• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik fenotipik dan sistem produksi kerbau (Bubalus bubalis) sebagai dasar penyusunan program pemuliaan peternakan rakyat di Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik fenotipik dan sistem produksi kerbau (Bubalus bubalis) sebagai dasar penyusunan program pemuliaan peternakan rakyat di Banten"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KERBAU (Bubalus bubalis) SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN

PROGRAM PEMULIAAN PETERNAKAN RAKYAT

DI BANTEN

DUDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Fenotipik dan Sistem Produksi Kerbau (Bubalus bubalis) sebagai Dasar Penyusunan Program Pemuliaan Peternakan Rakyat di Banten adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Dudi

(3)

DUDI. Phenotypic Characteristic and Production System of Buffalo (Bubalus bubalis) as a Basis for the Development of a Village Breeding Program in Banten. Under the supervision of CECE SUMANTRI, HARIMURTI MARTOJO, and ASEP ANANG.

The Swamp buffalo in Banten is one of the Indonesian animal genetic resources. However until now, a sustainable breeding program for swamp buffaloes has not been fully drawn. This research work was conducted to collect basic information needed for the drawing up the sustainable breeding program. It was conducted on local buffaloes in Serang, Pandeglang and Lebak districts in order to investigate the demography, behavior and participation of farmers in future breeding programs. The research method used was the survey method with a purposive sampling. Primary data was obtained from direct observations and interviews based on a questionnaire. A descriptive analysis was used for the demographic characteristic variable using a total of 300 buffaloes from the three different areas mentioned before. An additional 448 individual morphometric secondary data was measured from other areas in Indonesia. The genetic distance was estimated using a discriminant analysis. Morphometrical measurement of the Pandeglang buffaloes were found much higher than Serang and Lebak buffaloes (P<0.05). A Canonical analysis showed that there were many similarities between Serang and Lebak buffaloes. Two dendrograms were drawn based on the genetic distances and showed a medium difference between Pandeglang and Serang or Lebak population. A lower difference of the genetic distance was found between Serang and Lebak population. The result indicated that the education level of most of the farmers were relatively low (elementary school graduates and lower). The rate of participation was moderate, motivation and general knowledge of the farmers in buffalo breeding were relatively low. It was concluded that a sustainable village buffalo breeding program should be based and determined by the socio-cultural aspects of the behavior of local farmers.

(4)

DUDI. Karakteristik Fenotipik dan Sistem Produksi Kerbau (Bubalus bubalis) sebagai Dasar Penyusunan Program Pemuliaan Peternakan Rakyat di Banten. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI, HARIMURTI MARTOJO, dan ASEP ANANG.

Keberadaan kerbau rawa di Provinsi Banten sedemikian rupa telah menyatu dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Perannya dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai ternak kerja untuk membajak sawah, sumber daging dan tabungan. Mengingat peran kerbau rawa bagi kehidupan peternak di Provinsi Banten sangat penting, maka diperlukan upaya-upaya peningkatan dan pelestarian kerbau yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman fenotipe melalui analisis morfometrik, mempelajari pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam kegiatan pemuliaan kerbau, dan menyusun pola pemuliaan kerbau pada peternakan rakyat di Banten.

Metode penelitian yang digunakan adalah survey. Penentuan sampel berdasarkan purposive sampling sehingga penelitian ini dilakukan di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak. Materi penelitian yang digunakan adalah 300 ekor kebau rawa dewasa dan 60 orang responden peternak kerbau di Kabupaten Serang, Pandeglang serta Lebak Provinsi Banten. Data yang dihimpun merupakan data primer. Data sekunder terdiri atas 100 ekor kerbau rawa Aceh Besar, 99 ekor kerbau Hulu Sungai Selatan, 50 ekor kerbau Pleihari, 39 ekor kerbau Dompu, 40

ekor kerbau Hu’u, 40 ekor kerbau Kempo, 40 ekor kerbau Pajo, dan 40 ekor

kerbau Woja. Data sekunder berasal dari data penelitian peneliti pada kerjasama kemitraan penelitian pertanian dengan perguruan tinggi (KKP3T) pada tahun 2007, digunakan pada penentuan jarak genetik antarpopulasi kerbau rawa Indonesia.

Analisis data sifat kualitatif kerbau rawa menggunakan frekuensi relatif, sedangkan ukuran-ukuran tubuh dianalisis menggunakan prosedur statistik deskriptif. Penentuan hubungan kekerabatan antarpopulasi kerbau rawa menggunakan fungsi diskriminan sederhana melalui pendekatan jarak Mahalonobis menggunakan paket program statistika SAS versi 7.0 dengan metode analisis diskriminan (PROC DISCRIM). Jarak genetik berdasarkan morfometrik ukuran tubuh kerbau rawa dianalisis menggunakan program MEGA. Teknik pembuatan pohon dendrogram menggunakan metode UPGAMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic) dengan asumsi bahwa laju evolusi antarpopulasi kerbau adalah sama. Variabel yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya genetik kerbau rawa dihitung dengan ukuran populasi efektif (Ne) dan status resiko populasi. Skor nilai partisipasi, motivasi dan pengetahuan peternak dalam kegiatan pemuliaan ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner, kisaran total skor 10 sampai 50. Responden yang memiliki skor total 26.00-30.00 cukup, 34.00-41.00 tinggi, dan 42.00-50.00 sangat tinggi. Penentuan pola pemuliaan kerbau menggunakan proses analisis hirarki (PAH).

(5)

(32.00%). Adapun bentuk tanduk kerbau rawa terdiri atas melingkar ke atas (72%) dan melingkar ke belakang (28%). Hasil pengamatan terhadap garis punggung kerbau rawa terdiri atas garis punggung datar (79.00%) dan garis punggung melengkung, (21.00%).

Hasil analisis morfometrik ukuran tubuh diperoleh dua kelompok penyebaran kerbau rawa Banten yaitu kelompok (1) diwakili hanya oleh kerbau rawa subpopulasi Pandeglang menyebar di kuadran I dan IV, kelompok (2) diwakili oleh kerbau rawa dari dua subpopulasi (Serang dan Lebak) dengan penyebaran mayoritas terjadi pada kuadran II dan III. Analisis diskriminan menunjukkan jarak genetik terkecil berdasarkan morfometrik ukuran-ukuran tubuh ditemukan antara subpopulasi kerbau rawa Serang dan Lebak yaitu sebesar 1.023 sedangkan jarak genetik terjauh ditemukan antra subpopulasi kerbau rawa Pandeglang dan Lebak yaitu sebesar 1.992. Secara umum keragaman fenotipik kerbau rawa Banten adalah rendah.

Status populasi kerbau rawa di Provinsi Banten adalah aman dengan ukuran populasi efektif (Ne) sebesar 17 097 ekor sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan frekuensi gen di dalam populasi. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 35/Permentan/ OT.140/8/2006 tentang pedoman pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik ternak bahwa populasi aman jika jumlah betina dewasa lebih dari 10 000 ekor.

Hasil penelitian terhadap aspek demografi peternak responden menunjukkan bahwa pengetahuan, partisipasi dan motivasi peternak dalam pemuliaan kerbau rawa di Provinsi Banten tergolong rendah berurutan nilainya 20.00±1.20, 21.00±1.22 dan 16.00±1.00 untuk pengetahuan, motivasi dan partisipasi. Adapun program pemuliaan kerbau rawa pada peternakan rakyat di Provinsi Banten sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya peternak. Pasar dan kebijakan pemerintah menempati urutan kedua dan ketiga, sedangkan urutan berikutnya adalah infrastruktur, sumberdaya manusia, sumberdaya ternak, seleksi dan perkawinan ternak, tujuan pemuliaan serta parameter genetik. Oleh karena itu dalam melakukan upaya peningkatan mutu genetik kerbau rawa di Provinsi Banten perimbangan sosial budaya peternak harus menjadi pertimbangan utama.

