• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 REGULASI KESELAMATAN KERJA NELAYAN PADA PERAHU BERUKURAN KECIL

Tingkat kecelakaan fatal (meninggal) awak kapal penangkap ikan di dunia, rata-rata 80 orang per 100.000 orang awak kapal sehingga meningkatkan perhatian badan internasional seperti International Maritime Organization (IMO),

Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Labour Organization (ILO) terhadap pentingnya peningkatan keselamatan dan ketenagakerjaan pada kapal penangkap ikan. Badan-badan dunia tersebut dengan melibatkan pihak tripartit, yakni pihak pemerintah, pemilik kapal dan pelaut perikanan telah mengadopsi suatu konvensi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan yang layak (decent work) (Suwardjo et. al., 2010).

Berdasarkan mandat UU Keselamatan SMK3 Pada tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efesien dan produktif.

Kapal ikan, alat tangkap ikan dan nelayan merupakan tiga faktor yang mendukung keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan. Aktivitas menangkap ikan, terutama di laut merupakan kegiatan yang beresiko tinggi (Grainger, 1993). Faktor keselamatan kapal maupun nelayan merupakan hal yang utama untuk menunjang kesuksesan suatu operasi penangkapan.

Masalah keselamatan kapal dan nelayan merupakan hal yang menjadi perhatian dunia. Telah banyak kebijakan-kebijakan internasional yang berkenaan dengan keselamatan di laut. Menurut IMO, 80% dari kecelakaan, disebabkan oleh kesalahan manusia (human error) dan sebagian besar kesalahan ini dapat dihubungkan dengan kekurangan manajemen yang menciptakan pra-kondisi untuk terjadinya kecelakaan (Michel Blanc, 2006).

Kebijakan internasional dibuat berdasarkan persetujuan dan kesepakatan bersama negara-negara anggota yang tergabung didalamnya, sehingga menjadi kewajiban untuk setiap negara anggota melaksanakannya. Dalam melakukan pengkajian keselamatan kerja nelayan, banyak hal yang perlu diketahui dan diperhatikan, yaitu kebijakan internasional yang ada. Kebijakan internasional yang ada diantaranya adalah konvensi-konvensi internasional yang berhubungan dengan keselamatan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan keselamatan sumberdaya manusianya maupun keselamatan kapal ikan yang digunakan. Pengkajian kebijakan internasional perlu dilakukan, karena secara teknis kebijakan internasional menjadi salah satu masukan atau bahan pertimbangan dalam merumuskan suatu kebijakan yang berhubungan dengan nelayan dan kapal ikan dalam rangka meningkatkan keselamatan pelayarannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peraturan nasional maupun internasional yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan keselamatan kerja nelayan.

Metodologi

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Data yang dikumpulkan berupa aturan-aturan yang terkait dengan keselamatan kerja nelayan. Data tersebut diperoleh dengan cara studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data pustaka atau telaah dokumen berupa aturan nasional maupun internasional yang mempunyai kepentingan pada keselamatan kerja nelayan, serta penelusuran melalui situs-situs internet yang terkait. Kebijakan internasional yang dimaksud meliputi perjanjian-perjanjian atau ketentuan-ketentuan internasional yang ada baik yang berupa konvensi maupun pedoman yang berkaitan dengan keselamatan kerja nelayan, antara lain yang dikeluarkan oleh IMO, ILO dan FAO, serta pedoman atau petunjuk yang mengatur keselamatan kerja nelayan di laut.

Analisis kebijakan dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menganalisis aspek hukum peraturan perundangan yang meliputi latar belakang, mandat, implementasi, dan kendala atau kelemahan dari peraturan dan perundangan yang ada. Analisis dimulai dengan mengidentifikasi tumpang tindih di antara peraturan-perundangan yang berhubungan dengan penelitian topik penelitian. Dalam content analysis ini juga mengidentifikasi asas lex superior de rogat legi

