• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa Timur"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN LINGKUNGAN BENTIK PERAIRAN PESISIR

PAITON, PROVINSI JAWA TIMUR

MURSALIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)

RINGKASAN

MURSALIN. Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan YUSLI WARDIATNO

Kawasan pesisir Kecamatan Paiton yang terletak di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah pesisir dengan aktivitas manusia yang cukup tinggi dan merupakan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas terbesar di Indonesia. Komplek PLTU Paiton saat ini terdiri atas delapan unit pembangkit dengan kapasitas total sebesar 4600 Megawatt dengan bahan bakar operasional PLTU berasal dari batu bara. Salah satu komponen lingkungan pesisir yang dapat terkena pengaruh dari adanya operasional PLTU Paiton adalah lingkungan bentik, berupa sedimen dasar perairan dan organisme bentos yang hidup pada sedimen tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai tekanan ekologis dari kegiatan penanganan batu bara di area komplek PLTU Paiton terhadap struktur komunitas makrozoobentos dan menentukan status kondisi lingkungan bentik berdasarkan kondisi sedimen dasar perairan dan struktur komunitas makrozoobentos.

Penelitian berlokasi di wilayah pesisir yang diperkirakan terkena pengaruh kegiatan operasional PLTU (10 stasiun pengamatan, yaitu 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12) dan wilayah yang diperkirakan tidak terkena pengaruh sebagai pembanding/titik kontrol sebanyak 3 stasiun pengamatan yaitu stasiun 1,3,5. Data dianalisis dengan 1) metode keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansinya, 2) analisis ukuran butir sedimen (pasir, debu, dan liat) serta analisis kandungan logam berat (Hg, As, Cr, Se, Mn, Cu, Cr, Fe, Pb, dan Zn), 3) analisis indeks similaritas, 4) analisis uji-T, 5) AZTI Marine Biotic Index (AMBI), dan 6) analisis multivariat M-AMBI.

Berdasarkan hasil analisis keanekaragaman makrozoobentos, didapat 77 jenis taksa dengan kepadatan berkisar antara 250-1453 ind/m2. Makrozoobentos yang ditemukan terdiri atas 12 kelas yakni Polychaeta, Nemertina, Sipuncula, Crustaceae, Echinodermata, Coelenterata, Brachiopoda, Cephalochordata, Pelecypoda, Urochordata, Turbelaria, dan Gastropoda. Indeks keseragaman pada seluruh stasiun mendekati nilai 1, hal ini menunjukkan suatu komunitas makrozoobentos yang relatif mantap, sementara itu berdasarkan hasil perhitungan indeks dominansi menunjukkan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lainnya di seluruh lokasi kajian. Berdasarkan hasil perhitungan uji similaritas, kepadatan makrozoobentos terbagi menjadi 6 kelompok. Stasiun 1 dan 13 yang merupakan lokasi kontrol (diperkirakan tidak terpengaruh oleh aktivitas operasional PLTU Paiton) membentuk kelompok tersendiri

(5)

kapal pengangkut batu bara. Hasil analisis kandungan logam berat dalam sedimen menunjukkan pada stasiun di dekat jetty dan perairan di depan saluran buangan air pendingin memiliki kandungan logam raksa (Hg) yang dapat memberikan pengaruh biologis terhadap organisme laut.

Berdasarkan perhitungan AMBI, kondisi lingkungan bentik perairan pesisir Paiton yang termasuk dalam wilayah kajian seluruhnya dikategorikan sedikit terganggu. Perhitungan selanjutnya untuk mengetahui status ekologis perairan pesisir Paiton menggunakan analisis multivariat M-AMBI menunjukkan kategori yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan. Status ekologis perairan pesisir Paiton hasil perhitungan M-AMBI memiliki kategori ekosistem perairan pesisir yang sedang hingga tinggi. Beragamnya kategori status ekologis lingkungan perairan pesisir Paiton bila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan dikarenakan pada perhitungan M-AMBI untuk menilai status ekologis turut menggunakan indeks keragaman, indeks dominansi, dan nilai AMBI. Hasil perhitungan uji-T terhadap data sekunder kepadatan bentos menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara daerah kontrol dan daerah yang terkena pengaruh kegiatan operasi PLTU Paiton. Namun pada periode yang sama, perbandingan jumlah taksa antara daerah kontrol dan daerah terpengaruh tidak berbeda nyata. Hal ini juga ditunjukkan dari grafik kepadatan makrozoobentos dan jumlah taksa selama periode Februari 2009 hingga Mei 2013.

(6)

SUMMARY

MURSALIN. Environmental Assessment of Paiton Coastal Benthic, East Java Province. Supervised by ETTY RIANI and YUSLI WARDIATNO

Coastal areas of Paiton District located in Probolinggo, East Java Province is one of the coastal areas with high human activity and is the location of the largest capacity Power Plant in Indonesia. Paiton Power Plant complex currently consists of eight generating units with 4600 MW total capacity and fuel derived from coal for operations. One of coastal environment component can be affected by the Paiton Power Plant operations are benthic environment, that is sediment and benthos. The purpose of this study was to assess the ecological pressure from coal handling activities in the area of Paiton Power Plant complex to the macrozoobenthos community structure and determine the status of benthic environment based on sediment condition and macrozoobenthos community structure.

Research are located in coastal areas affected by the power plant operations (10 observation stations, namely 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12) and the area unaffected as a reference/control point (3 station observations, namely 1,3,5). Data were analyzed by 1) diversity index, uniformity index, and dominance index , 2) sediment grain size (sand, dust, and clay) and heavy metals (Hg,As,Cr,Se,Mn,Cu, Cr,Fe,Pb, and Zn), 3) similarity index, 4) T-test, 5) AZTI Marine Biotic Index (AMBI), and 6) multivariate analysis M-AMBI.

Based on macrozoobenthos diversity index analysis, obtained 77 types of taxa with densities ranging from 250-1453 ind/m2. Makrozoobenthos were found consist of 12 classes namely Polychaeta, Nemertina, Sipuncula, Crustaceae, Echinodermata, Coelenterata, Brachiopods, Cephalochordates, Pelecypoda, Urochordata, Turbelaria, and Gastropods. Uniformity index values at all stations close to 1, it indicates a relatively stable macrozoobenthos community. Dominance index calculation showed no extreme types that dominate other species throughout the study site. Based on the calculation of similarity analysis, the density of makrozoobenthos divided into 6 groups. Stations 1 and 13, which is location control (unaffected by operational activities of Paiton) formed a separate group.

The result on sediment grain size analysis shown that the sediment composition at research locations is dominated by sand and dust fractions. Based on sediment fraction similarity index, is known that the research locations clustered into 3 major groups. Group 1 consisted of station 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, and 13, group 2 consists of stations 6, 8, 10, and 11, while station 9 is a separate group (this is caused by dust fraction dominance up to 77.64%). This condition is predicted to occur because of the sediment transport from flow pattern and dock activity, which is a coal unloading dock. Analysis results of heavy metals in the sediments, showed the station near the jetty and the body water in front of the cooling water discharge channel has a metal content of mercury (Hg), which can provide biological influences on marine organisms.

(7)

compared with the level of disturbance category. Ecological status of Paiton coastal from M-AMBI calculation has moderate to high ecological category. The diversity of ecological status category of Paiton coastal, because of M-AMBI calculation also using diversity index, dominance index, and the value of AMBI. T-test results of the density calculation of benthic secondary data showed that there was significant difference between control areas and areas affected by Paiton Power Plant operations. But in the same period, the ratio of taxa between control areas and areas affected were not significantly different. It is also shown from the graph of macrozoobenthos density and number of taxa during the period February 2009 to May 2013

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

KAJIAN LINGKUNGAN BENTIK PERAIRAN PESISIR

PAITON, PROVINSI JAWA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)

Jawa Timur Nama : Mursalin NRP : P052090271

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, MS Ketua

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof.Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)
(13)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Kajian

Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan serta bimbingan, diantaranya:

1. Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, pengawasan, dan bimbingan yang sangat berarti.

2. Manajemen serta seluruh staf Bagian dan Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberikan kesempatan, dukungan, dan bantuan kepada penulis untuk melanjutkan studi.