Program pemuliaan kerbau rawa yang mungkin dapat dilakukan pada peternakan rakyat adalah pola inti terbuka dua strata. Strata pertama bertindak sebagi inti, dan strata kedua adalah plasma. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) milik Dinas Peternakan Provinsi Banten sebaiknya diarahkan sebagai UPTD Perbibitan kerbau rawa. Pentingnya UPTD bertindak sebagai inti dikarenakan daris sisi pendanaan, teknologi peternakan, sarana dan prasarana produksi, manajemen pemeliharaan termasuk perkawinan dan pencatatan performa ternak lebih mudah dipenuhi. Kriteria seleksi pada kerbau rawa sebagai ternak kerja meliputi aspek kekuatan, daya tahan terhadap cekaman panas serta temperamen yang jinak sehingga memudahkan pengendaliannya pada saat membajak sawah. Strata kedua merupakan peternakan rakyat yang tersebar di wilayah Provinsi Banten, dan pada level ini bertugas memproduksi ternak dalam jumlah dan kualitas sesuai permintaan pasar.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KERBAU (Bubalus Bubalis) SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN

PROGRAM PEMULIAAN PETERNAKAN RAKYAT

DI BANTEN

DUDI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir.Muladno, MSA 2. Dr. Ir. Dedi Rahmat, MS

(9)

(Bubalus bubalis) sebagai Dasar Penyusunan Program Pemuliaan Peternakan Rakyat di Banten

Nama : Dudi

NRP : D061040021

Program Studi : Ilmu Ternak

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Ketua

Prof. Dr. drh. Harimurti Martojo, M.Sc. Dr.Agr. Ir. Asep Anang, M.Phil. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pemuliaan kerbau dengan judul Karakteristik Fenotipik dan Sistem Produksi Kerbau (Bubalus bubalis) sebagai Dasar Penyusunan Program Pemuliaan Peternakan Rakyat di Banten.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc., Prof. Dr. drh. Harimurti Martojo, M.Sc., serta Dr.Agr. Ir. Asep Anang, M.Phill., selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, dan Dr. Ir. Dedi Rahmat, M.S. yang telah melakukan pengujian pada sidang ujian tertutup. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. serta Prof. Dr. Ir. Sri Bandiati KP selaku penguji luar pada sidang ujian terbuka.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor UNPAD, Dekan Fakultas Peternakan UNPAD serta Kepala Laboratorium Pemuliaan Ternak dan Biometrika Fakultas Peternakan UNPAD yang telah menugaskan penulis untuk menimba ilmu pada jenjang pendidikan strata-3 di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Rektor IPB, Dekan SPs dan Ketua Program Studi Ilmu Ternak IPB atas diperkenankanya penulis untuk menimba ilmu pada Program Studi Ilmu Ternak SPs IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan anak-anakku, Eryk Andreas, S.Pt., M.Si., serta seluruh keluarga atas segala doa dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 23 Desember 1967 dari pasangan bapak Ikin Syadili (alm.) dan Ibu Mimin Rukmini. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan UNPAD, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPs Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakutas Peternakan UNPAD sejak tahun 1997 melalui program Tunjang Ikatan Dinas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Bidang ajaran yang menjadi tanggung jawab pengajar ialah pemuliaan ternak dan biometrika.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Profil Provinsi Banten ... 4

Deskripsi Kerbau ... 8

Potensi Biologis Kerbau ... 10

Pengembangan Kerbau di Indonesia ... 11

Pemuliaan Kerbau Berkelanjutan ... 16

Partisipasi dan Pengetahuan Peternak dalam Kegiatan Pemuliaan ... 20

MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 22

Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 23

Variabel yang Diamati ... 23

Analisis Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Pengamatan Sifat Kualitatif Kerbau ... 28

Pengamatan Morfometrik Ukuran Tubuh Kerbau ... 33

Jarak Genetik Kerbau Rawa berdasarkan Morfometrik Ukuran Tubuh 37 Pengetahuan, Partisipasi, dan Motivasi Peternak dalam Kegiatan Pemuliaan Kerbau Rawa ... 50

Penyusunan Program Pemuliaan Kerbau Rawa di Peternakan Rakyat 57 PEMBAHASAN UMUM ... 67

SIMPULAN DAN SARAN ... 70

Simpulan ... 70

Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Potensi hijauan pakan ternak di Provinsi Banten berdasarkan luas

panen ... 7

2. Perkiraan daya tampung ruminansia besar berdasarkan jenis sumber pakan di Provinsi Banten ... 8

3. Sifat biologis kerbau dengan pola pemeliharaan ekstensif ... 10

4. Populasi kerbau pada sembilan provinsi Indonesia dari tahun 2005-2009 ... 12

5. Pemotongan kerbau pada sembilan provinsi Indonesia dari tahun 2005-2009 ... 13

6. Pertumbuhan populasi ternak ruminansia di Provinsi Banten (ekor) .... 14

7. Persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk bibit kerbau lumpur .... 19

8. Jumlah kerbau rawa dewasa yang digunakan sebagai sampel penelitian ... 22

9. Skala banding berpasangan pada proses analisis hirarki ... 27

10. Warna bulu kerbau rawa ... 28

11. Gen pengontrol warna bulu pada kerbau ... 29

12. Warna kaki kerbau rawa ... 29

13. Bentuk tanduk kerbau rawa ... 30

14. Garis punggung kerbau rawa ... 32

15. Garis kalung putih kerbaub rawa ... 32

16. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman ukuran tubuh kerbau jantan ... 34

17. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman ukuran tubuh kerbau betina ... 36

(14)

19. Struktur kanonikal ukuran-ukuran tubuh kerbau rawa ... 39

20. Matrik jarak genetik antara subpopulasi kerbau rawa ... 41

21. Persentase nilai kesamaan dan campuran dalam dan antar populasi kerbau rawa Indonesia ... 43

22. Struktur kanonikal total kerbau rawa ... 44

23. Matrik jarak genetik antar populasi kerbau rawa Indonesia berdasarkan morfometrik ukuran tubuh ... 46 24. Struktur populasi kerbau rawa di Provinsi Banten (ekor) ... 49

25. Ukuran populasi efektif (Ne) kerbau rawa di provinsi Banten ... 50

26. Karakteristik demografi responden peternak kerbau rawa ... 51

27. Kepemilikan kerbau rawa di lokasi penelitian ... 52

28. Waktu pengeluaran dan pemasukkan kerbau rawa ke kandang ... 53

29. Intensitas mandi kerbau rawa di lokasi penelitian ... 54

30. Umur pertama kerbau rawa digunakan untuk membajak ... 55

31. Pengetahuan, motivasi, dan partisipasi peternak dalam kegiatan pemuliaan kerbau rawa di Provinsi Banten ... 56

32. Vektor prioritas faktor yang menentukkan dalam pemuliaan kerbau rawa ... 60

33. Vektor prioritas lokasi peternakan kerbau rawa pada masing-masing faktor yang menentukan dalam kegiatan pemuliaan ... 61

(15)

Halaman

1. Peta Provinsi Banten ... 5

2. Wilayah kerja pembangunan (WKP) Provinsi Banten ... 6

3. Warna bulu dan kaki kerbau rawa ... 30

4. Bentuk tanduk kerbau rawa ... 31

5. Garis punggung kerbau rawa ... 31

6. Garis kalung putih pada leher kerbau rawa ... 33

7. Penyebaran dari tiga subpopulasi kerbau rawa berdasarkan morfo-metrik tubuh ... 40

8. Dendrogram tiga subpopulasi kerbau rawa ... 41

9. Penyebaran sebelas populasi kerbau rawa Indonesia berdasarkan morfometrik tubuh ... 45

10. Dendrogram sebelas populasi kerbau rawa Indonesia ... 47

11. Perkembangan populasi kerbau rawa di Provinsi Banten ... 48

(16)

Halaman

1. Daftar pertanyaan untuk rsponden ... 78 2. Kuesioner penentuan bobot faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

program pemuliaan kerbau rawa pada peternakan rakyat ... 81 3. Matrik bobot faktor program pemuliaan kerbau rawa pada peternakan

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau berperan penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia, sehingga sawah dapat tergarap dengan baik tanpa harus menggunakan tenaga mesin (hand tracktor) yang memerlukan bahan bakar fosil yang persediaannya semakin terbatas. Penggunaan kerbau sebagai tenaga pengolah lahan pertanian merupakan suatu alternatif pembangunan pertanian ramah lingkungan dan menghemat anggaran pengeluaran bahan bakar minyak dan gas. Begitu pula pada aspek lainnya, kerbau dapat berfungsi sebagai penghasil daging bagi upaya pemenuhan kebutuhan daging nasional.

Pemerintah Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Tercatat telah dua kali pemerintah mengupayakan Indonesia berswasembada daging sapi yakni: pertama pada tahun 2005 dicanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) pada tahun 2010 dengan target capaiannya adalah tahun 2010 dan yang kedua adalah pencanangan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010. Hasilnya adalah kedua kegiatan pencanangan tadi menemui kegagalan dan sebelum tahun 2009 P2SDS direvisi capaiannya menjadi tahun 2014 (BPS 21011).

Salah satu indikator dalam swasembada daging sapi adalah populasi ternak sapi. Jika populasi ternak sapi mencukupi untuk kebutuhan konsumsi daging maka dianggap telah swasembada.

(18)

Di Provinsi Banten, kerbau merupakan populasi ternak ruminansia terbesar dibandingkan dengan ruminansia lainnya (sapi potong, domba dan kambing), populasinya adalah 123.100 ekor setara dengan 9.44 persen dari populasi Nasional (BPS 2011). Oleh karena itu Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi sentra pengembangan kerbau di Indonesia.

