• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerbau rawa bagi peternak Provinsi Banten mempunyai peranan penting dalam kegiatan pertanian dan pemenuhan sumber protein hewani. Oleh karena itu dugaan sementara bahwa populasi kerbau akan tetap bertahan di Provinsi Banten dikarenakan faktor sosial budaya dan daya dukung alam yang memadai sebagai suatu kearifan lokal. Hal ini sejalan dengan pendapat Sartini (2004) kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan melembaga.

Upaya peningkatan produktvitas kerbau rawa antara lain dapat dilakukan melalui peningkatan mutu genetik ternak melalui kegiatan pemuliaan yang terarah. Kegiatan pemuliaan akan berjalan lancar apabila didukung oleh sumberdaya ternak, sumberdaya manusia, infrastruktur, kebijakan pemerintah, pasar, serta faktor sosial dan budaya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pemuliaan tersebut (Phillipson dan Rege 2002). Potensi sumberdaya ternak yang dicerminkan oleh keragaman fenotipe maupun genetik ternak memegang peran penting dalam kegiatan pemuliaan. Begitu juga sumberdaya manusia sebagai pelaku kegiatan pemuliaan ternak berperan penting dalam kegiatan pemuliaan ternak.

Keragaman pada kerbau rawa di Provinsi Banten dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung seperti warna bulu, perkembangan tanduk dan ukuran-ukurann tubuh. Keragaman kerbau rawa memegang peranan penting dalam kegiatan pemuliaan ternak. Menurut Bourdon (2000), seleksi akan efektif apabila keragaman dalam populasi tinggi.

Data produktivitas kerbau rawa Banten belum tersedia banyak seperti warna bulu, perkembangan tanduk dan ukuran morfometrik tubuh. Warna bulu kerbau rawa Banten didominasi warna abu-abu gelap, tanduk melengkung ke atas, warna kaki abu-abu, serta garis putih pada leher ganda. Hal ini sejalan dengan

pendapat Amano et al. (1981) bahwa ciri-ciri tersebut adalah ciri-ciri fenotipe kualitatif kerbau rawa.

Keragaman fenotipe kerbau rawa Banten berdasarkan morfometrik ukuran tubuh menunjukkan adanya kedekatan hubungan genetik antara ketiga subpopulasi kerbau rawa Serang, Pandeglang dan Lebak. Hal ini mengindikasikan bahwa keragamannya rendah. Upaya perbaikan mutu genetik kerbau rawa di Provinsi Banten dapat ditempuh melalui persilangan dengan pejantan kerbau rawa dari populasi lain. Anggraeni et al. (2011) mengemukakan bahwa kerbau rawa Dompu dari Nusa Tenggara Barat memiliki jarak genetik yang jauh dengan kerbau Banten. Oleh sebab itu kerbau rawa Dompu dapat dijadikan pejantan untuk memperbaiki mutu genetik kerbau rawa Banten.

Pemanfatan dan pengembangan sumberdaya ternak dapat mengacu pada status populasi ternak. Terdapat banyak pedoman ukuran minimum populasi yang dapat menggambarkan status populasinya, sebagai misal Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 35/Permentan/ OT.140/8/2006 tentang pedoman pelestarian dan pemanfaatn sumber daya genetik ternak bahwa populasi aman jika jumlah betina dewasa lebih dari 10 000 ekor. Oleh karena itu beradasarkan acuan tersebut, kerbau rawa di Provinsi Banten berada dalam status aman, yakni memiliki ukuran populasi efektif sebesar 17 097 ekor.

Pemanfaatan kerbau rawa yang utama di Banten adalah sebagai ternak kerja untuk membajak sawah. Kerbau rawa dipekerjakan pagi hari menjelang terbit matahari sampai dengan pukul 10.00 WIB, lamanya bekerja berkisar antara 3-5 jam. Umur pertama kerbau membajak sawah adalah dua tahun yakni pada saat mulai dewasa. Umunya kerbau betina lebih disukai sebagi penarik bajak dikarenakan tabiatnya lebih tenang dibandingkan kerbau jantan. Kerbau jantan yang digunakan untuk membajak biasanya dikebiri agar pada saat bekerja tidak melakukan aktivitas reproduksi sehingga bertabiat tidak terkendali. Kegiatan pengebirian kerbau jantan sebagai ternak kerja terjadi juga di Thailand seperti yang dilaporkan Chantalakana (1986) dan Na-Chiangmai (2000). Pengebirian kerbau jantan pada waktu yang lama akan mengakibatkan pengurangan pejantan unggul dalam populasi, sehingga kemungkinan terjadinya perkawinan berkerabat dekat tidak dapat dihindari.

Mengacu pada Peraturan PerMentan Nomor 56 tahun 2006 tentang standar mutu bibit kerbau yang baik antara lain tinggi gumba kerbau betina dewasa dan jantan dewasa masing-masing minimal 105 cm dan 110 cm. Berdasarkan hasil penelitian, ukuran morfometrik tubuh kerbau rawa di Provinsi Banten telah memenuhi persyaratan untuk bibit.

Kriteria seleksi kerbau rawa sebagai kerbau kerja meliputi daya tahan panas, temperamen, bentuk teracak dan warna bulu. Warna bulu menjadi pertimbangan pada kerbau kerja dikarenakan mengacu pada PerMentan Nomor 56 tahun 2006 yakni berwarna abu-abu dan kombinasinya dari terang hingga gelap, sehingga dengan demikian tidak diperkenankan kerbau berwrana albino. Searle (1968) mengungkapkan bahwa warna bulu albino pada kerbau diduga bergenotipe A_B_ccD_E_, terdapat gen cc pada kondisi homozigot resesif. Oleh karena itu kerbau albino harus disingkirkan dari populasi agar tidak mewariskan pola warna bulu albino pada generasi berikutnya.

Pola pemuliaan berkelanjutan dalam rangka pengembangan sumberdaya genetik kerbau rawa adalah pola pemuliaan inti terbuka dua strata, di mana strata pertama bertindak sebagai inti dan strata kedua sebagai plasma. Strata pertama adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) milik Dinas Peternakan Provinsi Banten sebaiknya diarahkan sebagai UPTD Pembibitan kerbau Banten. Hal ini dikarenakan dari sisi pendanaan, teknologi peternakan, sarana dan prasarana produksi, manajemen pemeliharaan termasuk perkawinan dan pencatatan performa ternak lebih mudah dipenuhi.

Strata kedua merupakan gabungan dari peternak perorangan maupun dalam bentuk kelompok yang bertindak sebagai plasma. Pada level ini produksi bakalan ternak untuk dipasarkan yang bertujuan untuk memproduksi ternak pada jumlah, kualitas sesuai permintaan pasar. Strata kedua bertugas pula untuk memasarkan produk utama dan hasil pengolahan serta hasil ikutan dari kerbau. Pada strata ini berlangsung kegiatan pengolahan, pengemasan, penyimpanan, transportasi dan promosi untuk memaksimumkan penjualan produk.

Dokumen terkait