• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini dari 40 subjek penelitian yang datang dengan keluhan gejala refluks laringofaring didapatkan lebih banyak wanita, yaitu 26 (65%) dan 14 (35%) pria. Hal ini sesuai dengan penelitian Belafsky et al (2001) dari 40 subjek penelitian yang didiagnosis klinis dengan penyakit refluks laringofaring terdapat 73% wanita. Carrau et al. (2004) mendapatkan dari 117 pasien dengan penyakit refluks laringofaring 66,7% adalah wanita. Sebuah penelitian meta-analisis pengukuran pH metri pada pasien dengan penyakit refluks laringofaring dari tahun 1991 dan 2003 oleh Merati et al. (2005) didapatkan dari 291 pasien dengan penyakit refluks laringofaring terdapat 169 wanita (58%).

Penelitian yang dilakukan oleh Siupsinskene, Adamonis & Tohill (2007) mendapatkan dari 136 pasien yang diduga penyakit refluks laringofaring terdapat 74,7% wanita dan 25,3% pria. Mesallam et al. (2007) juga mendapatkan lebih banyak wanita (65%) dengan keluhan refluks laringofaring pada penelitiannya. Walaupun wanita lebih banyak didiagnosis dengan penyakit refluks laringofaring tetapi pada penelitian-penelitian tersebut tidak terdapat perbedaan bermakna antara jenis kelamin dan penyakit refluks laringofaring.

Anderson et al. (2010) melakukan penelitian pada kelompok penyakit refluks laringofaring dengan kelompok yang bukan penyakit refluks laringofaring dan mendapatkan hasil perempuan lebih banyak ditemukan pada grup penyakit refluks laringofaring dengan p=0,004, tetapi tidak terdapat penjelasan terhadap dominasi wanita pada penelitian ini.

Penelitian oleh Xu et al. (2005) menyatakan bahwa stres mempunyai peran penting pada patogenesis dari refluks gastroesofageal. Beberapa studi menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengalami stres dari pada pria (Mumford et al. 2000; Wamala et al. 2007). Menurut Shepherd,seperti yang dikutip oleh Blacker et al.

(1987) menemukan wanita lebih banyak melaporkan keluhan keluhan dan akan mencari pengobatan untuk setiap keluhan ringan yang dirasakannya dibandingkan dengan pria.

Wanita khususnya usia diatas 35 tahun akan mengalami masa perimenopause, yaitu masa dimana mulai terjadi perubahan pada regulasi hormon khususnya penurunan hormon estrogen dan progesteron. Penurunan hormon estrogen dan progesteron mengurangi sekresi mukus yang berfungsi untuk melindungi mukosa dari refluks (Infantino 2008).

Kelompok umur yang terbanyak ditemukan pada penelitian ini adalah kelompok umur 45-64 tahun yaitu sebanyak 20 (50%) subjek penelitian. Penelitian Koufman et al (2001) mendapatkan kasus terbanyak yang menderita refluks laringofaring diatas 40 tahun. Walaupun demikian, banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa umur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian penyakit refluks laringofaring (Carrau et al. 2004; Andersson et al. 2010; Marcum et al. 2011; Saruc et al. 2012).

Selain itu Mumford et al. (2000) mendapatkan tingkat stres bertambah sesuai dengan bertambahnya usia. Song, Jung & Jung (2013) juga mendapatkan pertambahan usia berhubungan dengan tingkat stres yang tinggi. Stres dapat menyebabkan perubahan fungsi traktus gastrointestinal dan persepsi pasien terhadap gejala gastrointestinal (Xu e al. 2005; Song, Jung&Jung, 2013). Mekanisme potensial yang mendasari terjadinya gejala refluks karena rangsangan stres ini adalah paparan asam yang berlebih di esofagus, inhibisi waktu pengosongan lambung, atau stres yang memicu hipersensitivitas (Naliboff et al. 2004).Tingkat stres yang tinggi akan meningkatkan produksi asam lambung dengan cara sistem saraf otonom yang akan menstimulasi saraf vagus melalui persarafan simpatis di hipotalamus akan menghasilkan asetilkolin, kemudian asetikolin akan merangsang histamin untuk menstimulasi sel parietal dalam mensekresi asam (Koufman, Belafsky & Postma 2001)

Tingkat pendidikan pada penelitian di temukan lebih banyak pada yang pendidikan tinggi sebesar 52,5%. Penelitian oleh Andersson et al. (2010) pada pasien refluks laringofaring, didapatkan rata rata pendidikan 12 tahun±4tahun, tetapi hasil ini tidak bermakna secara statistika.