Keberadaan kerbau sedemikian rupa telah menyatu dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Perannya dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai ternak kerja untuk membajak, penghasil daging, status sosial dan tabungan. Peran kerbau sebagai penghasil daging memiliki posisi yang penting, mengingat daging kerbau dapat menjadi komplemen bahkan substitusi daging sapi (Kusnadi et al.2005)

Sektor peternakan kerbau di Provinsi Banten mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dikarenakan preferensi masyarakat Banten terhadap daging kerbau. Namun demikian terdapat beberapa kendala peningkatan populasi kerbau seperti tingginya pemotongan, dan belum adanya pola pemuliaan yang tarencana dan terarah. Oleh sebab itu perlu adanya upaya peningkatan produktivitas kerbau melalui program pemuliaan berkelanjutan.

Kebutuhan akan adanya suatu rancangan program pemuliaan ternak nasional telah lama dirasakan. Beberapa gagasan telah diajukan sejak Repelita I sampai VI oleh Direktorat Jendral Peternakan untuk setiap Repelita, akan tetapi sampai dengan orde reformasi sekalipun kegiatan pemuliaan ternak di Indonesia belum dapat berjalan optimal (Martojo 2002).

(19)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

1. Mempelajari keragaman fenotipe dan mengestimasi jarak genetik antara tiga populasi kerbau di Provinsi Banten melalui pendekatan analisis morfometrik. 2. Mempelajari pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam kegiatan

pemuliaan kerbau.

3. Menyusun program pemuliaan kerbau pada peternakan rakyat.

Manfaat Penelitian

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Profil Provinsi Banten

Provinsi Banten merupakan pemekaran wilayah dari Provinsi Jawa Barat berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten yang disyahkan pada tanggal 18 November tahun 2000. Tujuan pembentukan provinsi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Banten yang selama berada pada wilayah admnistratif Provinsi Jawa Barat relatif tertinggal.

Provinsi Banten merupakan wilayah penyangga ibu kota negara, luas wilayahnya sekitar 8.8 ribu kilometer persegi terbagi ke dalam 4 kabupaten dan 4 kota madya. Letaknya berada diujung barat pulau Jawa dan merupakan pintu gerbang untuk memasuki kawasan pulau Jawa dari arah pulau Sumatra, sehingga posisinya sangat strategis sebagai lalulintas perdagangan nasional maupun internasional, memiliki selat Sunda yang merupakan jalur pelayaran internasional serta bandara internasional Soekarno-Hatta untuk penerbangan domestik dan dunia. Geografis Banten terletak pada posisi 105o1’11’’–106o7’12’’ Bujur Timur, 5o7’50’’–7o1’11’’ Lintang Selatan, sebelah utara dibatasi oleh laut Jawa, sebelah selatan, barat dan timur berturut-turut dibatasi oleh Samudera Hindia, Selat Sunda, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat (Gambar 1).

Bapeda Banten (2011) melaporkan bahwa jumlah penduduk Provinsi Banten adalah 10.64 juta jiwa terdiri atas 5.53 juta jiwa (52%) laki-laki dan 5.11 juta jiwa (48%) perempuan. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.83 persen dengan kepadatan penduduk sebanyak 1 058 jiwa setiap kilometer persegi. Adapun indeks pembangunan manusia dicapai pada angka 70.06 dengan angka harapan hidup sebesar 70.1 persen.

(21)

adalah meningkatkan kesempatan kerja dan menanggulangi kemiskinan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Prioritas pembangunan adalah revitalisasi pertanian, peternakan, perikanan, kehutananan dan pembangunan perdesaan.

Gambar 1 Peta Provinsi Banten (Sumber: Bapeda Banten 2006)

(22)

Revitalisasi pembangunan pertanian di Provinsi Banten dituangkan dalam gerakan aksi membangun pertanian rakyat terpadu (Gempita Ratu). Pemerintah provinsi melaksanakan percepatan pembangunan daerah melalui pendekatan kawasan, keterpaduan dan mempertimbangkan akar budaya setempat serta kearifan lokal (Bapeda Banten 2011).

Gambar 2 Wilayah kerja pembangunan (WKP) Provinsi Banten (Sumber: Bapeda Banten 2006)

(23)

dengan laju 12.2 persen. Permasalahan dalam bidang peternakan adalah masih rendahnya produktivitas ternak, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, belum memadainya infrastruktur peternakan (lahan, kandang dan sarana transportasi), terbatasnya akses peternak terhadap sumberdaya produktif (permodalan, teknologi dan pemasaran), serta belum optimalnya pelestarian ternak unggulan kerbau (Bapeda Banten 2011).

Sub sektor peternakan di Provinsi Banten mempunyai potensi yang baik karena memiliki daya dukung lahan untuk penyediaan hijauan pakan dan pengembalaan. Data BPS (2009) menunjukkan luas lahan pertanian lahan kering sebesar 72.7 persen sedangkan lahan sawah adalah 23.3 persen. Lahan tegalan adalah seluas 174 722 ha, lahan sawah 238 503 ha dan lahan pertanian bukan sawah seluas 458 389 ha. Potensi hijauan pakan ternak di Provinsi Banten disajikan pada (Tabel 1).

Tabel 1 Potensi hijauan pakan ternak di Provinsi Banten berdasarkan luas panen (ha)

Kabupaten/kota Padi sawah Rumput di tegalan Jagung Pandeglang Lebak Tangerang Serang Tangerang Cilegon Serang 111 824 84 125 75 993 86 767 1 480 2 448 - 28 038 36 218 54 888 22 766 14 335 10 696 7 781 2 042 1 762 297 2 114 4 64 Sumber: BPS 2009

Maureen dan Kardiyanto (2011) mengungkapkan penting adanya suatu usaha ternak yang menerapkan model pertanian terpadu. Berdasarkan konsep pertanian tersebut diperoleh data perkiraan daya tampung maksimal lahan terhadap ternak di Provinsi Banten seperti yang tertera dalam Tabel 2.

(24)

Tabel 2 Perkiraan daya tampung ruminansia besar berdasarkan jenis sumber pakan di Provinsi Banten

Sumber pakan Luas (ha) Potensi hasil (ton)

Daya tampung ternak ruminansia besar (ekor) Daya tampung ternak (Satuan ternak/ST) Rumput budidaya

di tegalan Jerami padi Jagung

Limbah kelapa sawit

Rumput di

perkebunan kelapa 174 722 362 637 6 288 14 893 95 956

5 241 660 1 813 185 2 016 27 197

959 560

2 184 025 725 274 18 864 44 679

1 713 500

2 184 025 725 274 18 864 44 679

1 713 500

Jumlah 594 907 4 686 342

Sumber: Maureen dan Kardiyanto (2011)

Deskripsi Kerbau

Kerbau termasuk dalam sub famili Bovinae, genus Bubalus. Dari beberapa spesies kerbau, hanya spesies Bubalus arnee yang dapat menjadi jinak, sedangkan kerbau liar yang masih dijumpai adalah anoa, kerbau Mindoro, Bubalus cafeer

dan kerbau merah (Hardjosubroto 1994). Domestikasi kerbau diduga sejak 7 000 tahun yang lalu dan perannya sangat menunjang kehidupan manusia (Mahadevan 1992). Kandeepan et al. (2009) menyatakan penyebaran kerbau di dunia cukup merata dikarenakan memiliki daya adaptasi yang baik pada berbagai kondisi agroklimat yang ada.

Terdapat dua tipe kerbau yaitu tipe rawa yang mempunyai tanduk melengkung ke belakang, dan tipe sungai dengan tanduk melingkar ke bawah. Kerbau tipe rawa terdapat di Asia Tenggara dan menyebar sampai ke India. Ternak ini biasa digunakan sebagai ternak kerja dan potong sebagai penghasil daging (Cockrill 1974).

(25)

populasi sapi perah, sedangkan di Indonesia populasinya sangat sedikit (Hardjosubroto 1994).

Pada abad yang lampau kerbau merupakan ternak yang penting untuk mengerjakan lahan pertanian berupa sawah dan ladang yang banyak mengandung lumpur. Oleh karena itu, pada abad ke-19 populasi kerbau masih besar dibandingkan dengan sapi (Fahimudin 1975). Populasi kerbau di pulau Jawa pada tahun 1841 diperkirakan sebanyak 1.5 juta ekor sedangkan sapi 500 ribu ekor. Pada akhir tahun 1923 jumlah kerbau sebanyak 2.1 juta dan sapi 2.7 juta ekor. Tahun 1991 jumlah kerbau di Indonesia 3.2 juta ekor dan sapi 10.5 juta ekor, dan jumlah kerbau didunia sekitar 130 juta ekor atau sepersembilan dari jumlah sapi. Kemunduran populasi kerbau disebabkan antara lain angka kelahirannya rendah, lambat dewasa, daya tahan terhadap panas rendah dan arti ekonomisnya telah menurun (Hardjosubroto 1994).

