• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formula ransum yang didapatkan dari informasi status nutrisi ternak sapi perah di peternak rakyat sekitar Bandung memberikan performa yang beragam meskipun konsentrat yang digunakan dalam ransum relatif sama, yaitu konsentrat mako (Despal et al. 2013). Konsentrat mako merupakan konsentrat yang diproduksi oleh koperasi peternakan sapi perah di daerah Bandung Utara (KPSBU). Formula yang berbeda tentunya memiliki kualitas ransum yang berbeda pula terutama dalam komposisi proksimat dan struktur serat. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kelima ransum uji memiliki kandungan abu, beta-N, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar yang berbeda nyata (P<0.05). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan jenis bahan pakan yang digunakan dan persentase penggunaannya. R2 merupakan ransum uji dengan rataan kadar protein kasar tertinggi, hal ini dikarenakan R2 tersusun dari beberapa bahan pakan sumber protein yang lebih banyak yaitu ampas kecap, ampas tahu, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai. Kandungan lemak kasar tertinggi ditemukan pada R1 dan R3. Rataan kandungan lemak kasar pada R1 yaitu 2.62% dan pada R3 yaitu 2.29%. Lebih tingginya kandungan lemak kasar pada kedua ransum tersebut diduga akibat persentase konsentrat mako yang digunakan pada R1 dan R3 lebih tinggi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsentrat mako memiliki kandungan nutrien yang baik diantara bahan pakan lainnya, terutama kandungan energi. Kandungan serat kasar dan NDF pada kelima ransum uji berbeda nyata (P<0.05). R3 memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi dari ransum uji lainnya yaitu sebesar 23.71%, namun ransum tersebut masih dapat dicerna dengan baik dalam tubuh ternak sapi perah, dilihat dari nilai kecernaan bahan kering yang lebih tinggi dari R4 dan R5 yaitu 68.57%. Nuhuyunan (2010) berpendapat bahwa pakan dengan serat kasar kurang 44.57% masih memungkinkan dikonsumsi dan dicerna sebesar 50.3-56.0% oleh sapi perah. Tingkat konsumsi ternak akan ransum berserat tinggi cenderung lebih rendah. Ransum dengan kandungan serat tinggi atau rendah akan energi, memiliki daya tampung (distensi) alat pencernaan yang rendah, terutama organ fermentatif akan menjadi faktor pembatas terhadap konsumsi pakan (D’Mello 2000).

Konsumsi bahan kering ransum pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini diduga akibat kandungan struktur serat (ADF, selulosa, dan lignin) ransum yang relatif sama. Struktur serat dalam ransum yang relatif sama diduga akan menyebabkan pemenuhan kapasitas isi rumen yang sama pula, sehingga menyebabkan desakan ke dinding rumen dengan tekanan yang hampir sama dan menimbulkan rasa kenyang sehingga ternak akan menurunkan konsumsi bahan kering (Kendall et al. 2009). Konsumsi bahan kering ransum yang ditunjukkan oleh ternak yang diberi ransum uji mempengaruhi pemenuhan kebutuhan bahan kering ransum per bobot badan ternak. Rataan konsumsi bahan kering per bobot badan pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata, yaitu 2.99% pada R1, 3.19% pada R2, dan 3.04% pada R3. Kebutuhan konsumsi bahan kering ternak ketiga perlakuan tidak berbeda nyata yaitu 2.84% pada R1, 2.84% pada R2, dan 2.82% pada R3 (NRC 1988). Konsumsi ternak yang diberi ketiga ransum uji telah memenuhi bahkan melebihi kebutuhan ternak akan bahan kering ransum per bobot badan.

Konsumsi bahan kering memberikan pengaruh terhadap produksi susu ternak, pertambahan bobot badan, dan juga body condition score (BCS). Berdasarkan hasil analisis covarian, ternak yang diberi ransum uji R1, R2, dan R3 menghasilkan produksi susu yang tidak berbeda nyata. Rataan produksi susu selama pemberian ransum ujicoba adalah 16.99-18.01 liter ekor-1 hari-1. Pemberian ransum uji (R1, R2, dan R3) masing-masing memberikan peningkatan produksi susu dengan rata-rata 0.42 liter ekor-1 hari-1, 0.26 liter ekor-1 hari-1,dan 0.90 liter ekor-1 hari-1. Adanya peningkatan produksi susu yang lebih tinggi pada R3 memberikan pengaruh negatif terhadap pertambahan bobot badan ternak. Bobot badan ternak yang diberi R3 mengalami penurunan sebesar 2.34 kg ekor-1, sedangkan pada ternak yang diberi R1 dan R2 tidak mengalami penurunan melainkan pertambahan bobot badan. Adanya penurunan bobot badan pada sapi yang diberi R3 diikuti dengan adanya penurunan nilai BCS. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, ransum uji yang diberikan kepada sapi-sapi percobaan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap BCS akhir ternak. Perubahan BCS ditunjukkan oleh sapi yang diberi ransum R1 dan R2 meningkat, sedangkan R3 menunjukkan adanya penurunan kondisi performa tubuh. Hal ini menunjukkan sebagian besar cadangan lemak tubuh digunakan untuk kebutuhan peningkatan produksi susu. Seperti yang disampaikan oleh Roche et al. (2007a) bahwa sapi perah akan mengalami kehilangan bobot tubuh selama peningkatan produksi susu. Kehilangan bobot badan pun dapat terjadi pada sapi perah laktasi akibat peningkatan kadar lemak dan protein susu, sehingga memberikan efek negatif terhadap performa tubuh (Berry et al. 2007b). Roche et al. (2007b) berpendapat bahwa disposisi lemak tubuh pada sapi perah laktasi lebih tinggi terjadi pada awal laktasi yang digunakan untuk peningkatan produksi susu dan lemak susu. Sedangkan pada R2 adanya perbaikan BCS diikuti peningkatan produksi susu, menunjukkan bahwa nutrien terutama energi yang masuk ke dalam tubuh dialokasikan dengan baik untuk perbaikan kondisi tubuh yang optimal dan produksi susu.