Ross & Wu (1995) menyatakan individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki daya kendali yang lebih besar terhadap kesehatan mereka dan juga memiliki dukungan sosial yang tinggi. Dengan dukungan sosial yang tinggi memungkinkan individu dengan pendidikan tinggi lebih banyak mendapat informasi tentang kesehatan sehingga cenderung untuk mengetahui penyakit yang di deritanya dan mencari pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian ini dimana lebih banyak ditemukan subjek dengan pendidikan tinggi.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa subjek penelitian dengan berat badan normal (BMI 18,5-24,9) sebanyak 19 subjek penelitian (47,5%) diikuti dengan overweight (BMI 25,0-29,9) sebanyak 13 subjek penelitian (32,5%) dan obesitas sebanyak 8 subjek penelitian (20%). Terlihat lebih banyak subjek penelitian dengan berat badan tidak normal (overweight dan obesitas) yaitu 21 subjek penelitian (52,5%). Rerata BMI pada penelitian ini adalah 25,8±4,51. Halum et al. (2005) mendapatkan rerata BMI 27,9±6,42. Wang et al. (2011) menemukan BMI rata rata 22.9±3,2. Lai, Wang & Lin (2008) mendapatkan rerata BMI pada pasien penyakit refluks laringofaring 23,4±3,2. Andersson (2010) mendapatkan rerata BMI 26,1±5,2. Dari beberapa hasil penelitian ini menunjukkan kebanyakan penderita refluks laringofaring tidak mengalami obesitas. Walaupun hasil dari banyak studi menyatakan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya refluks khususnya pada GERD, tetapi tampaknya tidak dengan refluks yang terjadi pada penyakit refluks laringofaring. Penelitian Halum et al (2005) mendapatkan bahwa refluks faringeal tidak berhubungan dengan kenaikan BMI ataupun obesitas.

Penilaian keluhan utama adalah keluhan yang paling mengganggu pasien sehingga mencari pengobatan. Keluhan utama terbanyak yang dirasakan adalah rasa mengganjal di tenggorokan sebanyak 20 (50%) subjek penelitian. Diikuti dengan keluhan banyak dahak di tenggorokan (PND) sebanyak 9 subjek penelitian

(22,5%). Sering mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing/ mendehem dan sukar menelan sebanyak 12,5% serta suara serak sebanyak 2,5% (Tabel4.3).

Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mesallam et al (2007) dimana keluhan yang terbanyak adalah sensasi rasa mengganjal di tenggorokan (37,5%), suara serak (27,5%), heartburn (17,5%), sering mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing/ mendehem (17,5%). Wang et al (2012) mendapatkan keluhan utama adalah rasa menganjal ditenggorokan (29,6%) diikuti dengan throat clearing/ mendehem (27,6%).

Penyakit refluks laringofaring sering tidak terdiagnosis dengan baik, karena gejala yang hampir sama dengan keluhan infeksi laring yang lain. Pasien sering mengabaikan adanya gejala-gejala ini atau tidak merasakan gejala dan pemeriksa sering tidak mendiagnosis penyakit ini. Padahal penyakit refluks laringofaring berhubungan dengan penyakit-penyakit seperti stenosis subglotik, karsinoma laring, contact ulcer, granuloma, nodul pita suara (Koufman, Amin & Panetti 2000). Dari sebuah studi dengan 100 subjek penelitian diatas umur 40 tahun tanpa keluhan suara dan tanpa keluhan menelan atau gejala yang berhubungan dengan GERD didapatkan 64% mempunyai penemuan klinis refluks laringofaring pada pemeriksaan laring (Zucato & Behlau 2012). Hal ini menunjukkan kemungkinan tingginya angka kejadian penyakit refluks laringofaring tetapi sering tidak terdiagnosis.

Sensasi rasa mengganjal di tenggorokan merupakan keluhan utama yang paling banyak karena keluhan ini yang paling mengkhawatirkan yang menyebabkan pasien datang mencari pengobatan. Keluhan ini sering dianggap sebagai gejala awal dari tumor ataupun suatu keganasan. Sebuah studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan sensasi rasa mengganjal ditenggorokan lebih depresi dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Mitchell et al. 2012).

Keluhan utama banyak dahak di tenggorokan serta sering mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing dapat mempengaruhi komunikasi sehingga dapat mengganggu interaksi dalam lingkungan pekerjaan dan sosial (Tamin 2008).