inferiors dan asas lex posterior de rogat legi priors, yakni mengidentifikasi

beberapa peraturan perundangan yang bertentangan antara yang satu dengan lainnya. Suatu peraturan dikatakan tumpang tindih jika obyek, substasi dan implementasi operasionalnya mencakup bidang yang sama. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan mengidentifikasi keserasian di antara peraturan-peraturan yang tumpang tindih, yaitu dengan melihat judul peraturan perundang-undangan yang ada, konsideran dan bunyi pasal. Analisis keserasian ini ditujukan untuk mengidentifikasi keserasian secara vertikal dan horizontal (Sunggono, 1997). Keserasian jenis pertama adalah di antara peraturan perundang-undangan yang memiliki perbedaan hirarki menurut peraturan perundang-undangan yang ada. Keserasian jenis kedua adalah di antara peraturan perundang-undangan yang memiliki kesamaan hirarkis atau setingkat. Dua atau lebih peraturan dikatakan serasi jika memiliki kesamaan dengan melihat apakah ada pertentangan di antaranya atau tidak ketika peraturan-peraturan tersebut secara operasional diterapkan. Analisis keserasian ini akan diterapkan untuk membandingkan peraturan-peraturan yang sejajar yang berkaitan dengan penelitian.

Peraturan perundangan menurut Purwaka (2003) sangat penting dalam pengembangan perikanan, karena hukum dan peraturan yang akan menentukan aturan main dalam pelaksanaan pengelolaan. Analisis kebijakan atau peraturan perundangan dimaksudkan untuk mengkaji sampai sejauhmana tingkat efektivitas kebijakan atau hukum atau peraturan perikanan yang ada mampu berperan dalam mendorong pengembangan perikanan. Ada tiga pendekatan yang dilakukan, yaitu berdasarkan pada struktur hukum (legal structure), mandat hukum (legal

mandate), dan penegakan hukum (legal enforcement). Berdasarkan struktur

hukum, sistem perundangan harus terdapat kesalinghubungan antara yang ada di level bawah dengan yang ada di level atas, kesalinghubungan antara tujuan

pengelolaan SDI dengan strategi dan petunjuk pelaksanaan untuk pencapaian tujuan. Berdasarkan mandat hukum, peraturan perundang-undangan harus jelas mendeskripsikan kepada siapa mandat hukum diberikan. Penegakan hukum merupakan pilar utama untuk menegakkan kebijakan atau peraturan. Keterpaduan sistem perundang-undangan perlu dibangun untuk dapat menjamin terlaksananya pengelolaan secara optimal, efisien dan efektif. Analisis kebijakan merupakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan dan pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Analisis kebijakan juga merupakan bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat memberi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan. Analisis kebijakan merupakan proses sirkular yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang bersifat umum ataupun yang spesifik. Siklus analisis kebijakan terdiri dari kegiatan pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, proyeksi ke depan, dan rekomendasi. Banyak permasalahan yang terjadi tidak dapat diatasi karena kebijakan yang berlaku tidak mampu menjawab atau bahkan tidak ada kebijakan yang terkait dengan permasalahan yang ada. Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan yang dibutuhkan dengan kebijakan yang tersedia (berlaku). Kesenjangan ini dapat dianalisis dan informasi yang dihasilkan dapat berguna bagi penyempurnaan kebijakan atau pembuatan kebijakan baru.

Analisis isi (content analysis) menurut Ekomadyo (2006) diartikan sebagai metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”. Teks dapat berupa kata-kata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis isi berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkandung dalam teks, dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan. Metode analisis isi menjadi pilihan untuk diterapkan pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks. Ada beberapa pertanyaan tipikal yang dapat dijawab dengan menggunakan metode analisis isi, yaitu: pertanyaan tentang prioritas atau hal penting dari isi teks, seperti frekuensi, dimensi, aturan dan jenis-jenis cerita dari peristiwa yang direpresentasikan; pertanyaan tentang bias informasi dalam teks, seperti komparasi relatif tentang durasi, frekuensi, prioritas, atau hal yang ditonjolkan dalam berbagai representasi; dan perubahan historis dalam modus representasi.

