• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas antibakteri ekstrak andaliman terhadap bakteri patogen sudah dilaporkan oleh Ardiansyah (2001) dan Yasni (2001). Untuk menggali informasi ilmiah lebih mendalam, penelitian ini mengkaji mekanisme antibakteri ekstrak

andaliman terh adap bakteri patogen. Analisis dilakukan terhadap komponen aktif yang terdapat pada ekstrak andaliman dan pengaruhnya pada fase pertumbuhan bakteri patogen, pH, pembandingan dengan antibiotik, hidrofobisitas, protoplast, permeabilitas sel, inaktivasi enzim protease dan morfologi sel. Tingginya rendemen hasil pengeringan beku andaliman (32.29%) merupakan potensi untuk pemanfaatannya sebagai pengawet pangan alami. Analisis proksimat yang dilakukan memberikan informasi awal untuk mengetahui komposisi buah andaliman segar.

Komponen yang terdapat pada ekstrak etilasetat dan metanol adalah alkaloid, fenol hidrokuinon, flavonoid, triterpenoid, saponin, steroid, sedangkan tanin hanya terdapat pada ekstrak metanol. Menurut Davidson dan Naidu (2000) bahwa senyawa terpen dilaporkan merupakan senyawa antimikroba utama rempah. Selanjutnya Friedman et al. (2004a) menyatakan senyawa terpen tersebut dapat menghambat E. coli O157H7. Senyawa saponin dan flavonoid dilaporkan

memiliki daya antibakteri terhadap beberapa spesies bakteri (Oleszek 2000; Naidu

et al. 2000). Shelef (1983) melaporkan bahwa komponen fenolik yang terdapat pada minyak atsiri dapat bersifat sebagai antibakteri.

Ekstraksi yang dilakukan secara bertingkat menghasilkan rendemen tertinggi yaitu ekstrak heksan a (6.30%) dibandingkan ekstrak etilasetat (4.15%) dan ekstrak metanol (3.17%). Ketiga ekstrak tersebut masing-masing dikontakkan terhadap tiga jenis bakteri patogen. Mekanisme antibakteri dari ekstrak andaliman terhadap 3 jenis bakteri uji yaitu B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium telah dipelajari dalam penelitian ini dengan mengamati pengaruh ekstrak andaliman terhadap umur sel (fase pertumbuhan) dan jenis ekstrak. Tingginya rendemen ekstrak nonpolar andaliman tidak menunjukkan tingginya aktivitas antibakteri. Kemampuan pelarut heksana untuk melarutkan banyak kelompok senyawa organik terutama dalam bentuk senyawa nonpolar suatu campuran organik dapat

menghasilkan rendemen lebih besar dari pelarut etilasetat dan metanol (Houghton dan Raman 1998). Ekstrak etilasetat memiliki aktivitas antibakteri tertinggi dibandingkan dengan ekstrak metanol.

Ekstrak metanol memiliki aktivitas lebih rendah daripada ekstrak etilasetat andaliman. Moshi dan Mbwambo (2005) bahwa ekstrak semipolar (etilasetat)

Terminalia sericea mampu menghambat bakteri E. coli dan B. anthracis dengan diamater hambat lebih besar daripada ekstrak polar (etanol). Demikian juga penelitian Springfield et al. (2003) ekstrak etilasetat tanaman Carpobrotus muirii

dan C. quadrifidus lebih berpotensi dalam menghambat S. aureus dan

Mycobacterium smegmatis daripada ekstrak air.

Bakteri B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium mempunyai kepekaan yang berbeda terhadap ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol andaliman yang ditunjukkan oleh perbedaan diameter penghambatan maupun perbedaan nilai MIC. Konsentrasi ekstrak etilasetat andaliman berpengaruh sangat nyata terhadap diameter penghambatan pada masing-masing fase pertumbuhan. Ekstrak etilasetat memiliki daya penghambatan lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak metanol, sedangkan ekstrak heksana tidak bersifat sebagai antibakteri terhadap ketiga jenis bakteri yaitu B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium. Penghambatan ekstrak etilasetat terhadap B. cereus dan S. aureus lebih efektif pada fase eksponensial yaitu masing-masing memberikan areal hambat sebesar 19.22 dan 24.15 mm.

