• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Komparasi Ransum Berbasis Informasi Status Nutrisi Sapi Perah Lokal Guna Peningkatan Produksi Susu dan Profitabilitas Usaha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Komparasi Ransum Berbasis Informasi Status Nutrisi Sapi Perah Lokal Guna Peningkatan Produksi Susu dan Profitabilitas Usaha"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

UJI KOMPARASI RANSUM BERBASIS INFORMASI STATUS

NUTRISI SAPI PERAH LOKAL GUNA PENINGKATAN

PRODUKSI SUSU DAN PROFITABILITAS USAHA

DEWI AYU LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Uji Komparasi Ransum Berbasis Informasi Status Nutrisi Sapi Perah Lokal Guna Peningkatan Produksi Susu dan Profitabilitas Usaha adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

RINGKASAN

DEWI AYU LESTARI. Uji Komparasi Ransum Berbasis Informasi Status Nutrisi Sapi Perah Lokal Guna Peningkatan Produksi Susu dan Profitabilitas Usaha. Dibimbing oleh LUKI ABDULLAH dan DESPAL.

Usaha persusuan nasional Indonesia masih terbentur dengan permasalahan peningkatan produksi susu dan kualitasnya. Hingga saat ini, Indonesia hanya mampu memenuhi 20% dari kebutuhan susu nasional. Upaya peningkatan produksi susu sapi perah sering kali dihadapi dengan permasalahan pakan terutama dari sisi pemenuhan kebutuhan nutrien ternak. Adanya permasalahan pemenuhan kebutuhan nutrien ini disebabkan oleh penggunaan informasi kebutuhan nutrien dan kandungan bahan baku yang tidak akurat. Hingga saat ini penyusunan ransum sapi perah di Indonesia masih menggunakan informasi dari luar negeri yaitu NRC (National Research Council) yang tentunya memiliki perbedaan dengan kondisi di Indonesia, baik iklim, potensi genetik ternak, ketersediaan bahan pakan, dan kebutuhan nutrien ternak. Oleh sebab itu penelitian ini berupaya memanfaatkan informasi lokal yang telah ada mengenai status nutrisi sapi perah di Indonesia. Informasi status nutrisi sapi perah merupakan kumpulan informasi per individu ternak sapi perah di beberapa daerah dataran rendah, sedang, dan tinggi di Jawa Barat. Informasi yang dikumpulkan mengenai identitas ternak (bobot badan, status fisiologis, periode laktasi, bulan laktasi, dan body condition score), profil metabolit darah, pemberian pakan, kecukupan nutrien, formulasi ransum, beserta produksi susu yang dihasilkan.

Tujuan penelitian adalah membandingkan ransum peternak dengan ransum yang disusun berdasarkan NRC dalam meningkatkan efisiensi pakan, produksi susu, serta profitabilitas usaha. Penelitian terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan uji kualitas ransum peternak dengan formula yang berbeda (based practice) (R3, R4, dan R5) dengan ransum berdasarkan NRC (R2) dan Demo Farm (R1) secara in vitro. Variabel yang diamati adalah komposisi proksimat, volatile fatty acid, amonia, kecernaan bahan kering dan organik. Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap satu yaitu rancangan acak kelompok dengan lima perlakuan beda ransum, tiga kelompok cairan rumen, dan tiga ulangan. Hasil percobaan tahap satu menunjukkan bahwa kelima ransum uji (R1, R2, R3, R4, dan R5) memiliki komposisi proksimat, konsentrasi amonia, dan volatile fatty acid, serta kecernaan bahan kering yang berbeda nyata (P<0.05). R1, R2, dan R3 memiliki kandungan nutrien dan fermentabilitas yang lebih baik dibandingkan R4 dan R5. Hal ini dikarenakan konsentrasi VFA (R1: 118.69 mM, R2: 126.08 mM, R3: 124.07 mM, R4: 104.30 mM, dan R5: 91.64 mM) dan amonia (R1: 4.48 mM, R2: 4.66 mM, R3: 4.43 mM, R4: 3.91 mM, dan R5: 3.91 mM) pada ketiga ransum tersebut lebih optimum untuk pertumbuhan mikroba rumen, serta kecernaan bahan kering yang lebih tinggi (R1: 67.54%, R2: 70.23%, R3: 68.57%, R4: 65.79%, dan R5: 64.49%), sedangkan kecernaan bahan organik pada kelima ransum tidak berbeda nyata, sehingga disimpulkan bahwa ketiga ransum tersebut merupakan ransum terbaik dan perlu diujibandingkan secara in vivo.

(5)

R2, dan R3) yang merupakan ransum terbaik dari hasil uji in vitro sebelumnya, dan terbagi kedalam tiga kelompok periode laktasi (laktasi dua, tiga, dan lainnya) dengan satu ulangan. Parameter yang diamati adalah konsumsi ransum, konsumsi nutrien, produksi dan kualitas susu, manure score, pertambahan bobot badan, body condition score, efisiensi, dan harga ransum. Hasil penelitian tahap dua adalah ketiga ransum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam produksi dan kualitas susu, pertambahan bobot badan, manure score, efisiensi, dan harga ransum. Sehingga disimpulkan bahwa ransum peternak (R3) dan ransum yang disusun berdasarkan NRC (R2) memiliki kualitas yang tidak berbeda dengan ransum yang digunakan di Demo Farm (R1).

(6)

SUMMARY

DEWI AYU LESTARI. Feed Formulation Comparison Test Based Nutritional Status Information Of Local Dairy Cattle To Milk Production Enhancement and Business Profitability. Supervised by LUKI ABDULLAH and DESPAL.

Business of dairy cattle livestock in Indonesia still collided with the quantity of its product availability and quality. All this time, Indonesia is able to meet the 20% requirement of national milk consumption. Efforts to increase milk production in dairy cattle are often faced with the problem of feed, mainly in terms of compliance the needs of cattle nutrient. Problem of compliance the needs of nutrients in dairy cattle are caused by the use of nutrient needs and nutrient content of the raw material information are inaccurate. All this time, formulation of ration in Indonesia or other countries have still refered to the NRC (National Research Council), which the information contained less applicable to used in Indonesia due to differences in climate, animal genetic, availability of raw material, and animal requirement. This study attempted to utilize the local information was collected about nutritional status information of dairy cattle in Indonesia. This information contained was a collection of individual dairy cattle indentities in lowland areas to plateau areas in West Java with information about milk production and ration. Informations collected were about animal indentities (body weight, lactation period, month in milk, and body condition score), profile of blood metabolite, feed management, nutrient balance, formula ration, and milk production.

This study aimed to compare local dairy farmer ration formula with National Research Council in producing higher feed efficiency and milk production. This study had two stages. The first stage was in vitro study of dairy farmer rations which have different of raw materials using (R3, R4, and R5) with NRC based ration (R2), and Demo Farm ration (R1). The variable of this stage were proximate composition, volatile fatty acid, ammonia, dry matter and organic matter digestibilities. The first stage used a randomized block design with five treatments, three groups of rumen, and dry matter digestibility were higher than other rations (R1: 67.54%, R2: 70.23%, R3: 68.57%, R4: 65.79%, and R5: 64.49%). The first stage result showed that R1, R2, and R3 were the best rations in nutrient composition and fermentability (ammoniaand volatile fatty acid concentrations optimum to microbes growth and high digestibility), so the conclusion of study that those third ration were the best rations and should be compared by in vivo method.

(7)

Parameters measured were feed intake, nutrient intake, milk production, milk quality, manure score, body weight gain, body condition score, efficiency, and price of feed. The second stage study result showed that all of test rations were not siginificantly different in milk production and quality, body weight gain, efficiency, and feed price. With the result that quality of the best farmer ration (R3) and NRC based ration (R2) have quality were not different with Demo Farm ration quality.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

UJI KOMPARASI RANSUM BERBASIS INFORMASI STATUS

NUTRISI SAPI PERAH LOKAL GUNA PENINGKATAN

PRODUKSI SUSU DAN PROFITABILITAS USAHA

DEWI AYU LESTARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Uji Komparasi Ransum Berbasis Informasi Status Nutrisi Sapi Perah Lokal Guna Peningkatan Produksi Susu dan Profitabilitas Usaha Nama : Dewi Ayu Lestari

NIM : D251130061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Luki Abdullah, MscAgr Ketua

Dr Despal, SPt MScAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Uji Komparasi Ransum Berbasis Informasi Status Nutrien Sapi Perah Lokal Guna Peningkatan Produksi Susu dan Profitabilitas Usaha.Penyusunan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan, Institut Pertanian Bogor dan sebagian hasil penelitian ini dalam proses publikasi di jurnal ilmiah nasional terakreditasi Media Peternakan.