Subjek penelitian yang datang dengan keluhan utama suara serak hanya 1 subjek (2,5%). Berbeda dengan pernyataan Koufman (2000) yang menyatakan setidaknya 50% pasien dengan keluhan saat datang suara serak kemungkinan menderita penyakit refluks laringofaring.

Hal ini dikarenakan karena suara serak pada pasien penyakit refluks laringofaring bersifat hilang timbul (Ford 2005), sehingga keluhan suara serak ini tidak menjadi keluhan utama pasien datang mencari pengobatan. Walaupun begitu pada penelitian ini keluhan suara serak ditemukan pada 28 (70%) subjek penelitian ( Tabel 4.4).

Sementara keluhan lain pada instrumen RSI seperti batuk setelah makan atau berbaring, kesukaran bernafas atau chocking, batuk yang mengganggu serta heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan dan regurgitasi asam tidak ada menjadi keluhan utama dikarenakan keluhan ini tidak spesifik untuk datang ke bagian Telinga, Hidung dan Tenggorok.

Pada penelitian ini didapat keluhan yang paling banyak ditemukan throat clearing/ mendehem (97,5%), rasa mengganjal di tenggorokan (92,5%), batuk menganggu (82,5%), PND (77,5%), heartburn (77,5%), suara serak (70%), sukar menelan (60%), batuk setelah makan atau berbaring (50%), sukar bernafas (47,5%).

Hal ini sesuai dengan American Bronchoesophageal Assosciation seperti yang dikutip oleh Ford (2005), keluhan yang tersering ditemukan oleh pasien dengan penyakit refluks laringofaring adalah throat clearing/ mendehem (98%), suara serak (98%), batuk kronis (97%), rasa mengganjal di tenggorokan (95%), PND (57%). Refluks gastrik menyebabkan berkurangnya mekanosensitivitas dan kemosensitivitas dari mukosa laring karena iritasi asam kronis menyebabkan peningkatan kumpulan bahan-bahan iritan di daerah laring, refleks batuk merupakan

mekanisme adaptif untuk membersihkan laring sehingga menyebabkan pasien mendehem/ throat clearing (Rees & Belafsky,2008)

Heartburn merupakan gejala klinis yang khas pada GERD. Koufman et al, seperti yang dikutip oleh Korkmaz et al (2007) menyatakan perbedaan utama antara pasien penyakit refluks laringofaring dan GERD adalah pasien penyakit refluks laringofaring lebih jarang mengeluhkan heartburn dibandingkan pada pasien GERD. Koufman yang dikutip oleh Ford (2005) menemukan gejala heartburn pada pasien penyakit refluks laringofaring hanya 43%, tetapi pada penelitian ini ditemukan 77,5% subjek penelitian dengan keluhan heartburn. Kondisi ini sangat dimungkinkan berhubungan dengan kelainan yang mungkin juga terjadi di esofagus.

Pada penelitian ini tanda patologis laring yang paling sering di temukan ventrikular obliterasi (97,5%), hipertrofi komisura posterior (95%), edema difus (70%), eritema (70%), edema glottis (62,5%), mukus kental endolaring (60%), edema subglotik (55%) dan granuloma (5%). Hasil ini sama dengan penelitian oleh Lai, Wang & Lin (2008) yang juga menemukan ventrikular obliterasi sebagai tanda patologis laring yang paling sering didapat (78%).

Berbeda dengan penelitian oleh Mesallam et al. (2007) yang mendapatkan eritema yang paling banyak ditemukan yaitu sebesar 85%. Ahmed et al. (2005) mendapatkan eritema dan edema laring merupakan tanda yang paling sering digunakan ahli THT untuk mendiagnosa penyakit refluks laringofaring. Belafsky (2003) juga mendapatkan eritema merupakan tanda patologis laring yang sering didapatkan pada penderita refluks laringofaring. Perbedaan ini disebabkan karena distribusi dari episode refluks laringofaring yang berbeda beda pada setiap individu sehingga menyebabkan variasi dari tanda patologis laring yang di dapat (Ormseth&Wong 1999).

Rerata RSI dari seluruh subjek penelitian yang mengikuti penelitian ini adalah 18.2±4.25, dengan skor RSI terendah 14 dan tertinggi 28 sedangkan untuk skor RFS dengan rerata 10.48 ±3.11, dan skor RFS terendah dan tertinggi masing-masing 5 dan 17 (Tabel 4.6).