Penelitian analisis isi berusaha melihat konsistensi makna dalam sebuah teks. Konsistensi ini dapat dijabarkan dalam pola-pola terstruktur yang dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang sistem nilai dibalik teks. Metode analisis isi menuntut beberapa persyaratan, yaitu: objektif, sistematis, dan dapat digeneralisasikan. Objektif berarti prosedur dan kriteria pemilihan data, pengkodean serta cara interpretasi harus didasarkan pada aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Sistematis berarti inklusi dan eksklusi atau kategori harus berdasarkan aturan yang konsisten. Dapat digeneralisasikan, berarti tiap temuan harus memiliki relevansi teoretis. Neuman (2000) menyebutkan tahapan dalam metode analisis isi, yaitu (1) menentukan unit analisis (misal jumlah teks yang ditetapkan sebagai kode), (2) menentukan sampling (3) menentukan variabel dan menyusun kategori pengkodean, dan (5) menarik kesimpulan.

Hasil dan pembahasan

Analisis kebijakan terhadap peraturan perundangan dalam pengorganisasian dan pengelolaan keselamatan kerja nelayan di Palabuhanratu dilakukan terlebih dahulu untuk melihat peraturan perundangan nasional yang ada. Analisis kebijakan dilakukan untuk melihat mandat, implementasi dan kendala masing-masing peraturan perundangan. Selanjutnya dilanjutkan dengan analisis isi untuk melihat isi, latar belakang, dan pengaruh yang ditimbulkan akibat penerapan peraturan perundangan tersebut. Hasil dari analisis kebijakan dan analisis isi, menghasilkan dampak dan kendala yang ada dari penerapan peraturan perundangan dalam pengorganisaan dan pengelolaan keselamatan kerja nelayan di Palabuhanratu. Jenis-jenis peraturan dan perundangan yang berlaku dalam pengorganisasian dan pengelolaan keselamatan kerja nelayan di Palabuhanratu, yang dianalisis dengan analisis kebijakan dan analisis isi, secara detail disajikan pada Tabel 17 berikut.

Tabel 17 Peraturan nasional yang berhubungan dengan keselamatan kerja nelayan

No. Peraturan Latar Belakang

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996

tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009

Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 2004 Tentang perikanan

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008

UU ini mengatur tentang pelayaran 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

31 Tahun 2009

Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002

tentang perkapalan 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 50 Tahun 2012

Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja 7. Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan

Nomor Kep.19/Men/2006

Tentang Pengangkatan Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan

8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/M En Kesiskiiv/2007

Tentang Pedoman Upaya Kesehatan Pelabuhan Dalam Rangka Karantina Kesehatan

9. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.06/Men/2007

Tentang , Organisasi Dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan

10. Peraturan Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana Nomor 10 Tahun 2008

Tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana

11. Peraturan Kepala Badan Sar Nasional Nomor : Pk. 22 Tahun 2009

Tentang Pedoman penyelenggaraan operasi sar.

12. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010

Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah

13. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.08/Men/2012

Tentang Kepelabuhanan Perikanan

Tabel 17 di atas merupakan peraturan-peraturan yang terkait dengan keselamatan kerja nelayan. Terdapat kendala-kendala dalam penerapan peraturan atau kebijakan untuk kegiatan pengorganisasian dan pengelolaan keselamatan kerja nelayan di Palabuhanratu. Kendala-kendala dalam penerapan kebijakan tersebut lebih disebabkan karena peraturan yang ada lebih bersifat sektoral, sehingga dalam implementasinya seringkali menimbulkan friksi antar instansi. Di

samping itu kuatnya kepentingan sektoral menjadikan peraturan yang ada di instansi tertentu seringkali tidak dikomunikasikan dan tidak dikoordinasikan, dan dianggap paling sempurna, sehingga dalam penerapannya menjadi saling tumpang tindih atau bahkan cenderung menimbulkan konflik. Hasil analisis isi pada peraturan perundangan yang ada seperti terlihat pada Lampiran 1, belum mampu menjawab permasalahan dalam pengorganisasian pengelolaan keselamatan kerja nelayan di Palabuhanratu.

Kondisi tersebut menunjukkan masih terdapat celah atau permasalahan yang belum dapat diatasi dengan peraturan yang sudah ada, dan adanya kesenjangan antara kebijakan yang dibutuhkan untuk pengorganisasian dan pengelolaan keselamatan kerja nelayan dengan kebijakan yang berlaku.

