• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kayu kalapi (Kalappia celebica Kosterm) memiliki kulit batang kecoklatan dan bertekstur kasar pada kulit luarnya atau hampir menyerupai bentuk batang pohon pinus (pinus mercusii), kulit batang bagian dalam berwarna kemerah-merahan, warna daun muda dan tua berwarna hijau tua memiliki panjang sekitar 8-12 cm dan lebar 3,5-4,5 cm pada pohon dewasa berbentuk lanset sampai lonjong. Warna kayu teras pangkal dan cabang berwarna coklat kehitaman sedangkan gubal pangkal dan cabang berwarna cerah kecoklatan yang kemudian diduga memliki kandungan ekstraktif yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim (2015) tentang komponen kimia kayu kalapi bagian pangkal dan percabangan diperoleh kandungan zat ekstraktif yang terdapat pada kayu kalapi termasuk dalam kategori tinggi (> 4) yang didasarkan standar kalasifikasi kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen kimianya, dimana pada bagian pangkal kayu kalapi diperoleh kandungan rata-rata zat ekstarktif sebesar 16,3 % sedangkan pada percabangan kayu kalapi diperoleh rata-rata kandungan zat ektraktif sebesar 11,5% kondisi tersebut memungkinkan rayap menolak untuk memakan kayu tersebut yang kemudian menghambat aktifitas makan rayap.

Hasil pengamatan terhadap kelembaban udara dan suhu dalam jampot diperoleh kisaran kelembaban 75% sampai 80%, sedangkan suhu 290 C sampai 300 C. Hasil ini sesuai dengan pernyatanan Supriana (1983) yang mengatakan bahwa suhu sekitar 300 C merupakan suhu optimum bagi hidup rayap perusak kayu. Hal serupa juga dijelaskan oleh Apri (2005) yang mengemukakan tentang

kelembaban optimum bagi aktivitas rayap tanah, bahwa rayap tanah seperti Coptotermes, Macrotermes, dan Odototermes. Memerlukan kelembaban yang tinggi. Perkembangan optimumnya dicapai pada kisaran kelembaban 75 – 90%. Kecuali pada rayap kayu kering seperti Cryptotermes tidak memerlukan air atau kelembaban yang tinggi.

Pengujian yang dilakukan selama 28 hari dilabarotaorium ditampilkan pada gambar berikut.

(a) (b)

Gambar 6. Pengujian sampel kalapi terhadap rayap C. curvignathus. Ket: a). Denah pengujian dilaboratorium, b). Aktifitas rayap yang membentuk lorong dalam jampot selama pengujian.

b.1. Penurunan bobot contoh uji

Penurunan bobot contoh uji merupakan rata-rata berat akhir kering tanur yang dihasilkan setelah pengujian yang kemudian dapat menjadi dasar acuan dalam penentuan kelas awet dan kelas ketahan kayu kalapi. Besar kecilnya persentase kehilangan berat sampel uji disebabkan oleh aktivitas makan rayap C. curvignathus terhadap sampel uji yang diumpankan selama masa pengujian. Perlakuan pengujian berdasarkan letak dalam batang memberikan pengaruh sangat nyata terhadap penurunan bobot (tabel 1) hal ini diduga dikarenakan karena

perbedaan tingakat kandungan alami kayu pada tiap perlakuan yang kemudian mempengaruhi aktifitas makan rayap yang menyebabkan penurunan bobot.

Uji lanjut penurunan bobot kayu yang ditampilkan tabel 4 menunjukan penurunan bobot terendah terdapat pada pangkal kayu kalapi bagian teras diperoleh rata-rata penurunan bobot sebesar 1,78% sedangkan bagian gubal pangkal kayu didapatkan rata-rata penurunan bobot sebesar 2,67%, pada kayu bagian cabang diperoleh rata-rata penurunan bobot pada kayu teras sebesar 1,94% dan gubal sebesar 3,42% yang merupakan penurunan bobot paling tinggi dibanding dengan sampel lainnya dan memberi pengaruh sangat nyata terhadap posisi letak dalam kayu. Penurunan bobot diakibatkan serangan ringan rayap selama pengujian, menurunnya persentase kehilangan bobot pada pangkal teras dan cabang teras diakibatkan rendahnya tingkat kerusakan kayu yang dikarenakan kayu mengandung zat racun berupa ekstraktif yang tinggi kemudian menjadi faktor utama dalam mengahambat aktifitas rayap. Posisi dalam batang mempengaruhi kandungan ekstraktif dalam kayu dimana teras kayu merupakan kayu yang paling dominan menyimpan kandungan ekstraktif kayu.