Menurut Madigan et al. (2003) pada fase eksponensial pertumbuhan bakteri sangat cepat, teratur, dan semua aktivitas metabolismenya tinggi sehingga sangat peka terhadap suatu senyawa lain d ibandingkan fase adaptasi maupun fase stasioner. Hal ini dibuktikan dari pengaruh aktivitas antibakteri ekstrak etilasetat andaliman lebih tinggi pada fase eksponensial terhadap ketiga jenis bakteri uji tersebut. Selanjutnya Madigan et al. (2003) menyatakan bahwa pada fase adaptasi (penyesuaian) terhadap lingkungan dibutuhkan enzim-enzim dan nutrisi sampai konsentrasi yang memungkinkan pertumbuhan dimulai lagi. Pada fase adaptasi ini ekstrak andaliman yang mengandung komponen aktif tersebut akan berinteraksi dengan sel sehingga akan mengganggu tahap penyesuaian yang dapat menyebabkan kematian sel. Penghambatan pada fase stasioner berbeda dengan fase adaptasi maupun fase eksponensial, dimana pengaruh ekstrak etilasetat pada

153

fase stasioner dapat menyebabkan kerusakan sel dan terjadi kehilangan cairan intraseluler sel secara lambat. Sehingga kerusakan yang terjadi pada fase stasioner lebih lambat dibandingkan pada fase adaptasi maupun fase eksponensial. Sel pada fase stasioner (sel tua) lebih tahan terhadap perubahan lingkungan.

Ekstrak etilasetat dan metanol andaliman banyak mengandung komponen antibakteri seperti alkaloid, fenol hidrokuinon, steroid, flavonoid, triterpenoid dan saponin yang dapat mengganggu proses pertumbuhan dan pembelahan sel, sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel. Menurut Cuspinera et al. 2003; Rhoades dan Roller (2000) melaporkan bahwa besarnya aktivitas daya penghambatan tergantung pada laju difusi dari sen yawa antibakteri yang digunakan.

Berbeda dengan p enghambatan S. Typhimurium yang lebih peka pada fase adaptasi terhadap ekstrak etilasetat andaliman (27.75 mm) sedangkan fase stasioner lebih peka terhadap ekstrak metanol (17.75 mm) masing -masing pada konsentrasi ekstrak 50%. Ekstrak etilasetat pada konsentrasi 50% (w/w) lebih efektif menghambat pertumbuhan sel S. Typhimurium mencapai dua kali lipat pada fase adaptasi yaitu sebesar 27.75 mm dibandingkan dengan ekstrak metanol dengan konsentrasi sama yaitu sebesar 15.32 mm. Pengaruh penghambatan ekstrak etilasetat dan metanol terhadap S. Typhimurium pada fase eksponensial relatif sama dengan pada fase adaptasi.

Ekstrak heksana andaliman mengandung minyak atsiri yang relatif tinggi (8.01% w/w) dan minyak atsiri diketahui mempunyai aktivitas antibakteri (Ardiansyah 2001, Ozean dan Erkmen 2001), akan tetapi keberadaan minyak atsiri dalam ekstrak andaliman tidak menunjukkan adanya penghambatan baik terhadap B. cereus, S. aureus maupun S. Typhimurium, pada konsentrasi ekstrak heksana andaliman cukup tinggi (10-50%) tidak menunjukkan aktivitas antibakteri, sedangkan minyak atsiri pada ekstrak bahan lain seperti rosemary

(Campo et al. 2000), allyl isothiocyanate (Lin et al. 2000), biji atung (Murhadi 2002 dan Lavlinesia 2004) pada konsentrasi ekstrak tersebut, umumnya sudah menunjukkan daya antibakteri. Menurut Kanazawa et al. (1995) ekstrak heksana yang mengandung senyawa minyak atsiri dan lipida lainnya mempunyai ukuran

molekul besar (>3000 kda) sehingga tidak dapat masuk ke dalam dinding sel dan bahkan menjadi penghalang masuknya komponen-komponen nutrisi ke dalam sel.