Karya ilmiah ini disusun untuk menginformasikan hasil penelitian mengenai evaluasi beberapa formulasi ransum yang disusun berdasarkan informasi kebutuhan nutrien dari tabel NRC dan ransum peternak lokal, dengan mempertimbangkan besar biaya pakan yang dibutuhkan sehingga didapatkan formulasi ransum terbaik yang dapat digunakan di peternakan sapi perah lokal dengan harapan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, produksi susu, kualitas susu, serta profitabilitas usaha.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak, keluarga, kedua dosen pembimbing (Prof Dr Ir Luki Abdullah, MscAgr dan Dr Despal, SPt MscAgr) yang telah banyak memberikan waktu, saran, motivasi, dan segala bentuk bantuan materi maupun moral sehingga penelitian dan tesis ini dapat diselesaikan. Terimakasih kepada kepala dan staf KPSBU Lembang Bandung, Ketua dan Staf Sekretariat Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan (Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc, Bapak. Supri, dan Ibu Ade), Staf Lab. Nutrisi Ternak Perah (Ibu Dian Anggraeni), orang-orang terdekat yang ikut membantu dalam peneltian (Faisal Ramadhan, Afisitin Joan Tantra, Rika Zahera, dan Heru Dwi Nugroho), serta siswa magang SMK Negeri Peternakan Lembang yang telah berpartisipasi dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Jendral Pendidikan Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Magister Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui program BPDDN 2013.

Semoga tesis yang berhasil diselesaikan kelak dapat bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat, mahasiswa dan dapat dijadikan pedoman bagi peternak lokal.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

2 UJI KOMPARASI FORMULA RANSUM BERDASARKAN NRC

DENGAN RANSUM PETERNAK LOKAL SECARA IN VITRO

Pendahuluan 3

Materi dan Metode 4

Hasil dan Pembahasan 9

Simpulan 13

3 UJI KOMPARASI FORMULA RANSUM BERDASARKAN NRC DENGAN RANSUM PETERNAK LOKAL SECARA IN VIVO

Pendahuluan 14

Materi dan Metode 15

Hasil dan Pembahasan 18

Simpulan 29

4 PEMBAHASAN UMUM 30

5 SIMPULAN DAN SARAN 34

6 DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 40

(15)

DAFTAR TABEL

1. Metode penyusunan ransum uji berdasarkan NRC 1988 5

2. Susunan formula ransum uji coba in vitro 6

3. Kualitas ransum berdasarkan komposisi proksimat dan struktur

dinding sel berdasarkan bahan kering 9

4. Kualitas ransum berdasarkan kecernaan bahan kering, kecernaan

bahan organik, NH3, dan VFA ransum dalam rumen 11

5. Susunan formulasi ransum uji coba in vivo 16

6. Konsumsi ransum dan manure score ternak yang diberi ransum uji 19 7. Konsumsi protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar ransum 21 8. Produksi susu, body score condition, dan pertambahan bobot

badan ternak 22

9. Kualitas susu sapi perah yang diberi ransum uji 25 10. Nilai efisiensi ransum dan harga ransum uji per liter susu 28

DAFTAR GAMBAR

1. Evaluasi feses sapi perah dengan perkiraan kandungan nutrien

ransum 20

2. Rataan produksi susu sapi yang diberi ransum uji 23

DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisis ragam abu 40

2. Uji lanjut abu 40

3. Analisis ragam beta-N 40

4. Uji lanjut beta-N 40

5. Analisis ragam protein kasar 40

6. Uji lanjut protein kasar 41

7. Analisis ragam lemak kasar 41

8. Uji lanjut lemak kasar 41

9. Analisis ragam serat kasar 41

10. Uji lanjut serat kasar 41

11. Analisis ragam NDF 42

12. Uji lanjut NDF 42

13. Analisis ragam ADF 42

14. Analisis ragam lignin 42

15. Analisis ragam selulosa 42

16. Analisis ragam VFA 42

17. Uji lanjut VFA 43

(16)

19. Uji lanjut NH3 43

20 Analisis ragam KCBK 43

21. Uji lanjut KCBK 43

22. Analisis ragam KCBO 44

23. Analisis ragam konsumsi bahan kering rumput 44

24. Uji lanjut konsumsi bahan kering rumput 44

25. Analisis ragam konsumsi bahan kering konsentrat 44

26. Uji lanjut konsumsi bahan kering konsentrat 44

27. Analisis ragam konsumsi bahan kering ransum 44

28. Analisis ragam konsumsi bahan kering per bobot badan 45

29. Analisis ragam manure score 45

30. Analisis ragam konsumsi protein 45

31. Analisis ragam konsumsi lemak 45

32. Analisis ragam konsumsi serat 45

33. Analisis ragam BCS 45

34. Analisis ragam pertambahan bobot badan 46

35. Analisis ragam efisiensi teknis 46

36. Analisis ragam efisiensi ekonomis 46

37. Analisis ragam harga ransum per liter susu 46

38. Analisis ragam produksi susu 46

39. Analisis ragam berat jenis susu 47

40. Analisis ragam lemak susu 47

41. Analisis ragam SNF susu 47

42. Analisis ragam protein susu 48

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan merupakan usaha yang memiliki peran penting dalam ketahanan pangan nasional, dimana permintaan masyarakat akan produk pangan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kesadaran akan kebutuhan protein hewani terutama daging dan susu. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan (2013), Indonesia hanya mampu memenuhi 20% kebutuhan konsumsi susu 248.8 juta jiwa penduduk. Kesenjangan antara pertumbuhan permintaan dengan produksi susu tersebut menyebabkan peningkatan jumlah impor susu Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa usaha persusuan nasional Indonesia masih terbentur dengan kuantitas ketersediaannya, maka dari itu diperlukan usaha-usaha untuk memperbaki kondisi ini. Usaha peningkatan produksi susu sapi perah sering kali dihadapi dengan permasalahan pakan terutama dari sisi pemenuhan kebutuhan nutrien ternak.

Kondisi belum terpenuhinya kebutuhan nutrien sapi perah ditemukan pada penelitian Destianingsih (2014), dimana menyatakan bahwa adanya nutrient balance yang bernilai negatif pada peternakan di daerah Bogor, Jawa Barat, namun kondisi sebaliknya pada penelitian Lestari (2014) yang menyatakan bahwa di peternakan daerah Bandung, Jawa Barat, persentase kecukupan nutrien sapi perah telah memenuhi bahkan melebihi kebutuhan nutrien. Adanya pemenuhan kebutuhan nutrien yang tidak tepat ini disebabkan oleh penggunaan informasi kebutuhan nutrien dan kandungan bahan baku yang tidak akurat.

Upaya peningkatan produksi susu dalam negeri dapat dilakukan dengan mengetahui kandungan nutrien bahan baku lokal yang tersedia dan kebutuhan nutrien ternak dengan akurat serta diikuti dengan teknik formulasi yang tepat. Informasi tersebut tentunya diperoleh melalui penelitian dan analisa status nutrisi sapi perah yang ada di Indonesia, seperti yang telah dilakukan oleh Despal et al. (2013). Perlunya dilakukan penelitian atau pengumpulan informasi kandungan nutrien bahan pakan lokal dan status nutrisi sapi perah, dikarenakan untuk mengantisipasi adanya ketidaktepatan formulasi ransum akibat perbedaan iklim, kandungan mineral tanah, ataupun genetik ternak. Selama ini penyusunan formulasi ransum di Indonesia masih bergantung pada tabel NRC (National Research Council), dimana informasi yang terdapat pada tabel tersebut diperoleh dari penelitian yang dilakukan di luar negeri (US) yang tentu berbeda kondisinya dengan di Indonesia, baik dari sisi iklim, ketersediaan bahan pakan, komposisi nutrien bahan pakan, dan potensi genetik ternak.

(18)

Formula-formula yang diinformasikan dari penelitian sebelumnya ini, masih belum dipastikan keunggulannya dalam hal efisiensi biaya dan kualitas produk. Ransum yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh jenis bahan baku, kandungan nutrien dan antinutrisi, serta besarnya bahan baku yang digunakan, namun perlu diperhatikan pula faktor biaya yang dibutuhkan. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem evaluasi ransum baik secara in vitro maupun in vivo, dengan mempertimbangkan banyaknya biaya pakan yang dikeluarkan agar dapat menghasilkan formulasi ransum unggul baik secara kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan serta efisiensi biaya pakan, agar dapat meningkatkan profitabilitas usaha peternakan sapi perah.