3. Staf pengajar dan staf penunjang Departemen MSP-FPIK IPB atas dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi.

4. Bapak Jaswadi dari PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) UP Paiton dan staf atas bantuan selama melakukan pengambilan data primer.

5. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur atas bantuan dalam pengumpulan data sekunder.

6. Orang tua tercinta, H. Muhammad Amin dan Hj. Ratna Dewi atas segala do’a yang tiada henti serta dukungan baik moril maupun materiil yang selalu diberikan.

7. Pa’Cik H. Yas Faisal dan Ma’Cik Hj. Ainul Mardhiah atas do’a dan bantuan yang

diberikan, serta seluruh keluarga besar alm. H. Sulaiman Djalil dan alm H. Muhammad Ali.

8. Retno Anggraeni yang selalu memberikan semangat dan bantuan kepada penulis. Rekan-rekan program Magister dan Doktor PSL IPB angkatan 2009, keluarga besar Pondok Girma, rekan-rekan ex Komplek IPB II Blok C-2, dan rekan-rekan Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana asal Aceh (IKAMAPA) atas kebersamaannya selama ini. Dede Wulandari dan Reza Zulmi atas bantuannya

9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi dan penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

3 METODE 12

Bahan 12

Alat 13

Prosedur Analisis Data 13

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18

Hidrooseanografi Daerah Pesisir Paiton 19

Potensi Perikanan 19

Komplek PLTU Paiton 19

Kualitas Air Laut 20

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Kondisi Sedimen Dasar Perairan 23

Struktur Komunitas Makrozoobentos 25

Status Kondisi Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton 27

Analisis Isi Kebijakan 31

6 SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 37

(15)

1. Klasifikasi tipe sedimen berdasarkan skala Wentworth 11

2. Parameter analisis logam berat dalam sedimen 15

3. Kategori tingkat gangguan dan status ekologis berdasarkan nilai AMBI dan

M-AMBI 17

4. Informasi unit pembangkit di area komplek PLTU Paiton 20 5. Kualitas perairan laut Pesisir Paiton periode 1996-2012 21 6. Kandungan logam dalam sedimen di lokasi penelitian 24 7. Struktur komunitas makrozoobentos hasil pengambilan data primer 26 8. Komposisi group ekologsi makrozoobentos yang ditemukan 28 9. Tingkat gangguan dan status ekologis perairan Pesisir Paiton 29

10. Sumber data sekunder makrozoobentos 30

DAFTAR GAMBAR

1. Ruang lingkup penelitian 5

2. Contoh skema pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara 7 3. Karakteritstik kandungan karbon dan kelembaban serta persentase penggunaan

dari masing-masing jenis batu bara 9

4. Lokasi penelitian dan titik pengambilan data primer 12 5. Lokasi Pesisir Paiton di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur 18 6. Histogram persentase fraksi sedimen pada setiap stasiun pengamatan 23 7. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan ukuran butir sedimen 24 8. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobentos 27 9. Perbandingan kepadatan makrozoobentos (ind/m2) pada area kontrol dan area

terpengaruh di wilayah kajian selama periode tahun 2009-2013 30 10. Perbandingan jumlah taksa makrozoobentos pada area kontrol dan area

terpengaruh di wilayah kajian selama periode tahun 2009-2013 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Foto lokasi sampling beserta kondisi sedimen sebelum dan sesudah

penyaringan 37

2 Hasil identifikasi makrozoobentos 41

3 Hasil analisis logam dalam sedimen 47

4 Hasil analisis tekstur sedimen 50

5 Acuan kandungan logam dalam sedimen 51

6 Foto makrozoobentos (berdasarkan urutan ecological group) 53

7 Hasil perhitungan AMBI dan M-AMBI 59

8 Data sekunder kepadatan makrozoobentos (ind/m2) periode Februari 2009-May

2012 61

9 Data sekunder jumlah taksa makrozoobentos periode Februari 2009-May 2012 62

10 Hasil uji-t 63

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah pesisir ditinjau dari kajian ekologis merupakan ekosistem yang unik karena merupakan lokasi percampuran air tawar dari sungai dan air yang memiliki kadar garam (salinitas) dari laut. Pertemuan dua ekosistem perairan ini menjadikan perairan pesisir sebagai ekosistem dengan produktivitas yang tinggi karena masukan nutrien berasal dari darat maupun laut. Perairan pesisir juga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena ditunjang dengan rentang salinitas yang cukup lebar sehingga menjadikan daerah ini dapat dijadikan tempat tinggal dari beragam biota, baik yang mampu hidup pada rentang perubahan salinitas yang lebar (euryhaline) maupun yang hanya dapat bertahan hidup pada kisaran perubahan salinitas sempit (stenohaline).

Definisi wilayah pesisir menurut Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Perubahan kondisi fisik-kimia-biologi perairan pesisir yang terletak di pulau besar yang berpenghuni pada umumnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia di darat, sedangkan pengaruh dari laut berupa dinamika komponen hidroseanografi harian seperti pola arus dan pasang-surut permukaan air laut lebih banyak berdampak terhadap kondisi fisiografis daerah pesisir seperti fenomena abrasi dan akresi. Perubahan kondisi lingkungan perairan pesisir dari darat disebabkan karena wilayah pesisir pada umumnya merupakan muara atau daerah hilir dari suatu sungai sehingga material organik dan komponen lain yang terbawa dalam aliran sungai akan berkumpul di daerah pesisir. Selain pengaruh dari material organik dan komponen lain yang terkandung dalam aliran sungai, aktivitas manusia di sepanjang perairan pesisir juga dapat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan pesisir. Beragam aktivitas manusia dapat dilakukan atau hanya mungkin dilakukan di daerah pesisir

(17)

bakar pada proses produksi di seluruh unit pembangkit pada komplek PLTU Paiton menggunakan batu bara yang berasal dari tambang di Pulau Kalimantan.

Aktivitas operasional PLTU yang menggunakan bahan bakar batu bara dapat memberikan pengaruh terhadap komponen fisika-kimia-biologi lingkungan yang bersumber mulai dari kegiatan penanganan batu bara sebelum digunakan pada kegiatan pembangkitan, emisi gas dan asap dari kegiatan pembakaran pada boiler, sisa abu pembakaran batu bara, serta limbah cair. Teknologi yang dapat digunakan untuk meminimalkan pengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan akibat kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu bara saat ini telah tersedia. Dampak terhadap kualitas udara dari sumber emisi gas dan asap dapat ditanggulangi dengan menggunakan Flue Gas Desulphurization (FGD) yang dapat mengurangi kadar belerang/sulfur serta Electrostatic Precipitator (ESP) untuk mengurangi partikel debu yang keluar dari cerobong. Pembakaran batu bara akan mengasilkan abu terbang (fly ash) dan abu tinggal (bottom ash), kedua limbah tersebut tergolong sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Penanganan limbah abu tersebut umumnya dilakukan dengan menggunakan metode penimbunan/landfill, namun saat ini setelah melalui berbagai kajian juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk kegiatan lainnya seperti bahan baku dan bahan bakar campuran pada industri semen. Limbah cair yang dihasilkan kegiatan PLTU diantaranya berasal dari air hasil desalinasi, air sisa pendinginan dari cooling tower dan air limpasan dari tempat penampungan (stockpile) batu bara. Proses desalinasi yang merubah air laut menjadi air tawar akan menghasilkan air yang memiliki salinitas tinggi, sementara air sisa pendinginan boiler akan menghasilkan air yang bersuhu tinggi atau air bahang. Selain kedua jenis limbah cair tersebut terdapat pula limbah cair yang mengandung bahan organik maupun anorganik yang berasal dari limpasan stockpile batu bara. Teknologi untuk menanggulangi pengaruh dari limbah cair yang dihasilkan oleh PLTU berbahan bakar batu bara juga telah tersedia. Teknologi tersebut dapat berupa saluran/kanal air untuk mencampur air sisa dari cooling tower maupun dari sisa proses desalinasi yang bertujuan untuk menurunkan temperatur dan salinitas, serta Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau Wastewater Treatment Plant (WWTP) untuk menurunkan kadar bahan organik dan anorganik dalam air limbah sebelum dibuang ke badan air penerima.

