• Tidak ada hasil yang ditemukan

STAINU Kebumen

1. Pembahasan Khusus

Untuk mengetahui praktik penilaian kinerja dosen secara real di masing-masing PTI/AIS maka dilakukan pembahasan khusus sebagai berikut.

a. Kebijakan Penilaian Kinerja Dosen PTI/AIS 1). Kebijakan Penilaian Kinerja Dosen UMP

Berdasarkan temuan penelitian dapat diketahui bahwa kebijakan tentang penilaian kinerja dosen di UMP merupakan kebijakan formal universitas yang diserahkan pengelolaannya kepada unit khusus yaitu Lembaga Jaminan Mutu (LJM) UMP. Artinya kewenangan untuk menyiapkan dan melaksanakan penilaian kinerja dosen UMP ada di tangan LJM UMP. Oleh karena itu unit ini bertanggungjawab penuh terhadap keberhasilan penilaian kinerja dosen yang menjadi bagian dari upaya penjaminn mutu akademik UMP. Otomatis segala hal

yang terkait dengan penilaian kinerja dosen mulai dari penentuan tujuan, instrumen, penilai, waktu, tempat dan metode penilaian kinerja yang menentukan adalah LJM.

Jika dilihat dalam kekuatan aspek formal tidaknya kebijakan tentang penilaian kinerja dosen di UMP, maka kebijakan penilaian kinerja dosen di UMP merupakan kebijakan formal yang relatif mampu memberikan dampak, karena kebijakan formal mampu mengikat pihak-pihak yang ada di lingkup organisasi yang mengeluarkan kebijakan tersebut dalam hal ini adalah dosen sebagai target group kebijakan. Artinya formalitas kebijakan ini mampu menjamin keberhasilan implementasinya.

UMP mengeluarkan kebijakan formal tentang penilaian kinerja dosennya, menunjukkan bahwa UMP memahami betul urgensi penilaian kinerja dosen. UMP menyadari bahwa kontribusi real dari dosen atas UMP akan terwujud jika UMP mengetahui secara pasti kinerja dosennya. Sekaligus dengan mengetahui kinerja dosen, maka UMP akan mampu menentukan kebijakan lanjut yang terkait dengan pengembangan kinerja dosen, sehingga kontribusi mereka kepada UMP akan semakin baik. Inilah keberhasilan UMP dalam menterjemahkan urgensi dikeluarkannya kebijakan tentang penilaian kinerja dosen yang berorientasi tidak hanya untuk evaluasi tetapi juga untuk pengembangan kinerja dosen (Schuller dan Youngblood, 1996:235).

Jika dalam perjalanan implementasi kebijakan penilaian kinerja dosen, UMP menghadapi sekelompok dosen (target groups) yang merasa tidak puas dengan kebijakan penilaian kinerja dosen, utamanya dalam aspek penggunaan instrumen

yang memuat kriteria kinerja yang tidak rasional bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa ada kepentingan kelompok sasaran yang kurang teradopsi oleh kebijakan universitas, sebagaimana pendapat Merilee S Grindle (Subarsono, 2008: 93) berikut:

Keberhasilan implementasi... dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation)...variabel isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauhmana kepentingan kelompok sasaran arau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups ...(3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan...

Jika hal ini dibiarkan terus, maka bukan tidak mungkin kebijakan formal tentang penilaian kinerja dosen tidak cukup mampu mengikat/mempengaruhi dosen ternilai agar mereka memenuhi tujuan dikeluarkannya kebijakan tersebut. Inilah yang harus direspon dengan baik oleh manajemen universitas.

2). Kebijakan Penilaian Kinerja Dosen IAIIG Cilacap

Dari perolehan data sebagaimana dikemukakan pada sub bab sebelumnya, maka jelas bisa diketahui bahwa kebijakan tentang penilaian kinerja dosen di IAIIG Cilacap lebih banyak merupakan penyesuaian IAIIG terhadap tuntutan dari luar yang tidak merata diberlakukan untuk seluruh dosennya, seperti penilaian untuk dosen DPK, penilaian untuk dosen yang akan disertifikasi, maupun dosen yang mengurus kepangkatan akademik. Artinya kebijakan tentang penilaian kinerja dosen di IAIIG Cilacap adalah kebijakan “konvensional” atau tidak formal, yang lebih berorientasi pada layanan kepada sekelompok dosen karena tuntutan luar, bukan untuk seluruh dosen di IAIIG Cilacap.