Tujuan Penelitian

(19)

2

UJI KOMPARASI FORMULA RANSUM BERDASARKAN

NRC DENGAN RANSUM PETERNAK LOKAL

SECARA

IN VITRO

PENDAHULUAN

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia sering kali dihadapi dengan persoalan pakan terutama dari sisi pemenuhan kebutuhan nutrien ternak. Adanya permasalahan pemenuhan kebutuhan nutrien ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya penggunaan informasi yang kurang tepat. Selama ini, informasi kebutuhan nutrien ternak dan kandungan nutrien bahan pakan yang digunakan oleh peternak lokal di Indonesia maupun beberapa negara lainnya dalam menyusun ransum, merupakan informasi yang berasal dari luar negeri yaitu National Research Council (NRC) (McGuffey et al. 2014), yang tentunya memiliki banyak perbedaan dengan kondisi di Indonesia seperti kandungan mineral atau unsur hara tanah, iklim, ketersediaan bahan pakan, kandungan nutrien bahan pakan, dan potensi genetik ternak.

FAO (2011) berpendapat bahwa good practice untuk peternak lokal yang lebih berpotensi meningkatkan produksi susu peternakan sapi perah rakyat adalah implementasi praktek terbaik dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada peternakan sapi perah rakyat. Oleh sebab itu dengan memanfaatkan informasi lokal mengenai status nutrisi sapi perah di Indonesia yang telah dilakukan sebelumnya oleh Despal et al. (2013) diharapkan dapat memperbaiki kondisi pemenuhan kebutuhan nutrien ternak yang kurang tepat selama ini. Hasil kajian yang dilaporkan Despal et al. (2013) memberikan gambaran profil persusuan nasional 2012 diantaranya memberikan informasi lama pengalaman peternak dalam beternak sapi perah yaitu 14.8 tahun dengan usia rata-rata peternak 43.7 tahun. Sekitar 76.3% peternak menjadikan beternak sapi perah sebagai mata pencaharian utama karena menguntungkan (66.4%) dan merupakan usaha turun temurun (18.4%), cara beternak yang dilakukan oleh peternak sapi perah saat ini sebagian besar mengikuti cara beternak generasi sebelumnya ataupun mengikuti peternak di sekitarnya, namun Despal et al. (2013) menginformasikan bahwa formula ransum yang digunakan oleh peternak sapi perah rakyat di daerah Lembang, Bandung cenderung beragam, begitupun dengan peternak rakyat di daerah Kunak, Bogor. Adanya keragaman dalam penggunaan ransum ini memberikan performa dan produksi susu yang beragam. Formula ransum peternak yang mampu menghasilkan produksi susu tertinggi dapat dijadikan sebagai based practice bagi peternak lainnya, namun perlu diuji kualitas nutrien dan kecernaannya di dalam tubuh ternak.

(20)

metode in vitro memiliki nilai yang lebih besar dikarenakan tidak adanya penyerapan.. Namun disisi lain, metode in vitro memiliki keuntungan yaitu lebih mudah, murah, singkat, dan terkontrol.

Ransum yang masuk ke dalam tubuh ternak akan difermentasi oleh mikroba rumen kemudian akan menghasilkan amonia (NH3) dan volatile fatty acid (VFA)

sebagai produk utama dari proses fermentasi. Mikroorganisme rumen akan menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhannya dan penyuplai protein mikroba untuk ternak inang (Xin et al. 2010). Produksi amonia di dalam rumen digunakan untuk pertumbuhan mikroba dan mempengaruhi ketersediaan energi karena berkaitan dengan kecernaan karbohidrat. Mudah atau tidaknya karbohidrat didegradasi oleh mikroba di dalam rumen dapat dilihat dari konsentrasi volatile fatty acid (VFA). VFA merupakan karakteristik fermentatif yang menggambarkan banyaknya karbohidrat yang dapat didegradasi oleh mikroba rumen (Lestari 2012). Konsentrasi VFA dan amonia yang dihasilkan dari proses fermentasi akan mempengaruhi kecernaan pakan di dalam rumen. Evaluasi kecernaan sering kali dilakukan untuk melihat seberapa banyak nutrien di dalam pakan yang dapat dicerna dalam tubuh ternak. Pakan yang memiliki kandungan nutrien tinggi apabila memiliki nilai kecernaan yang rendah maka nutrien yang terdapat di dalam pakan tersebut akan diekskresikan bersama feses.

Oleh sebab itu, diperlukan sistem evaluasi ransum yang mudah, murah, efisien, dan memungkinkan pengujian beberapa jenis ransum yang lebih banyak, namun memiliki nilai akurasi yang tinggi untuk mengetahui kualitas ransum sebelum diujikan kepada ternak.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah membandingkan formula ransum peternak sapi perah yang mampu menghasilkan produksi susu tertinggi dengan ransum yang diformulasi berdasarkan NRC secara in vitro, sehingga mendapatkan beberapa formula ransum terbaik yang akan diujikan secara in vivo.

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan IPB pada bulan Juli hingga September 2014. Analisis data dilakukan di Laboratorium PAU IPB, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah IPB, dan Balai Penelitian Ternak Ciawi, pada bulan Agustus hingga Desember 2014.

Materi

Alat

(21)

pakan, sekop, botol penampung susu, dan laktodensimeter. Peralatan laboratorium yang digunakan antara lain timbangan analitik, oven 60 oC dan 105 oC, cawan porselen, shaker water bath, tabung gas CO2, selang, tabung fermentor, tutup

karet berventilasi, pompa vakum, kertas Whatman No. 41, cawan Conway, pipet otomatis, erlenmeyer, gelas ukur, labu takar, spatula, bulb, cawan porselen, desikator, pipet volumetrik, magnetic stirer, sentrifuge, buret, dan seperangkat alat destilasi.

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lima ransum uji yang terdiri dari konsentrat mako, onggok, bungkil kedelai, bungkil kelapa, ampas kecap, ampas tahu, mineral mix, silase jagung, rumput gajah, dan rumput lapang. Konsentrat mako adalah konsentrat sapi perah yang diproduksi oleh KPSBU Lembang, Kabupaten Bandung Utara. Cairan rumen yang digunakan adalah cairan rumen tiga ekor sapi yang berasal dari RPH Bubulak, Bogor, dan alat serta bahan kimia. Ransum yang disusun berdasarkan NRC merupakan ransum yang ditujukan untuk sapi perah periode laktasi dua dengan bobot 450 kg dan dengan produksi susu rata-rata 20 liter per hari.

Metode

Teknik Pemilihan dan Formula Ransum

Informasi yang didapatkan dari penelitian sebelumnya meliputi identitas ternak yaitu periode laktasi, bulan laktasi, dan formula ransum peternak yang disertai informasi produksi susu. Kumpulan informasi tersebut dipilih tiga formula ransum peternak yang mampu menghasilkan susu tertinggi, dengan memperhatikan periode laktasi, bulan laktasi, dan bobot badan. Tiga ransum peternak tersebut (R3, R4, dan R5) dibandingkan dengan ransum yang disusun berdasarkan NRC 1988 dan ransum yang digunakan di Demo Farm (R1). Metode penyusunan ransum berdasarkan NRC (R2) dilakukan seperti pada Tabel 1.

(22)

Teknik Penyusunan Ransum

Bahan pakan yang digunakan dalam percobaan satu adalah bahan pakan yang sesuai dengan bahan yang digunakan di peternak rakyat Lembang, Bandung. Bahan-bahan tersebut disiapkan, dikeringkan, digiling, kemudian dicampurkan sesuai dengan formula pada Tabel 2, masing-masing ransum uji dibuat dalam skala laboratorium yaitu sebanyak 100 gram per ransum uji coba dengan tiga ulangan.

Tabel 2 Susunan formula ransum uji coba in vitro

Bahan Pakan R1 R2 R3 R4 R5 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000

Keterangan: R1: ransum Demo Farm, R2: ransum yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrien dari tabel NRC, R3, R4, dan R5: ransum peternak. Konsentrat mako merupakan konsentrat yang diproduksi oleh KPSBU.

Pengujian Komposisi Proksimat dan Struktur Dinding Sel

Komposisi proksimat ransum dilakukan dengan menggunakan metode AOAC (2005) untuk mengetahui bahan kering, kadar abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan beta-N kelima ransum uji. Struktur dinding sel (NDF, ADF, selulosa, dan lignin) dianalisis dengan menggunakan metode Van Soest et al. (1991).

Pengujian Kualitas Ransum secara In Vitro

Metode in vitro yang digunakan adalah metode Tilley dan Terry (1963). Sebanyak 0.5 g sampel yang sudah dikeringkan, digiling, dimasukkan ke dalam tabung fermentor, kemudian ditambahkan 40 ml larutan buffer McDougall dan 10 ml cairan rumen lalu diaduk dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat

dengan prop karet yang berventilasi, kemudian diinkubasi selama 4 jam dalam shaker water bath dengan suhu 39 ⁰C. Setelah inkubasi, ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh ke dalam tabung fermentor, kemudian disentrifuge dengan kecepatan

3000 rpm selama 15 menit, kemudian diambil supernatannya.