Perlindungan nelayan saat bekerja di atas kapal, secara internasional telah diatur dan dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan keselamatan kerja nelayan di Indonesia. Jenis-jenis peraturan dan perundangan yang berlaku internasional yang berhubungan dengan keselamatan kerja nelayan disajikan pada Tabel 18 berikut. Tabel 18 Peraturan internasional yang berhubungan dengan keselamatan kerja

nelayan

No. Peraturan Latar Belakang

1. Protokol Torremolinos 1993 Konvensi Internasional Torremolinos untuk Keselamatan Kapal Perikanan/The

Torremolinos Convention for The Safety of

Fishing Vessels (SFV), 1977 2. Code of Safety for Fishermen and Fishing

Vessels 1975

Pedoman/petunjuk keselamatan kerja nelayan dan kapal ikan yang dikeluarkan oleh IMO pada tahun 1975

3. Voluntary Guidelines for The Design, Construction, and Equipment of Small Fishing Vessels 1980

diperuntukkan pada kapal dengan ukuran panjang di atas 12 meter sampai dengan lebih kecil dari 24 meter

4. Panduan Keselamatan untuk Nelayan dan Kapal Perikanan FAO/ILO/IMO 2005, Bagian A

berkaitan dengan praktek-praktek keselamatan dan kesehatan dan berlaku untuk semua kapal nelayan

5. Panduan Keselamatan untuk Nelayan dan Kapal Perikanan FAO/ILO/IMO 2005, Bagian B

membahas persyaratan keselamatan dan kesehatan untuk konstruksi dan peralatan dari kapal penangkap ikan dan berlaku untuk kapal penangkap ikan berukuran panjang sama dengan atau lebih dari 24 m yang memiliki deck

6. Pedoman Sukarela untuk Konstruksi, Desain dan Peralatan Kapal Perikanan ukuran Kecil FAO/ILO/IMO 2005

berlaku untuk kapal penangkap ikan berukuran panjang dari dan lebih dari 12 m tetapi kurang dari 24 m yang memiliki deck 7. Standards of Training, Certification and

Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW -F) 1995

konvensi yang mengatur secara internasional tentang persyaratan

kecakapan, keahlian dan dinas jaga laut oleh pelaut perikanan (nelayan)

8. Document for Guidance on Training and Certification of Fishing Vessel Personnel FAO/ILO/IMO 2001.

mengenai Pedoman Pelatihan dan Sertifikasi awak Kapal Perikanan

9. Hours of Work (Fishing) Recommendation, 1920 (No 7)

berisi mengenai batas jam kerja di semua industri usaha, termasuk transportasi melalui laut dan, dalam kondisi yang ditentukan

No. Peraturan Latar Belakang 10. Minimum Age (Fishermen) Convention,

1959 (No 112).

konvensi yang menetapkan bahwa anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun tidak dipekerjakan pada kapal-kapal nelayan 11. Medical Examination (Fishermen)

Convention, 1959 (No 113)

konvensi yang secara umum menetapkan bahwa setiap orang yang bekerja pada kapal-kapal nelayan harus memiliki suatu sertifikat kesehatan badan setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan badan

12. Fishermen’s Articles of Agreement Convention, 1959 (No 114)

kapal nelayan mencakup semua kapal dan perahu yang ada yang terdaftar atau didokumentasikan, baik oleh pemerintah maupun swasta, yang bergerak di bidang perikanan laut agar membuat perjanjian yang dianggap perlu untuk melindungi kepentingan pemilik kapal penangkap ikan dan nelayan

13. Fishermen’s Competency Certificates Convention, 1966 (No 125)

konvensi yang menetapkan standar kemampuan nelayan, yaitu dengan mengeluarkan sertifikat kemampuan bagi bagi nelayan yang memegang jabatan sebagai nakhkoda, mualim atau masinis pada suatu kapal nelayan yang berukuran lebih dari 25 GT

14. Accommodation of Crews (Fishermen) Convention, 1966 (No 126)

mengatur tentang perlunya perencanaan dalam pembuatan kapal ikan terhadap fasilitas ABK (nelayan)

15. Vocational Training (Fishermen) Recommendation, 1966 (No 126)

konvensi yang berisi rekomendasi pelatihan kejuruan untuk meningkatkan

kemampuan/keahlian nelayan selama bekerja pada kapal-kapal perikanan 16. Convention on the international regulation

for preventing collission at sea (1972, COLREGs)

tentang aturan-aturan mengemudi dan aturan-aturan berlayar serta penggunaan penerangan-penerangan (lampu) dan benda-benda yang diisyaratkan untuk keamanan berlayar sehingga tidak terjadi kecelakaan atau tabrakan

