• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan dalam Manajemen Keselamatan Kerja meliputi dua aspek terpenting yaitu aspek pengorganisasian dan aspek pengelolaan terpadu. Menurut Samuel C. Certo (2000), pengorganisasian merupakan proses mengatur semua kegiatan secara sistematis dalam mengelola sumber daya. Pengorganisasian adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan pembagian tugas. Banyaknya instansi dan organisasi yang terlibat dan berkepentingan terhadap manajemen keselamatan kerja nelayan, baik organisasi pemerintah maupun organisasi swasta dan masyarakat pada umumnya. Ekspresi organisasi didasarkan pada kepentingan sektoral masing-masing atau ego sektoral sesuai dengan visi, misi instansi organisasi yang bersangkutan.

Belum adanya wadah terpadu yang secara jelas mengatur tugas pokok fungsi dan peran setiap instansi/organisasi. Permasalahan pengelolaan secara terpadu menunjukkan berbagai kondisi yang ada tidak mendorong pengelolaan secara terpadu, dengan adanya kecenderungan konflik yang tinggi dalam pengelolaan disebabkan oleh tidak sejalannya peraturan antara peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta banyaknya peraturan daerah-daerah yang belum disempurnakan mengacu kepada peraturan pemerintah yang lebih tinggi. Beberapa hambatan utama dalam penyelesaian masalah pengelolaan secara terpadu, yaitu belum ada aturan keterpaduan kerjasama, tumpang tindih dalam sektor yang sama, dan belum adanya petunjuk pengelolaan serta adanya gap antara kewenangan pemerintah dan kewenangan publik. Masalah dalam pengorganisasian manajemen keselamatan kerja nelayan menjadi sesuatu yang sangat penting dan kompleks. Menurut Robbins, et.al (2007), hal pokok yang perlu diperhatikan dari pengorganisasian adalah menentukan arah dan sasaran satuan organisasi, menganalisa beban kerja masing-masing satuan organisasi dan membuat uraian pekerjaannya serta menentukan seseorang atau karyawan yang berdasarkan atas pertimbangan arah dan sasaran, beban kerja, dan uraian kerja dari masing-masing satuan organisasi.

Diharapkan, dengan reorganisasi dan penanganan terpadu dari model yang dibangun untuk pengelolaan keselamatan kerja nelayan dapat lebih sistematis dan mempermudah dalam penerapannya. Menurut Indrawijaya (1989), dikemukakan bahwa jika organisasi disadari dibangun sebagai suatu tim, maka tujuan dan tim harus dibuat (dinyatakan) secara jelas. Pimpinan harus menguasai dengan baik tujuan organisasi, dan tujuan tersebut juga harus dimengerti oleh anggota kelompok.

Kendala-kendala dalam penerapan peraturan atau kebijakan untuk kegiatan pengorganisasian dan pengelolaan keselamatan kerja nelayan di Palabuhanratu. Peraturan internasional yang ada sejauh ini sudah memperhatikan keselamatan kerja nelayan, baik dilihat aspek kapal, alat tangkap, maupun dari sisi pelaku kegiatan penangkapan ikan.

Konvensi-konvensi IMO yang ada, merupakan penjabaran dari peraturan-peraturan yang berhubungan dengan keselamatan maritim termasuk didalamnya keselamatan kerja nelayan dan kapal ikan. Indonesia sebagai anggota IMO juga telah berpartisipasi dengan meratifikasi beberapa konvensi IMO tersebut di bidang keselamatan maritim. Pada persyaratan keselamatan termasuk didalamnya

keselamatan kerja nelayan dan kapal-kapal ikan yang berlayar di perairan internasional, maupun pengawasan terhadap kapal-kapal yang ada di perairan/pelabuhan Indonesia, pada prinsipnya yang diterapkan mengacu pada perangkat peraturan yang dihasilkan oleh IMO baik dalam bentuk konvensi maupun pedoman. Berdasarkan kondisi regulasi yang ada, tumpang tindih peraturan nasional yang ada dapat menimbulkan permasalahan baru, selain itu, peraturan internasional yang ada masih belum dimplementasikan dengan baik sehingga perlu dilakukan pengaturan yang lebih sistematis dan dapat diterapkan dalam pengelolaan keselamatan kerja nelayan. Menurut Ripley dan Franklin (1987), dalam penerapan peraturan atau kebijakan, beberapa hal yang penting yang mempengaruhi adalah banyaknya aktor yang terlibat, kejelasan tujuan, partsipasi semua unit dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi implementasi serta kepatuhan pengelola terhadap aturan atau kebijakan yang ditetapkan.