Pengukuran Volatile Fatty Acid (VFA) Rumen. Prosedur pengukuran kadar VFA menggunakan metode Destilasi Uap atau Steam Destilation (General Laboratory Procedure 1966). Supernatan yang disiapkan sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung destilasi, setelah itu segera ditambahkan dengan satu ml H2SO4 15% dan ditutup dengan tutup karet yang mempunyai lubang dan dapat

(23)

penyulingan yang berisi air mendidih. Uap air panas akan mendesak campuran supernatan dan H2SO4 dan akan terkondensasi dalam labu pendingin. Air yang

terbentuk ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N hingga sampel menjadi 250 ml, kemudian ditambahkan dengan indikator PP (Phenol Pthaline) sebanyak dua hingga tiga tetes dan dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai warna titrat berubah dari merah jambu menjadi tidak berwarna. Produksi VFA total dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan : a = volume titran blanko (ml), b = volume titran sampel (ml)

Pengukuran N-NH3 Rumen. Prosedur yang digunakan yaitu metode Conway dan O’Malley (1942). Cawan Conway diolesi vaselin, lalu sebanyak satu ml supernatan sampel ransum ditempatkan pada ujung jalur cawan Conway tersebut. Kemudian satu ml larutan Na2CO3 diletakkan pada sisi yang

bersebelahan dengan sampel. Sebanyak satu ml asam borat berindikator ditempatkan di bagian tengah cawan Conway, lalu ditutup rapat. Cawan Conway dimiringkan agar supernatan dan larutan Na2CO3 tercampur hingga rata.

Didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar dan setelah 24 jam asam borat berindikator dititrasi menggunakan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari

biru menjadi merah. Kadar NH3 dihitung dengan rumus:

sample

Pengukuran Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO). Pengukuran KCBK dan KCBO mengikuti metode Tilley dan Terry (1963):

1) Pencernaan Fermentatif. Sebanyak 0.5 g sampel ransum dimasukkan kedalam tabung fermentor, ditambahkan 10 ml larutan buffer McDougall dan 40 ml cairan rumen, diaduk dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat.

Tabung fermentor ditempatkan pada suhu 39 0

C dan proses fermentasi dibiarkan berlangsung selama 48 jam.

2) Pencernaan Hidrolisis. Setelah diinkubasi selama 48 jam, ditambahkan dua hingga tiga tetes HgCl2 jenuh. Lalu disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm

(24)

%

Perlakuan yang diberikan pada uji formula ransum secara in vitro ini adalah: R1 : ransum Demo Farm sebagai tempat pengujian in vivo R2 : ransum berdasarkan NRC

R3, R4, dan R5 : ransum peternak lokal

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan untuk kualitas ransum berdasarkan komposisi proksimat (bahan kering, abu, beta-N, protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar) dan struktur dinding sel (NDF, ADF, selulosa, dan lignin) penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) (Steel dan Torrie 1993).

Yij= µ + αi+ εij

Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan pengaruh perlakuan ke-i ulangan ke-j

µ = Nilai rataan umum αi = Efek perlakuan taraf ke-i

εij = Galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j yang menyebar normal

Rancangan percobaan yang digunakan untuk kualitas ransum secara in vitro yaitu kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO), konsentrasi VFA, dan NH3, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK).

Yij = µ + αi + ßj + εij

Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan pengaruh perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

µ = Nilai rataan umum αi = Efek perlakuan taraf ke-i

ßj = Efek kelompok ke-j

εij = Galat perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

(25)

Peubah

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah komposisi proksimat, struktur serat, konsentrasi amonia, konsentrasi volatile fatty acid, kecernaan bahan kering, dan kecernaan bahan organik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Proksimat dan Struktur Serat

Ransum komplit merupakan campuran dari beberapa bahan pakan baik hijauan maupun konsentrat yang disusun untuk memenuhi kebutuhan nutrien ternak. Formula ransum yang didapatkan dari informasi status nutrisi ternak sapi perah di peternak rakyat sekitar Bandung memberikan performa yang beragam meskipun konsentrat yang digunakan dalam ransum relatif sama, yaitu konsentrat mako. Konsentrat mako merupakan konsentrat yang diproduksi oleh koperasi peternakan sapi perah di daerah Bandung Utara (KPSBU). Despal et al. (2013) melaporkan bahwa sekitar 92.9% peternak tergabung dalam koperasi, 60.3% tergabung dalam kelompok tani, dan 7.1% independent, sehingga sebagian besar peternak menggunakan konsentrat mako sebagai pakan penguat utama bagi ternaknya. Formula yang berbeda tentunya memiliki kualitas ransum yang berbeda pula terutama dalam komposisi proksimat dan struktur serat. Kualitas ransum berdasarkan komposisi proksimat dan struktur serat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kualitas ransum berdasarkan komposisi proksimat dan struktur dinding sel berdasarkan bahan kering

Parameter R1 R2 R3 R4 R5

Bahan kering 56.68 57.47 57.07 58.89 61.61 Abu 13.27 ± 0.18b 16.04 ± 2.26ab 14.73 ± 0.43b 18.61 ± 3.19a 13.76 ± 1.88b Beta-N 42.00 ± 1.14b 40.87 ± 2.03b 40.39 ± 2.03b 48.16 ± 3.21a 47.47 ± 3.91a PK 20.72 ± 0.14ab 21.77 ± 1.65a 18.87 ± 1.09bc 11.48 ± 0.29d 17.29 ± 1.11c LK 2.62 ± 0.15a 1.47 ± 0.04b 2.29 ± 0.31a 1.30 ± 0.22b 1.47 ± 0.17b SK 21.39 ± 1.48a 19.85 ± 0.45a 23.71 ± 1.33b 20.44 ± 0.79a 20.01 ± 1.74a NDF 49.96 ± 2.86b 45.27 ± 1.12a 51.62 ± 0.76b 51.61 ± 2.14b 54.18 ± 1.80b ADF 30.78 ± 3.16 28.60 ± 1.31 29.01 ± 1.43 29.32 ± 4.95 30.85 ± 0.92 Lignin 7.06 ± 1.15 5.89 ± 0.74 5.33 ± 0.16 5.27 ± 0.43 7.03 ± 2.31 Selulosa 21.20 ± 3.43 17.91 ± 1.42 19.31 ± 0.47 19.02 ± 2.16 19.86 ± 1.20

Keterangan: R1: ransum Demo Farm, R2: ransum yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrien dari tabel NRC, R3, R4, dan R5: ransum peternak. NDF: neutral detergent fiber, ADF: acid detergent fiber. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05).

(26)

Kelima ransum uji memiliki kandungan protein kasar yang berbeda (P<0.05). R2 dan R1 merupakan ransum uji dengan rataan kadar protein kasar tertinggi yaitu 21.77% dan 20.72%. R2 tersusun dari beberapa bahan pakan sumber protein yaitu ampas kecap, ampas tahu, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai. R3, R4, dan R5 tersusun dari bahan pakan yang tidak jauh berbeda yaitu tersusun dari konsentrat mako, onggok, ampas tahu, mineral, dan rumput gajah sama namun persentase bahan yang digunakan berbeda. R3 memiliki kandungan protein kasar sebesar 18.87%, R4 dan R5 masing-masing memiliki rataan kandungan protein kasar sebesar 11.48% dan 17.29%. Lebih tingginya protein kasar pada ransum R3 dibandingkan R4 dan R5, diduga akibat persentase konsentrat mako sebagai bahan penyusun ransum R3 lebih tinggi. Konsentrat mako merupakan konsentrat yang diproduksi oleh KPSBU dengan tujuan dapat memenuhi kebutuhan nutrien sapi perah yang diharapkan saat pemberiannya tidak ditambahkan bahan pakan penguat lain, sehingga konsentrat mako ini diyakini memiliki kandungan nutrien yang baik diantara bahan pakan penguat lain didalam kelima ransum uji. Seperti halnya protein kasar, kandungan lemak kasar pada R1 dan R3 lebih tinggi dari ransum uji lainnya. Kandungan lemak kasar pada R1 yaitu 2.62% dan pada R3 sebesar 2.29%. Lebih tingginya kandungan lemak kasar pada kedua ransum tersebut diduga akibat persentase konsentrat mako yang digunakan pada R1 dan R3 lebih tinggi. Konsentrat mako memiliki kandungan nutrien yang baik diantara bahan pakan lainnya, terutama kandungan energi.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kandungan serat kasar pada kelima ransum uji berbeda nyata (P<0.05). R3 memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi dari ransum uji lainnya yaitu sebesar 23.71%, dan secara numerik R1 pun memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan R2, R4, dan R5 namun kedua ransum tersebut masih dapat dicerna dengan baik dalam tubuh ternak sapi perah. Nuhuyunan (2010) berpendapat bahwa pakan dengan serat kasar kurang 44.57% masih memungkinkan dikonsumsi dan dicerna sebesar 50.3-56% oleh sapi perah. Serat kasar tersusun dari beberapa komponen yang lebih dikenal dengan fraksi serat, yaitu terdiri dari NDF, ADF, lignin, dan selulosa. Kandungan NDF pada kelima ransum uji berbeda nyata, sedangkan untuk struktur serat lainnya (ADF, selulosa, dan lignin) tidak berbeda nyata.