(18)

bentos perairan pesisir umumnya dapat terjadi karena rangkaian dampak yang terjadi pada perubahan kualitas perairan dan pengaruh fenomena alam di daerah tersebut yang kemudian memberikan pengaruh terhadap kondisi sedimen yang merupakan habitat bentos. Pada tahap selanjutnya, gangguan terhadap struktur organisme bentos perairan pesisir dapat memberikan pengaruh lanjutan terhadap struktur komunitas ikan atau organisme lainnya terutama yang terkait dengan bentos dalam struktur piramida atau rantai makanan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan difokuskan untuk mengkaji kondisi lingkungan bentik yang diperkirakan terkena pengaruh dari kegiatan penanganan batu bara pada kegiatan operasional pembangkit listrik di wilayah pesisir Paiton.

Perumusan Masalah

Wilayah pesisir Paiton merupakan daerah yang memiliki beragam aktivitas manusia yang dapat memberikan pengaruh terhadap komponen lingkungan, salah satunya adalah pengaruh terhadap lingkungan bentik perairan pesisir. Aktivitas terbesar di daerah Paiton adalah kegiatan operasional komplek PLTU Paiton yang merupakan area pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara. Pengaruh lingkungan terhadap komponen bentik yang diperkirakan bersumber dari kegiatan Komplek PLTU Paiton adalah kegiatan penanganan batu bara.

Berdasarkan uraian perumusan masalah, permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh kegiatan tahap operasional di areal komplek PLTU Paiton terhadap komponen lingkungan bentik perairan khususnya sedimen dan makrozoobentos?

2. Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan kondisi lingkungan bentik di wilayah perairan komplek PLTU Paiton?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menilai tekanan ekologis dari kegiatan tahap operasional komplek PLTU Paiton terhadap struktur komunitas makrozoobentos

2. Menentukan status kondisi lingkungan bentik berdasarkan kondisi sedimen dasar perairan dan struktur komunitas makrozoobentos.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan informasi bagi pengelola komplek PLTU Paiton mengenai

efektivitas kegiatan tahap operasional yang berpengaruh terhadap lingkungan bentik perairan Pesisir Paiton

(19)

Ruang Lingkup Penelitian

Kebutuhan energi listrik di Indonesia saat ini lebih banyak dipenuhi oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Pada umumnya PLTU berbahan bakar batu bara di Pulau Jawa terdapat di daerah pesisir. Selain karena membutuhkan pasokan air yang cukup besar, lokasi PLTU berbahan bakar batu bara di Pulau Jawa umumnya berada daerah pesisir dikarenakan sumber energi berupa batu bara tidak banyak terdapat di Pulau Jawa sehingga kebutuhan batu bara didatangkan dari pulau lainnya seperti Sumatera dan Kalimantan yang memiliki potensi cadangan batu bara dalam jumlah besar, oleh karenanya untuk mendatangkan batu bara tersebut ke area pembangkit membutuhkan transportasi laut yang dinilai paling ekonomis dan memadai. Berbagai pandangan negatif terhadap kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu bara diakibatkan karena jenis bahan bakar batu bara dianggap tidak ramah lingkungan sehingga menyebabkan pengaruh terhadap berbagai komponen lingkungan baik udara, air maupun tanah. Pengaruh akibat kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu bara bersumber mulai dari proses pembongkaran (unloading) batubara dari kapal atau tongkang ke tempat penampungan (stockpile), pencucian batu bara sebelum digunakan, emisi gas buang dan sisa abu batu bara hasil pembakaran, hingga limbah air panas yang bersumber dari sisa kegiatan pendinginan cooling tower. Namun demikian, saat ini telah banyak tersedia teknologi yang dapat mengurangi berbagai pengaruh yang timbul sehingga persepsi negatif akibat operasional kegiatan PLTU berbahan bakar batu bara mulai berkurang.

Kebijakan peraturan mengenai lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia mempersyaratkan bahwa setiap kegiatan yang akan mengakibatkan perubahan mendasar terhadap berbagai komponen lingkungan diwajibkan untuk membuat kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup (AMDAL). Kajian tersebut akan mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak penting dari rencana kegiatan yang kemudian akan menjadi dasar pertimbangan untuk menilai kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan dari sisi lingkungan hidup. Kajian AMDAL juga akan menghasilkan arahan pengelolaan dan pemantauan komponen lingkungan hidup yang tertuang dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Dokumen RKL-RPL menjadi acuan bagi pemrakarsa kegiatan dalam mengelola dampak lingkungan yang timbul dan memonitor atau memantau proses pengelolaan dampak tersebut sesuai arahan kajian AMDAL dan juga mengevaluasi pengelolaan yang telah dilakukan. Sebagai PLTU berkapasitas terbesar di Indonesia, PLTU Paiton sebelum memulai aktivitasnya telah memiliki dokumen AMDAL dan juga telah melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebagaimana arahan dalam dokumen RKL-RPL sebagai wujud nyata komitmen terhadap kegiatan operasional PLTU yang peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup.

(20)

acuan untuk menilai efektivitas pengelolaan dampak yang timbul akibat kegiatan pada tahap operasional PLTU. Penelitian ini akan mengambil data primer komponen lingkungan bentik perairan yakni sedimen dasar perairan dan bentos serta menggunakan data sekunder hasil pemantauan rutin (laporan pelaksanaan RKL-RPL) yang telah dilakukan oleh masing-masing pengelola pembangkit di komplek PLTU Paiton. Ruang lingkup penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 1.

Keterangan:

: ruang lingkup utama penelitian

Gambar 1. Ruang lingkup penelitan

Aktivitas di Pesisir Paiton

Kegiatan tahap operasional

Sedimen

 Tekstur

 Kandungan

Logam

Makrozoobentos

 Struktur

Komunitas

 Tekanan

lingkungan

Status Kondisi Lingkungan Bentik

Hidrooseanografi

 Pola pasang surut

 Pola arus

(21)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

Kegiatan penyediaan tenaga listrik dimulai dari unit pembangkitan yang kemudian dialirkan melalui saluran transmisi dan saluran distribusi hingga ke konsumen. Mekanisme produksi listrik di unit pembangkit pada prinsipnya adalah mengkonversi suatu energi yang dapat dihasilkan dari tenaga air, gas, uap, angin, matahari hingga panas bumi menjadi energi elektromagnet. Proses produksi listrik pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dihasilkan melalui proses pemanasan air pada ketel uap (boiler). Uap panas yang terbentuk kemudian dialirkan menuju turbin hingga rotasi turbin akan memutar sebuah magnet dalam generator. Mengacu pada gaya elekromagnet, magnet yang berputar di tengah kumparan akan menghasilkan energi listrik. Proses dalam generator ini dapat disamakan proses dalam dinamo lampu sepeda. Kepala dinamo yang berputar akibat gesekan dengan ban otomatis memutar magnet dalam dinamo yang kemudian menghasilkan energi listrik yang menyalakan lampu sepeda (PT PLN (Persero) Pembangkitan Tanjung Jati B/TJB, 2009). Skema pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara disajikan pada Gambar 2.

Proses pemanasan air hingga menghasilkan tekanan uap tentunya memerlukan pasokan air dalam jumlah yang besar, oleh karenanya keberadaan PLTU biasanya berlokasi di dekat sungai besar atau di tepi laut/daerah pesisir. Proses pemanasan air pada boiler memerlukan bahan bakar yang dapat bersumber dari bahan bakar minyak, gas, maupun batu bara. Berkaitan dengan berkurangnya cadangan minyak bumi, PLTU di Indonesia saat ini lebih banyak menggunakan batu bara sebagai bahan bakar pada unit pembangkitan. Selain cadangan batu bara di Indonesia masih melimpah, biaya yang diperlukan untuk memproduksi listrik dari unit pembangkit yang berbahan bakar batu bara relatif lebih murah dibandingkan dengan unit pembangkit yang menggunakan bahan bakar minyak.