Mesallam et al. (2007) mendapatkan hasil RSI terendah 14 dan tertinggi 38 (rata rata 20,2 ±4,6), dan RFS berkisar antara 0 sampai 20 (rata-rata 9,3±4,4). Vardar et al. (2012) mendapatkan hasil rerata RSI 16,6±11,9 dan rerata RFS 10±2,2.

Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, keluhan utama dan BMI dengan skor RFS (p>0.05). Hal ini sesuai dengan penelitian Marcum et al. (2011) yang tidak menemukan korelasi antara umur, jenis kelamin, BMI dalam memprediksi skor RFS. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi mekanisme terjadinya refluks laringofaring.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara RSI dan RFS. Seperti yang kita ketahui sampai saat ini untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit refluks laringofaring menggunakan instrumen RSI dan RFS yang sudah tervalidasi. RSI menggambarkan keluhan pasien sedangkan RFS menggambarkan tanda patologis laring yang di dapat dengan menggunakan nasofaringolaringoskop serat optik lentur dan sampai saat ini masih banyak sentra yang belum memiliki alat nasofaringolaringoskop optik serat lentur.

Penggunaan alat nasofaringolaringoskop serat optik lentur transnasal lebih dianjurkan untuk menilai RFS karena lebih sensitif untuk mengidentifikasi iritasi mukosa laring khususnya bagian posterior dibandingkan dengan larigoskop kaku. Milstein et al. (2005) dalam penelitiannya yang membandingkan pemeriksaan trans nasal laringoskopi serat optik lentur dengan trans oral laringoskopi kaku mendapatkan bahwa laringoskop serat optik lentur lebih sensitif mendeteksi tanda- tanda iritasi laring seperti dinding faring posterior (p<0,01), iritasi interaritenoid (<0,01), iritasi kompleks aritenoid (p<0,01), ventrikular obliterasi (p<0,01) dan pseudosulcus (p<0,01) dibandingkan dengan laringoskop kaku.

Hasil yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah apakah terdapat korelasi antara RSI>13 dan RFS>7 sebagai panduan untuk mendiagnosis penyakit refluks laringofaring.

Pada penelitian ini,data tidak terdisitribusi dengan normal sehingga menggunakan uji korelasi spearman. Dengan menggunakan uji korelasi spearman terlihat tidak ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara RSI dan RFS (p=0,128). Hal ini menunjukkan bahwa makin tinggi skor RSI tidak berarti skor RFS akan semakin tinggi pula. RSI>13 tidak bisa menjadi acuan untuk menentukan apakah RFS>7. Hal ini sesuai dengan penelitian Marcum et al. (2011) yang menyimpulkan RSI tidak dapat memprediksi RFS. Vardar et al. (2012) juga tidak mendapatkan korelasi antara RSI dan RFS .

Hal ini berbeda dengan penelitian oleh Mesallam et al. (2007) dimana didapatkan korelasi yang sangat kuat secara signifikan antara RSI dan RFS (r=0,86; p<0,001). Penelitian oleh Iglesia, Gonzalez dan Gomez (2007) mendapatkan korelasi yang rendah antara RSI dan RFS (r=0,3; p=0,007).

Dari penelitian ini walaupun terdapat 36 (90%) subjek penelitian dengan RFS>7 tapi tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara RSI dan RFS. Hal ini disebabkan karena RSI berdasarkan pada persepsi pasien tentang gejala yang dialaminya dan persepsi sakit setiap individu berbeda. Persepsi sakit yang berbeda ini akan berdampak pada tingkat kecemasan yang berbeda beda terhadap gejala yang dialami. Dengan demikian hipotesis penelitian di tolak.

Oyer, Anderson & Halum (2009) pada penelitiannya mendapatkan kesimpulan bahwa peningkatan kecemasan terhadap gejala-gejala refluks laringofaring dapat membuat peningkatan terhadap skor RSI. Sebagai contoh pada penelitian ini, subjek penelitian dengan skor RSI yang tertinggi 25 didapatkan skor RFS 9, sementara subjek yang lain dengan skor RSI 15 didapatkan skor RFS yang paling tinggi yaitu 17.

Keterbatasan penelitian ini adalah semua subjek penelitian dinilai oleh hanya 1 penilai, sehingga tingkat subjektifitas yang tinggi. Sebaiknya terdapat beberapa penilai dalam menilai masing-masing subjek penelitian, sehingga didapatkan interrater reliability untuk mendapatkan hasil yang lebih objektif.

Dokumen terkait