• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi Antara Reflux Symptom Index (RSI) Dan Reflux Finding Score (RFS) Pada Penderita Dengan Gejala Refluks Laringofaring Di Poliklinik THT- KL RSUP. H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Korelasi Antara Reflux Symptom Index (RSI) Dan Reflux Finding Score (RFS) Pada Penderita Dengan Gejala Refluks Laringofaring Di Poliklinik THT- KL RSUP. H. Adam Malik Medan"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI ANTARA

REFLUX SYMPTOM INDEX

(RSI) DAN

REFLUX

FINDING SCORE

(RFS) PADA PENDERITA DENGAN GEJALA REFLUKS

LARINGOFARING DI POLIKLINIK THT- KL RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Oleh:

dr. RIKA FEBRIYANTI

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KORELASI ANTARA

REFLUX SYMPTOM INDEX

(RSI) DAN

REFLUX

FINDING SCORE (

RFS) PADA PENDERITA DENGAN GEJALA REFLUKS

LARINGOFARING DI POLIKLINIK THT-KL RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk

Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh:

dr. RIKA FEBRIYANTI

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. yang

Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Salawat beserta salam atas junjungan

kita nabi besar Muhammad S.A.W, keluarga dan sahabatnya. Hanya dengan

segala rahmat dan karunia Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,

sehingga tesis ini dapat saya selesaikan.

Tesis dengan judul

KORELASI ANTARA REFLUX SYMPTOM INDEX

DAN REFLUX FINDING SCORE PADA PENDERITA DENGAN GEJALA

PENYAKIT REFLUKS LARINGOFARING DI POLIKLINIK THT-KL RSUP.

H. ADAM MALIK MEDAN ini diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar magister dalam bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari

penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya.

Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah

perbendaharaan ilmu bagi kita semua. Untuk itu perkenankanlah saya

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

Ketua Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Dr. dr. Abd.

Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan kesempatan,

bimbingan, pengarahan dan nasehat baik sebagai Ketua Departemen, guru

bahkan orang tua selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL

FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

(5)

Sp. THT-KL atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan

sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian

maupun pengetahuan umum lainnya.

Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp. THT-KL(K) sebagai ketua

pembimbing tesis saya yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian

serta bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga saya dapat

menyelesaikan tesis magister ini. Saya mengucapkan terimakasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah

diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

dr. Aliandri, Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis saya, yang

telah meluangkan banyak waktunya memberikan petunjuk, bimbingan serta

motivasi dengan penuh kesabaran sehingga tesis ini dapat selesai. Saya

mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas

waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan

penulisan tesis ini.

dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL sebagai anggota

pembimbing tesis saya yang telah banyak memberi bimbingan, motivasi

sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan

terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan

bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis

ini.

dr. Taufik Ashar, MKM yg telah banyak memberi bimbingan dan memberi

bantuan dibidang statistik penelitian di tengah kesibukannya. Saya

mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas

waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan

penulisan tesis ini.

(6)

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr.

Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di

Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang

diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik

di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah

mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau

pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa

pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr.

Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu

Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar

Haryuna Sp.THT-KL, yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu

kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai

selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas

Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan,

Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Askaroellah

Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K),

dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr.

T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr.

Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, almh dr. Hafni,Sp.THT-KL(K), dr. Ida

Sjailandrawati Harahap, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina

A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M.

Rambe, KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M. Ked (ORL-HNS),

(7)

KL, dr. Farhat, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar

Haryuna Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M. Ked

(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M. Ked (ORL-HNS),

Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan

Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL, serta para supervisor di rumah sakit jejaring.

Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Sembah sujud dan ucapan terima kasih saya kepada orang tua saya

tercinta Ayahanda Ramlan dan Ibunda Hj Rosfanidar, S.Sos yang selalu

berdoa, memberi semangat dan telah memberikan tuntunan kepada saya

untuk mengisi kehidupan ini dengan penuh ikhlas. Terima kasih telah

mengasuh, membesarkan, mendidik, mengajar, dan membimbing saya sejak

kecil dengan penuh kasih sayang dan kesabaran yang begitu tulus. Doa

ananda

semoga

Allah

SWT

menghapuskan

segala

dosa

dan

melipatgandakan segala amal kebaikan ayahanda dan ibunda.

Kepada kedua mertua saya Rahimar Sikumbang dan Jasmaniar

Chaniago, yang selalu mendorong saya untuk tetap bersemangat dalam

menyelesaikan pendidikan ini. Atas segala pengertian dari Ayahanda dan

Ibunda semoga Allah SWT memberi balasan, kebaikan berlipat ganda, dan

diampunkan segala dosa.