(22)

Sumber : TJB (2009)

Gambar 2. Contoh skema pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara

Keterangan :

1. a. Dermaga batu bara

b. Penampungan batu bara (coal stockpile)

2. Instalasi pengolahan air, dapat berupa desalinasi maupun menggunakan air sungai untuk menggerakkan dan mendinginkan turbin

3. Boiler atau tungku, berfungsi untuk menghasilkan uap air

4. Turbin, uap yang dihasilkan dari boiler akan menggerakkan turbin

5. Generator, turbin akan memutar magnet besar, rotor, dan memproduksi lisrik dalam strator generator yang mengacu pada gaya elektromagnet pada lilitan-lilitan generator

6. Transformator, tenaga yang dihasilkan dari generator ditingkatkan oleh transformator

(23)

Batu Bara

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, definisi batu bara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. ANR (2012) menyatakan bahwa batu bara merupakan hasil sedimentasi yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Hal ini berbeda dengan mineral yang merupakan unsur anorganik dan pada umumnya membentuk formasi batuan karena proses mineralisasi. Cadangan batu bara yang terkandung dalam bumi tergantung pada jenis tanaman di awal pembentukan batu bara. Kondisi lingkungan menentukan perubahan fisik, kimia, dan biologis yang terakumulasi antar waktu. Seperti halnya mineral yang ditemukan dalam batuan, bagian tumbuhan yang terawetkan secara alami akan bermetamorfosis selama jutaan tahun oleh tekanan dan temperatur menjadi bermacam jenis batu bara serta memerlukan kondisi laju pengendapan yang lebih cepat dibanding laju peluruhanya.

Batu bara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut dan mengalami perubahan bentuk. Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses pembentukan batu bara dimulai ketika gambut (peat) berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara coklat (brown coal) yang merupakan jenis batu bara maturitas organik rendah. Pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun akan membuat batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi

batu bara sub-bitumen (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bitumen (bituminous) hingga antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit. Tingkat perubahan yang dialami batu bara dari gambut sampai menjadi antrasit, disebut sebagai pengarangan (coalification), memiliki hubungan yang penting dan disebut sebagai ‘tingkat/mutu’ batu bara (World Coal Institute/WCI, 2005). Gambaran mengenai pembagian batu bara berdasarkan kandungan energi dan kelembabannya serta penggunaannya disajikan pada Gambar 3.

Penamaan batu bara dalam bahasa Inggris, coal, berasal dari bahasa Inggris kuno, col, yang merupakan jenis arang yang digunakan pada saat tersebut. Speight (2005) menjelaskan klasifikasi batu bara berdasarkan jenisnya adalah sebagai berikut:

(24)

per ton pada kondisi lembab bebas partikel mineral (mineral-matter-free-basis).

b. Bitumen (bituminous), adalah batu bara padat yang umumnya berwarna hitam namun terkadang berwarna coklat gelap. Batu bara jenis ini sering digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap dan industri lainnya. Kadar air bitumen biasanya kurang dari 20% dari massanya, sementara kandungan panasnya berkisar antara 21 sampai 30 juta Btu/ton pada kondisi lembab bebas partikel mineral.

c. Sub bitumen (sub bituminous), merupakan jenis batu bara yang berwarna coklat tua sampai hitam dan memiliki karakter yang kusam, lembut, dan rapuh pada bagian bawah sementara pada bagian atas memiliki karakter yang cerah, hitam, keras dan relatif kuat. Batu bara sub bitumen mengandung 20-30% kadar air dari massanya. Kandungan panas dari sub bitumen berkisar dari 17 hingga 25 juta Btu/ton pada kondisi lembab bebas partikel mineral.

d. Batu bara muda (lignite), merupakan batu bara dengan peringkat terendah berwana hitam kecoklatan sehingga sering disebut sebagai batu bara coklat. Jenis batu bara ini sering digunakan secara khusus sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga uap. Jenis batu bara ini memiliki kadar air yang tinggi sekitar 45% dari massanya, sementara kandungan panasnya berkisar antara 9 hingga 17 juta Btu/ton pada kondisi lembab bebas partikel mineral.

Sumber : WCI (2005)

Gambar 3 Karakteritstik kandungan karbon dan kelembaban serta persentase penggunaan dari masing-masing jenis batu bara

(25)

Bentos

Terminologi bentos berasal dari bahasa latin yang secara harfiah mempunyai arti kedalaman, namun secara luas diartikan sebagai organisme yang hidup pada dasar permukaan laut dan di dasar sungai dan danau (Kingston, 2001). Odum (1971) menyatakan bahwa bentos meliputi organisme nabati (fitobentos) dan organisme hewani (zoobentos). Berdasarkan ukurannya, zoobentos dibagi kedalam dua kelompok besar yakni macrozoobenhos dan meiozoobentos. Makrozoobentos didefinisikan sebagai bentos yang tertahan pada alat penyaring dengan ukuran mata jaring 1x1 mm, sementara meiozoobentos merupakan bentos yang lolos pada ukuran mata jaring yang sama (Van der Graaf et al., 2009)

Bentos memegang peraran penting dalam rantai makanan di ekosistem perairan pesisir. Håkanson dan Bryhn (2008) menyatakan bahwa zoobentos merupakan komponen penting untuk komunitas ikan kelompok penyusun piramida bawah (prey fish) pada rantai makan di ekosistem pesisir. penurunan atau perubahan pada biomassa zoobentos akan sangat berpengaruh pada kelompok ikan tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi kelompok ikan penyusun piramida rantai makanan diatasnya (predator fish). Selain fungsi pada rantai makanan, bentos juga dapat berfungsi sebagai indikator kualitas lingkungan perairan. Simboura dan Zenetos (2002) menyatakan bahwa organisme indikator adalah jenis organisme yang digunakan berdasarkan sensitivitas atau toleransinya terhadap berbagai polutan.

Jenis bentos indikator dapat digunakan untuk mendefinisikan tipe habitat dan mengklasifikasikan kualitas ekologis lingkungan tempat hidupnya. Jenis zoobentos indikator dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yakni kelompok sensitif dan kelompok yang toleran. Jenis kelompok sensitif menggambarkan tipe habitat berdasarkan persentase dominan terhadap jenis yang lain atau kehadirannya secara khusus menggambarkan habitat yang spesifik, sementara kelompok toleran merupakan kelompok “oportunis” yang kehadirannya tidak terganggu oleh berbagai macam gangguan atau perubahan lingkungan.

Sedimen

(26)

penempelan/pelekatan dan pergerakan yang terkait dengan kekenyalan sedimen atau ketersediaan permukaan yang keras. Ukuran butiran dan kandungan bahan organik seringkali merefleksikan kekuatan dari arus bawah permukaan di laut. Kondisi aerob dan anaerobik pada sedimen secara umum juga mencerminkan fungsi dari ukuran butir sedimen meskipun tergantung pada laju sirkulasi air.

Komposisi sedimen di perairan laut juga dipengaruhi oleh faktor oseanografi, seperti halnya kerikil kasar banyak terdapat di perairan yang memiliki gelombang dan arus yang kuat, tipe sedimen yang didominasi lumpur banyak terdapat di daerah yang memiliki energi gelombang dan arus yang lemah, sementara lumpur halus dan liat banyak terdapat di laut dalam (Gray dan Elliot, 2009). Klasifikasi tipe ukuran butiran sedimen akan ditentukan dengan menggunakan skala Wentworth. Tipe substrat berdasarkan skala Wentworth disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi tipe sedimen berdasarkan Skala Wentworth

Klasifikasi Deskripsi Skala 2 (mm) Skala √2

(27)

Penelitian ini mengkaji lokasi perairan pesisir pantai Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur (Gambar 4) yang diperkirakan terkena dampak kegiatan operasional dari area komplek PLTU Paiton. Selain area yang diperkirakan terkena dampak, penelitian ini juga mengkaji daerah yang diperkirakan tidak terkena dampak sebagai pembanding atau titik kontrol. Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari 2013 hingga Mei 2013.

sumber peta : Google Earth (Maret-2013)

Gambar 4 Lokasi penelitian dan titik pengambilan data primer

Keterangan lokasi

Stasiun Lokasi Stasiun Lokasi

1 Perairan Bhinor (Kontrol) 8 Inlet air pendingin / inlet canal 2 Area labuh PEC 9 Dermaga JP

3 Saluran outlet Unit 9 10 Dermaga JP sisi timur

4 Dermaga bongkar-muat PEC 11 Perairan di depan Stock Pile batu bara 5 Mercusuar (Kontrol) 12 Outlet air pendingin / outlet canal 6 Dermaga PLN / oil jetty 13 Perairan Banyuglugur (Kontrol) 7 Dermaga PLN sisi timur / oil

jetty

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a.bahan pengawet sampel bentos berupa larutan formalin-rosebengal; b.software/perangkat lunak untuk mengolah data statistik;

(28)

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a.instrumen penentu koordinat lokasi sampling berupa Global Positioning System (GPS);

b.kamera;

c.alat pengambil contoh sedimen dasar perairan dan bentos berupa Van Veen grab;

d. alat penyaring untuk mengumpulkan sampel bentos; e.wadah untuk sampel bentos dan sedimen;

f.instrumen laboratorium untuk pengukuran logam berat pada sedimen berupa spektrofotometer dan peralatan gelas laboratorium;

g.isnstrumen untuk perhitungan kepadatan dan identifikasi bentos berupa mikroskop stereo/mikroskop bedah.