Body condition score dan pertambahan bobot badan ternak dapat dijadikan sebagai faktor penilaian persistensi produksi sapi perah selain total produksi susu. Persistensi produksi adalah kemampuan ternak dalam menjaga tingginya produksi susu selama masa laktasi (Clark dan Davis 1980), sedangkan menurut Grossman et al. (1999) persistensi merupakan sebuah parameter yang menggambarkan kurva laktasi, biasanya digambarkan sebagai kemampuan sapi untuk menjaga produksi sekitar puncak laktasi. Sapi yang persisten akan mengalami penurunan lambat setelah puncak produksi atau cepat pulih akibat gangguan produksi (Grossman et al. 1999). Sapi dengan persistensi laktasi yang tinggi akan lebih panjang masa produksinya (Cole dan Null 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi persistensi produksi yaitu pakan, bobot badan, ataupun body condition score. Pakan yang berkualitas dan memenuhi kebutuhan nutrien ternak mampu meningkatkan produksi susu, begitupun dengan bobot badan dan body condition score. Kehilangan BCS yang cukup besar setelah laktasi berhubungan linear dengan profil kurva laktasi, peningkatan produksi susu, namun persistensi rendah (Berry et al. 2007b). BCS pada sapi yang diberi R3 mengalami penurunan, namun peningkatan produksi susu lebih tinggi dari dua ransum uji lainnya, sedangkan pada ternak yang diberi R1 dan R2 mengalami peningkatan produksi susu walaupun tidak lebih tinggi dari R3 namun tidak mengalami penurunan BCS

ataupun bobot badan. Status nutrisi ternak dapat digambarkan dalam jangka pendek dari evaluasi feses dan profil metabolit darah, performa produksi. Sedangkan dalam jangka panjang dapat digambarkan melalui kodisi tubuh (BCS) (Despal et al. 2013).

Selain produksi susu, kualitas pakan pun mempengaruhi kualitas susu yang dihasilkan. Salah satu komponen susu yang memiliki peran penting dalam penilaian kualitas susu adalah lemak susu. Kadar lemak susu sangat dipengaruhi oleh konsumsi serat kasar ternak, yang banyak ditemukan pada pakan hijauan. Lechartier dan Peyraud (2010) melaporkan bahwa hijauan merupakan sumber serat yang dimanfaatkan oleh sapi perah laktasi untuk mempertahankan kadar lemak susu. Rendahnya konsumsi serat kasar dapat menyebabkan rendahnya produksi asetat yang merupakan prekursor sintesis lemak susu (Lock dan Van Amburgh 2012), sehingga kadar lemak susu sangat dipengaruhi oleh konsumsi serat kasar. Jumlah konsumsi ternak akan bahan kering (BK) hijauan pada ransum uji R1, R2, dan R3 berbeda nyata (P<0.05), begitupun dengan konsumsi bahan kering konsentrat. Adanya perbedaan jumlah hijauan dan konsentrat yang digunakan dalam ransum uji, mempengaruhi angka imbangan konsumsi bahan kering hijauan dan konsentrat oleh ternak. Imbangan konsumsi bahan kering hijauan dan konsentrat yang ditunjukkan oleh ternak yang diberi ransum R1 adalah 52:48. Hal ini menunjukkan ternak yang diberi R1 cenderung lebih banyak mengkonsumsi hijauan, sedangkan ternak yang diberi R2 dan R3 lebih banyak mengkonsumsi konsentrat. Hal ini menjadi salah satu faktor kadar lemak susu pada ternak yang diberi R1 cenderung lebih tinggi dari dua ransum uji lainnya, namun menyebabkan kadar solid non fat (SNF) susu pada R1 lebih rendah. Selain kadar lemak susu dan SNF susu, susu terdiri dari komponen lain yaitu laktosa susu. Sintesis laktosa susu di sel epitel kelenjar ambing merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi susu dan memiliki korelasi positif dengan protein susu (Aghsaghali dan Fathi 2012). Laktosa susupun berkaitan dengan kadar solid non fat (SNF) susu. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh kandungan SNF susu yang cenderung sama yang ditunjukkan oleh sapi yang diberi ketiga ransum uji. Adanya laktosa susu yang lebih tinggi pada R2 diduga akibat penggunaan jenis bahan pakan yang lebih beragam dan jumlah pemberian yang lebih banyak. Huda (2007) menyatakan bahwa semakin banyak senyawa-senyawa dalam suatu larutan maka semakin besar pula berat jenis larutan tersebut, sedangkan berat jenis susu memiliki hubungan positif dengan bahan kering tanpa lemak susu atau SNF, sehingga semakin banyak senyawa dalam ransum yang masuk ke dalam rumen maka kandungan SNF susu cenderung tinggi, dan memiliki hubungan linear positif dengan laktosa susu (Dehinenet et al. 2013).