Nandika, et al (1996) menyatakan bahwa keawetan alami kayu ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang jumlahnya bervariasi menurut jenis kayu, umur pohon, dan posisi dalam batang. Selanjutnya USDA (1999) menambahkan bahwa peralihan kayu gubal ke kayu teras disertai dengan peningkatan kandungan zat ekstraktif. Pada beberapa jenis kayu seperti black locust, western redcedar, dan redwood, kayu teras mempunyai ketahanan terhadap jamur dan serangan rayap.

Kandungan ekstraktif pada suatu jenis kayu diyakini mempengaruhi terhadap aktifitas serangan rayap. Secara umum semakin tinggi kandungan ekstraktif suatu jenis kayu maka semakin tinggi pula konsentrasi kandungan racun yang dapat menghambat serangan serangga perusak kayu. Contoh dari ekstraktif bioaktif yang terkandung dalam kayu yaitu tropolon, phenol, komponen polifenol termasuk tanin dan stilben, kaumarin, asam terpenoid dan lain-lain. Rayap juga memiliki sifat pemakan bangkai (necrophagy) dan pemakan sesama (kanibalisme), sifat-sifat ini sedikit banyak dapat mempengaruhi penyebab rendahnya kehilangan berat pada sampel kayu, ini disebabkan sulitnya rayap untuk medapatkan makanan karena pada sampel uji memiliki bioaktivitas yang dapat mempengaruhi aktivitas makan rayap, yang menyebabkan rayap memiliki ketidaksukaan terhadap sampel uji maka terjadi sifat memakan bangkai sesamanya dan memakan rayap yang lemah.

b.2. Mortalitas rayap

Analisis data mortalitas menggunakan metode deskriptif yang dinyatakan dalam (%). Uji sifat anti rayap kayu kalapi terhadap rayap C. curvignathus diukur dari mortalitas rayap yang dihitung setiap hari selama empat minggu. Pengamatan mortalitas dilakukan untuk mengetahui intensitas serangan rayap, sehingga hasil yang diperoleh dapat menjadi acuan dalam penentuan besar kecilnya aktifitas serangan rayap dan keawetan alami kayu selama pengujian. Mortalitas rayap dinyatakan sebagai perbandingan antara jumlah rayap hidup diakhir pengujian dengan jumlah rayap awal pada satu contoh uji. Mortalitas rayap dipengaruhi oleh ada tidaknya daya tarik kayu menjadi sumber makanan bagi rayap

tersebut misalnya kekerasan permukaan dan adanya bahan yang merangsang aktivitas rayap (Bignell et al. 2010). Mortalitas rayap terjadi karena tidak ada ketertarikan rayap terhadap makanan yang disediakan dan tidak adanya alternatif makanan lain. Hasil uji keawetan alami kayu kalapi terhadap serangan rayap tanah memberikan pengaruh pada persentase rayap yang mati dalam proses pengujian selama 28 hari. Tabel 5 menunjukan rata-rata mortalitas rayap yang beragam pada setiap jampot pengamatan.

Berdasarkan hasil pengamatan mortalitas yang di tampilkan pada tabel 5, diperoleh rata-rata mortalitas tertinggi terdapat pada pangkal kayu bagian teras yakni 98,20 % dan pada teras bagian cabang diperoleh rata-rata mortalitas dibawah lebih sedikit dari rata-rata yang diperoleh teras bagian cabang kayu yakni sebesar 96,70 % mortalitas rayap terendah diperoleh pada gubal bagian cabang yakni sebesar 94,50 % sedangkan pada gubal bagian pangkal sebesar 95,10 % pada pengamatan yang dilakukan setiap minggu jumlah kematian rayap pada setiap jampot bersifat fleksibel, hal ini dapat disebabkan ketidak mampuan rayap untuk menyesuaikan kondisi lingkungan yang baru, terlebih lagi tidak adanya sumber makanan yang sesuai untuk dikonfersikan sebagai sumber energi dalam mendukung aktifitas rayap dan dapat juga dikarenakan dimakan oleh rayap lainnya karena rayap memiliki sifat kanibalisme terhadap rayap yang lemah akibat kekurangan makanan. Secara umum kandungan ekstraktif pada letak dalam kayu pada teras maupun gubal mempunyai korelasi positif dengan mortalitas rayap dimana tingginya kandungan ekstraktif sejalan dengan meningkatnya mortalitas

hidup rayap yang dilakukan selama pengumpanan, menurut Supriana (1985) mortalitas rayap dapat digunakan sebagai kriteria daya racun.