Kualitas Ransum berdasarkan Uji In Vitro

Pengujian kualitas ransum secara in vitro dilakukan untuk melihat pencernaan fermentatif dan utilitas ransum di dalam rumen. Ransum yang masuk ke dalam rumen akan menghasilkan volatile fatty acid (VFA) dan amonia sebagai produk utama dari proses fermentasi pakan di dalam rumen, sedangkan gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) sebagai produk limbah. Kecernaan bahan kering

(KCBK) dan bahan organik ransum (KCBO) merupakan karakteristik utilitas ransum di dalam rumen (Despal et al. 2011). Konsentrasi VFA dan amonia, %KCBK dan %KCBO disajikan pada Tabel 4.

Volatile Fatty Acid (VFA)

(27)

tersebut difermentasi oleh mikroba di dalam rumen (Busquet et al. 2006), dan dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik ransum di dalam rumen. Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa konsentrasi VFA cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba secara optimal yaitu tidak kurang dari 60 mM, hal ini tergantung sumber energi di dalam ransum. Sedangkan Dijkstra et al. (2005) berpendapat bahwa konsentrasi VFA di dalam rumen umumnya berkisar 70-130 mM. Konsentrasi VFA yang dihasilkan ransum perlakuan masih dalam kisaran optimum kadar VFA rumen yaitu 90-126 mM, sehingga dapat dikatakan bahwa ransum cukup fermentabel untuk menyediakan VFA bagi mikroba rumen.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kelima ransum uji memiliki konsentrasi VFA yang berbeda nyata (P<0.05). Ransum R2, R3, dan R1 memiliki konsentrasi VFA yang lebih tinggi dari dua ransum uji lainnya, dimana konsentrasi VFA masing-masing ransum adalah 126.08 mM pada R2, 124.07 mM pada R3, dan 118.69 mM pada R1, sedangkan R4 dan R5 memiliki konsentrasi VFA yang lebih rendah yaitu 104.30 mM dan 91.64 mM. Rendahnya konsentrasi VFA pada R5 diduga akibat karbohidrat dalam ransum sulit didegradasi oleh mikroba rumen. Begitupun sebaliknya dengan keempat ransum uji lainnya yang memiliki konsentrasi VFA yang lebih tinggi. Hal ini dilaporkan oleh Bach et al. (2005), yang menyatakan bahwa peningkatan karbohidat yang mudah terfermentasi akan meningkatkan ketersediaan sumber energi untuk pertumbuhan mikroba yaitu VFA.

Tabel 4 Kualitas ransum berdasarkan kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, NH3, dan VFA ransum dalam rumen

Keterangan: R1: ransum Demo Farm, R2: ransum yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrien dari tabel NRC, R3, R4, dan R5: ransum peternak. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05).

Amonia (NH3)

(28)

Rendahnya konsentrasi amonia pada ransum uji diduga karena ransum memiliki kandungan protein yang sulit didegradasi oleh mikroba rumen menjadi amonia sehingga konsentrasi amonia rumen menjadi rendah. Protein yang terkandung di dalam ransum dan masuk ke dalam rumen, sebagian dapat terdegradasi dan tidak terdegradasi (Triatma et al. 2013). Widiyastuti dan Susanti (2008) berpendapat bahwa pakan yang mudah terfermentasi akan meningkatkan degradasi pakan di dalam rumen, dan dicirikan dengan peningkatan produk fermentasi seperti VFA dan NH3. Protein yang dapat didegradasi akan disintesis

menjadi asam amino dan amonia, sehingga konsentrasi amonia sangat dipengaruhi oleh kandungan protein ransum (Chanthakhoun et al. 2014), sedangkan protein yang tidak dapat didegradasi akan dilanjutkan menuju abomasum melewati rumen sehingga sering kali disebut sebagai protein by pass (Triatma et al. 2013). Konsentrasi amonia pada ransum uji berbanding lurus dengan kandungan protein kasar pada masing-masing ransum uji, hal ini didukung oleh Despal et al. (2011) yang melaporkan bahwa konsentrasi amonia silase rami yang ditambahkan pollard lebih tinggi dibandingkan silase rami yang ditambahkan jagung dikarenakan protein pollard lebih tinggi dari jagung. Hal ini menandakan bahwa konsentrasi amonia sangat dipengaruhi oleh kandungan protein kasar di dalam ransum (Chanthakhoun et al. 2014).

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan pakan merupakan salah satu ukuran yang dapat mempengaruhi kualitas pakan. Kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian pakan yang diserap oleh tubuh ternak dan bagian yang tidak diserap akan diekskresikan bersama feses (McDonald et al. 2002). Kecernaan pakan biasanya dinyatakan berdasarkan bahan kering dan sebagai suatu koefisien atau persentase (%) (Lestari 2012).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kelima ransum uji memiliki kecernaan bahan kering di dalam rumen yang berbeda nyata (P<0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh jenis bahan pakan dan persentase penggunaannya dalam ransum berbeda. R2 memiliki kecernaan yang lebih tinggi dari ransum uji lainnya yaitu sebesar 70.23% kemudian diikuti oleh R3 dan R1 sebesar 68.57% dan 67.54%. Nilai kecernaan bahan kering pada dua ransum peternak lainnya yaitu R4 dan R5 menunjukkan kecernaan bahan kering yang lebih rendah, yaitu 65.79% dan 64.49%. Tingginya kecernaan bahan kering pada R2 diduga karena tingginya aktivitas mikroba rumen, hal ini didukung oleh tingginya konsentrasi VFA dan NH3 yang dihasilkan pada R2, begitu pula sebaliknya dengan R4 dan R5 yang

memiliki kecernaan bahan kering dan VFA lebih rendah dari ransum uji lainnya. Adanya kecernaan bahan kering yang berbanding lurus dengan konsentrasi VFA, menandakan sumber energi mikroba rumen berbanding lurus dengan pertumbuhan dan aktivitas mikroba di dalam rumen sehingga menghasilkan kecernaan bahan kering yang lebih tinggi.

(29)

kandungan protein kasar yang lebih tinggi pada R2. Jayanegara et al. (2006) berpendapat bahwa ransum dengan kandungan protein kasar tinggi dapat mempengaruhi aktivitas mikroba rumen yaitu dapat meningkatkan jumlah bakteri proteolitik dan meningkatkan proses deaminasi sehingga dapat meningkatnya nilai kecernaan bahan organik. Nilai kecernaan bahan organik pada masing-masing ransum secara numerik sejalan dengan kecernaan bahan kering di dalam rumen.

SIMPULAN

(30)

3

UJI KOMPARASI FORMULA RANSUM BERDASARKAN

NRC DENGAN RANSUM PETERNAK LOKAL

SECARA

IN VIVO

PENDAHULUAN

Usaha peningkatan produksi susu sering kali dihadapi dengan permasalahan pakan terutama dari sisi pemenuhan kebutuhan nutrien ternak yang menyebabkan rendahnya produktivitas dan kekuatan persistensi sapi perah di Indonesia. Despal dan Permana (2010) melaporkan bahwa di beberapa koperasi sapi perah di Indonesia selama tahun 2012-2013 seperti di KPSBU, KPBS, KOPSAE, dan KPSP terjadi penurunan populasi dan produksi susu hingga 30%. Angka penurunan ini sangat berpengaruh terhadap persistensi produksi sapi perah Indonesia. Oleh sebab itu diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki ataupun meningkatkan persistensi produksi susu tinggi, salah satunya dengan perbaikan pakan.

Pakan merupakan komponen biaya terbesar dalam usaha peternakan yaitu mencapai 70% dari total biaya usaha, dan sering kali menjadi faktor pembatas dalam usaha peternakan. Permasalahan pakan yang sering dihadapi oleh peternak adalah permasalahan rendahnya ketersediaan pakan (terutama hijauan) berkualitas (Despal et al. 2013) dan tingginya harga pakan, sehingga menjadi fokus utama peternak dalam upaya peningkatan produksi susu dan profitabilitas usaha. Peningkatan produksi susu dengan penggunaan biaya pakan yang rendah dapat memberikan pengaruh besar terhadap pendapatan atau profitabilitas usaha peternak sapi perah. Profitabilitas usaha tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dari produksi susu dan biaya pakan yang dikeluarkan, namun dipengaruhi juga oleh nilai efisiensi reproduksi. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Despal et al. (2013) sebelumnya, menginformasikan bahwa nilai efisiensi reproduksi di Indonesia masih rendah dengan rataan S/C sebesar 2.6. Adanya nilai efisiensi reproduksi yang rendah ini dapat disebabkan oleh faktor pakan yang membatasi pertumbuhan performa dan perkembangan organ reproduksi ternak. Oleh sebab itu diperlukan sistem evaluasi pakan yang dapat menghasilkan formula pakan terbaik yang dapat meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis sehingga dapat meningkatkan profitabilitas usaha.