Apa yang terjadi menunjukkan bahwa manajemen IAIIG tidak cukup mampu menangkap peluang kebijakan penilaian kinerja dosen sebagai media untuk mempertinggi kinerja institut sendiri. Sebagaimana pendapat Mangkunegara (2008:10) bahwa peningkatan kinerja organisasi bisa dilakukan melalui peningkatan kinerja SDM-nya. Sedangkan peningkatan kinerja SDM organisasi dalam hal ini dosen akan bisa diwujudkan jika PT melakukan kegiatan penilaian kinerja dosen. Karena melalui penilaian kinerja dosen, manajemen perguruan tinggi akan memperoleh informasi tentang kinerja real dosen sekaligus informasi ini digunakan untuk mengembangkan; meningkatkan kinerja dosen di masa-masa selanjutnya. Demikianlah yang dikehendaki dari penilaian kinerja dosen, yaitu untuk evaluasi (mengetahui kinerja real) dan pengembangan (pengembangan kinerja) sebagaimana pendapat Schuller dan Youngblood, 1996: 235).

Di sisi lain, praktik penilaian kinerja dosen di IAIIG yang dari awal berangkat dari kebijakan konvensional menunjukkan juga kalau penilaian kinerja dosen dilakukan secara terpaksa bukan karena kesadaran akan pentingnya penilaian kinerja itu sendiri. Padahal dalam teori penilaian kinerja yang baik salah satu hal yang harus dipedomani adalah penilaian harus dilakukan karena kesadaran sehingga dari awal harus masuk menjadi bagian dari perencanaan PT. Dalam hal ini Mangkunegara (2009: 13) mengemukakannya sebagai prinsip penilaian kinerja, yaitu: “... suatu proses manajemen yang alami, jangan merasa dan menimbulkan kesan terpaksa, namun dimasukkan secara sadar ke dalam corporate planning...”.

3). Kebijakan Penilaian Kinerja Dosen STAINU Kebumen

Kebijakan tentang penilaian kinerja dosen di STAINU Kebumen mengacu kepada pemberlakuan kebijakan dari luar tentang sertifikasi dosen, yang sekaligus digunakan oleh STAINU Kebumen untuk keperluan penilaian kinerja dosen menjelang akreditasi program studi dan sertifikasi dosen yang berjalan secara konvesional bukan menjadi kebijakan formal tertulis.

Realitas yang terjadi di STAINU Kebumen sebagaimana yang terjadi di IAIIG Cilacap juga menunjukkan kalau manajemen STAINU belum menangkap pentingnya penilaian kinerja dosen sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan kinerja STAINU sebagai perguruan tinggi yang semakin baik. Karena peningkatan kinerja organisasi PT bisa diwujudkan melalui peningkatan kinerja SDM-dosen (Mangkunegara, 2008:10) melalui kebijakan penilaian kinerja dosen. b. Pelaksanaan Penilaian Kinerja Dosen PTI/AIS

1). Instrumen Penilaian Kinerja Dosen PTI/AIS a). Instrumen Penilaian Kinerja Dosen UMP

Berdasarkan temuan dan preposisi penelitian maka hal-hal yang terkait dengan penggunaan instrumen penilaian kinerja dosen di UMP selanjutnya bisa dibahas secara khusus sebagai berikut.

Berdasarkan temuan data diketahui ada dua instrumen yang digunakan UMP dalam praktek penilaian kinerja dosen. Kedua instrumen ini digunakan dalam konteks on the job (Hasibuan, 2007: 89), yaitu instrumen Penilaian Kinerja Dosen (PKD) yang diperuntukkan untuk dosen UMP di luar dosen luar biasa ( LB), serta instrumen DP3 yang diperuntukkan khusus dosen dengan status DPK.