Aktivitas antibakteri ekstrak andaliman baik ekstrak etilasetat maupun metanol tidak dipengaruhi oleh pH antara pH 4 – pH 7. Hal ini sangat menguntungkan dalam aplikasinya sehingga dapat diterapkan pada berbagai jenis mak anan dengan kisaran pH yang cukup luas. Pada beberapa jenis ekstrak tanaman lain seperti rimpang lengkuas (Rahayu 1999), biji atung (Murhadi 2002), sereh (Cepeda 2005) terlihat pengaruh pH asam terhadap aktivitas antibakteri ekstrak, yaitu umumnya aktivitas penghambatan nya meningkat dengan semakin rendahnya pH.

Aktivitas antibakteri ekstrak andaliman lebih rendah bila dibandingkan

dengan antibiotik, khususnya terhadap pertumbuhan bakteri B. cereus dan

S. aureus. Streptomisin mampu menghambat B. cereus dengan diameter penghambatan sebesar 33.65 mm, sedangkan penisilin G menghambat S. aureus

dengan diameter penghambatan 36.70 mm masing-masing pada konsentrasi 50%. Jawet et al. (1996) melaporkan bahwa streptomisin dapat menghambat sintesis protein pada bakteri dan bersifat bakterisidal terhadap bakteri yang peka seperti enterokokus pada sub unit ribosom 30S. Antibiotik penisilin G aktif menghambat sintesis dinding sel dengan menghambat enzim transpeptidase karena adanya kesamaan bentuk/struktur dengan n-alanil-D-alanin. Reaksi transpeptidase ini menyebabkan hilangnya suatu D-alanin dari pentapeptida sehingga dapat mengganggu sintesis dinding sel yang mengakibatkan lisis sel.

S. Typhimurium peka terhadap polimiksin B dengan menunjukkan penghambatan tertinggi (27.75 mm) sedangkan pengaruh streptomisin dan penisilin G tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambat an. Polimiksin dapat bersifat sebagai bakterisidal terhadap banyak bakteri Gram negatif berbentuk batang, dengan berikatan pada membran sel yan g kaya akan fosfatidiletanolamin dan merusak fungsi transpor aktif membran dan fungsi rintangan permeabilitas membran (Jawet et al. 1996).

Kekuatan daya penghambatan ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol andaliman pada konsentrasi 4000 µg/ml sekitar 1/8 dari daya penghambatan

155

streptomisin, dan sekitar 1/4 dari daya penghambatan penisilin G dan polimiksin B pada konsentrasi 1000 µg/ml baik terhadap B. cereus maupun S. aureus.

S. Typhimurium lebih peka terhadap polimiksin B. Polimiksin B merupakan antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri. Polimiksin B sebagai senyawa amonium kuaterner dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel bakteri. Polimiksin B dapat mengubah tegangan permukaan (surface active agents) sehingga merusak permeabilitas selektif dari membran sel bakteri. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel seperti protein, asam nukleat, nukleotida dan lain -lain (Setiabudy dan Gan 1999). Hal ini dibuktikan berdasarkan deteksi nitrogen yang berasal dari protein atau nitrogen dari asam nukleat pada pengukuran kebocoran sel menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 dan 260 nm. Park et al. (2003) menunjukkan bahwa spektrofotometer pada 280 nm dapat mendeteksi protein (tirosin dan triptofan), sedangkan pada 260 nm dapat mendeteksi asam nukleat (purin, pirimidin dan ribonukleotida). Keluarnya protein dan asam nukleat menandakan sel mengalami kebocoran akibat rusaknya membran sel atau terjadinya perub ahan pada permeabilitas membran sel baik pada fase eksponensial maupun fase stasioner. Peningkatan absorbansi pada panjang gelombang 280 nm lebih besar dibandingkan pada 260 nm, berarti sel bakteri mengalami kebocoran senyawa protein intraseluler (dalam sitoplasma atau periplasma) lebih banyak dari senyawa asam nukleat. Tingkat kebocoran yang terjadi pada fase eksponensial lebih tinggi dibandingkan dengan fase stasioner, hal ini disebabkan pada fase eksponensial sel masih melakukan aktivitas pembelahan sel sehingga ekstrak andaliman akan mengganggu dan menghambat pertumbuhan sel. Hasil ini sesuai dengan penelitian Davidson dan Branen (1993), bahwa kebocoran sel bakteri

Pseudomonas spp. yang diberi perlakuan dengan butylated hydroxyanisole (BHA) terdeteksi lebih banyak pada panjang gelombang 280 nm dibanding pada 260 nm.