Pemanfaatan kerbau dalam menunjang pemenuhan kebutuhan daging bagi kehidupan manusia diduga dapat mengurangi populasinya (Sivarajasingam 1986). keberadaan populasi kerbau di Thailand menurut Panyachatrak (2001)dalam keadaan kritis dikarenakan permintaan konsumen terhadap daging kerbau terus meningkat sebagai akibat harganya yang lebih murah dibanding daging sapi. Panyachatrak (2001) menyarankan perlu upaya penanggulangannya melalui kebijakan yang memadukan antara faktor sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi terkini serta kebijakan pemerintah yang baik. Hal ini sangat penting mengingat mayoritas penduduk Thailad bermata pencaharian pada bidang pertanian, dan pengolahan lahan serta pemupukan tanaman sangat bergantung pada pemanfaatan ternak kerbau yang relatif murah, mudah dan ramah lingkungan.

(26)

Potensi Biologis Kerbau

Kerbau mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan sapi, karena ternak ini mampu hidup di kawasan yang relatif ‘sulit’ terutama bila pakan yang tersedia berkualitas rendah. Dalam kondisi kualitas pakan yang tersedia relatif kurang baik, setidaknya pertumbuhan kerbau dapat menyamai atau justru lebih baik dibandingkan sapi, dan masih dapat berkembangbiak dengan baik. Kerbau dapat berkembang baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi basah sampai kondisi yang kering (Hardjosubroto 2006). Oleh karena itu diantara kerbau rawa di Indonesia, sebagai akibat pengaruh lingkungan nampaknya telah terjadi semacam evolusi sehingga timbul semacam sub grup kerbau, seperti: (1) timbulnya kerbau-kerbau yang berbadan besar dan kerbau-kerbau yang berbadan kecil, (2) perbedaan terhadap daya tahan terhadap panas, (3) kegemaran hidup di dalam air, atau berkubang Hardjosubroto (2006).

Diwyanto dan Handiwirawan (2006) melaporkan, produktivitas kerbau dalam beberapa hal lebih rendah dibandingkan sapi terkait dengan sifat-sifat biologis yang dimilikinya (Tabel 3). Sifat-sifat biologis tersebut memperlihatkan bahwa pemeliharaan kerbau lebih cocok dengan manajemen eskstensif sehingga sesuai untuk dikembangkan dipeternakan rakyat dengan sarana dan prasarana terbatas.

Tabel 3 Sifat biologis kerbau dengan pola pemeliharaan ekstensif

Sifat biologis Keterangan

Umur beranak pertama 3.5 - 4 tahun Lama kebuntingan 11-12 bulan

Jarak beranak 20 - 24 bulan

Pertambahan bobot badan 0.3 – 0.9 kg per hari Senang berkubang Perlu tempat berkubang

Estrus Tanda-tanda lemah dan relatif tenang

silent heat)

Postpartum unestrus Panjang

Posisi vagina Bagian depan lebih rendah dibanding belakang sewaktu berahi cairan tidak keluar

Libido pejantan di musim kemarau Menurun drastis

Perkawinan tidak terkontrol Meningkatnya inbreeding

(27)

Hardjosubroto (2006) mengungkapkan berdasarkan kemampuan adaptasi kerbau maka pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di Indonesia dengan memperhatikan jenis kerbau dan daya adaptasinya. Sebagai contoh di Kalimantan terdapat kerbau Kalang yang selalu berendam di air rawa-rawa dan hanya naik ke darat apabila menjelang malam hari untuk masuk ke kandang yang disebut kalang. Kerbau di Nusa Tenggara dapat berkembang baik dengan lingkungan yang kering dan panas. Sementara kerbau-kerbau yang berkembang di Jawa senang berkubang di lumpur dengan kondisi mikroklimat yang lembab.

Thevarnohoran et al. (2001) melaporkan heritabilitas beberapa sifat penting pada kerbau rawa di Asia seperti bobot lahir, bobot sapih, dan bobot dewasa termasuk kategori rendah yakni berkisar 0.05-0.13. Heritabilitas kualitas karkas kerbau berkisar antara 0.04-0.12 (Irurieta et al. 2008). Hal ini menunjukan bahwa keragaman genetik aditif kerbau rawa relatif rendah. Pendugaan parameter genetik kerbau rawa di negara-negara berkembang dalam upaya peningkatan mutu genetiknya terkendala terbatasnya recording ternak (Intaramongkol 1998; Trivedi 2000; Hokkonen dan Jutzi 2002).

Pengembangan Kerbau di Indonesia

Pengembangan kerbau di Indonesia harus dilakukan dalam upaya merespon dan mendukung program swasembada daging sapi tahun 2014, karena di beberapa wilayah daging kerbau lebih disukai dan populer dibandingkan daging sapi. Daging sapi yang bersifat demand driven, masih bermasalah dalam pemenuhannya (Talib et al. 2011)..

(28)

Kebutuhan daging tersebut setara dengan jumlah sapi sebanyak 2.432 juta ekor pada tahun 2008 dan 2.746 juta ekor pada tahun 2009. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka impor daging sapi dan jeroan meningkat menjadi 110.24 ton serta untuk sapi bakalan sebanyak 768 133 ekor pada tahun 2009. Produksi daging kerbau pada tahun 2009 adalah 41 123 ton, kontribusi daging sapi nasional sekitar 49 persen terhadap kebutuhan daging dan diantaranya sekitar 7 persen berasal dari daging kerbau. Hal ini menunjukan bahwa sekitar 37 persen dari total produksi daging sapi berasal dari daging kerbau (BPS 2010).

Hardjosubroto (2006) mengungkapkan bahwa kerbau mempunyai peran dan fungsi sangat strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ternak ini mampu hidup pada kawasan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah. Badan Pusat Statistik (2010) melaporkan kawasan yang memiliki populasi kerbau cukup padat di Indonesia adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Tabel 4).

Tabel 4 Populasi kerbau pada sembilan provinsi di Indonesia dari tahun 2005-2009 (ekor)

Provinsi Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

(29)

Cruz (2007) melaporkan telah terjadi penurunan produktivitas kerbau di kawasan Asia sekitar tiga persen per tahun. Sementara itu, Talib et al. (2011) menyatakan bahwa di Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir populasi kerbau cenderung terus menurun seirama dengan perubahan atau kemajuan kegiatan usahatani dihampir seluruh wilayah Indonesia, serta pemotongan kerbau dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging. Hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa masyarakat yang memiliki kerbau hanya sebagai keeper atau user bukan

producer atau breeder.

Angka pemotongan kerbau di Indonesia pada kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkan kenaikan sebesar 2.3 persen. Total kerbau yang dipotong pada tahun 2008 adalah 166.3 ribu ekor atau naik sekitar 4 persen dari tahun sebelumnya (Tabel 5). Jumlah pemotongan kerbau yang cukup tinggi terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Peningkatan pemotongan kerbau setiap tahun di Provinsi Banten yakni pada tahun 2005 sebesar 3 851 ekor menjadi 9 254 ekor pada tahun 2008 (Ditjenak 2010).

Hasil sensus ternak pada tahun 2011 yang dilaporkan oleh BPS (2011) menunujukkan bahwa populasi kerbau Indonesia berjumlah 1.3 juta ekor. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan populasi sekitar 4 persen dari populasi kerbau pada tahun 2009.

Tabel 5 Pemotongan kerbau pada sembilan provinsi Indonesia dari tahun 2500-2009 (ekor)

Provinsi Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

N. Aceh Darussalam 19 882 2 276 18 294 13 939 14 139 Sumatera Utara 8 996 21 170 51 521 13 966 13 974 Sumatera Barat 13 278 13 117 13 336 11 303 12 522 Banten 3 851 8 499 12 004 9 136 9 254 Jawa Barat 13 789 12 934 10 331 12 029 12 522 Jawa Tengah 14 770 14 192 14 883 23 060 23 090 Kalimantan Selatan 3 901 4 245 3 794 3 334 3 835 Sulawesi Selatan 17 813 22 099 25 142 16 773 17 675 Nusa Tenggara Barat 8 661 8 579 8 358 8 218 8 543 Sumber: Ditjenak (2010)

(30)
[image:30.595.117.511.208.338.2]

2005-2008) adalah 6.05 persen, sedangkan untuk sapi potong, domba dan kambing bertuturt-turut adalah 1.95, 4.29 dan 6.44 persen (Tabel 6). Populasi kerbau di Provinsi Banten adalah urutan pertama ternak ruminansia besar, sedangkan sapi potong dan sapi perah populasinya menempati urutankedua dan ketiga.