Prosedur Analisis Data

Metode Penelitian

Penelitian ini menganalisis kondisi lingkungan bentik perairan di daerah yang diperkirakan terkena dampak dan daerah yang tidak terkena dampak (lokasi kontrol) dari kegiatan operasional area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data text dan image yang memberikan informasi mengenai keadaan di tempat penelitian berupa gambar, diagram, dan tabel. Data text yang akan digunakan berupa hasil analisis laboratorium terhadap parameter fisik-kimia sedimen dasar perairan dan sampel bentos, sementara data image berupa gambar, diagram, serta tabel yang merupakan hasil olahan dari data sedimen dasar perairan dan bentos

Data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer akan diperoleh melalui pengambilan langsung (sampling) komponen parameter sedimen dasar perairan dan makrozoobentos. Data sekunder yang akan digunakan adalah data rona awal lingkungan perairan dari dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) serta data pemantauan (monitoring) dari laporan pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) yang telah dilaksanakan oleh masing-masing pengelola pembangkit di komplek PLTU Paiton.

Metode Pemilihan Lokasi Sampling.

(29)

lokasi yang menjadi acuan atau lokasi kontrol yang diperkirakan sebagai tidak terkena pengaruh operasional PLTU Paiton berjumlah 3 lokasi yakni stasiun 1 (perairan Bhinor) di area bagian barat, stasiun 5 (mercusuar) di area bagian utara, dan stasiun 13 (perairan Banyuglugur) di area bagian timur (Gambar 4).

Metode Analisis Sampel

A). Kepadatan bentos

Kepadatan bentos didefinisikan sebagai jumlah individu bentos per satuan luas (m2) (Brower et al., 1990). Formulasi kepadatan bentos adalah sebagai

Indeks keragaman ditentukan dengan menggunakan indeks keragaman Shannon-Wiener (Krebs 1989). Rumus indeks keragaman Shannon-Wiener adalah sebagai berikut,

Keterangan:

H’ : Indeks keragaman

N : Jumlah total individu semua jenis ni : Jumlah individu jenis ke-i

C). Indeks keseragaman

Keseragaman dianalisis dengan menggunakan indeks keseragaman Shannon-Wiener (Krebs 1989) sebagai berikut:

(30)

D). Indeks dominansi

Indeks dominansi ditentukan berdasarkan indeks dominansi Simpson (Krebs 1989) yaitu,

Keterangan:

C : Indeks Dominansi

Ni : Jumlah individu spesies ke-i N : Jumlah total individu spesies ke-i

E). Ukuran butiran sedimen (Grain Size)

Karakteristik fisik sedimen dasar perairan yang diperoleh dari hasil sampling akan dianalisis melalui ukuran butiran sedimen yang menggunakan saringan (sieve) bertingkat sesuai dengan tekstur sedimen yang didapat. Analisis tipe sedimen dilakukan untuk mengkaji kaitan keberadaan bentos dengan tipe sedimen yang dihuninya.

F). Kandungan logam pada sedimen dasar perairan

Analisis kandungan logam berat pada sedimen akan mengacu pada Standard Method for Examination of Water and Wastewater terbitan American Public Health Association (APHA). Sebelum dilakukan analisis kandungan logam berat, contoh sedimen dasar perairan akan dilakukan proses preparasi berupa digestion terlebih dahulu. Acuan yang digunakan untuk menilai kualitas sedimen pada kajian ini bersumber dari Canadian Sediment Quality Guidelines for The Protection of Aquatic Life yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup Kanada/Canadian Council of Ministers of the Environment (CCME) pada tahun 2002. Parameter logam berat dalam sedimen yang akan dianalisis beserta referensi konsentrasinya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Parameter analisis logam berat dalam sedimen berdasarkan CCME (2002)

No. Parameter Referensi Konsentrasi (mg/kg)

(31)

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian adalah analisis indeks similaritas, analisis pengaruh tekanan lingkungan menggunakan AMBI (AZTI Marine Biotic Index), analisis status kondisi lingkungan menggunakan multivariate AMBI (M-AMBI), analisis statistik untuk menilai perbedaan kondisi lokasi kontrol dan lokasi terpengaruh, serta analisis kebijakan

A. Indeks Similaritas

Indeks similaritas digunakan untuk menilai kesamaan antar stasiun melalui variabel yang diuji yang pada kajian ini menggunakan variabel berupa karakteristik sedimen serta kepadatan makrozoobentos. Pengukuran indeks similaritas dan visualisasi hasil perhitungan berupa dendrogram menggunakan bantuan perangkat lunak Minitab 16.

B. AZTI Marine Biotic Index (AMBI) dan M-AMBI

Penilaian tekanan ekologis berupa kondisi gangguan terhadap struktur komunitas makrozoobentos dan penentuan status kondisi lingkungan berdasarkan tingkat gangguan dan struktur komunitas makrozoobentos dilakukan melalui perhitungan menggunakan metode AZTI Marine Biotic Index (AMBI). Metode ini mengklasifikasikan jenis makrozoobentos yang ditemukan pada lokasi pengamatan ke dalam grup ekologis (Ecological Group/EG) dengan rentang I-V berdasarkan sensitivitasnya terhadap bahan pencemar (Borja et al., 2000). Grup Ekologis (EG) I terdiri atas taksa yang sensitif terhadap gangguan; EG II merupakan jenis yang umum dijumpai; EG III merupakan jenis yang toleran terhadap gangguan; EG IV merupakan spesies oportunis tingkat kedua; dan EG V adalah spesies oportunis tingkat pertama. Nilai AMBI dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(32)

Tabel 3 Kategori tingkat gangguan dan status ekologis berdasarkan nilai AMBI dan M-AMBI

Nilai AMBI Tingkat gangguan Nilai M AMBI Status ekologis

Tidak terganggu Tinggi

Terganggu ringan Bagus

Terganggu sedang Sedang

Terganggu berat Buruk

Terganggu sangat berat Sangat buruk

Sumber: AMBI : Borja et al. (2000); M-AMBI : Muxika et al. (2007)

C. Analisis Statistik

Analisis statistik digunakan untuk menilai perbedaan kondisi komunitas makrozoobentos antara lokasi yang diperkirakan terkena pengaruh dan lokasi kontrol. Analisis statitstik menggunakan uji-t dengan variabel uji adalah kepadatan bentos. Data yang digunakan bersumber dari laporan pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (RKL-RPL) yang dilakukan oleh pengelola unit pembangkit di area komplek PLTU Paiton.