B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium dapat dihambat dengan konsentrasi rendah ekstrak andaliman (0.2-1.6%). B. cereus merupakan bakteri paling peka terhadap ekstrak etilasetat dengan nilai MIC dan MBC adalah 0.20 dan 1.20 persen dan ekstrak metanol dengan MIC dan MBC adalah 0.80 dan

1.60 persen. Perbedaan kepekaan terhadap ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol andaliman menyebabkan perbedaan pola penghambatan terhadap spora, protoplast, dinding sel, keb ocoran sel, inaktivasi enzim protease dan hidrofobisitas. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan struktur, susunan dan komposisi kimia dari dinding sel dan membran sel bakteri. Dinding sel B. cereus

dan S. aureus (bakteri Gram positif) mempunyai susunan matriks yang lebih terbuka dan tidak memiliki molekul reseptor spesifik (Ultee et al. 2000). Disamping itu pada dinding sel S. aureus lebih banyak disusun oleh asam amino alanin yang bersifat hidrofilik (Franklin dan Snow 1989). Sifat ini menyebabkan

B. cereus dan S. aureus lebih peka terhadap komponen ekstrak etilasetat andaliman yang bersifat semipolar mengarah ke polar. Senyawa yang bertanggungjawab sebagai antibakteri dalam ekstrak etilasetat adalah senyawa semipolar yang merupakan senyawa fenolik (Hiserodt 1998), steroid, alkaloid, triterpenoid, flavonoid dan saponin (Parhusip et al. 2005).

Pada permukaan dinding sel B. cereus dan S. aureus terdapat asam lipoteikoat yang mempunyai rantai gliserol fosfat yang panjang dan bersifat polar yang muncul pada permukaan dinding sel (Moat et al. 2002) dan disamping itu jenis peptidoglikan yang dominan pada S. aureus adalah Lys-D-Ala (Murray et al.

1998; Ray et al. 2000). Gugus a-karboksil (a -COOH) residu alanin ujung dari satu rantai yang berikatan dengan komponen ekstrak etilasetat maupun ekstrak metanol yang mampu menghambat sintesis dinding sel, dan selanjutnya sel akan mengalami kerusakan dan lisis. Umumnya dinding sel bakteri Gram positif dapat ditembus secara tidak selektif.

Kemampuan ekstrak andaliman dalam menghambat sel vegetatif lebih tinggi bila dibandingkan spora. Hal ini menunjukkan bahwa spora mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel vegetatifnya. Spora

B. cereus yang terbentuk selama masa inkubasi 96 jam dapat dihambat oleh ekstrak etilasetat dengan diameter penghambatan sebesar 16.05 mm, sedangkan diameter penghambatan ekstrak metanol lebih rendah, yaitu sebesar 12.60 mm. Berbeda dengan diameter penghambatan pada sel vegetatif B. cereus, pada waktu inkubasi 24 jam pertama sudah menunjukkan penghambatan tertinggi dibandingkan dengan waktu inkubasi 96 jam. Diameter penghambatan ekstrak

157

etilasetat andaliman pada sel vegetatif menunjukkan penghambatan tertinggi 19.25 mm, sedangkan pada ekstrak metanol penghambatannya sebesar 18.03 mm. Bahwa spora bakteri lebih tahan terhadap aktivitas senyawa antibakteri alami dibandingkan dengan sel vegetatif, juga ditunjukkan oleh ekstrak karvakrol yang mempunyai aktivitas sporosidal terhadap spora B. cereus (Ultee et al. 2000). Ketahanan spora terhadap ekstrak andaliman kemungkinan disebabkan terdapatnya struktur suatu lapisan seperti eksosporium, bungkus spora (kor spora) dan korteks yang terdiri peptidoglikan. Adanya struktur yang berlapis -lapis pada spora akan mengakibatkan terhambatnya penetrasi ekstrak andaliman. Disamping itu kandungan air yang lebih rendah yaitu 15% bila dibandingkan dengan sel vegetatif yang mempunyai kandungan air 75% akan menyebabkan spora lebih tahan dibandingkan sel vegetatifnya (Cano dan Colome 1986).