Hasil pengukuran reliabilitas lanjutan terhadap semua aktivitas pada operasi penangkapan ikan menggunakan payang menghasilkan peluang konsekuensi berupa kelelahan, cidera otot, terluka, sakit dan tenggelam. Peluang konsekuensi terbesar akibat human error tersebut terjadi pada aktivitas pengangkatan alat tangkap (hauling). Pada aktivitas tersebut terdapat 3 jenis kecelakaan kerja akibat

human error yang mungkin terjadi, yaitu terluka, sakit dan tenggelam. Menurut

Geostech (1999) pada Teori The Human Factor Theory of Accident menyatakan bahwa terjadinya kecelakaan kerja dalam suatu rangkaian kegiatan dikarenakan

human error.

Minimalisasi human error yang pertama harus dilakukan adalah pada aktivitas pengangkatan alat tangkap (hauling). Peluang konsekuensi terluka terbesar pada aktivitas pengangkatan alat tangkap (hauling) adalah saat ABK meloncat ke perairan. Peluang konsekuensi sakit terbesar pada aktivitas hauling adalah saat juru mudi memainkan rpm mesin perahu. Peluang konsekuensi tenggelam terbesar pada aktivitas pengangkatan alat tangkap (hauling) adalah pada saat ABK menepuk-nepukkan permukaan air, menarik bagian badan jaring dan menaikkan pelampung tanda kedua, dan mengangkat bagian kantong ikan. Frekuensi dan konsekuensi dari human error dapat dikurangi melalui pemilihan personel dan pelatihan, desain alat yang sesuai, prosedur kerja serta lingkungan kerja yang mendukung (Sanders dan McCormick, 1993). Menurut Heinrich (1941), kecelakaan kerja dalam bentuk sederhana dapat dibagi menjadi kecelakaan kerja yang disebabkan oleh unsafe behaviour dan kecelakaan kerja yang disebabkan oleh unsafe condition. Penelitian yang dilakukan Dominic Cooper (1998) menyatakan bahwa 80 – 95% kecelakaan kerja disebabkan oleh

unsafe behaviour.

Berdasarkan hasil kajian FSA ini, diharapkan pengelola keselamat kerja nelayan mengkaji prosedur ataupun peraturan yang terkait langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan keselamatan kerja nelayan. Prosedur kerja yang aman dan tindakan pencegahan keselamatan yang harus diambil untuk mencegah bahaya dan untuk mengendalikan risiko yang harus dikembangkan setelah analisis bahaya (NT WorkSafe, 2000).

Perahu yang digunakan pada operasi penangkapan ikan menggunakan payang tergolong perahu berukuran kurang dari 12 meter. Alat tangkap payang yang digunakan termasuk sebagai alat tangkap yang bersifat aktif. Jumlah nelayan yang bekerja pada perikanan payang rata-rata berjumlah lebih dari 11

orang. Tingkat pendidikan nelayan payang rata-rata berpendidikan rendah. Aktivitas yang dilakukan pada operasi penangkapan ikan terdiri dari 13 aktivitas. Terdapat peluang terjadinya konsekuensi berupa kelelahan, terluka, cidera otot, dan tenggelam.

Penyebab terjadinya peluang konsekuensi tersebut adalah pada kegiatan operasi penangkapan ikan, dilakukan tanpa membuat perencanaan yang memperhitungkan jumlah nelayan, keterampilan nelayan, peralatan yang dibutuhkan saat bekerja, serta tidak adanya prosedur kerja yang jelas. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penilaian yang terukur terhadap peluang risiko dan peluang konsekuensi pada aktivitas operasi penangkapan ikan, agar dapat diketahui dan dilakukan penanganan pada aktivitas kritis yang membutuhkan perhatian khusus.

Teridentifikasi peluang risiko kegagalan aktivitas terbesar akibat human

error terdapat pada aktivitas pengoperasian alat tangkap saat setting alat tangkap.

Pada aktivitas pengoperasian alat tangkap saat setting alat tangkap tersebut menghasilkan peluang konsekuensi yaitu terluka dan tenggelam.