D. Analisis Isi Kebijakan

(33)

Hidrooseanografi Daerah Pesisir Paiton

Perairan pesisir Paiton merupakan bagian dari perairan laut Selat Madura (Gambar 5). Berdasarkan posisi tersebut, kondisi fisik hidrooseanografi di perairan pesisir Paiton banyak dipengaruhi oleh kondisi di Selat Madura seperti pola arus, gelombang, dan pasang surut. Kondisi perairan di Selat Madura pada umumnya relatif tenang dengan karaketeristik tinggi gelombang relatif rendah, frekuensi gelombang relatif kecil dan panjang gelombang yang pendek. Pola gelombang di perairan sekitar Paiton lebih banyak disebabkan oleh bangkitan angin dikarenakan daerah ini merupakan perairan laut yang tertutup. Kecepatan angin maksimum umumnya terjadi pada puncak-puncak musim yakni pada puncak musim barat (sekitar bulan Desember) kecepatan angin rerata harian dapat mencapai 13 knot dengan arah 270° sementara pada puncak musim timur (akhir bulan Juli hingga awal Agustus) kecepatan angin rerata harian maksimum antara 10-11 knot dengan arah 90°. Tinggi gelombang di sekitar wilayah pesisir Paiton umumnya kurang dari satu meter, sementara gelombang besar yang dapat mencapai lebih dari empat meter dapat terjadi pada puncak-puncak musim dengan kemungkinan kejadian kurang dari 0.5%. (PJB, 2007). Pola arus di perairan pesisir Paiton cenderung bergerak ke arah timur pada saat surut dan ke arah barat pada waktu pasang dengan kecepatan rata-rata 25.8 cm/detik dan kecepatan maksimum 54 cm/detik. Pasang surut (pasut) di sekitar perarian Selat Madura mempunyai tipe campuran dominan ganda (mixed tide prevailing semidiurnal), artinya dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode pasut yang berbeda. Kedalaman perairan mulai dari depan area komplek PLTU Paiton ke arah utara berkisar antara lima hingga 30 meter (Paiton Energy/PE, 2008).

Sumber peta : Google Earth (Juli-2013)

(34)

Potensi Perikanan

Sebagai daerah pesisir, Kecamatan Paiton banyak memiliki jenis potensi perikanan laut baik perikanan tangkap maupun budidaya. Jenis ikan hasil tangkapan utama di Kecamatan Paiton terdiri dari Kembung, Beloso, Lemuru, Tembang, Peperek, Selar, Layang, Bijinangka, Gulamah, dan Ekor Kuning (DPPK Kab Probolinggo, 2007 dalam PE, 2008). Sementara itu, hasil tangkapan nelayan di daerah Bhinor dan Banyuglugur yang terletak berbatasan dengan area komplek PLTU Paiton di sebelah barat dan timur terdiri dari jenis Kakap, Belanak, Kuniran, Kurisi, Kakak Tua, Kerapu, dan Bandeng (PE, 2008). Tingginya potensi ini tentunya perlu didukung dengan kondisi perairan dan juga lingkungan bentik perairan pesisir yang sehat sehingga dapat mendukung produktivitas perairan guna menjaga populasi ikan dan biota laut lainnya.

Berdasarkan hasil pengamatan di daerah pesisir Paiton, dijumpai terdapat beberapa usaha pembibitan udang, namun kondisinya saat ini tidak dalam kondisi yang optimal dalam pengusahaannya. Hal ini dapat disebabkan sarana dan prasarana yang belum memadai serta biaya operasional yang relatif tinggi. Namun demikian, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No: KEP.240/DJ-PB/2012 tentang Penetapan 87 Lokasi Sentra Produksi Perikanan Budidaya Sebagai Kawasan Minapolitan Percontohan Tahun 2013, Kabupaten Probolinggo ditetapkan sebagai salah satu dari kawasan minapolitan tersebut dengan komoditas utama berupa udang serta Bandeng sebagai penunjang. Lokasi pusat pengembangan percontohan budidaya udang berada di Kecamatan Paiton dan didukung oleh lima kecamatan pesisir lain disekitar Paiton (www.probolinggokab.go.id, Mei 2013). Melalui kebijakan tersebut diharapkan potensi perikanan di Kabupaten Probolinggo khususnya di Kecamatan Paiton dapat dimanfaatkan lebih optimal.

Komplek PLTU Paiton

PLTU Paiton merupakan komplek pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara yang terdiri atas delapan unit pembangkit. Secara administratif, lokasi PLTU Paiton terletak di Desa Bhinor, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Tabel 4 memberikan keterangan dari masing-masing unit pembangkit yang ada di komplek PLTU Paiton.

Terkait dengan aktivitas operasional PLTU yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan bentik perairan pesisir, masing-masing pengelola unit telah melakukan upaya antara lain :

- menggunakan batu bara yang berkadar sulfur rendah;

- pemakaian sistem flue gas desulphurization untuk mengurangi kadar sulfur dari emisi cerobong;

- penggunaan tinggi cerobong yang memadai; - pemakaian burner NOx rendah;

- penggunaan dan perawatan electrostatic precipitator untuk mengurangi kadar abu dari emisi cerobong;

(35)

menanggulangi limbah bahang dari water cooling discharge;

- menghindari terjadinya ceceran batu bara ke laut dengan pemasangan pelat pengarah ceceran batu bara kembali ke tongkang;

- mengarahkan dan menampung semua air limbah yang dihasilkan dari proses operasional ke retention basin dan mengalirkannya ke instalasi pengolah air limbah;

- mengarahkan dan menampung semua air limpasan dari sistem drainase di lokasi stockpile ke coal pile run off pond dan mengalirkannya ke instalasi pengolahan air limbah. Air tersebut dapat digunakan kembali untuk proses penyiraman batu bara di stock pile untuk menjaga suhu batu bara agar tidak terjadi kebakaran.

Tabel 4 Informasi unit pembangkit di area komplek PLTU Paiton

No. Nama

(36)

Tabel 5 Kualitas perairan laut pesisir Paiton periode 1996-2012

6: Sesudah proyek PLTU Paiton Unit 1&2 7: Kampung Banyuglugur

AL3: Sebelah barat rencana dermaga

3. ANDAL PLTU

SQ 1 : Perairan di sekitar suar SQ 2: Perairan di jetty PLN

SQ 3: Perairan di sebelah timur jetty PLN SQ 4: Perairan di utara supporting jetty SQ 5: Perairan disekitar inlet canal (cooling water intake)

SQ 6: Perairan disekitar outlet canal (cooling water discharge)

SQ 7: Perairan sebelah timur outlet canal

5. Lap RKL RPL

St-1: Perairan di depan Mesjid Bhinor St-2: Perairan di depan outlet stream PE St-3: Perairan di belakang coal unloading jetty PE

St-4: Perairan disekitar supporting jetty St-5 : Perairan didepan inlet canal

(37)
(38)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Sedimen Dasar Perairan

Pantai di daerah Paiton terdiri dari pasir dan lempung dengan diameter rata-rata 150 mikron (PPGL, 1994; PT Ciriajasa, 1985 dalam PE, 2008). Analisis ukuran butiran sedimen dilakukan terhadap tiga fraksi penyusun sedimen yakni liat, debu, dan pasir. Klasifikasi butiran sedimen ditentukan berdasarkan ukurannya yaitu, liat < 0.003905 mm, debu 0,003905-0,0625 mm, dan pasir 0.0625-2 mm. Histogram persentase ukuran butiran sedimen disajikan pada Gambar 6, sementara gambaran (foto) mengenai visualisasi kondisi sedimen disajikan pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis ukuran butiran sedimen diketahui bahwa komposisi sedimen di lokasi penelitian didominasi oleh fraksi pasir dan debu. Berdasarkan komposisi fraksi penyusunnya, tipe sedimen di lokasi penelitian didominasi oleh jenis lempung, kecuali untuk stasiun 3 dan 13 memiliki tipe sedimen lempung berpasir serta stasiun 9 memiliki tipe lempung berdebu. Berdasarkan hasil uji indeks similaritas berdasarkan fraksi sedimen diketahui bahwa lokasi penelitan mengelompok menjadi tiga kelompok besar. Kelompok 1 terdiri dari stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, dan 13; kelompok 2 tediri dari stasiun 6, 8, 10, dan 11, sementara stasiun 9 merupakan satu kelompok tersendiri (Gambar 7). Dominasi fraksi debu sebesar 77,64% merupakan penyebab stasiun 9 merupakan satu kelompok tersendiri. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena transport sedimen akibat pola arus dan aktivitas di lokasi tersebut yang merupakan dermaga bongkar muat kapal pengangkut batu bara. Hasil analisis laboratorium terhadap tekstur sedimen disajikan pada Lampiran 4.