Tingkat kandungan ekstraktif kayu turut mempengaruhi mortalitas rayap pada pengujian yang dilakukan. Ekstraktif kayu yang terdapat pada pangkal kayu lebih tinggi dibandingkan pada percabangan hal ini dikarenakan pembentukan ekstraktif pada pangkal terbentuk lebih dulu yang disertai dengan pertumbuhan pohon, hal tersebut sejalan dengan meningkatnya mortalitas rayap pada kayu bagian pangkal, semakin tinggi kandungan ekstraktif kayu maka semakin tinggi pula mortalitas rayap. Ekstraktif kayu meningkat pada proses pembentukan kayu teras dimana terjadi penumpukan substansi polifenol atau kambium pada dinding dan rongga sel yang kemudian disertai dengan berkurangnya kandungan air dalam kayu. Pengurangan air dapat menyebabkan hidrolisis pati menjadi gula. Proses tersebut dapat mengurangi kandungan oksigen sel-sel dan menambah konsentrasi karbondioksida dan kemungkinan besar juga tekanan gasnya. Kombinasi pengaruh tersebut berpengaruh buruk pada proses pernafasan dan menyebabkan kematian jaringan yang kemudian membentuk kayu teras. Penguraian gula menyebabkan terbentuknya berbagai senyawa polifenol yang memiliki sifat racun terhadap organisme perusak kayu.

Rayap diperoleh dari hutan kampus dan hutan amarilis yang terdapat pada kayu-kayu yang terserang oleh rayap dan juga pada sarang yang dibentuk dari gundukan gundukan tanah yang ditampilkan pada gambar berikut

Gambar 7. Contoh serangan rayap yang terdapat pada pohon dan kayu mati

Gambar 8. Koloni rayap C. curvignathus yang terdapat pada gundukan tanah. Kandungan ekstraktif kayu berupa senyawa-senyawa seperti saponin, flavonoid dan steroid/triterpenoid memiliki sifat toksitas yang tinggi pada rayap. Menurut Tsoumis (1991), keawetan kayu secara alami ditentukan oleh jenis dan jumlah zat ekstraktif yang bersifat anti racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat dalam kayu diantaranya alkaloid dan saponin.

Mekanisme kematian rayap dapat disebabkan oleh senyawa bioaktif yang dapat mematikan protozoa flagelata yang hidup dalam usus belakang rayap. Suparjana (2000) menyatakan bahwa di dalam usus belakang rayap C. curvignathus terdapat tiga genus flagelata yaitu genus Preudotricchonimpa, Holomastigotoidea, dan Spirotrichonimpha. Protozoa tersebut merupakan simbion yang menghasilkan enzim selulase yang berfungsi mencerna selulosa dan mengubahnya menjadi gula sederhana dan asam asetat sebagai sumber energi bagi

rayap. Hal ini akan menyebabkan rayap tidak mendapatkan makanan dan rayap mati. Syafii (2000) juga menyatakan bahwa kematian rayap disebabkan karena adanya senyawa bioaktif yang mematikan protozoa yang terdapat dalam perut rayap. Selain itu juga, kematian rayap diduga karena adanya senyawa alkaloid, seperti yang telah dijelaskan oleh Sastrodihardjo (1999) dalam Sari (2002), alkaloid itu sendiri dapat merusak fungsi sel (integritas membran sel) yang akhirnya mengahambat proses eksidisis akibat proses tersebut protozoa ikut terbuang. Untuk mendapatkan gantinya, rayap akan melakukan trofalaksis.