Mencermati kriteria yang ada dalam instrumen yang digunakan dalam instrumen penilaian kinerja dosen UMP, maka dapat disimpulkan kalau praktek penilaian kinerja dosennya menggunakan Pendekatan Campuran. Sebagaimana pendapat Wirawan (2009:11) pendekatan campuran adalah pendekatan sistem penilaian kinerja yang menggabungkan dimensi-indikator kerja berupa sifat, perilaku dan hasil kerja. Hal ini bisa kita identifikasi berdasarkan kenyataan atas kriteria yang ada dalam instrumen yang digunakan di UMP, yaitu:

Pertama, kriteria pertama dari kriteria utama Tri dharma PT adalah pendidikan dan pengajaran. Untuk kriteria dharma pendidikan dan pengajaran ini diturunkan dalam indikator kerja (Key Performance Indicator/ KPI) berupa proses pembelajaran, jumlah kehadiran dosen dan ketepatan penyerahan nilai. Dilihat dari masing-masing KPI ini menunjukkan bahwa KPI disusun dengan merujuk kepada pendekatan perilaku. Dalam hal ini Wirawan (2009: 11) menyatakan bahwa penilaian kinerja yang menggunakan pendekatan perilaku kerja adalah perilaku dosen untuk memenuhi prosedur tertentu yang sudah ditetapkan pihak UMP dalam menjalankan tugas dharma pendidikan dan pengajaran. Kedua dan ketiga berupa penelitian dan pengabdian masyarakat. Untuk kriteria penilaian di dharma penelitian dan pengabdian masyarakat lebih dekat kepada pendekatan hasil penilaian kinerja dosen. Mengingat bahwa yang diukur adalah jumlah/kuantitas yang telah dilakukan/dihasilkan atas pelaksanaan dharma penelitian dan pengabdian dosen. Kembali kepada pendapat Wirawan (2009: 11) yang menyatakan bahwa pendekatan hasil kerja adalah suatu pendekatan yang menilai kinerja seseorang berdasarkan pada seberapa besar ia mencapai tujuan

kerjanya. Dalam hal ini dosen dianggap memenuhi unsur kinerja penelitian dan pengabdian masyarakat jika dosen minimal telah menghasilkan 1 penelitian dan atau melaksanakan minimal 1 pengabdian masyarakat.

Kriteria utama kedua dari instrumen pertama yang digunakan di UMP adalah kriteria Perilaku Umum. Kriteria ini sesuai dengan namanya adalah kriteria kerja dosen dilihat dari perilaku umum (bukan perilaku yang berhubungan langsung dengan perilaku kerja sebagai dosen) yang berupa; 1) tanggungjawab, 2) kreativitas, 3) kerjasama, 4) kedisiplinan, 5) kohesivitas, 6) akhlak, 7) kepemimpinan dan 8) orientasi pelanggan. Dengan melihat indikator-indikator kerja ini jelas bahwa instrumen ini juga sekaligus menggunakan pendekatan perilaku kerja sebagai kriteria kerja dosennya, walaupun bukan kriteria yang berhubungan langsung dengan tugas dosen.

Selanjutnya kriteria terakhir dari kriteria utama instrumen UMP adalah penilaian Keislaman dan Keorganisasian/ Kemuhammadiyahan yang di dalamnya menyangkut aspek aqidah, ibadah, akhlak dan aktivitas organisasi perserikatan Muhammadiyah. Kriteria ini sesungguhnya disusun sebagai kinerja khusus dosen UMP yang notabene-nya adalah PT yang berada dibawah organisasi Muhammadiyah. Jadi kriteria ini lebih menjadi kriteria sifat yang harus melekat pada setiap dosen yang memiliki idiologi Muhammadiyah. Dalam hal ini adalah sifat pribadi dosen yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dosen tetapi berhubungan dengan status dosen UMP yang notabene-nya adalah warga Muhammadiyah yang harus menampilkan ciri khasnya sebagai warga

Muhammadiyah (Wirawan, 2009:11). Tetapi dalam kriteria tertentu seperti amaliyah dan keorganisasian bisa masuk kriteria perilaku kerja.