Protoplast B. cereus lebih peka terhadap ekstrak etilasetat yaitu ditunjukkan dari diameter hambat sebesar 19.62 mm dibandingkan dengan bentuk utuhnya, demikian juga protoplast S. aureus dihambat sebesar 16.15 mm, sedangkan untuk pengaruh ekstrak metanol lebih rendah yaitu sebesar 14.85 dan 11.55 mm. Adanya penurunan ketahanan protoplast d isebabkan karena dinding sel bakteri telah terhidrolisis dengan adanya aktivitas enzim lisozim yang ditambahkan pada saat preparasi protoplast. Enzim lisozim berfungsi untuk memecah ikatan N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat pada peptidoglikan dinding sel bakteri (Jawetz et al. 1996). Dengan terhidrolisisnya dinding sel bakteri menyebabkan ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol lebih mudah berpenetrasi ke dalam sel. Diduga mekanisme penghambatan bakteri oleh ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol disebabkan karena ekstrak bereaksi dengan membran sel atau komponen-komponen dalam sitoplasma sel. Ardiansyah (2002) melaporkan bahwa ekstrak daun beluntas lebih tinggi menghambat B. cereus

dibandingkan S. aureus. Diduga senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol andaliman seperti fenol hidrokuinon mempunyai mekanisme yang sama dengan senyawa fenol (Gambar 2.6). Kemampuan senyawa fenol hidrokuinon sebagai senyawa antibakteri karena adanya gugus hidroksil (OH), gugus keton (CO), dan gugus metoksi (OCH3) (Naidu dan

Davidson 2000; Bisignano et al. 2000), sedangkan tanin sebagai senyawa antibakteri karena mempunyai gugus hidroksil (Sakanaka et al. 1989).

Bakteri S. Typhimurium mempunyai dinding sel yang lebih bersifat hidrofilik, karena pada dinding selnya terdapat molekul lipopolisakarida (LPS) yang bersifat polar. S. Typhimurium mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan B. cereus dan S. aureus disebabkan karena pada semua protein utama penyusun dinding sel S. Typhimurium terdapat polisakarida asam dalam jumlah nyata yang berguna untuk mempertahankan sel dari gangguan lain seperti pili, fimbria dan LPS . Membran luar berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel seperti bakteriosin, enzim dan senyawa hidrofobik (Alakomi et al.2000).

Sifat hidrofobisitas bakteri B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium semakin meningkat terhadap volume n-oktana dan ekstrak etilasetat maupun ekstrak metanol. Komponen aktif dari ekstrak etilasetat andaliman yang bersifat semipolar memiliki gugus hidroksil, keton maupun metoksi akan mampu berikatan dengan sebagian gugus alkil/metil, fosfat, karboksilat dan karbonil pada dinding sel, sehingga gugus alkil/metil yang tidak berikatan dengan komponen aktif ekstrak andaliman akan berikatan dengan hidrokarbon n-oktana. Semakin tinggi volume n-oktana yang ditambahkan maka peluang gugus alkil/metil pada dinding sel untuk berikatan dengan n-oktana juga akan semakin tinggi. Menurut Marin et al. (1997), gugus alkil/metil dari hidrokarbon n-oktana dapat berikatan dengan gugus fosfat yang terdapat pada dinding sel bakteri. Semakin tinggi jumlah n-oktana yang ditambahkan akan semakin banyak gugus alkil/metil yang berikatan dengan fosfat dari dinding sel bakteri. Peningkatan hidrofobisitas pada bakteri uji disebabkan oleh interaksi komponen aktif yang terdapat dalam ekstrak etilasetat maupun ekstrak metanol andaliman. Pada B. cereus, penambahan volume hidrokarbon n-oktana yang sama dapat menyebabkan hidrofobisitas lebih tinggi dibandingkan dengan sel S. aureus. Sifat hidrofobik B. cereus

diekspresikan oleh adanya fimbria (Lachica 1990) yang dimediasi oleh adanya protein 20.5 kDalton dan protein ini mengandung asam amino polar (lisin ) dan asam amino nonpolar (leusin dan isoleusin). Dengan adanya asam amino nonpolar