(31)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian tahap dua adalah membandingkan formula ransum peternak terbaik dengan ransum yang diformulasi berdasarkan NRC sebagai hasil pengujian in vitro sebelumnya secara in vivo, sehingga mendapatkan formula ransum terbaik dengan mempertimbangkan profitabilitas usaha.

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Peternakan Sapi Perah Demo Farm Lembang, Bandung pada bulan September hingga November 2014. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium PAU IPB dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah IPB pada bulan November hingga Desember 2014.

Materi

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Bahan pakan

Bahan pakan yang digunakan dalam ransum uji adalah konsentrat mako, onggok, bungkil kedelai, bungkil kelapa, ampas kecap, ampas tahu, mineral mix, silase jagung, dan rumput gajah.

2. Ternak

Ternak yang digunakan dalam percobaan adalah sembilan ekor sapi perah FH laktasi, yang dikelompokan berdasarkan periode laktasi yaitu laktasi dua, tiga, dan lainnya, dengan bulan laktasi dua, lima, dan enam.

3. Kandang dan alat

Kandang yang digunakan berupa kandang individu. Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital, timbangan kasar, bak pakan, milkcan, gelas ukur, ember, sapu, selang air, saringan, plastik, karung, dan pita ukur.

4. Alat uji kualitas susu (laktoscan).

Metode

Teknik Penyusunan Ransum

Ransum uji diformula sesuai dengan bobot badan ternak yang digunakan dalam penelitian. Bahan pakan selain hijauan ditimbang sesuai dengan formula ransum uji yang disajikan pada Tabel 5 kemudian dicampurkan, dan disiapkan di dalam bak pakan, sedangkan bahan pakan hijauan ditimbang kemudian diberikan langsung dalam bentuk terpisah dengan konsentrat.

Teknik Pemeliharaan (Uji In Vivo)

(32)

Pemberian ransum uji dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan siang hari. Pemberian konsentrat dan hijauan dilakukan terpisah yaitu konsentrat diberikan sekitar pukul 06.00 dan 12.00, sedangkan hijauan diberikan sekitar pukul 08.00 dan 17.00.

Pengukuran Konsumsi Ternak

Pengukuran konsumsi dilakukan dengan menghitung selisih jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan selama pemeliharaan.

Tabel 5 Susunan formulasi ransum uji coba in vivo

Bahan Pakan R1 R2 R3

Konsentrat 50.091 17.408 35.144

Onggok 0.000 24.455 17.572

Ampas tahu 0.000 9.180 5.246

Ampas kecap 0.000 1.932 0.000

Bungkil kelapa 0.000 6.133 0.000

Bungkil kedelai 0.000 7.747 0.000

Mineral mix 0.125 0.415 0.039

Rumput gajah 44.297 32.729 41.999

Silase jagung 5.486 0.000 0.000

Rumput lapang 0.000 0.000 0.000

100.000 100.000 100.000

Keterangan: R1: ransum Demo Farm, R2: ransum yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrien dari tabel NRC, dan R3: ransum peternak. Konsentrat mako merupakan konsentrat yang diproduksi oleh KPSBU.

Pengukuran Produksi Susu

Produksi susu diukur setiap kali melakukan pemerahan, yaitu pagi dan sore hari dengan menggunakan gelas ukur.

Pengukuran Kualitas Susu

Uji kualitas susu meliputi berat jenis, lemak, protein, SNF, dan laktosa susu dilakukan dengan menggunakan laktoscan atau laktodensimeter pada setiap pemerahan susu (pagi dan sore).

Pengukuran Pertambahan Bobot Badan

Pengukuran pertambahan bobot badan ternak dilakukan dengan menghitung selisih bobot badan ternak diakhir dan diawal pemeliharaan.

PBB (kg ekor-1h-1) = (BB akhir pemeliharaan – BB awal pemeliharaan) (kg) lama pemeliharaan (hari)

Penilaian Body Condition Score

(33)

Pengukuran Manure Score

Aspek evaluasi feses yang akan dilakukan yaitu uji saring (pencucian) untuk melihat ada atau tidaknya masalah pencernaan, uji tumpuk untuk melihat konsistensi dari feses yang menggambarkan ternak mengalami diare atau tidak, dan pengamatan warna untuk melihat kemungkinan adanya permasalahan pakan dan pendarahan pada saluran pencernaan (Wells 2013).

Efisiensi Teknis dan Ekonomis

Efisiensi teknis dihitung berdasarkan produksi susu terhadap konsumsi bahan kering ransum, sedangkan efisiensi ekonomis dihitung berdasarkan keuntungan dari produksi susu terhadap biaya ransum yang dikeluarkan. Biaya ransum per liter susu dihitung dari total biaya ransum yang dikeluarkan untuk menghasilkan susu setiap satu liter susu. Efisiensi ransum dihitung dengan menggunakan rumus:

Efisiensi teknis (Linn 2006) = produksi susu

konsumsi bahan kering ransum Efisiensi ekonomis (Casper 2008) = harga susu x produksi susu

biaya ransum Biaya ransum per liter susu (Linn 2006) = biaya ransum

produksi susu

Perlakuan

Perlakuan pada penelitian ini adalah:

R1 : ransum Demo Farm sebagai tempat pengujian in vivo R2 : ransum yang disusun berdasarkan NRC

R3 : ransum peternak lokal terbaik berdasarkan uji in vitro sebelumnya

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan tiga perlakuan, satu ulangan, dan tiga kelompok periode laktasi.

Yij = µ + αi + ßj + εij

Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan pengaruh perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

µ = Nilai rataan umum αi = Efek perlakuan taraf ke-i

ßj = Efek kelompok ke-j

εij = Galat perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

(34)

perbedaan nyata diantara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Pengolahan data menggunakan software statistik SPSS 16.0.

Peubah

Peubah yang diamati adalah konsumsi ternak, manure score, konsumsi nutrien, produksi susu, kualitas susu, performa ternak (pertambahan bobot badan dan body condition score), efisiensi ransum (teknis dan ekonomis), dan harga ransum per liter susu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum

Ransum disusun untuk memenuhi kebutuhan nutrien ternak. Ransum dengan nutrien tinggi tidak akan bernilai jika tidak diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi pula. Sumihati et al. (2011) berpendapat bahwa pada dasarnya tujuan dari konsumsi pakan adalah memenuhi kebutuhan energi, apabila kebutuhan energi telah terpenuhi ternak akan berhenti untuk mengkonsumsi. Namun apabila pakan rendah akan energi (tinggi serat), maka daya tampung (distensi) alat pencernaan, terutama organ fermentatif akan menjadi faktor pembatas terhadap konsumsi pakan (D’Mello 2000). Salah satu penyebab utama sapi perah yang dipelihara oleh peternak lokal tidak mampu berproduksi tinggi sesuai dengan potensi genetiknya ialah permasalahan pakan, baik kuantitas, kualitas, maupun manajemen pemberiannya (Kusnadi dan Juarini 2007).

Pakan sapi perah terdiri dari hijauan yang merupakan sumber serat dan berperan terhadap produksi asam asetat, serta konsentrat yang berperan terhadap produksi asam propionat karena mengandung sumber energi tinggi. Konsentrat yang merupakan sumber energi dan mudah difermentasi di dalam rumen akan berpengaruh terhadap produksi asam propionat. Asam propionat sangat berpengaruh terhadap produksi susu, karena dapat dirombak menjadi glukosa yang berperan dalam sintesis laktosa susu. Laktosa yang memiliki kemampuan menyerap air, sangat yang berperan dalam produksi susu sehingga apabila terjadi peningkatan kandungan laktosa maka produksi susu ikut meningkat (Bath et al. 1985). Pakan yang merupakan sumber nutrien yang dibutuhkan oleh ternak sangat berperan dalam menentukan produksi susu. Konsumsi ternak akan bahan kering hijauan, konsentrat, bahan kering ransum, dan konsumsi bahan kering per bobot badan ternak disajikan pada Tabel 6.