Akan halnya dengan instrumen DP3 sebagai instrumen kedua yang digunakan di UMP untuk menilai kinerja dosen yang berstatus DPK juga memiliki sembilan angkor atau dimensi-kriteria kerja yang didasarkan pada perilaku kerja dosen. Di mana DP3 sendiri sesungguhnya adalah model penilaian kinerja BARS (Behaviors Anchor Rating Scale). BARS adalah instrumen yang menggunakan pendekatan perilaku kerja (Wirawan, 2009: 90).

Dari hasil analisis atas kriteria-kriteria kinerja yang ada dalam instrumen on the job yang digunakan dalam kegiatan penilaian kinerja dosen di UMP menunjukkan kalau UMP secara praktis menggunakan analisis pekerjaan sebelum menentukan pendekatan apa yang akan digunakan. Dalam hal ini adalah Model Pendekatan Campuran yaitu Sistem Penilaian Kinerja Dosen yang mencampurkan antara perilaku kerja, hasil kerja dan sifat pribadi individu anggota organisasi sekaligus (Wirawan, 2009:11).

Terlepas dari siapa yang menjadi penyusun instrumen penilaian kinerja dosen di UMP, khususnya instrumen PKD, ternyata hasil penilaiannya didokumentasikan oleh LJM yang memperoleh kewenangan tersebut. Dengan terdokumentasikannya hasil penilaian kinerja dosen, maka dampak akan terbentuk asalkan hasil penilaian kinerja tidak hanya tersimpan sebagai arsip-arsip pasif, yang tidak digunakan untuk membuat keputusan manajemen yang berkaitan dengan dosen ternilai. Sebaliknya, dampak tidak akan terwujud jika dokumen hasil penilaian sebagai dokumen real kinerja ternilai tidak digunakan untuk

melakukan diskusi dengan ternilai, yaitu mendiskusikan hasil penilaian bersama dosen. Dalam istilahnya Schuler dan Youngblood (1996:268) disebut dengan Interview Performance Appraisal (IPA) atau wawancara evaluasi. Di mana ternilai akan memperoleh umpan balik atas kinerja realnya sekaligus mendapatkan arahan atas kinerja yang belum sesuai dengan standar, sehingga di masa yang akan datang dosen mampu mengembangkan atau memperbaiki kinerja.

Dari paparan ini bisa disimpulkan bahwa praktek penilaian kinerja dosen di UMP dilihat dari aspek instrumennya, menunjukkan UMP sudah memiliki kesiapan untuk melakukan penilaian kinerja dosen. Karena instrumen dipersiapkan secara sistematis oleh pihak yang diberi kewenangan khusus untuk menjalankan kewajiban tersebut yaitu LJM.

b). Instrumen Penilaian Kinerja Dosen IAIIG Cilacap

Praktek penilaian kinerja dosen di IAIIG Cilacap menggunakan instrumen yang relatif lebih banyak daripada di UMP, yaitu 5 instrumen. Kelima instrumen yang digunakan di IAIIG Cilacap digunakan untuk menilai kinerja dosen dalam konteks on the job performance adalah DP3, Evaluasi Dosen, Penilaian Dosen, PAK dan Absensi Mengajar dosen. Sedangkan untuk penilaian kinerja dalam konteks off the job performance belum ada instrumennya. Melihat kepada wujud instrumen yang digunakan menunjukkan kalau praktek penilaian kinerja dosen di IAIIG Cilacap sudah memenuhi unsur pertama berupa adanya instrumen yang digunakan untuk menilai kinerja dosen walaupun instrumen tersebut tidak disusun sendiri yang didasarkan pada hasil analisis pekerjaan.