Tabel 6 Pertumbuhan populasi ternak ruminansia di Provinsi Banten (ekor)

Jenis Tahun

Laju pertumbuhan

(%)

2005 2006 2007 2008

Kambing Domba Kerbau Sapi potong Sapi perah 567 550 443 706 135 033 18 838 - 613 222 501 605 141 849 36 611 8 729 713 581 131 144 944 51 887 7 667 259 489 269 163 522 11 812 7 6.44 4.29 6.05 (1.95) (6.82) Sumber: Maureen dan Kardiyanto (2011)

Pelestarian Kerbau Lokal

Populasi kerbau lokal di Indonesia cenderung menurun, untuk itu perlu dikakukan upaya mempertahankan keragaman genetik yang akan menjamin pemanfaatannya secara terarah pada masa mendatang (Talib et al. 2011). (Hardjosubroto 2006) mengungkapkan bahwa melalui proses bertahan dan survivabilitas yang lama pada berbagai kondisi agroekosistem yang ada, kerbau mengalami proses seleksi alami yang kemudian menghasilkan berbagai tipe kerbau berkarakter spesifik lokasi. Berbagai keunikan ditemukan misalnya pada perbedaan bobot dan ukuran tubuh, ketahanan penyakit, toleransi panas dan perilaku berendam. Saat ini bisa dikenal kerbau spesifik untuk lokasi tertentu seperti kerbau Aceh, Jawa, Binanga, Moa (Maluku), Belang (Sulsel), Kalang (Kalsel) dan Pampangan (Sumsel); sedangkan kerbau sungai yang banyak ditemukan di Sumatera Utara antara lain berupa kerbau Murrah, Surti dan persilangannya.

(31)

kelompok lainnya. Morfologi adalah tampilan eksternal tubuh makhluk hidup yang merupakan ekspresi dari bentuk keseimbangan biologis, sehingga dapat dipakai untuk menentukan asal-usul dan hubungan filogenik antara spesies, bangsa dan tipe ternak berbeda.

Nei (1987) menyatakan jarak genetik menunjukkan tingkat perbedaan antara populasi atau spesies yang dapat diukur secara numerik. Pengukuran jarak genetik didasarkan statistik Mahalanobis (D2) pada jarak suatu organisme atau gen yang berhubungan, sehingga efek polimorfisme dalam populasi diabaikan. Mitra et al (1995) dan Berthouly et al. (2009) menyatakan penentuan jarak genetik populasi ternak bermanfaat untuk pemanfaatan dan peningkatan sumbedaya genetik melalui kegiatan pemuliaan ternak berkelanjutan. Sementara itu, Falconer dan McKay (1996) dan Bourdon (2000) menyatakan bahwa kegiatan pemuliaan ternak dalam upaya meningkatkan mutu genetiknya dapat dilakukan melalui seleksi dan atau persilangan bangsa ternak.

Martojo (1990) menyarankan program seleksi dalam bangsa yang dapat dilaksanakan dalam kelompok peternak dengan ternaknya secara sederhana dipedesaan tanpa catatan dalam bentuk recording di atas kertas melainkan catatan berulang yang dicatat dalam bentuk cap bakar pada tubuh ternak induk dan anaknya. Satu catatan yang diperlukan adalah bobot sapih atau bobot pada sekitar 6-7 bulan. Jika tidak ada timbangan dapat dilakukan dengan mengukur lingkar dada. Ukuran lingkar dada tidak perlu diterjemahkan ke dalam taksiran bobot badan. Ukuran ini hanya dipakai untuk membandingkan satu anak ternak (kerbau) dari yang lain dalam kelompok umur dan daerah yang sama. Anak kerbau yang merupakan 10-20 persen terbaik ditetapkan sebagai bibit pilihan dan diberi cap bakar A seterusnya kelompok B adalah yang merupakan sisa yang berukuran di atas rataan kelompoknya. Induk dari anak kerbau kelas A diberi cap A pula. Selanjutnya bibit pilihan jantan dan betina dijadikan calon pejantan dan induk untuk menghasilkan generasi selanjutnya.

(32)

melalui seleksi tidak banyak dilakukan terutama dalam pelita I sampai VI yang lalu, hal ini karena perencanaan yang ditekankan pada pemerataan dan cara-cara relatif murah dengan hasil cepat dan menonjol. Ketika arus bioteknologi melanda dunia, Indonesia harus sanggup melaksanakan penelitian rekayasa genetik sebatas embrio transfer dan beberapa teknik manipulasi seluler embrio. Upaya seleksi yang sejak itu sudah dianggap rekayasa genetik konvensional, yang seharusnya menjadi dasar bagi rekayasa genetik modern, justru dianggap tidak perlu diprioritaskan, sehingga ketertinggalan dalam bidang ini sampai saat ini semakin jauh. Pada akhir orde pemerintahan yang lalu hanya sub sistem penggemukkan yang didukung pemerintah, sedangkan upaya lain ditekankan pada bentuk peternakan rakyat, yang tidak memungkinkan pemuliaan konvensional di dalamnya.

Selanjutnya, Martojo (2002) mengungkapkan bahwa, berbeda kontras dengan bidang pemuliaan tanaman konvensional, sampai saat ini belum berhasil dibentuk satupun bangsa hewan unggul setara varietas, klon atau bibit unggul dalam bidang tanaman pangan, hortikultura atau perkebunan. Ironis bahwa pada saat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan atau Dewan Riset Nasional merestui pemanfaatan sejumlah dana besar untuk penelitian dalam bidang peternakan, pemerintah justru tidak mendukung pelaksanaan penelitian pemuliaan konvensional tetapi mau membuat lompatan langsung ke bidang bioteknologi. Hal ini masih terus terjadi hingga era reformasi dan krisis moneter yang berkepanjangan ini semakin tidak mungkin realisasi penelitian pemuliaan konvensional.

Pemuliaan Kerbau Berkelanjutan

(33)

ternak erat kaitannya dengan aspek: (i) kebijakan pemerintah (ii) peran peternak, (iii) infrastruktur (sarana-prasarana), dan (iv) kesesuaian genotipe dengan lingkungan sehingga sumberdaya ternak yang tersedia cocok dengan lingkungannya.

Potensi sumberdaya peternak dan lingkungan pendukung dapat menjadi rujukan rencana implementasi program pemulian ternak yang akan dilakukan (Wollny et al. 2002; Kosgey 2004). Chagunda dan Wollny (2005) memaparkan bahwa walaupun peternakan rakyat melakukan kegiatan usahaternak secara tradisional, namun sumbangannya terhadap perbaikan mutu genetik ternak cukup besar, karena mereka mampu memilih dan memilah ternak yang dipelihara sesuai dengan kondisi lingkungan serta sosial budayanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Wollny et al. (2002) yang menyatakan bahwa kegagalan pemuliaan ternak di negara berkembang disebabkan bersifat top down kurang memperhatikan dan melibatkan kepentingan peternak.

Chantalakana dan Skunmun (2002) mengungkapkan kendala kegiatan pemuliaan ternak di negara berkembang adalah rendahnya dukungan pemerintah (finansial maupun kebijakan). Implikasinya adalah kegiatan pemuliaan ternak kurang dapat berjalan dengan baik, padahal konsep peternakan yang berkelanjutan menghendaki adannya dukungan kerjasama semua fihak terkait.

Langkah pertama pada kegiatan pemuliaan ternak adalah menentukan tujuan pemuliaan (breeding objective) dan pola pemuliaan (breeding strategies). Tujuan dan pola pemuliaan harus dirumuskan dengan jelas oleh para pelaku kegiatan pemuliaan sehingga dapat diimplementasikan dalam pelaksanaannya (Kosgey 2004).

Di negara berkembang agraris seperti Indonesia, kerbau lumpur umumnya digunakan sebagai ternak kerja pengolah lahan. Hal ini dikarenakan kerbau mempunyai kekuatan dan daya tahan yang baik dalam bekerja. Kerbau lebih baik dibandingkan sapi pada kondisi basah atau terendam air ditempat berlumpur sehingga kerbau dapat menarik bajak di tanah berlumpur dan dalam kondisi tertentu cocok untuk ternak kerja (Handiwirawan et al. 2009).

(34)

pertanian. Chantalakhana dan Skunmun (2002) mengungkapkan jika kerbau lumpur akan difungsikan sebagai ternak kerja pengolah lahan, maka kriteria seleksi meliputi kekuatan, daya tahan panas serta parasit, dan temperamen. Kekuatan kerbau berkaitan dengan ukuran lingkar dada, tinggi pundak, panjang badan, dan bentuk teracak. Temperamen kerbau menggambarkan pola aksi yang dapat diamati pada ternak yang disengaja ataupun tidak. Tingkah laku ternak bersifat mewaris dengan nilai heritabilitas berkisar 0.25-0.5.