159

tersebut mempermudah gugus metil n-oktana untuk berikatan gugus karboksil pada dinding sel sehingga terjadi peningkatan nilai hidrofobisitas.

Berdasarkan analisis kebocoran sel yang disebabkan oleh ekstrak etilasetat andaliman terhadap sel B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium yaitu protein yang dilepaskan oleh masing -masing bakteri tersebut lebih banyak berasal dari asam amino dibandingkan dengan dari asam nukleat. Diduga ekstrak andaliman yang ditambahkan dapat dengan cepat mencapai dan bereaksi dengan membran serta mengganggu sistem transport elektron. Hal ini akan menyebabkan terganggunya proses transport keluar masuknya cairan intraseluler sel secara tidak beraturan dan terjadi kebocoran sel. Hal ini dibuktikan dari jumlah protein yang dilepaskan dari membran sel lebih tinggi dari asam nukleat. Hasil penelitian Lavlinesia (2004) pada sel S. aureus menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat biji atung dapat mengganggu membran sel, sintesis protein dan asam nukleat yang terdapat di dalam sel. Pada sel P. fluorescens ekstrak etilasetat biji atung dapat menghambat sintesis dinding sel, sehingga membran tidak tahan untuk menahan tekanan dari sitoplasma yang menyebabkan membran mengalami kebocoran dan dapat menyebabkan kematian sel.

Menurut Roger (1980) pada beberapa organisme, penebalan dinding sel terjadi pada saat proses sintesis protein terganggu/dihambat namun sintesis dinding sel masih tetap berlanjut sehingga terjadi penebalan dinding sel. Dari pola kebocoran sel ternyata ekstrak etilasetat menyebabkan kebocoran sel lebih tinggi pada B. cereus dan S. aureus dibandingkan dengan S. Typhimurium. Menurut Lavlinesia (2004) pola kebocoran ion-ion Ca++ dan K+ karena pengaruh ekstrak etilasetat biji atung pada membran sel lebih besar pada S. aureus dibandingkan pada P. fluorescens. Meningkatnya permeabilitas membran sel akan memungkinkan masuknya senyawa-senyawa fenol dan ion-ion organik ke dalam sel dan keluarnya substansi sel seperti protein dan asam nukleat yang menyebabkan kerusakan sel.

Ekstrak etilasetat dan metanol dapat menurunkan aktivitas enzim protease dari B. cereus, S. aureus dan S. Typhimuriumberturut-turut sebesar 76.28, 53.27 dan 48.92%. Hal ini disebabkan karena senyawa hidrofilik seperti komponen yang larut dalam metanol bila ditambahkan ke dalam larutan yang berisi enzim akan

meningkatkan interaksi hidrofobik dengan asam amino nonpolar sehingga konformasi molekul enzim lebih kaku sehingga menjadi lebih tahan terhadap ekstrak metanol dan aktivitas enzim cenderung lebih rendah. Minyak atsiri seperti alkaloid, steroid, saponin dan triterpenoid dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural, sehingga pembentukan dinding sel bakteri terganggu (Ray et al. 2000).