Prasetiyo dan Yusuf (2005) menyatakan bahwa perilaku trofalaksis merupakan aktivitas menjilati, mencium atau menggosokkan tubuhnya satu sama lain ketika bertemu untuk saling menyalurkan makanan, feromon, atau protozoa flagelata. Bahan makanan yang disalurkan sudah terkontaminasi dengan zat ekstraktif yang mengandung racun sehingga dapat menyebabkan mortalitas rayap. Di lain pihak, selain akibat ekstraktif kayu mortalitas rayap pada kontrol juga diduga karena kurang tahan terhadap kondisi lingkungan yang baru. Menurut Anisah (2001), rayap yang mati pada kontrol diduga ketidak mampuan rayap untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang bergantung pada suhu, kelembaban dan intensitas cahayanya dan dihadapkan pada kondisi tidak ada pilihan bahan makanan lain. Selain itu, rayap mempunyai sifat necrophagy yaitu rayap dapat memakan bangkai sesamanya dan sifat kanibalistik yaitu memakan rayap yang sudah lemah dan sakit (Nandika et al. 2003).

b.3. Pengukuran Intensitas Serangan Rayap

Intensitas serangan rayap diukur berdasarkan derajat kerusakan kayu dan penurunan bobot yang ditimbulkan selama 28 hari pengujian, pengamatan insensitas rayap dilakukan untuk melihat seberapa besar kerusakan fisik yang ditimbulkan oleh rayap tanah C. curvignathus selama pengujian. Serangan rayap pada kayu secara umum biasanya dapat dilihat dengan adanya lorong – lorong yang terbuat dari tanah yang berfungsi menjaga kelembaban dan sekaligus dapat dijadikan sebagai sarang dan adanya bekas gigitan pada permuakaan kayu.

Berdasarkan hasil penurunan bobot yang rendah pada seluruh sampel uji, menunjukan tidak adanya serangan berat yang dilakukan oleh rayap selama pengujian yang kemudian berarti intensitas serangan rayap juga rendah. Hal ini diduga dikarenakan banyaknya rayap yang mati akibat keracunan dari berbagi komponen zat ekstraktif kayu dan tidak adanya sumber makanan yang dapat diproses secara kimiawi sebagai sumber energi untuk melakukan aktifitas, selain tingginya kandungan racun dalam kayu kadar kandungan lignin yang termasuk dalam kategori tinggi yaitu pada bagian pangkal kayu sebesar 32,6% dan pada percabangan sebesar 32% yang kemudian diduga turut mempengaruhi aktifitas serangan rayap Coptotermes curvignathus karena lignin berkaitan dengan tingkat kekerasan kayu, merupakan zat yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami oksidasi (Kasmudjo, 2010 dalam Muliadi, 2013). Kandungan lignin pada pohon erat hubunganya dengan tingkat kekerasan kayu dimana pada bagian pangkal yang kerapatan kayunya lebih tinggi merupakan kayu yang lebih kuat dan keras. Pendapat ini sesuai dengan Fengel dan Wegener (1995) dalam Supartini (2009),

yang menyatakan bahwa adanya lignin pada kayu dapat menaikan sifat-sifat kekuatan mekanikanya.

Berdasarkan klasifikasi intensitas serangan rayap Standar Nasional Indonesia (2014), tabel 5 menunjukan intensitas serangan ringan hingga masih ada sampel yang utuh yang kemudian diklasifikasikan sangat tahan dengan nilai rata-rata penurunan bobot < 5%. Intensitas serangan terendah terdapat pada pangkal kayu bagian teras hal ini dibuktikan dengan rata-rata persentase penurunan bobot yang terendah yang diakibatkan pada kayu bagian pangkal teras memiliki timbunan ekstraktif dan lignin paling tinggi hingga menyebabkan tingginya angka kematian rayap, sementara intensitas serangan tertinggi terdapat pada kayu percabangan bagian gubal, hal ini dilihat berdasarkan persentase penurunan bobot dan kerusakan fisik berupa bekas gigitan yang diakibatkan oleh rayap tanah C. curvignathus, penurunan bobot sampel diakibatkan serangan ringan yang diakibatkan oleh rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) yang kemudian dapat diklasifikasikan dalam derajat kerusakan kayu, seperti yang ditunjukan pada gambar berikut.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 9. Sampel kayu setelah pengujian. Ket : a) Tampilan kayu teras bagian pangkal (1,77%), b) Gambar kayu gubal bagian pangkal (2,67%), c) Gambar kayu teras bagian cabang(1,94), d) Gambar kayu gubal bagian cabang (3,42%) setelah pengujian.