Kerbau dapat hidup nyaman pada kondisi temperaur lingkungan antara 16-24 oC. Kerapatan kelenjar keringat kerbau sepersepuluh dari kerapatan kelenjar keringat sapi, sehingga pelepasan panas dengan cara berkeringat tidak banyak membantu. Bulu kerbau sangat jarang sehingga mengurai perlindungannya terhadap sinar matahari langsung. Oleh karena itu kerbau kurang tahan terhadap sinar mata hari langsung atau udara yang dingin. Di bawah naungan atau di dalam kubangan, temperatur tubuh kerbau akan menurun lebih cepat daripada sapi (Handiwirawan et al. 2009).

Kulit kerbau ditutupi epidermis yang tebal, sel-sel basal yang mengandung banyak partikel melanin memberikan karakteristik warna hitam pada permukaan kulit. Partikel melanin menangkap sinar ultraviolet dan mencegahnya menerobos melalui epidermis kulit. Kulit kerbau yang sudah dewasa tanpa ditumbuhi rambut dan terdapat kelenjar sebaceous yang berkembang dengan baik. Kelenjar ini mensekresikan zat seperti lemak yang disebut sebum yang menutupi dan sebagai pelumas yang membuat licin air dan lumpur di permukaan kulit. Karakteristik khas kulit dan kelenjar keringat yang dimiliki kerbau menyebabkan kerbau kurang tahan terhadap paparan sinar matahari langsung atau panas. Oleh karena itu disain kandang harus dibuat untuk mengurangi cekaman panas (Handiwirawan et al. 2009)

(35)

Intaramongkol (1998) melaporkan program pemuliaan kerbau nasional di Thailand telah meningkatkan produktivitas kerbau seperti bobot sapih pada umur 240 hari meningkat dari 121 kg pada tahun 1983 menjadi 167 kg pada tahun 1995 dengan kemajuan genetik sebesar 0.135 kg per tahun. Rataan pertambahan bobot badan prasapih meningkat dari 459 g per hari pada periode 1983-1989 menjadi 555 g/hari pada tahun 1995 dengan tren genetik sebesar 2 073 g. Bobot umur 2 tahun meningkat dari 268 kg pada tahun 1983 menjadi 317 kg pada tahun 1995, dengan rataan pertambahan bobot badan pascasapih meningkat dari 408 g pada peiode 1983-1989 menjadi 410 g pada tahun 1994.

Upaya melindungi peternak kerbau dari bibit yang tidak sesuai dengan standar mutu dan persyaratan teknis minimal yang ditetapkan, telah diantisipasi oleh pemerintah melalui penerbitan Peraturan Menteri Pertanian No. 56/Permentan/OT.140/102006 tentang pedoman pembibitan kerbau yang baik. Peraturan tersebut berisikan amanat tentang pelaksanaan pembinaan, bimbingan, pengawasan, dan produksi bibit kerbau yang merupakan kewenangan kabupaten/kota, dan sekaligus sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ditetapkannya pedoman ini agar dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan kerbau dapat diperoleh bibit kerbau yang memenuhi persyaratan teknis minimal dan persyaratan kesehatan hewan. Ruang lingkupnya meliputi sarana dan prasarana, proses produksi bibit, pelestarian lingkungan, monitoring, evaluasi dan pelaporan (Deptan 2006a).

Deptan (2006a) mengatur standar mutu untuk menjamin mutu poduk bibit kerbau yang sesuai dengan permintaan konsumen, diperlukan teknis minimal sebagai berikut:

a. Persyaratan umum

i. Kerbau bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata (kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya. ii. Semua kerbau bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal

ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan.

(36)

b. Persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk kerbau lumpur dicantumkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk bibit kerbau lumpur

Sifat Kualitatif Sifat Kuantitatif

 Kulit berwarna abu-abu, hitam, bulu, berwarna abu-abu sampai hitam

 Tanduk mengarah ke belakang horizontal, bentuk bulan panjang dengan bagian ujung meruncing serta membentuk setengah lingkran

 Kondisi badan baik, bagian belakang penuh dengan otot yang berkembang

 Leher kompak dan kuat serta mempunyai proporsi yang sebanding dengan badan dan kepala

 Ambing berkembang dan simetris

 Betina:

 Umur 18 bulan-38 bulan

 Tinggi gumba minimal 105 cm

 Jantan:

 Umur 30-40 bulan

 Tinggi gumba minimal 110 cm

Sumber: Deptan (2006a)

Partisipasi dan Pengetahuan Peternak dalam Kegiatan Pemuliaan

Philipson dan Rege (2002) mengungkapkan bahwa partisipasi petani memegang peranan penting dalam pengembangan program pemuliaan berkelanjutan. Keberhasilan program pemuliaan antara lain ditentukan oleh keterlibatan peternak dan kesesuaian usaha ternaknya. Keberhasilan dalam menjalankan program pemuliaan adalah bagaimana mengefektifkan peran dan partisipasi peternak. Program pemuliaan yang ditentukan pula oleh adanya keterlibatan (partisipasi) peternak dalam program tersebut.

(37)
(38)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Provinsi Banten dan berlangsung dari bulan April 2007 sampai dengan bulan Desember 2008. Lokasi penelitian meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Bahan dan Alat

[image:38.595.106.512.482.748.2]

Materi penelitian yang digunakan adalah 300 ekor kebau rawa dewasa dan 60 orang responden peternak kerbau di Kabupaten Serang, Pandeglang serta Lebak Provinsi Banten. Data yang dihimpun merupakan data primer. Data sekunder terdiri atas 100 ekor kerbau rawa Aceh Besar, 99 ekor kerbau Hulu Sungai Selatan, 50 ekor kerbau Pleihari, 39 ekor kerbau Dompu, 40 ekor kerbau Hu’u, 40 ekor kerbau Kempo, 40 ekor kerbau Pajo, dan 40 ekor kerbau Woja. Data sekunder berasal dari data penelitian peneliti pada program kerjasama kemitraan penelitian pertanian dengan perguruan tinggi (KKP3T) tahun 2007, digunakan pada penentuan jarak genetik antarpopulasi kerbau Indonesia. Data kerbau rawa yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah kerbau rawa dewasa yang digunakan sebagai sampel penelitian

Lokasi Jumlah kerbau (ekor) Keterangan

Serang 100 Data primer

Pandeglang 100 Data primer

Lebak 100 Data primer

Aceh Besar 100 Data sekunder

Hulusungai Selatan 99 Data sekunder

Pleihari 50 Data sekunder

Dompu 39 Data sekunder

Hu’u 40 Data sekunder

Kempo 40 Data sekunder

Pajo 40 Data sekunder

Woja 40 Data sekunder

(39)

Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri atas kaliper (cm), tongkat ukur (cm), kamera dan kuisioner.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode survey, penentuan sampel mengacu pada Effendi (1989) serta Mantra dan Kastro (1989) yakni menggunakan metode sampling purposif. Kabupaten terpilih sebagai sampel adalah Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Kabupaten Lebak. Hal ini didasarkan pada besarnya ukuran populasi kerbau pada ketiga kabupaten tersebut yakni 34 000, 27 000 dan 42 000 ekor berturut-turut untuk kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak (Ditjenak 2007).

Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati meliputi aspek-aspek yang berkaitan dengan: (1) Karakteristik fenotipe kerbau rawa.

(2) Konservasi sumberdaya genetik ternak kerbau rawa. (3) Karakteristik demografi peternak kerbau.

(1) Karakteristik Fenotipe Kerbau Rawa

Peubah yang diamati dalam karakteristik fenotipe adalah peubah yang berkaitan dengan sifat kualitatif dan kuantitatif ukuran-ukuran tubuh yang mengacu pada pedoman pembibitan kerbau yang baik (Deptan 2006a) yaitu: a. Sifat kualitatif meliputi: warna bulu, warna kaki, bentuk tanduk, garis

punggung, dan garis kalung putih (chevron).

(40)

(2) Konservasi Sumberdaya Genetik Kerbau Rawa

Variabel yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya genetik kerbau rawa meliputi ukuran populasi efektif (Ne) dan status resiko populasi.

Ukuran populasi efektif (Ne) dihitung mengacu pada Falconer dan McKay (1996) dengan formulasi rumus:

) ( ) . 4 ( Nf Nm Nf Nm Ne  

Di mana Nm adalah jumlah ternak jantan, dan Nf adalah jumlah ternak betina.

(3) Karakteristik Demografi Peternak

Karakteristik demografi peternak yang diamati meliputi: identitas peternak, umur, pengalaman beternak, tingkat pendidikan, tujuan beternak, partisipasi, motivasi dan pengetahuan peternak dalam kegiatan pemuliaan kerbau rawa. Pengumpulan data dihimpun berdasarkan wawancara yang dipandu dalam daftar kuesioner (lampiran 1).