Dari kelima instrumen tersebut, maka berarti ada 20 kriteria kinerja yang dinilai. Ke 20 kriteria kinerja tersebar dalam berbagai instrumen, yaitu Pertama, 9 anchor di DP3 berupa : 1). Kesetiaan, 2) Prestasi kerja, 3) Tanggungjawab, 4) Ketaatan, 5) Kejujuran, 6) Kerjasama, 7) Prakarsa dan 8) Kepemimpian. Kedua, empat kompetensi dosen: 9) kompetensi pedagogik, 10) profesional, 11) kepribadian dan 12) sosial). Ketiga Penilaian Dosen dengan tiga kriteria, yaitu; 13) Sebelum, 14) Proses dan 15) Evaluasi pembelajaran serta Keempat ada 4 kriteria dalam PAK mengacu kepada kriteria Komponen 16) A, 17) B, 18) C dan 19) D, dan Kelima berupa kehadiran/keaktifan dalam absensi dosen sebagai kriteria ke 20.

Jika melihat kepada kriteria yang ada dalam instrumen yang digunakan dalam penilaian kinerja dosen IAIIG Cilacap, maka dapat disimpulkan kalau praktek penilaian kinerja dosen di PTI/AIS ini juga menggunakan Pendekatan Campuran. Kembali kepada pendapat Wirawan (2009: 11) yang menyatakan bahwa pendekatan campuran adalah pendekatan sistem penilaian kinerja yang menggabungkan dimensi-indikator kerja berupa sifat, perilaku dan hasil kerja. Hal ini bisa kita identifikasi berdasarkan kenyataan atas kriteria yang digunakan pada 5 instrumen yang digunakan di IAIIG Cilacap, yaitu:

Pertama. Instrumen DP3 dengan sembilan angkor atau dimensi-kriteria kerjanya adalah didasarkan pada perilaku kerja dosen. Di mana DP3 sendiri sesungguhnya adalah model penilaian kinerja BARS (Behaviors Anchor Rating Scale). BARS adalah instrumen yang menggunakan pendekatan perilaku kerja. (Wirawan, 2009: 90). Kedua. Untuk instrumen Evaluasi Dosen yang memiliki 4

dimensi kerja berupa 4 kompetensi adalah sesuatu yang harus ada pada diri dosen sebelum dosen melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini berarti menggunakan indikator perilaku kerja berupa kompetensi profesional, pribadi, sosial dan pedagogik sebagaimana yang dipersyaratkan oleh UU Guru dan Dosen. 4 kompetensi ini sesungguhnya adalah penilaian kinerja dosen yang mengacu kepada competencies atau kinerja sebagai perilaku sebagaimana pendapat Murphy (Sudarmanto, 2009: 8), di mana kompetensi ini juga sesungguhnya merupakan kompetensi dalam dan tak tampak (Spencer and Spencer, 1993: 9-11) berupa motives, traits and self concepts yang menjadi karateristik peribadi dosen untuk bisa menghasilkan perilaku kerja . Kinerja yang mengacu kepada competencies sebagai perilaku kerja, mengacu kepada pendapat Murphy dalam Sudarmanto (2009: 8) yang menyatakan bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi atau unit organisasi tempat bekerja. Ketiga. Instrumen Penilaian Dosen yang menggunakan 3 indikator berupa perilaku yang harus dinampakkan dosen sebelum, selama proses dan setelah melaksanakan proses pembelajaran. Artinya dalam pendekatan perilaku, dosen harus melaksanakan tugasnya dengan mengacu kepada etika profesi (Wirawan, 2009: 11) selama akan melaksanakan tugas khususnya dharma pendidikan dan pengajaran. Keempat. Instrumen PAK yang memuat 4 kriteria berupa komponen A,B, C dan D yang harus dipenuhi oleh dosen. Keempat komponen ini sesungguhnya mengacu kepada kriteria hasil kerja. Artinya berapa hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, berapa sks yang sudah dijalankan dan sebagainya. Kelima. Kriteria kehadiran dalam instrumen Absen Mengajar Dosen, yang

notabene-nya menggunakan kriteria kedisiplinan kerja, sesungguhnya adalah kriteria yang mengacu kepada pendekatan perilaku kerja.