(35)

Tabel 6 Konsumsi ransum dan manure score ternak yang diberi ransum uji

Keterangan: R1: ransum Demo Farm, R2: ransum yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrien dari tabel NRC dan R3: ransum peternak. Angka yang diikuti oleh huruf yang pada baris yang sama menunjukkan ada pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05). 1) Kebutuhan BK (bahan kering) ternak menurut NRC 1988.

bahan kering konsentrat, jumlah konsumsi ternak akan bahan kering konsentrat pada ketiga ransum uji berbeda nyata (P<0.05). Konsumsi bahan kering konsentrat pada R1 lebih rendah dari R2 dan R3. Hal ini dikarenakan rendahnya jumlah konsentrat di dalam ransum R1. Adanya perbedaan jumlah hijauan dan konsentrat yang digunakan dalam ransum uji, mempengaruhi angka imbangan konsumsi bahan kering hijauan dan konsentrat oleh ternak. Imbangan konsumsi bahan kering hijauan dan konsentrat yang ditunjukkan oleh ternak yang diberi ransum R1 adalah 52:48. Hal ini menunjukkan ternak yang diberi R1 cenderung lebih banyak mengkonsumsi hijauan, sedangkan ternak yang diberi R2 dan R3 lebih banyak mengkonsumsi konsentrat. Musnandar (2011) menyatakan bahwa imbangan persentase hijauan dan konsentrat 50:50 merupakan imbangan yang baik karena mampu memberikan nutrient balance ternak yang lebih baik dan saluran pencernaan yang sehat. Sterk et al. (2011) berpendapat bahwa 35:65 merupakan rasio hijauan dan konsentrat terbaik yang dapat meningkatkan kualitas lemak susu dibandingkan rasio 50:50 dan 65:35. Namun Siregar (1992) menyatakan bahwa untuk menghasilkan produksi susu tinggi dengan mempertahankan kadar lemak susu, imbangan yang baik antara hijauan dan konsentrat adalah 60:40. Namun, apabila kualitas hijauan yang diberikan rendah, imbangan berubah menjadi 55:45, dan apabila hijauan yang diberikan berkualitas sedang ataupun tinggi, imbangan dapat menjadi 64:36.

(36)

Hal ini dikarenakan konsumsi bahan kering ransum yang tidak berbeda. Rataan kebutuhan konsumsi bahan kering ternak yang disesuaikan dengan bobot badan dan produksi susu adalah 2.84% pada R1, 2.84% pada R2, dan 2.82% pada R3 (NRC 2001). Konsumsi ternak yang diberi ketiga ransum uji telah memenuhi bahkan melebihi kebutuhan ternak akan bahan kering ransum per bobot badan.

Aspek evaluasi feses dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya masalah pencernaan. Feses dinilai dari satu hingga lima, satu untuk sangat liquid dan lima sangat kering. Wells (2013) berpendapat bahwa selain untuk menduga ada atau tidaknya gangguan pencernaan, manure score pun dapat digunakan untuk mengetahui kondisi ternak mengalami kekurangan atau kelebihan nutrien tanpa harus menunggu adanya perubahan nilai BCS ternak tersebut. Manure scoring dapat mengindikasikan kualitas nutrien yang dikonsumsi ternak selama satu hingga tiga hari sebelumnya, sedangkan BCS dapat mengindikasikan kualitas nutrien yang dikonsumsi selama beberapa minggu hingga bulan sebelumnya (Wells 2013). Adanya pengaruh nutrien ransum terhadap manure score ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Evaluasi feses sapi perah dengan perkiraan kandungan nutrien ransum (Wells 2013)

(37)

Konsumsi Nutrien

Konsumsi nutrien merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menggambarkan kecukupan nutrien. Kandungan nutrien yang terdapat di dalam ransum belum dapat dipastikan seluruhnya masuk ke dalam saluran pencernaan ternak, hal ini dikarenakan adanya ransum yang tidak dikonsumsi oleh ternak itu sendiri. Konsumsi ternak akan nutrien ransum uji disajikan pada Tabel 7.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, jumlah konsumsi ternak akan protein ransum uji R1, R2, dan R3 tidak berbeda nyata. Adanya konsumsi protein yang cenderung lebih tinggi pada R2 dikarenakan kandungan protein kasar di dalam ransum lebih tinggi dari ransum uji lainnya yaitu 16.25%, sedangkan pada R1 dan R3 memiliki kandungan protein kasar sebesar 15.39% dan 13.81%. Rataan protein kasar yang dikonsumsi oleh ternak dalam percobaan ini belum memenuhi kebutuhan protein kasar berdasarkan NRC (2001), ternak yang diberi R1, R2, dan R3 berturut-turut membutuhkan protein kasar sebesar 3.67 kg ekor-1 hari-1, 3.57 kg ekor-1 hari-1, dan 3.76 kg ekor-1 hari-1, namun Coutinho et al. (2014) melaporkan bahwa sapi perah yang mengkonsumsi protein kasar sekitar 3.4-3.9 kg ekor-1 hari-1 mampu menghasilkan susu dengan kualitas yang baik, yaitu susu dengan kandungan protein 3.07-3.17%.

Tabel 7 Konsumsi protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar ransum

Perlakuan Konsumsi (kg ekor

-1

hari-1)

Protein kasar Lemak kasar Serat kasar

R1 3.16 ± 0.44 0.40 ± 0.08a 3.24 ± 0.25

R2 3.47 ± 0.58 0.23 ± 0.01b 3.16 ± 0.36

R3 2.99 ± 0.25 0.36 ± 0.06a 3.75 ± 0.08

Keterangan: R1: ransum Demo Farm, R2: ransum yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrien dari tabel NRC, dan R3: ransum peternak. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05).

(38)

0.23-0.40 kg ekor-1 hari-1, dan kebutuhan lemak kasar pada ternak yang diberi ransum uji R2 belum terpenuhi.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, jumlah konsumsi ternak akan serat kasar pada ketiga ransum uji tidak berbeda nyata. Konsumsi serat kasar yang ditunjukkan oleh ternak yang diberi ransum uji R3 dan R1 cenderung lebih tinggi dari R2. Hal ini dikarenakan rataan kandungan serat kasar pada R3 dan R1 lebih tinggi yaitu 23.71% dan 21.39%, sedangkan pada R2 yaitu 19.85%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah konsumsi nutrien sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrien ransum.

Produksi Susu, Body Condition Score, dan Pertambahan Bobot Badan

Produksi susu erat kaitannya dengan kondisi tubuh ternak. Ternak dengan body condition score (BCS) rendah cenderung mengalami kesulitan untuk reproduksi selanjutnya dan kemudian akan berpengaruh terhadap produksi susu dan persistensinya. Penurunan BCS itu sendiri sering digunakan peternak untuk mengetahui adanya penurunan bobot badan ternak. Produksi susu, body condition score, dan pertambahan bobot badan ternak yang diberi ransum uji ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8 Produksi susu, body score condition, dan pertambahan bobot badan ternak

Peubah R1 R2 R3

Produksi susu (liter ekor-1 hari-1)

Awal 17.03 ± 1.98 16.73 ± 1.74 17.11 ± 1.44

Akhir 17.45 ± 0.13 16.99 ± 1.24 18.01 ± 1.24

BCS

Awal 3.2 ± 0.29 2.7 ± 0.29 3.2 ± 0.29

Akhir 3.3 ± 0.58 2.8 ± 0.29 2.8 ± 0.29

PBB (kg ekor-1 hari-1) 0.64 ± 1.15 0.72 ± 0.43 -0.07 ± 0.70 BB awal 509.67 ± 70.44 497.33 ± 44.28 522.67 ± 17.62 BB akhir 532.00 ± 30.51 522.67 ± 32.33 520.33 ± 22.50

Keterangan: R1: ransum Demo Farm, R2: ransum yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrien dari tabel NRC, dan R3: ransum peternak. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05).

(39)

Gambar 2 Rataan produksi susu sapi yang diberi ransum uji

Adanya peningkatan produksi susu pada ternak yang diberi R2 dan R3, dikarenakan adanya perbaikan kualitas ransum baik secara nutritive dan quantitative, sedangkan peningkatan produksi susu pada ternak yang diberi R1 diduga karena ternak telah terbiasa atau beradaptasi baik untuk mengkonsumsi dan mencerna ransum uji. Ransum uji yang diberikan pada sapi percobaan disesuaikan dengan kebutuhan nutrien ternak (R2) dengan menggunakan tabel kebutuhan nutrien dari NRC dan ransum uji lainnya yang digunakan merupakan ransum terbaik di peternak rakyat (R3). R3 merupakan based practice dari hasil pengamatan Despal (2013) yang menghasilkan informasi status nutrisi sapi perah lokal yang berisikan kumpulan formulasi ransum, produksi susu, periode laktasi, dan kandungan nutrien bahan pakan yang digunakan, sehingga R3 merupakan ransum terbaik berdasarkan informasi kumpulan ransum peternak tersebut. Secara numerik, R3 merupakan ransum yang dapat meningkatkan produksi susu tertinggi. Hal ini diduga akibat adanya penggunaan ampas tahu yang lebih banyak dalam ransum. Laryska dan Nurhajati (2013) melaporkan bahwa ampas tahu dapat meningkatkan produksi susu dibandingkan konsentrat komersil.