17. International convention for the safety of life at sea (SOLAS) 1974, Bab V khusus

berhubungan dengan nelayan

mengatur tentang keselamatan pelayaran secara umum dan berlaku bagi semua kapal yang melakukan pelayaran

18. International Convention on Maritime Search and rescue (SAR) 1979

tentang pencarian dan pertolongan terhadap musibah pelayaran atau kecelakaan 19. Dokumen mengenai Pedoman Pelatihan dan

Sertifikasi Personil Kapal Perikanan, telah disetujui oleh FAO, ILO dan IMO pada tahun 2000

panduan pertama pelatihan maritim internasional bagi nelayan

20. Code of conduct for responsible fisheries (CCRF) tahun 1995, Technical Guidelines for responsible fisheries tahun 1995

ketentuan yang menjelaskan mengenai pentingnya tanggung jawab terhadap keselamatan kerja nelayan dan kapal ikan (Bab 1 pasal 6 dan 8)

Standar keselamatan internasional untuk kapal-kapal nelayan yang sudah ada adalah Protokol Torremolinos 1993, Code of Safety for Fishermen and

Fishing Vessels/Panduan Keselamatan untuk Nelayan dan Kapal Perikanan

Equipment of Small Fishing Vessels/Pedoman Sukarela untuk Konstruksi, Desain

dan Peralatan Kapal Perikanan ukuran Kecil FAO/ILO/IMO 2005.

Protokol Torremolinos 1993, berkaitan dengan Konvensi Internasional Torremolinos untuk Keselamatan Kapal Perikanan/The Torremolinos Convention

for The Safety of Fishing Vessels (SFV), 1977. Protokol berlaku untuk kapal

penangkap ikan berukuran panjang sama dengan atau lebih dari 24 meter yang memiliki deck, tetapi bab-bab tertentu tidak berlaku untuk panjang kapal kurang dari 45 m. Konvensi ini berisi peraturan mengenai standar konstruksi kapal dan peralatan-peralatan yang berhubungan dengan keselamatan kapal nelayan, diantaranya ketentuan mengenai konstruksi, water-tight integrity (kekedapan air), dan peralatan kapal, stabilitas dan kelaikan laut, permesinan dan instalasi kelistrikan, ruang permesinan, perlindungan dari kebakaran, pendeteksian kebakaran, pemadaman api dan kebakaran, perlindungan ABK (anak buah kapal), peralatan pertolongan dan pengaturan, prosedur dalam keadaan darurat, komunikasi radio, pengaturan dan peralatan shipborne (peralatan pertolongan kapal) yang berhubungan dengan pelayaran dan aspek-aspek lainnya mengenai konstruksi kapal yang mempengaruhi keselamatan. Konvensi “Torremolinos ” dikeluarkan pada tahun 1977, namun pada tahun berikutnya konvensi ini tidak menerima pengesahan untuk diberlakukan secara hukum, karena negara anggota yang tidak menyetujui untuk diberlakukan. Pada tahun 1993 dilakukan perubahan secara teknis dalam suatu konferensi yang kemudian disebut protokol

Torremolinos 1993. Protokol membatasi ketentuan wajib dari konvensi ini untuk

diberlakukan bagi kapal ukuran 45 meter dan lebih dari 45 meter. Kapal dengan ukuran antara 25 meter sampai 45 meter, kewenangan persyaratan keselamatannya diserahkan kepada masing-masing regional. Konvensi SFV yang diadopsi pada tanggal 2 April 1993 ini akan diberlakukan setelah adanya persetujuan dan pengesahan, yaitu 12 bulan atau 1 tahun setelah 15 negara anggota meratifikasinya. Berdasarkan summary of status convention pada tanggal 30 Juni 2003, diketahui bahwa saat ini ada 9 negara anggota yang telah mengadakan kontrak perjanjian untuk melaksanakan konfensi SFV 1993. Pada tanggal 1 Januari 1999, negara-negara di wilayah Eropa telah melakukan suatu persetujuan regional Eropa (European Regional Agreement) yang berisi perundang-undangan mengenai keselamatan kapal nelayan dengan ukuran panjang lebih dari 24 meter. Persetujuan ini telah diadopsi pada bulan Desember 1997 dan keseluruhan peraturannya didasarkan pada konvensi Torremolinos protokol (SFV) 1993.