Selain lemak susu dan SNF, komponen lain yang tak kalah penting yang berperan dalam pemenuhan syarat kualitas susu yaitu protein susu. Protein susu yang diproduksi oleh seekor ternak sangat dipengaruhi oleh kandungan protein di dalam ransum yang dikonsumsi oleh ternak tersebut. Protein dari pakan yang masuk ke dalam rumen sebagian dapat terdegradasi dan ada yang tidak dapat terdegradasi. Triatma et al. (2013) yang melaporkan bahwa pembentukan protein susu tidak hanya diperoleh dari protein dalam ransum yang tidak terdegradasi di dalam rumen, melainkan dapat diperoleh dari protein mikroba yang disintesis di dalam rumen. Protein susu yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kandungan protein dalam ransum, dimana R2 memiliki kandungan protein yang cenderung

lebih tinggi dari kedua ransum lainnya, begitupun dengan kadar protein susu yang dihasilkan oleh ternak yang mengkonsumsi R2 memiliki kadar susu lebih tinggi dari ternak yang diberi R1 dan R3. R3 yang memiliki kandungan protein kasar ransum yang lebih rendah dari R1, mampu menghasilkan susu dengan kadar protein yang cenderung lebih tinggi sehingga sapi yang diberi ransum R1 dan R3 memiliki kandungan protein yang lebih baik.

Kualitas susu yang dihasilkan memiliki kaitan atau hubungan dengan jumlah susu yang mampu diproduksi, seperti yang telah disampaikan oleh Aghsaghali dan Fathi (2012) bahwa sintesis laktosa susu di sel epitel kelenjar ambing merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi susu. Jumlah produksi dan kualitas susu yang dihasilkan ini mempengaruhi harga susu yang dihasilkan. Berdasarkan sistem penilaian harga susu yang dilakukan di KPSBU Lembang Bandung, susu yang dihasilkan oleh ternak uji memiliki nilai harga yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi nilai efisiensi ekonomis dan teknis.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa rataan nilai efisiensi teknis dan ekonomis pada ketiga ransum uji tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena konsumsi BK ransum dan produksi susu antar perlakuan yang tidak berbeda nyata. Efisiensi teknis merupakan banyaknya produksi susu yang dihasilkan dari sejumlah bahan kering ransum yang dikonsumsi. Adanya nilai efisiensi ransum yang lebih rendah pada masing-masing ransum uji diduga akibat energi dari konsumsi bahan kering ransum yang kurang efisien digunakan untuk proses sintesis susu di dalam tubuh ternak, seperti yang dikatakan Linn (2006) bahwa nilai efisiensi yang rendah dapat diakibatkan oleh permasalahan pencernaan ataupun proses sintesis susu. Nilai efisiensi ransum secara teknis yang dihasilkan oleh ketiga ransum uji berada dalam kisaran efisiensi ransum normal yang disampaikan oleh Linn (2006) yaitu tidak kurang dari 1.4. R3 memiliki nilai efisiensi ransum yang lebih tinggi secara numerik, dikarenakan biaya ransum yang butuhkan untuk R3 lebih rendah dan produksi susu yang dihasilkan oleh ternak yang mengkonsumsi R3 lebih tinggi. Tingginya produksi susu dan rendahnya biaya ransum pada R3 menyebabkan rataan harga ransum per liter susu pada R3 tinggi yaitu Rp. 1965.3, artinya untuk memproduksi satu liter susu dibutuhkan biaya ransum sebesar Rp 1965.3. Begitupun dengan R1 dan R2 yang masing- masing memiliki harga ransum per liter susu sebesar Rp. 2510.3 dan Rp. 2502.9. Harga ransum per liter susu pada R3 menunjukkan kecenderungan yang lebih rendah. Hal ini berarti penggunaan pakan semakin efisien karena dengan biaya yang lebih rendah akan menghasilkan peningkatan produksi susu yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan keuntungan usaha beternak sapi perah.

Dokumen terkait