Dari hasil analisis atas kriteria-kriteria kinerja yang ada dalam instrumen on the job performance yang digunakan dalam kegiatan penilaian kinerja dosen di IAIIG Cilacap menunjukkan kalau PTI/AIS ini secara praktis menggunakan Model Pendekatan Campuran Sistem Penilaian Kinerja Dosen-nya.

Selanjutnya, jika dicermati lebih jauh maka banyaknya instrumen yang digunakan secara formal di IAIIG Cilacap, hampir sebagian besar yang menjadi penyusunnya adalah pihak luar. Pihak yang dimaksud adalah pemerintah (instrumen Evaluasi Dosen sertifikasi, PAK dan DP3), dan PT lain (Penilaian Dosen). Sedangkan sebagian kecilnya adalah penyusun yang berasal dari pihak dalam, yaitu Prodi dan institut untuk instrumen Absen Mengajar Dosen.

Banyaknya instrumen yang digunakan dalam praktek penilaian kinerja dosen ini tidak serta merta membuat IAIIG Cilacap memiliki cukup dokumen hasil penilaian kinerja dosennya, karena justru rata-rata hasil penilaian kinerja dosen tidak didokumentasikan dengan baik, kecuali untuk dokumen absen mengajar dosen. Ini berarti bahwa pihak ternilai (dosen) akan sulit untuk mendapatkan umpan balik dari manajemen IAIIG dalam melakukan perbaikan kinerja di masa kerja berikutnya, utamanya secara individu.

Secara parsial berdasarkan paparan ini bisa disimpulkan bahwa praktek penilaian kinerja dosen di IAIIG Cilacap dilihat dari aspek instrumennya, menunjukkan belum dipersiapkan secara sistematis, karena belum bisa menentukan instrumen mana yang paling tepat untuk bisa menilai kinerja

dosennya. Apalagi ditambah dengan hasil penilaian tersebut belum didokumentasikan, sehingga pembuatan keputusan apakah dosen tetap diberi jam lagi (=mengampu lagi) atau tidak, hanya bersumber dari keaktifan dosen mengajar yang dilihat dari instrumen absen dosen. Sekaligus hal ini menimbulkan peluang bagi praktek-praktek penilaian secara subyektif untuk mengambil keputusan tentang keberadaan dosen di semester berikutnya.

Pendokumentasian merupakan hal penting, karena hasil penilaian kinerja dosen yang terdokumentasikan bisa dimanfaatkan agar dampak yang diharapkan atas praktek penilaian kinerja bisa terwujud. Sebaliknya dampak akan sulit terwujud jika hasil penilaian kinerja hanya tersimpan sebagai arsip-arsip pasif yang tidak digunakan untuk membuat keputusan manajemen yang berkaitan dengan dosen ternilai. Demikian pula halnya dampak tidak akan terwujud jika dokumen hasil penilaian sebagai dokumen real kinerja ternilai tidak digunakan untuk melakukan diskusi dengan ternilai, yaitu mendiskusikan hasil penilaian bersama dosen. Dalam istilahnya Schuler dan Youngblood (1996:268) manajemen IAIIG Cilacap semestinya melakukan kegiatan Interview Performance Appraisal (IPA) atau wawancara evaluasi, sehingga dosen ternilai akan memperoleh umpan balik atas kinerja realnya sekaligus mendapatkan arahan atas kinerja yang belum sesuai dengan standar kinerja yang sudah ditetapkan (ada dalam instrumen). Dengan demikian maka perbaikan kinerja dosen di masa berikutnya relatif akan mudah diwujudkan.

c). Instrumen Penilaian Kinerja Dosen STAINU Kebumen

Berdasarkan perolehan data dari lapangan, maka bisa diketahui ada empat hal terkait dengan praktek penilaian kinerja dosen di STAINU Kebumen, khususnya yang terkait dengan komponen pertama, yaitu instrumen penilaian kinerja dosen. Keempat hal yang dimaksud adalah bentuk instrumen, kriteria penilaian kinerja, pihak penyusun instrumen dan dokumen hasil penilaian kinerja dosen.