Analisis Data Analisis Data Sifat Kualitatif

Sifat kualitatif yang diamati meliputi warna bulu, warna kaki, bentuk tanduk, garis punggung, dan garis kalung putih (chevron) dianalisis menggunakan frekuensi relatif dengan formula sebagai berikut:

% 100 x n A Sifat relatif

Frekuensi  

Di mana A adalah salah satu sifat kualitatif pada kerbau rawa yang diamati, dan n adalah banyaknya sampel kerbau rawa yang diamati

Analisis Data Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau

Data ukuran-ukuran tubuh kerbau dianalisis menggunakan prosedur statistik deskriptif meliputi rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman mengacu pada Sudjana (1982), formula rumusnya adalah:

n x x n i i

  1 ; 1 ) ( 1 2   

n x x s n i i

; x100% x

(41)

Di mana x adalah rataan sifat yang diamati, xi adalah nilai sifat yang diamati

ke-i, n banyaknya sampel ternak kerbau rawa, s adalah simpangan baku dan Kk adalah koefisien keragaman. Pembandingan rataan ukuran-ukuran tubuh antar populasi kerbau dibandingkan dengan uji-Jarak Berganda Duncant (DMRT) pada taraf uji (5%) (Sudjana 1982).

Penentuan Hubungan Kekerabatan Kerbau dalam dan Antarpopulasi

Penentuan hubungan kekerabatan antarpopulasi kerbau menggunakan fungsi diskriminan sederhana (Herrera et al. 1996), melalui pendekatan jarak Mahalonobis seperti yang dijelaskan oleh Nei (1987), yaitu dengan menggabungkan (pooled) matriks ragam peragam antara peubah dari masing-masing kerbau yang diamati menjadi sebuah matriks sebagai berikut:

pp p p p p p

c

c

c

c

c

c

c

c

c

c

c

c

C

....

....

....

....

....

....

....

....

3 2 1 2 23 22 21 1 13 12 11

Jarak Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik minimum yang digunakan sesuai dengan petunjuk Nei (1987) adalah sebagai berikut:

D

2(ij)

(

X

i

X

j

)

C

1

(

X

i

X

j

)

Dimana:

D2(ij) = Nilai statistik Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik antara tipe kerbau ke-i dan tipe kerbau ke-j.

Xi = Vektor nilai rataan pengamatan dari tipe kerbau ke-i pada masing-masing peubah kuantitatif.

Xj = Vektor nilai rataan pengamatan dari tipe kerbau ke-j pada masing-masing peubah kuantitatif.

(42)

Kumar et al. (1993) untuk mendaptkan pohon dendrogram. Tekik pembuatan pohon fenogram menggunakan metode UPGAMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic) dengan asumsi bahwa laju evolusi antar kelompok kerbau adalah sama. Penentuan penyebaran kerbau dan nilai kesamaan dari nilai campuran di dalam dan diantara kelompok kerbau digunakan analisis Canonical

(Herrera et al. 1996). Analisis ini digunakan dalam menentukan beberapa peubah ukuran fenotipik yang memiliki pengaruh kuat terhadap penyebab terjadinya pengelompokkan antara sub-populasi kerbau. Prosedur analisisnya menggunakan

PROC CANDISC dari SAS versi 7.0.

Aspek konservasi populasi kerbau Banten dilakukan berdasarkan penilaian terhadap status resiko populasi kerbau dan ukuran populasi efektif. Acuan penentuan status resiko adalah Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 35/ Permentan/OT.140/8/22006 mengenai pedoman pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik ternak yaitu populasi dinyatakan kritis jika jumlah betina dewasa di bawah 100 ekor, populasi terancam jika jumlah betina dewasa antara 100 – 1 000 ekor, populasi rentan jika jumlah betina dewasa antara 1 000 – 5 000 ekor, populasi jarang bila jumlah betina dewasa antara 5 000 – 10 000 ekor, dan populasi aman jika jumlah betina dewasa lebih dari 10 000 ekor (Deptan 1996b).

Analisis Data Karakteristik Demografi Peternak

(43)

Penentuan Pola Pemuliaan Kerbau

Penenetuan pola pemuliaan kerbau menggunakan proses analisis hirarki (PAH) menurut Saaty (1993). Metoda PAH memecah-mecah situasi kompleks kedalam bagian komponennya, memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Langkah-langkah PAH adalah sebagai berikut:

1. Menyusun hirarki yaitu: tingkat ke-1 fokus yakni pemuliaan kerbau rawa di peternakan rakyat, tingkat ke-2 komponen yang berkontribusi pada program pemuliaan: (1) sumberdaya manusia, (2) sumberdaya ternak, (3) tujuan pemuliaan, (4) seleksi dan perkawinan, (5) infrastuktur, (6) sosial budaya, (7) pasar dan (8) kebijakan pemerintah.

[image:43.595.116.511.460.732.2]

2. Menentukan vektor prioritas kriteria, membandingkan kriteria pada tingkat dua secara berpasangan dengan mempertimbangkan penting relatif setiap kriteria, kuantifikasi data kualitatatif menggunakan nilai skala komparasi 1 sampai 9 (Tabel 9).

Tabel 9 Skala banding berpasangan pada proses analisis hirarki Intensitas

Pentingnya Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen sama penting 3 Elemen yang satu sedikit lebih

penting dari yang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya

5 Elemen yang satu esensial atau sangat penting dari elemen lainnya

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting

dari elemen yang lainnya

Satu elmen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen lainnya

Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua

pertim-bangan yang berdekatan

Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan

Sumber: Saaty (1993)

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Sifat Kualitatif Kerbau

Sifat kualitatif yang diamati terdiri atas warna bulu dan warna kaki, bentuk tanduk, garis punggung, dan garis kalung putih (chevron). Berdasarkan pengamatan sifat kualitatif kerbau lokal diperoleh warna bulu, bentuk tanduk, garis punggung maupun garis kalung putih pada leher bervariasi.

Warna Bulu dan Warna Kaki

Warna bulu merupakan manifestasi antara satu atau beberapa pasang gen. Variasi warna bulu kerbau rawa dewasa di tempat penelitian adalah abu-abu gelap, abu-abu terang dan albino (Tabel 10).

Tabel 10 Warna bulu kerbau rawa

Warna kulit tubuh

Kerbau rawa

Serang Pandeglang Lebak Abu-abu gelap (%) 63.00 61.00 65.00 Abu-abu terang (%) 35.00 38.00 31.00

Albino (%) 2.00 1.00 4.00

n = 300 ekor

Warna bulu kerbau rawa abu-abu gelap di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak berurutan adalah (63.00%), (61.00%) dan (65.00%), sedangkan warna bulu abu-abu terang pada kerbau Serang (35.00%), Pandeglang (38.00%) dan Lebak (31.00%). Ditemukan kerbau albino pada kerbau Serang (2.00%), Pandeglang (1%) dan Lebak (4%). .Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Cockrill (1974) yang menyatakan bahwa warna bulu kerbau rawa umumnya abu-abu gelap.

(45)
[image:45.595.101.513.99.823.2]

adalah A_B_C_ddE_. Warna bulu albino pada kerbau diduga bergenotipe A_B_ccD_E_. (Searle 1968).

Tabel 11 Gen pengontrol warna bulu pada kerbau

Lokus Nama lokus Alel Deskripsi Efek pada tipe liar

A Agouti A Menutupi pigmentasi merah dan hitam

Resesif Br Brindle Br Pigmentasi hitam Dominan C Albino C Menutupi semua pigmen warna

lain

Dominan penuh Dn Dilution Dn Menutupi pigmen merah oleh

pigmen hitam

Setengah dominan E Extension E Merah/merah tanpa adanya

pigmen gelap

Resesif terhadap ED dan E+

Sumber: Olson (1999)

Amano et al. (1981) mengungkapkan tidak terdapat gen pengontrol warna putih dan belang pada warna bulu kerbau rawa. Ilustrasi warna bulu dan warna kaki kerbau lokal disajikan pada Gambar 3.

Warna kaki kerbau rawa yang diteliti umumya abu-abu yakni sama dengan warna tubuhnya (Tabel 12). Warna kaki abu-abu terang tertinggi pada kerbau rawa Serang (26.00%), sedangkan warna kaki abu-abu gelap tertinggi pada kerbau rawa Lebak (47.00%) dan warna kaki putih tertinggi pada kerbau rawa Pandeglang (37.00%). Warna kaki kerbau rawa populasi keseluruhan tertinggi warna abu-abu gelap (44.67%) dan terendah warna abu-abu terang (23.33%), sedangkan warna kaki putih ditemukan sebanyak 32.00 persen.