Perbedaan struktur, sifat dan komposisi kimia dinding dan membran sel menyebabkan perbedaan mekanisme kerusakan sel. Mekanisme kerusakan sel bakteri oleh senyawa antibakteri dapat dipelajari dari perubahan -perubahan bentuk sel akibat kerja antibakteri. Dari hasil penelitian ini, berdasarkan pengamatan perubahan-perubahan sel dibawah SEM, pada sel S. aureus terdapat lubang besar dengan tonjolan-tonjolan pada permukaan sel dan muncul bermacam-macam bentuk sel yang tidak normal baik karena ekstrak etilasetat maupun ekstrak metanol. Has il ini didukung oleh data peningkatan kebocoran dan hidrofobisitas sel sebagai akibat penambahan ekstrak etilasetat andaliman. Pada ekstrak metanol, kerusakan sel S. aureus juga terjadi,tetapi bentuk awal sel masih kelihatan bulat dan relatif utuh. Perubahan lain yang terjadi adalah adanya sedikit tonjolan pada bagian ujung sel, sel berbentuk ellips dan ujungnya memanjang. Sel

S. aureus dengan permukaan yang kasar juga ditemukan setelah kontak dengan senyawa fenolik selama 24 jam (Nychas 1995).

Kerusakan sel B. cereus yang disebabkan ekstrak metanol adalah terutama terjadi pemanjangan sel dan terdapat beberapa tonjolan. Pada salah satu bagian ujung sel juga terdapat tonjolan dan sel yang membengkak. Perbandingan kerusakan sel akibat pengaruh ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol secara morfologi relatif sama. Ekstrak metanol tidak mempengaruhi perubahan bentuk sel, hal ini didukung pada data-data pengamatan diameter penghambatan dan nilai hidrofobisitas yang menunjukkan sel bakteri B. cereus dan S. Typhimurium lebih tahan terhadap ekstrak metanol.

Semua indikasi keru sakan ini menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat maupun ekstrak metanol andaliman bekerja mengganggu aktivitas enzim untuk sintesis dinding sel, mengganggu sintesis protein dan asam nukleat yang terdapat di dalam sel B. cereus dan S. aureus. Hal ini ditunjukkan data potensi ekstrak

161

andaliman dibandingkan dengan antibiotik yang sudah diketahui mekanismenya terhadap kerusakan sel. Perubahan yang dapat diamati pada S. Typhimurium adalah perubahan ukuran sel, tonjolan-tonjolan, lekukan dan perubahan bentuk sel seperti ukuran sel membesar atau ukuran sel mengecil, sel lisis dan mengkerut. Indikasi perubahan-perubahan ini adalah ekstrak andaliman dapat merusak dinding sel dengan merubah permeabilitas dinding sel, menghambat sintesis protein dan asam nukleat, menghambat enzim-enzim yang bekerja pada dinding sel, mengganggu membran plasma. Pada keadaan membran tidak dapat menahan tekanan dari sitoplasma maka membran bocor, terjadi aliran sitoplasma keluar sel dimana bila jumlah cairan sitoplasma yang keluar dalam jumlah besar menyebabkan sel menjadi mengkerut dan mati (Branen dan Davidson 1993).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ekstrak etilasetat maupun ekstrak metanol andaliman sangat tepat untuk diaplikasikan sebagai pengawet alami pangan. Penghambatan bakteri B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium oleh ekstrak etilasetat maupun ekstrak metanol andaliman tidak dipengaruhi oleh perbedaan pH. Hal ini akan mendukung aplikasi ekstrak andaliman sebagai pengawet pangan yang umumnya variasi pH-nya terutama untuk kisaran pH pangan 4-7. Selanjutnya pada konsentrasi rendah yaitu dengan penambahan ekstrak andaliman sebesar 0.2- 1.6% mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Berdasarkan pada penelitian ekstrak etilasetat mobe, antarasa dan andaliman yang diaplikasi pada produk daging dan ikan segar ternyata diperlukan konsentrasi hanya 2-3 kali dari pada aplikasinya pada sistem media (Yasni et al. 2004).

SIMPULAN

Hasil pengujian ekstrak andaliman terhadap B. cereus, S. aureus dan

S. Typhimurium menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat (semipolar) bersifat lebih menghambat dibandingkan dengan ekstrak metanol (polar), sedangkan pada ekstrak heksana (nonpolar) tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan. Pengaruh ekstrak andaliman terhadap B. cereus dan S. aureus lebih peka pada fase eksponensial, sedangkan S. Typhimurium lebih peka pada fase adaptasi. Hal ini

Dokumen terkait