(39)

St.9

Gambar 7 Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan ukuran butiran sedimen

Terkait belum ditetapkannya baku mutu logam pada sedimen di Indonesia, acuan yang digunakan untuk menilai kualitas sedimen pada penelitian ini bersumber dari Canadian Sediment Quality Guidelines for The Protection of Aquatic Life yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup Kanada/Canadian Council of Ministers of the Environment (CCME) pada tahun 2002. Nilai batas bawah merupakan Threshold Effect Level (TEL) yang merepresentasikan batas konsentrasi logam yang menyebabkan efek biologis yang merugikan diperkirakan jarang terjadi, sementara Probable Effect Level (PEL) merupakan batas atas konsentrasi logam yang menyebabkan efek biologis yang merugikan dapat sering terjadi. Hasil analisis logam berat dalam sedimen di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6 dan Lampiran 3.

Tabel 6 Kandungan logam dalam sedimen di lokasi penelitian

(40)

Berdasarkan hasil analisis logam berat dalam sedimen di lokasi penelitian diketahui bahwa beberapa parameter logam berat telah melebihi nilai PEL, yakni kandungan merkuri (Hg) di stasiun 6 dan 12 serta logam Kromium (Cr) pada seluruh stasiun. Tingginya kandungan logam Hg pada stasiun 6 dan 12 serta logam Se pada stasiun 2 diperkirakan terkait dengan dan ceceran batu bara pada lokasi penelitian. Pada saat pengambilan sampel sedimen, ceceran batu bara banyak ditemukan terakumulasi pada sedimen di beberapa lokasi pengamatan yang diperkirakan terkena pengaruh dari aktivitas operasional PLTU Paiton. Ahrens dan Morrisey (2005) menyatakan bahwa sekitar 60% konsumsi batu bara digunakan untuk memproduksi panas (sebagai bahan bakar pemanas pada musim dingin) dan energi, termasuk sekitar 39% dari pembangkit listrik di dunia. Merujuk pada hasil penelitian Lee et al. (2006) yang menganalisis kandungan merkuri pada batu bara jenis bitumen dari Indonesia yang digunakan sebagai bahan bakar pada PLTU di Korea Utara, menunjukkan bahwa kandungan merkuri yang terukur pada 5 sampel batu bara berdasarkan kondisi berat kering adalah berkisar 42,67 hingga 78,0 mg/kg. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nunes et al. (2008) menyatakan bahwa peningkatan kandungan merkuri di sedimen akan berhubungan dengan komunitas makrobentos berupa penurunan kelimpahan total dan keragaman yang rendah. Namun demikian, tingginya kandungan logam Hg pada sedimen di stasiun 6 dan 12 belum tampak pengaruhnya terhadap struktur komunitas makrozoobentos di daerah tersebut.

Sementara itu, tingginya kandungan logam Cr dan Besi (Fe) pada seluruh stasiun pengamatan diperkirakan terkait dengan kondisi kimia tanah di daerah Paiton. Berdasarkan hasil analisis rona awal lingkungan dari dokumen ANDAL PT Jawa Power (JP,1996) diketahui bahwa tanah di daerah Paiton memiliki kandungan beberapa logam berat yang cukup tinggi. Parameter logam berat yang terdeteksi cukup tinggi kandungannya pada tanah di daerah Paiton adalah Cu (64 ppm), Pb (26 ppm), Zn (49 ppm), Fe (49.000 ppm), dan Mn (370 ppm). Sifat permeabilitas tanah di daerah Paiton yang tinggi memungkinkan terjadinya pencucian logam-logam tersebut dari dalam tanah ke badan perairan.

Struktur Komunitas Makrozoobentos

Analisis makrozoobentos terhadap hasil pengambilan data primer menunjukkan pada lokasi sampling ditemukan secara total 77 jenis taksa dengan kepadatan berkisar antara 250-1.453 ind/m2. Urutan kelas makrozoobentos yang ditemukan berdasarkan rangking taksa adalah sebagai berikut Polychaeta (36 taksa), Crustaceae (23 taksa), Pelecypoda (empat taksa), Sipuncula (tiga taksa), Nemertina (dua taksa), Echinodermata (dua taksa), Coelenterata (dua taksa), Gastropoda (dua taksa), Brachiopoda (satu taksa), Cephalochordata (satu taksa), Urochordata (satu taksa), dan Turbelaria (satu taksa). Hasil identifikasi dan perhitungan terhadap struktur komunitas makrozoobentos di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 2.

(41)

(2011) yang mengkaji dampak pembangkit listrik tenaga uap di India terhadap komunitas bentik yang mendapatkan hasil bahwa kelas Polychaeta berada pada peringkat teratas makrozoobentos berdasarkan kepadatannya, kemudian diikuti oleh Gastropoda, Crustacea, dan Bivalvia. Penelitian yang dilakukan oleh Giangrande et al. (2005) dan Sivadas et al. (2010) menerangkan bahwa makrozoobentos dari kelas Polychaeta sering ditemukan mendominasi komposisi struktur komunitas dikarenakan kelompok bentos ini terdiri dari beragam taksa serta memiliki pola makan dan strategi reproduksi yang beragam. Selain sebagai indikator lingkungan, Polychaeta juga berperan penting pada rantai makanan ekosistem bentik perairan laut (Musale dan Desai, 2010; Tomasetti dan Porello, 2005).

Berdasakan nilai indeks keseragaman pada setiap stasiun yang mendekati nilai 1 mengindikasikan suatu komunitas yang relatif mantap. Nilai indeks keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan suatu komunitas yang berada dalam kondisi relatif mantap pada faktor-faktor lingkungan (Krebs, 1989). Kondisi kemantapan struktur komunitas makrozoobentos juga ditunjukkan dengan nilai indeks dominansi yang relatif rendah (mendekati 0). Berdasarkan hasil perhitungan indeks dominansi dapat dinyatakan bahwa pada seluruh stasiun pengamatan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lainnya. Hasil perhitungan uji similaritas berdasarkan kepadatan makrozoobentos menunjukkan bahwa lokasi penelitian terbagi menjadi 6 kelompok (Gambar 8). Stasiun 1 dan 13 yang merupakan lokasi kontrol (diperkirakan tidak terpengaruh oleh aktivitas operasional PLTU Paiton) membentuk kelompok tersendiri.

(42)

Gambar 8 Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobentos

Status Kondisi Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton

Selain fungsi pada rantai makanan, bentos juga dapat berfungsi sebagai indikator kualitas lingkungan perairan. Simboura dan Zenetos (2002) menyatakan bahwa organisme indikator adalah jenis organisme yang digunakan berdasarkan sensitivitas atau toleransinya terhadap berbagai polutan. Salas et al. (2006) menyatakan bahwa indikator-indikator ekologis seringkali digunakan untuk memberikan informasi ringkas mengenai kondisi suatu ekosistem. Keragaman struktur dari suatu himpunan organisme berdasarkan lokasi dan waktu merupakan respon dari kondisi fisik dan biotik lingkungan tempat tinggal organisme tersebut (Gholizadeh et al. 2012). Berbagai istilah yang digunakan untuk mengkualifikasikan spesies bentik dalam kaitannya dengan status komunitas bentik dirangkum oleh Dauvin et al. (2010) sebagai berikut:

 spesies sensitif, adalah spesies yang hanya dapat bertahan pada kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan seringkali menghilang pada area yang tercemar dan zona yang mengalami perubahan lingkungan (seperti perubahan habitat atau iklim);

 spesies tolerant, merupakan spesies yang tidak sensitif terhadap tekanan tertentu dan/atau pencemaran;

 spesies oportunis, adalah spesies yang dapat secara cepat memanfaatkan sumberdaya baru atau relung ekologi yang tersedia;

 spesies penciri (characteristic), spesies yang terkait dengan struktur biocenotic yang khusus seperti komunitas, kumpulan biotik, atau biocenosis;

 spesies penjaga (sentinel), spesies tertetu yang dengan kehadirannya atau kepadatan relatifnya memperingatkan akan kemungkinan ketidakseimbangan pada lingkungan sekitar dan/atau perubahan dari fungsi komunitas;

 spesies indikatif atau spesies indikator, adalah spesies yang menandakan keberadaan faktor tertentu pada lingkungan, seperti faktor abiotik atau lebih

(43)

sering digunakan pada jenis yang jumlahnya meningkat seiring dengan peningkatan bahan organik;

 spesies umum (indifferent), adalah spesies yang tidak mempunyai hubungan yang nyata pada komunitas tertentu atau tidak menunjukkan respon terhadap pencemaran.