Tabel 12 Warna kaki kerbau rawa

Warna kaki

Kerbau

Serang Pandeglang Lebak Abu-abu terang (%) 26.00 21.00 23.00 Abu-abu gelap (%) 45.00 42.00 47.00

Putih (%) 29.00 37.00 30.00

(46)

(a) (b) (c)

Gambar 3 Warna bulu dan kaki kerbau rawa: (a) bulu abu gelap dan kaki putih (b) bulu abu gelap dan kaki abu terang, dan (c) bulu abu gelap dan kaki abu gelap

Bentuk Tanduk

[image:46.595.115.512.96.271.2]

Keberadaan tanduk pada kerbau rawa jantan maupun betina adalah normal, bentuknya bervariasi yakni melingkar ke belakang dan melingkar ke atas (Gambar 4). Tanduk bagi kerbau rawa digunakan untuk mengais lumpur di tempat kubangan dan menghalau serangga yang ada dibagian punggungnya, sekaligus untuk menggaruk, dan bagi pejantan dipergunakan untuk bertarung dengan pejantan lainnya. Bentuk tanduk kerbau rawa lebih bervariasi bila dibandingkan kerbau sungai. Berdasarkan penelitian, bentuk tanduk kerbau rawa mayoritas melingkar ke atas (Tabel 13).

Tabel 13 Bentuk tanduk kerbau rawa

Bentuk tanduk Kerbau

Serang Pandeglang Lebak Melingkar ke belakang (%) 35.00 27.00 22.00 Melingkar ke atas (%) 65.00 73.00 78.00 n= 300 ekor

(47)

(a) (b)

Gambar 4 Bentuk tanduk kerbau rawa: (a) tanduk melingkar ke belakang dan (b) tanduk melingkar ke atas

Garis Punggung

Garis punggung terdiri atas dua macam yaitu garis punggung datar dan garis punggung melengkung. Garis punggung berkaitan dengan kondisi tubuh kerbau. Kerbau yang bergaris punggung datar mengindikasikan kondisinya gemuk sedangkan yang bergaris punggung melengkung adalah kurus (Gambar 5).

(a) (b)

Gambar 5 Garis punggung kerbau rawa: (a) garis punggung lurus dan (b) garis punggung melengkung

(48)

Tabel 14 Garis punggung kerbau rawa Garis punggung

Kerbau

Serang Pandeglang Lebak

Melengkung (%) 32.00 18.00 13.00

Datar (%) 68.00 82.00 87.00

n = 300 ekor

Tingginya frekuensi garis punggung datar pada kerbau rawa di lokasi penelitian mengindikasikan bahwa kerbau di Provinsi Banten tergolong dalam kategori gemuk. Hal ini diduga akibat ketersediaan hijauan pakan cukup melimpah. Hal ini sejalan dengan pendapat Maureen dan Kardiyanto (2011) yakni potensi hijauan pakan ternak ruminansia besar di Provinsi Banten baru terisi sekitar 40 persen dari daya tampung yang ada yakni tersedia 174 722 ha lahan tegalan dengan potensi menghasilkan rumput sebesar 5.3 juta ton setara dengan 2.18 juta ST.

Garis Kalung Putih (Chevron)

Warna putih pada dasar hitam yang menyerupai pita merupakan karakteristik pada kerbau rawa dan sering disebut dengan chevron. Frekuensi garis kalung putih pada kerbau lokal di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Garis kalung putih kerbau rawa

Garis kalung Kerbau

Serang Pandeglang Lebak

Tunggal (%) 15.00 12.00 8.00

Ganda (%) 85.00 88.00 92.00

n = 300 ekor

(49)

(88.33%) sedangkan garis kalung putih tunggal (11.67%). Gambar garis kalung putih pada leher kerbau rawa disajikan pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6 Garis kalung putih pada leher kerbau: (a) garis kalung putih tunggal dan (b) garis kalung putih ganda

Pengamatan Morfometrik Ukuran Tubuh Kerbau

Hasil analisis statistik deskriptif meliputi nilai rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran tubuh kerbau rawa jantan subpopulasi Serang, Pandeglang dan Lebak disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan Rataan tinggi pundak kerbau rawa jantan Serang, Pandeglang dan Lebak berturut-turut 129.67 cm, 129.79 cm dan 130.59 cm, ketiganya tidak berbeda nyata (P>0.05). Lebar pinggul kerbau rawa Serang hampir sama dengan kerbau rawa Pandeglang akan tetapi lebih rendah (P>0.05) dari kerbaurawa Lebak. Variasi lebar pinggul 32.12 cm terendah pada kerbau rawa Pandeglang dan tertinggi 32.82 cm pada kerbau rawa Lebak.

(50)
[image:50.595.103.508.171.732.2]

rawa Pandeglang terendah 62.56 cm dibanding kerbau rawa Serang dan Lebak 66.87 cm dan 65.97 cm (P<0.05).

Tabel 16 Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran tubuh kerbau rawa jantan

Ukuran tubuh (cm)

Subpopulasi Serang (n= 50)

x±sb (% kk)

Pandeglang (n= 50)

x±sb (% kk)

Lebak (n= 50)

x±sb (% kk) Tinggi pundak 129.67±2.90a

(2.24)

129.79±2.33a (1.79)

130.59±3.24a (2.48) Tinggi pinggul 103.60±1.98a

(1.91)

101.80±2.47a (2.38)

104.85±2.50a (2.38) Lebar Pinggul 32.55±1.53ab

(4.71)

32.12±1.49b (4.65)

32.82±1.80a (5.47) Panjang badan 121.86±6.60a

(5.42)

122.25±6.24a (5.10)

122.20±6.44a (5.27) Lingkar dada 172.81±5.36a

(3.10)

170.31±4.47b (2.62)

172.81±5.36a (3.10) Dalam dada 66.87±3.70a

(5.54)

62.56±3.54b (5.66)

65.97±4.67a (7.08) Lebar dada 41.78±2.06a

(4.94)

40.95±1.56b (3.82)

41.80±2.41a (5.76) Lebar pangkal paha 56.82±4.28a

(7.53)

55.62±2.99a (5.38)

56.41±3.94a (6.98) Panjang ekor 72.02±2.03a

(2.83)

72.35±1.49ab (2.67)

72.90±2.06b (2.83) Panjang kepala 42.21±1.39a

(3.30)

41.63±1.21a (2.91)

42.14±1.67a (3.96) Lebar kepala 19.41±1.40a

(7.20)

20.53±1.93b (9.40)

20.68±2.17b (10.50) Tinggi skrotum 15.79±0.65a

(4.10)

15.83±0.61a (3.82)

16.03±0.74a (4.63) Panjang tanduk 42.99±2.04a

(4.75)

42.45±1.86a (4.39)

43.16±2.36a (5.46) Lingkar tanduk 32.80±1.62a

(4.94)

32.16±1.49a (4.63)

32.61±1.75a (5.37) Lebar telinga 22.42±1.13a

(5.06)

21.91±1.14b (5.18)

22.16±1.19ab (5.38) Panjang telinga 15.93±1.26a

(7.93)

15.69±1.14a (7.27)

15.85±1.26a (7.96) Lebar teracak 15.84±2.30a

(14.50)

15.89±1.89a (11.89)

(51)

Lebar pangkal paha kerbau rawa jantan ketiga subpopulasi tidak berbeda nyata (P>0.05). Kerbau rawa Lebak memiliki panjang ekor 72.90 cm lebih tinggi (P<0.05) dari sub populasi lainnya. Panjang kepala kerbau rawa jantan ketiga subpopulasi tidak berbeda nyata (P>0.05), akan tetapi lebar kepala kerbau rawa Serang 19.41 cm lebih tinggi (P<0.05) dari kerbau Pandeglang dan Lebak. Ukuran skrotum, panjang tanduk serta lingkar pangkal tanduk ketiga subpopulasi kerbau rawa tidak berbeda nyata (P>0.05) akan tetapi kerbau rawa jantan Serang memiliki lebar telinga 22.42 cm lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan kerbau rawa Pandeglang dan Lebak. Adapun peubah ukuran panjang telinga serta lebar teracak ketiga subpopulasi kerbau rawa jantan tidak berbeda (P>0.05).

Hasil penelitian Anggraeni et al. (2011) pada kerbau rawa di Indonesia meliputi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada Lingkar dada. Perbedaan dimungkinkan akibat adanya perbedaan habitat yang cukup nyata, antara pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTT seperti yang diungkapkan oleh Hardjosubroto (2006) berdasarkan tekanan lingkungan maka terciptalah kerbau-kerbau yang spesifik yang sesuai dengan keadaan agroklimat setempat.

Hasil analisis statistik deskriptif nilai rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran tubuh kerbau rawa betina subpopulasi Serang, Pandeglang dan Lebak disajikan pada Tabel 17. Rataan tinggi pundak kerb

Gambar

Gambar 1 Peta Provinsi Banten
Gambar 2 Wilayah kerja pembangunan (WKP) Provinsi Banten
Tabel  2  Perkiraan daya tampung ruminansia besar berdasarkan jenis sumber
Tabel 3 Sifat biologis kerbau dengan pola pemeliharaan ekstensif
+7

Referensi

Dokumen terkait