Gambar 9 menunjukan cacat fisik ringan yang diakibatkan oleh serangan rayap kemudian meyebabkan penurunan bobot yang terjadi pada sampel kayu pangkal bagian teras dan gubal tidak terjadi penurunan yang begitu signifikan, pada permukaan kayu teras bagian pangkal dan cabang tidak menunjukan kerusakan oleh serangan rayap hanya pada kayu bagian gubal saja, hal ini diduga disebabkan oleh kandungan zat ekstraktif pada kayu bagian teras termasuk dalam kategori tinggi yang kemudian menyebabkan intensitas serangan rayap sangat rendah.

b.4. Penentuan ketahanan kayu

Ketahanan kayu merupakan indikator kemampuan kayu dalam mempertahankan keadaan kayu secara fisik dari serangan organisme perusak. Serangan rayap tanah bersifat menghancurkan kayu dimana selulosa yang terdapat dalam kayu merupakan sumber makanan rayap tanah yang kemudian diproses secara kimiawi untuk memenuhi kebutuhan energi rayap. Syafii (2002) dalam Nuriyatin, N. et al (2003) menjelaskan bahwa perusakan kayu oleh rayap melalui proses “mecha-no-biodecomposition”, artinya pertama rayap menggigit sampel kayu, selanjutnya kayu didekomposisi dalam perut secara biokimia untuk memperoleh energi guna perkembangan dan pertumbuhannya. Serangan yang diakibatkan oleh rayap tanah dapat dilihat dengan adanya perubahan sifat fisik pada dasar permukaan kayu.

Berdasarkan evaluasi nilai penurunan berat akibat serangan rayap yang kemudian diklasifikasikan dalam klasifikasi SNI (2014), kayu kalapi termasuk dalam kategori sangat tahan (< 3,5%) terhadap serangan rayap C. curvignathus. Berdasarkan posisi vertikal kayu rata-rata persentase penurunan berat pada bagian pangkal (lampiran 4) sebesar 2,22 % dan percabangan 2,68 %. Ketidak mampuan rayap dalam merusak kayu diakibatkan adanya kandungan kimia kayu yang bersifat racun yang kemudian menyebabkan rayap tidak menyerang kayu secara maksimal, supriana (1983) menyatakan bahwa kekhasan jenis kayu akan mempengaruhi perilaku rayap, pada saat mencicipi sumber makanan dan jika dirasakan adanya zat ekstraktif maka rayap akan berpindah kebagian lain dari makanan tersebut atau mencari sumber makanan lain. selain itu tingginya

mortalitas rayap yang ditunjukan pada tabel 5 juga menjadi salah satu faktor ketahanan kayu yang menyebabkan intensitas serangan rayap menjadi rendah.

b.5. Kelas ketahanan kayu

Ketahanan alami kayu kalapi ditunjukan dengan nilai kehilangan berat kayu selama proses pengujian kayu kalapi terhadap seranagan rayap tanah. Ketahanan kayu menyatakan keawetan alami kayu dimana jika sautu jenis kayu memiliki kelas ketahanan tinggi maka umur pakai kayu akan relatif lama yang kemudian kayu tersebut dikatakan awet. Keawetan alami merupakan daya tahan alami suatu jenis kayu terhadap serangan agen perusak kayu. Keawetan alami ini biasanya berhubungan dengan adanya zat ekstraktif yang beracun dalam kayu. Zat ekstraktif beracun tersebut biasanya termasuk dalam golongan tanin, resin, senyawa fenolik, dan asam-asam organik (Prawirohatmodjo 1997 dalam Kuswantoro 2005). Semakin tinggi kandungan ekstraktif kayu maka kayu akan semakin awet terhadap serangga perusak kayu utamanya serangga rayap C. curvignathus yang memiliki daya rusak yang besar pada setiap bahan - bahan berkayu. Achmadi (1990) menyatakan keawetan kayu dipengaruhi oleh daya racun dan kadar ekstraktifnya.