Berdasarkan identifikasi jenis makrozoobentos hasil pengambilan data primer kedalam grup ekologis (EG), diketahui bahwa makrozoobentos yang ditemukan didominasi oleh jenis pada EG I dan EG II dengan persentase sebesar 31 dan 30% (Tabel 8). Namun demikian, terdapat 13 jenis makrozoobentos yang tidak terdapat dalam daftar grup ekologis AMBI. Sebanyak 12 jenis makrozoobentos yang tidak terdapat dalam daftar tersebut dimasukkan dalam kategori no assigned (n.a) dan 1 jenis yang dihilangkan dari perhitungan (ignore). Berdasarkan perhitungan AMBI, kondisi lingkungan bentik perairan pesisir Paiton dikategorikan terganggu ringan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai AMBI pada seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 1,3 hingga 2,7. Gambar makrozoobentos yang telah dikelompokkan kedalam group ekologis-nya disajikan pada Lampiran 6, sementara perhitungan AMBI dan M-AMBI disajikan pada Lampiran 7.

Tabel 8 Komposisi grup ekologis makrozoobentos yang ditemukan

EG Jenis taksa Jumlah Eogammarus sp., Rhitropanupeus sp., Amphiura sp., Ophiuroidea (sp1), Turbelaria (sp1),

23 30

III Notomastus sp., Paraonis sp., Nereis sp., Spiophanes sp.,

Sternaspis sp., Cerebratulus sp., Dulichia sp., Callianassa sp., Heterotanais sp., Ascidiaceae (sp1)

10 13

IV Heteromastus sp., Pseudoeurythoe sp., Cirratulus sp., Sigambra

sp., Polycirrus sp., Cossura sp., Corbula sp.

7 9

n.a Amphitrite sp., Prionospio sp., Ophelina sp., Aricidea sp.,

Parapasiphae sp., Euplax sp., Pinnotheres sp., Diasterope sp., Trachypeneus sp., Thalamita sp., Podopthalmus sp., Anadara sp.

12 16

ignore Megalopa of Brachyura (sp1) 1 1

(44)

Tingkat gangguan dari hasil perhitungan AMBI merupakan rasio antara spesies oportunistik dan sensitif serta gangguan yang berhubungan dengan keadaan tersebut. Penentuan kriteria status ekologis didasarkan pada kerangka arahan pengelolaan air di Uni Eropa (The European Union - Water Framework Directive / WFD) yang dihasilkan dari proses interkalibrasi dari angka-angka yang didapatkan dari hasil perhitungan menjadi sebuah kategori kualitatif yang terdiri dari status ekologis yang tinggi hingga buruk. Status ekologis perairan pesisir Paiton hasil perhitungan M-AMBI memiliki kategori ekosistem perairan pesisir yang sedang hingga tinggi. Beragamnya kategori status ekologis lingkungan perairan pesisir Paiton bila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan dikarenakan pada perhitungan M-AMBI untuk menilai status ekologis turut menggunakan indeks keragaman, indeks dominansi, dan nilai AMBI. Hal ini memberikan bobot yang berbeda pada perhitungan M-AMBI, karena pada nilai AMBI komponen yang digunakan dalam perhitungan lebih bersifat kualitatif yakni dengan mengelompokkan organisme makrozoobentos yang ditemukan ke dalam daftar kelompok ekologis. Hanya satu lokasi yang memiliki status ekologis sedang (stasiun 12), sementara stasiun lainnya berkategori bagus atau tinggi. Status ekologis yang berkategori sedang pada stasiun 12 dapat terkait dengan kondisi daerah tersebut yang merupakan saluran pembuangan air pendingin yang memiliki arus lebih kuat dibanding daerah lainnya sehingga dapat mengakibatkan rendahnya kepadatan bentos di daerah tersebut.

.

Tabel 9 Tingkat gangguan dan status ekologis perairan pesisir Paiton

Stasiun AMBI Tingkat Gangguan M-AMBI Status Ekologis

(45)

daerah kontrol dan terpengaruh, sementara hasil uji-t untuk jumlah taksa memperlihatkan tidak ada perbedaan nyata antara daerah kontrol dan daerah yang terkena pengaruh kegiatan operasi PLTU Paiton. Hal ini juga ditunjukkan dari grafik perbandingan kepadatan makrozoobentos (Gambar 9) dan perbandingan jumlah taksa (Gambar 10) selama periode Februari 2009 hingga Mei 2013. Gambar 9 dan 10 memperlihatkan meskipun kondisi makrozoobentos pada lokasi kontrol mengalami lonjakan kepadatan pada bulan Februari 2010 dan Februari 2011, namun jumlah taksa yang ditemukan pada periode yang sama relatif seragam. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh kegiatan di area penelitian lebih cenderung berdampak terhadap kepadatan bentos dibandingkan jenis taksa. Biota yang mengalami lonjakan paling tinggi di area kontrol pada bulan Feb 2010 dan 2011 didominasi dari kelas Polychaeta yakni jenis Notomastus (EG III) dan Prionospio (not assigned).

Tabel 10 Sumber data sekunder makrozoobentos

Area Kode stasiun sampling Kode data sekunder

Kontrol

Keterangan : Data dengan kode SW bersumber dari laporan pelaksanaan RKL RPL Unit 7&8 Data dengan kode BM bersumber dari laporan pelaksanaan RKL RPL Unit 3

Gambar 9 Perbandingan kepadatan makrozoobentos (ind/m2) pada area kontrol dan area terpengaruh di wilayah kajian selama periode

(46)

tahun 2009-2013

Gambar 10 Perbandingan jumlah taksa makrozoobentos pada area

kontrol dan area terpengaruh di wilayah kajian selama periode tahun 2009-2013

Analisis Isi Kebijakan

Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dipayungi secara hukum mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah, peraturan gubernur, hingga peraturan bupati atau walikota. Implementasi dari pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup pada tataran proyek atau unit kegiatan adalah diwajibkannya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan sebelum memulai kegiatannya untuk memiliki izin lingkungan. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, Undang Undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup adalah Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meskipun kegiatan di area komplek PLTU Paiton telah dilaksanakan mulai awal tahun 1990 dan undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup telah mengalami beberapa pergantian, namun pada intinya mekanisme mengenai izin lingkungan bagi suatu kegiatan yang akan dilaksanakan tetap sama. Izin lingkungan bagi suatu kegiatan diperoleh dokumen berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau dokumen/formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Kriteria mengenai penetapan apakah suatu kegiatan diwajibkan memiliki dokumen AMDAL atau UKL-UPL pada intinya didasarkan pada sifat dampak dan skala kegiatan. Sifat dampak yang dimaksud terdiri dari dampak penting dan dampak tidak penting, yakni dikategorikan berdampak penting terhadap lingkungan hidup apabila kegiatan tersebut menimbulkan perubahan

0

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2. Contoh skema pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara
Gambar 4  Lokasi penelitian dan titik pengambilan data primer
Tabel 2  Parameter analisis logam berat dalam sedimen berdasarkan CCME (2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini meliputi pengumpulan data kondisi kualitas lingkungan perairan termasuk pengukuran beban masukan bahan organik dari sungai ke laut (hal ini penting dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk menduga karakteristik habitat kemunculan hiu paus (Rhincodon typus) dengan mengkaji kondisi lingkungan sekitar perairan dan potensi makanan di

Hasil dari penelitian diharapkan dapat menyediakan data potensi dan kondisi sumberdaya yang ada, informasi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan perikanan yang

(2) Dalam hal terjadi Perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b, penanggung jawab Usaha dan/atau

dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup pada kegiatan pembangunan jalan bebas hambatan Cisumdawu (tunnel section) antara lain: (i) melakukan

Kecamatan Sumobito memang menjadi lokasi kegiatan Lingkungan Industri Kecil (LIK) Daur Ulang Slag Alumunium. Yang pengawasannya menjadi kewenangan Dinas Lingkungan Hidup

Rehabilitasi merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain, yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan pada bagian/tempat

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suhu Ruang Terbuka Hijau di Kota Caruban, mengkaji kondisi suhu yang memenuhi suhu ideal pada RTH di Kota Caruban dan mengkaji