat lebih maksimal untuk mencegah ceceran batu bara dibandingkan dengan menggunakan tongkang terbuka, baik selama masa transportasi maupun pada saat dilakukannya aktivitas bongkar muat di dermaga. Namun demikian, penggunaan kapal berukuran besar tersebut tentunya memerlukan perhitungan lebih lanjut karena biaya operasional yang dikeluarkan mungkin akan lebih besar dibandingkan dengan menggunakan tongkang terbuka dan juga memerlukan struktur dermaga yang lebih kuat dibandingkan dengan dermaga yang diperuntukkan untuk tempat bersandarnya tongkang.

Dokumen terkait