Pertama. Wujud/bentuk instrumen yang digunakan untuk menilai kinerja dosen dalam konteks on the job performance, ada dua yaitu lembar Evaluasi Dosen yang mengambil instrumen sertifikasi dosen, serta Absensi Mengajar dosen. Sedangkan penilaian kinerja dalam konteks off the job performance belum ada dokumen instrumennya, tetapi langsung merujuk pada human instrument.

Kedua. Kriteria penilaian. Ada lima kriteria penilaian kinerja yang ada dalam instrumen on the job, yaitu empat kompetensi dosen, berupa; 1) kompetensi pedagogik, 2) profesional, 3) kepribadian dan 4) sosial yang berada dalam instrumen pertama, serta 5) keaktifan/kehadiran dosen mengajar dalam instrumen kedua. Sedangkan kriteria idiologi NU dosen masuk dalam kriteria penilaian kinerja konteks off the job performance yang langsung menggunakan instrumen manusia (human instrument).

Jika melihat kepada kriteria kerja yang digunakan oleh STAINU Kebumen dalam melaksanakan penilaian kinerja dosennya, tampak jelas kalau STAINU Kebumen sebagaimana dua PTI/AIS sebelumnya juga menggunakan pendekatan campuran. Pendekatan campuran adalah pendekatan penilaian kinerja yang

menggabungkan antara tiga dimensi sifat, perilaku dan hasil, atau ada beberapa yang menggabungkan antara sifat dan perilaku kerja dan ada yang hanya menggabungkan antara hasil kerja dan perilaku kerja (Wirawan, 2009: 11). Dalam hal ini STAINU Kebumen menggabungkan antara sifat dan perilaku kerja dosen. Hal ini bisa dilihat sebagai berikut.

Untuk kriteria empat kompetensi yang ada dalam instrumen Evaluasi Dosen, berarti kinerja dosen dilihat dari dimiliki tidaknya kompetensi dosen yang dipersyaratkan oleh UU Guru Dan Dosen. Sedangkan kompetensi sendiri adalah sesuatu yang harus ada pada diri dosen sebelum dosen melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini, berarti instrumen Evaluasi Dosen menggunakan indikator perilaku pribadi dosen. Dalam hal ini adalah sifat pribadi dosen yang ada hubungannya dengan pekerjaan dosen (Wirawan, 2009: 11) berupa kompetensi profesional, pribadi, sosial dan pedagogik, yang harus dimiliki oleh dosen terutama ketika dosen sedang menjalankan tugas dharma pendidikan dan pengajaran.

Kemudian kriteria kerja yang ada dalam instrumen Absen Mengajar Dosen adalah kriteria kedisiplinan kerja dosen dalam memenuhi standar waktu minimal yang harus digunakan untuk melaksanakan kewajiban dharma pendidikan dan pengajaran. Kedisiplinan kerja ini sesungguhnya adalah kriteria yang mengacu kepada pendekatan perilaku kerja. Sedangkan kriteria idiologi NU sebagai kriteria lain yang langsung menggunakan human instrument masuk ke kriteria sifat. Sehingga dari sini jelas bahwa STAINU Kebumen menggunakan Pendekatan Campuran dalam melaksanakan penilaian kinerja dosennya.

Ketiga. Penyusun instrumen. Dengan melihat kepada instrumen yang digunakan oleh STAINU Kebumen maka bisa diketahui bahwa ada dua kelompok penyusun instrumen penilaian kinerja dosen, yaitu penyusun dari luar dan dalam. Untuk penyusun dari luar yang dimaksud adalah pemerintah (instrumen Evaluasi Dosen sertifikasi), dan NU, sedangkan dari pihak dalam adalah instrumen yang dari Prodi berupa Absen Mengajar Dosen.

Keempat. Dokumen hasil. Dokumen hasil penilaian kinerja dosen untuk instrumen pertama belum ada, sedangkan untuk instrumen kedua terdokumentasikan.

Melihat pada realitas terkait dengan pendokumentasian hasil penilaian kinerja dosen STAINU Kebumen, maka dampak yang diharapkan berupa

Dokumen terkait