Pedoman/petunjuk keselamatan kerja nelayan dan kapal ikan yang dikeluarkan oleh IMO pada tahun 1975 adalah Code of Safety for Fishermen and

Fishing Vessels 1975. Pedoman lainnya adalah Voluntary Guidelines for The

Design, Construction, and Equipment of Small Fishing Vessels yang dikeluarkan

pada tahun 1980. Voluntary Guidelines for The Design, Construction, and Equipment of Small Fishing Vessels ini diperuntukkan pada kapal dengan ukuran

panjang di atas 12 meter sampai dengan lebih kecil dari 24 meter. Kedua pedoman ini merupakan produk bersama antara IMO, ILO dan FAO.

Sejak Torremolinos Convention tahun 1977 selesai dibuat tak satu pun Bagian B dari Kode untuk Keselamatan, berlaku untuk kapal-kapal nelayan dengan panjang di bawah 24 m, dan kode ini mengakui bahwa sebagian besar dari kapal penangkap ikan yang ada lebih kecil dari ukuran tersebut, pedoman sukarela

dibuat oleh FAO, IMO dan ILO pada tahun 1980 yang meliputi desain, konstruksi dan peralatan kapal penangkapan ikan dengan ukuran panjang antara 12 – 24 m, berdasarkan poin-poin yang diuraikan dalam pedoman tersebut. Seperti pada Kode untuk Keselamatan lainnya, pedoman sukerela ini tidak dimaksudkan sebagai pengganti hukum nasional, melainkan sebagai panduan untuk mereka yang peduli dengan penyusunan kerangka acuan dan peraturan nasional. Dua publikasi (FAO/ILO/IMO mengenai Kode Keselamatan untuk Nelayan dan Kapal Penangkap Ikan dan Pedoman FAO/ILO/IMO mengenai Pedoman Sukarela untuk Konstruksi, Desain dan Peralatan Kapal Perikanan berukuran Kecil) yang sedang direvisi oleh Subkomite IMO pada Stabilitas, Garis Muat dan Kapal Perikanan melalui korespondensi grup yang dipimpin oleh perwakilan dari negara Islandia. FAO telah aktif berpartisipasi dalam proses ini.

Panduan Keselamatan untuk Nelayan dan Kapal Perikanan FAO/ILO/IMO 2005, panduan dibagi menjadi dua bagian. Bagian A berkaitan dengan praktek-praktek keselamatan dan kesehatan dan berlaku untuk semua kapal nelayan. Bagian B membahas persyaratan keselamatan dan kesehatan untuk konstruksi dan peralatan dari kapal penangkap ikan dan berlaku untuk kapal penangkap ikan berukuran panjang sama dengan atau lebih dari 24 m yang memiliki deck.

Pedoman Sukarela untuk Konstruksi, Desain dan Peralatan Kapal Perikanan ukuran Kecil FAO/ILO/IMO 2005, panduan ini berlaku untuk kapal penangkap ikan berukuran panjang dari dan lebih dari 12 m tetapi kurang dari 24 m yang memiliki deck.

Standar internasional yang berkaitan dengan keselamatan kerja nelayan adalah Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Watchkeeping untuk Personil Kapal Perikanan/Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing

Vessel Personnel (STCW-F) 1995, dan Dokumen mengenai Pedoman Pelatihan

dan Sertifikasi awak Kapal Perikanan/Document for Guidance on Training and

Certification of Fishing Vessel Personnel FAO/ILO/IMO 2001.

Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi dan

Watchkeeping untuk Personil Kapal Perikanan/Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F) 1995,

konvensi ini berlaku umum untuk awak pada kapal nelayan yang berlayar di laut lepas dengan ukuran panjang 24 m atau lebih. STCW-F 1995 adalah konvensi yang mengatur secara internasional tentang persyaratan kecakapan, keahlian dan dinas jaga laut oleh pelaut perikanan (nelayan). STCW-F 1995 ini antara lain