(40)

digunakan untuk peningkatan produksi susu. Roche et al. (2007b) berpendapat bahwa disposisi lemak tubuh pada sapi perah laktasi lebih tinggi terjadi pada awal laktasi awal yang digunakan untuk peningkatan produksi susu dan lemak susu. Sedangkan pada R2 adanya perbaikan BCS diikuti peningkatan produksi susu, menunjukkan bahwa nutrien terutama energi yang masuk ke dalam tubuh dialokasikan dengan baik untuk perbaikan kondisi tubuh yang optimal dan produksi susu.

Kondisi tubuh erat kaitannya dengan bobot badan ternak. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam ransum-ransum uji yang diberikan kepada ternak tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi. Adanya penurunan bobot badan pada sapi yang diberi R3 ini diikuti dengan adanya penurunan nilai BCS, hal ini menunjukkan sebagian besar cadangan lemak tubuh digunakan untuk kebutuhan produksi susu. Seperti yang disampaikan oleh Roche et al. (2007a) bahwa sapi perah akan mengalami kehilangan bobot tubuh selama peningkatan produksi susu. Kehilangan bobot badan pun dapat terjadi pada sapi perah laktasi akibat peningkatan kadar lemak dan protein susu, sehingga memberikan efek negatif terhadap performa tubuh (Berry et al. 2007b). Adanya peningkatan bobot badan rata-rata yang lebih tinggi pada sapi yang diberi ransum uji R2 menunjukkan nutrien yang masuk ke dalam tubuh berhasil dicerna dan diserap lebih baik dalam tubuh ternak dibandingkan ransum uji lainnya. Nutrien yang diserap tersebut digunakan dan dialokasikan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan produksi susu, hal ini terlihat pada produksi susu yang dihasilkan oleh sapi yang diberi R2 dan R1 mengalami peningkatan.

Kualitas Susu

Ransum sangat mempengaruhi komposisi dan produksi susu, karena nutrien dalam ransum akan menentukan efektifitas proses nutrisi yang berhubungan dengan sintesis susu dan komponennya (Santos 2002). Komponen kualitas susu yang sering menjadi faktor pembatas dalam standar mutu susu dan diamati dalam penelitian ini antara lain berat jenis, lemak, solid non fat, laktosa, dan protein susu. Kualitas susu yang dihasilkan oleh sapi yang diberi ransum uji (R1, R2, dan R3) disajikan pada Tabel 9.

Berat Jenis Susu

(41)

Tabel 9 Kualitas susu sapi perah yang diberi ransum uji

Keterangan: R1: ransum Demo Farm, R2: ransum yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrien dari tabel NRC, dan R3: ransum peternak. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05). 1) Kualitas susu murni menurut SNI: 3141-1:2011.2) Kualitas susu sapi Friesian Holstain

menurut Ensminger (1991).

Lemak Susu

Berdasarkan hasil analisis covarian, ketiga ransum uji memiliki kandungan lemak susu yang tidak berbeda nyata. Rataan kadar lemak susu yang dihasilkan oleh sapi pada percobaan ini adalah 3.588% pada R1, 2.881% pada R2 dan ternak yang diberi R3 menghasilkan susu dengan kadar lemak 2.921%. Rataan kandungan lemak susu yang dihasilkan oleh ternak yang diberi ransum uji R1, berada diatas standar kualitas susu segar (SNI 2011) yaitu 3%, sedangkan R2 dan R3 masih dibawah syarat mutu susu segar.

Lechartier dan Peyraud (2010) melaporkan bahwa hijauan merupakan sumber serat yang dimanfaatkan oleh sapi perah laktasi untuk mempertahankan kadar lemak susu, sehingga kadar lemak susu sangat dipengaruhi oleh konsumsi serat kasar. Hal ini dikarenakan rendahnya konsumsi serat kasar dapat menyebabkan rendahnya produksi asetat yang merupakan prekursor sintesis lemak susu (Lock dan Van Amburgh 2012). Secara numerik kandungan lemak susu pada ternak yang diberi ransum R2 cenderung lebih rendah dibandingkan ransum uji lainnya, hal ini dikarenakan konsumsi serat kasar pada R2 lebih rendah dari dua ransum uji lainnya. Kadar lemak susu yang dihasilkan oleh ternak yang diberi ransum R1 cenderung lebih tinggi dibandingkan ransum R3, namun konsumsi serat kasar ternak yang diberi ransum R1 lebih rendah dari R3. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh konsumsi lemak yang lebih tinggi pada ternak yang diberi ransum R1, begitu pun dengan ternak yang diberi ransum R2 mengkonsumsi lemak kasar yang lebih rendah dari R3 sehingga kandungan lemak susu pada ternak yang diberi R2 lebih rendah dari ransum uji lain. Selain konsumsi serat kasar, konsumsi lemak kasar merupakan faktor utama yang mempengaruhi kadar lemak susu.

(42)

Solid Non Fat Susu

Lemak susu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kandungan SNF atau bahan kering tanpa lemak. Adhani et al. (2012) menyatakan bahwa peningkatan kandungan SNF susu disebabkan oleh tiga faktor, yaitu penurunan kandungan lemak susu, peningkatan bahan kering susu, dan berat jenis susu.

Berdasarkan hasil analisis covarian, kandungan SNF susu yang dihasilkan oleh ternak yang beri ransum uji tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan ketiga ransum uji tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan lemak susu. Namun secara numerik, rataan kandungan SNF pada R2 lebih tinggi dari ransum uji lainnya yaitu 7.857 diikuti oleh R3 yang memiliki rataan kandungan SNF sebesar 7.777 dan R1 memberikan kandungan SNF susu sebesar 7.484. Syarat mutu SNF susu sapi segar yang tercantum dalam SNI 3141.1:2011 adalah 7.8% (SNI 2011). Sama halnya dengan lemak susu, sapi yang diberi R2 dan R3 belum mampu menghasilkan susu yang memenuhi standar susu segar.

Laktosa Susu

Sumber energi dari pakan yang masuk ke dalam tubuh ternak akan dirombak menjadi glukosa. Sumber glukosa yang didapatkan dari pakan banyak ditemukan pada konsentrat yang akan didegradasi di dalam rumen dan menghasilkan asam propionat. Glukosa merupakan prekursor utama dalam sintesis laktosa susu di sel epitel kelenjar ambing (Aghsaghali dan Fathi 2012). Sebagian glukosa akan mengalami perombakan menjadi glucose-6-phosphate terlebih dahulu kemudian dipecah menjadi galaktosa, adapula yang langsung menjadi komponen laktosa susu (Lock dan Van Amburgh 2012). Pengangkutan glukosa di kelenjar ambing berjalan secara transport aktif dan pasif, kemudian disalurkan ke aliran darah dan meningkatkan konsentrasi glukosa darah dan berpengaruh terhadap sintesis laktosa susu dan sekresi air susu secara osmosis. Sintesis laktosa susu di sel epitel kelenjar ambing merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi susu dan memiliki korelasi positif dengan protein susu (Aghsaghali dan Fathi 2012).

Gambar

Tabel 1 Metode penyusunan ransum uji berdasarkan NRC 1988
Tabel 2 Susunan formula ransum uji coba in vitro
Tabel 5 Susunan formulasi ransum uji coba in vivo
Tabel 6  Konsumsi ransum dan manure score ternak yang diberi ransum uji
+4

Referensi

Dokumen terkait

Van Rijswijk et.al dalam bukunya Natural Fibre Composites (2001) menjelaskan komposit adalah bahan hibrida yang terbuat dari resin polimer diperkuat dengan serat,

Pada sisi kiri dan kanan bejana generator plasma diletakkan sistem elektrode ignitor, yang terdiri dari katode dengan spesifikasi: material katode terbuat dari Mg berbentuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menanamkan kesadaran Pluralisme agama kepada para santri melalui; pertama, penanaman Aqidah Islamiyah yang kuat sebagai pondasi

Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.Padang.. Universitas

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kata-kata dan tindakan yang berkaitan dengan struktur kepribadian tokoh Keke, Ayah, dan Andi berdasarkan tinjauan psikologi

Namun kelemahan terjadi pada proses pendeteksian tangan, dimana gambar yang tertangkap webcam terdapat objek lain selain tangan berwarna sama yang menghasilkan

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam proses pembuatan badik Makassar produksi Daeng Ngawing di Dususn Timporongan Desa Lengkese Kecamatan Mangarabombang Kabupaten

Apabila perusahaan Saudara dinyatakan lulus kualifikasi, maka Saudara dianjurkan untuk menghadiri pemberian penjelasan pada tempat dan waktu yang ditentukan dalam Lembar Data