Hal tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh setelah melakukan pengujian selama 28 hari. Pada pengamatan yang dilakukan pada minggu pertama sampai minggu kedua sampel kayu dalam jampot tidak ditemukan kerusakan fisik yang signifikan pada permukaan kayu disemua sampel uji. Hal tersebut dikarenakan tingginya angka mortalitas yang terjadi pada seluruh jampot. Persentase tertinggi mortalitas rayap terdapat pada jampot uji pangkal kayu bagian

teras yaitu sebesar 98,20 % dan hasil mortalitas rayap terendah terdapat pada percabangan bagian gubal yaitu 94,50 % berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut kemudian membuktikan bahwa semakin tinggi kandungan alami kayu yang berupa zat ekstraktif maka akan berkorelasi terhadap serangan rayap dan memberi efek pengaruh yang besar terhadap serangan rayap tanah C. curvignathus.

Pengamatan yang dilakukan diakhir pengujian pada minggu ke empat baru diperoleh bekas gigitan ringan pada permukan sampel uji pada pangkal dan percabangan kayu namun secara dominan hanya terjadi pada bagian gubal sedangkan kayu teras pangkal dan teras cabang tidak terjadi kerusakan yang begitu besar pada permukaan sampel kayu atau hingga masih ada sampel yang utuh, hal tersebut kemudian berpengaruh pada berat sampel uji. Pada pengamatan penurunan bobot, kayu teras bagian pangkal merupakan bagian kayu yang memperoleh penurunan bobot terendah yakni sebesar 1,78 % sedangkan penurunan bobot paling tinggi yaitu pada kayu percabangan bagian gubal 3,42 %. Jin dan Laks (1994) mendukung pernyataan bahwa ekstraktif kayu teras bertanggung jawab secara luas dalam memberikan sifat keawetan, kayu teras merupakan kayu yang terbentuk akibat terjadinya penumpukan dan penguraian zat makanan yang kemudian terjadi penguraian gula dan membentuk senyawa polifenol.

Penurunan bobot kayu kalapi saat akhir pengujian diklasifikasikan Berdasarkan klasifikasi SNI 7207 (BSN 2014) yang kemudian menunujkan bahwa kalapi termasuk kategori sangat tahan (<3,5%) terhadap rayap C. curvignathus

sehingga termasuk kelas awet I. tingginya kandungan ekstraktif kayu kalapi memberikan efek racun terhadap rayap tanah yang kemudian mengakibatkan aktifitas rayap selama pengujian menjadi tidak konsisten hingga menyebabkan mortalitas rayap menjadi meningkat. Hal tersebut kemudian menyebabkan bobot sampel kayu tidak mnegalami penurunan bobot yang sangat tinggi hingga diklasifikasikan sangat tahan terhadap serangan rayap berdasarkaSNI (2014).

Selanjutnya, jika dibandingkan dengan penelitian Pritasari (2011) sebelumnya yang menguji keawetan alami kayu pinus, mangium, karet, dan sengon, Zevy Augrind L (2014) tentang keawetan alami kayu tumih maka kelas awet kayu kalapi lebih baik dibandingkan dengan lima jenis kayu tersebut. Sifat keawetan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang, kecepatan tumbuh, tempat tumbuh dan jenis organisme perusak serta tempat kayu tersebut akan digunakan (Martawijaya, 1996). Namun demikian, sifat racun zat ekstraktif tersebut terhadap organisme perusak kayu bersifat selektif, misalnya suatu jenis kayu yang tahan terhadap jamur belum tentu tahan terhadap serangan organisme lain (Martawijaya, 1983; Febrianto, et al. 2000). Berdasarkan kelas keawetan kalapi yang diperoleh maka kayu ini diduga dapat digunakan diatas tanah yang lembab berkisar 8 tahun, sedangkan jika ditempat terbuka namun terlindung dari matahari dan hujan dapat mencapai 20 tahun.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil analisis sidik ragam posisi letak dalam kayu memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rendahnya penurunan bobot dan tingginya mortalitas rayap. Rata-rata penurunan bobot pangkal kayu teras merupakan penurunan bobot terendah 1,78 % sedangkan kayu gubal percabangan merupakan penurunan bobot tertinggi 3,42 %. Berdasarkan penurunan bobot yang diperoleh, seluruh sampel uji, kalapi masuk dalam kategori sangat tahan atau kelas awet I terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) setelah dikalsifikasikan kedalam SNI 7207 (BSN, 2014). Hasil tersebut kemudian menunjukan bahwa kayu kalapi sangat tahan dari serangan rayap tanah dan dapat digunakan dengan jangka waktu yang cukup lama sesuai dengan tempat penggunaannya.

Dokumen terkait