(8)

Kepada saudara-saudara saya tercinta, Adinda M. Hirdansyah, Amd,

Denny Prasutyo, S.Kom, M. Indra Syahputra, SP, M. Arif Munandar dan M.

Afif Munandar, penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih

sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada

penulis.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan saya ucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala

kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga

segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama

mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari

Allah SWT. Amin.

Medan, Januari 2014

Penulis

(9)

ABSTRAK

Latar Belakang:

Penyakit refluks laringofaring sangat penting untuk dikenali

dimana jika tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup dan menjadi

penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat

mengancam nyawa. Gejala dan tanda penyakit refluks laringofaring yang

tidak spesifik menyebabkan penyakit ini sering tidak terdiagnosis. Penilaian

Reflux Symptom Index

(RSI) dan

Reflux Finding Score

(RFS) dapat

membantu penegakan diagnosis penyakit refluks laringofaring dengan RSI

>13 dan RFS >7 diduga sebagai penyakit refluks laringofaring. RSI dinilai

berdasarkan

keluhan

pasien

sedangkan RFS

dinilai

berdasarkan

pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur.

Tujuan:

Mengetahui korelasi antara RSI dan RFS pada penderita dengan

gejala refluks laringofaring

Metode:

Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dimana dari April

2013 hingga Januari 2014 didapatkan 40 subjek penelitian dengan RSI>13

dan dilakukan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur untuk

menilai RFS.

Hasil: Dari 40 subjek penelitian ditemukan wanita 26(65%) dan laki laki

14(35%). Kelompok umur terbanyak 45-64 tahun sebanyak 20 subjek (50%)

dan kebanyakan berpendidikan tinggi sebanyak 21(52,5%). Rerata BMI

25,8±4,51 dan lebih banyak subjek dengan

overweight

dan obesitas (52,5%).

Keluhan utama yang terbanyak adalah rasa mengganjal di tenggorokan

ditemukan pada 20 subjek (50%). Keluhan yang paling sering di temukan

adalah mendehem/ throat clearing (97,5%). Tanda patologis laring yang

paling sering di temukan adalah ventrikular obliterasi(97,5%). Rerata RSI

18,2±4,25 dan RFS 10,48±3,11. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna

antara jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, BMI, keluhan utama dengan

RFS (p>0,05). Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara RSI dan RFS

(p=0,128).

Kesimpulan: RSI tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan RFS.

Skor RSI tidak dapat memprediksi skor RFS. Pasien dengan gejala refluks

laringofaring

dengan

RSI>13

harus

dilakukan

pemeriksaan

nasofaringolaringoskopi optik serat lentur untuk melihat skor RFS.

(10)

ABSTRACT

Background: Laryngopharyngeal reflux disease is crucial to be recognized or

otherwise may impact qualiy of life and lead to aerodigestive tract diseases

that can be life-threatening. The symptoms and signs of this disease tend to

be vague and unspecific which can potentially be missed and stay

undiagnosed. Both RSI and RFS assessments are able to help the diagnosis

of laryngopharyngeal reflux disease with RSI > 13 and RFS > 7 as suspected

laryngopharyngeal reflux disease. RSI scores assessed based on the

analysis of patient complaints while RFS scores assessed based on the

flexible fiber-optic nasopharyngolaryngoscopy examination.

Purpose: To determine the correlation between RSI and RFS in the patients

with laryngopharyngeal reflux symptoms.

Methode:

This study used a cross-sectional study in which 40 subjects

obtained with RSI > 13 from April 2013 until Januari 2014 and flexible

fiber-optic nasopharyngolaryngoscopy was performed in order to assess RFS.

Result: 26 women (65%) and 14 men (35%) were obtained from 40 subjects.

The largest age group were between 45-64 years old in 20 subjects (50%)

and the most highly educated participants were 21 subjects (52.5 %). The

mean BMI = 25.8 and mostly overweight and obesity (52,5%). The most main

complaint was globus sensation in 20 subjects (50%). The most common

complaint was throat clearing (97.5 %). The mean RSI = 18.2 and RFS =

10.48. No significant differentiation between gender, age, level of education,

BMI, and main complaint with RFS scores found. No significant correlation

between the RSI and RFS scores found.

Conclusion:

RSI have no significant correlation with RFS.

RSI scores are

not able to predict RFS scores. The patients who possess laryngopharyngeal

reflux symptoms with RSI > 13 should be inspected by flexible fiber-optic

nasopharyngolaryngoscopy in order to assess RFS scores.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...

i

ABSTRAK ………

vi

ABSTRACT ……….

vii

DAFTAR ISI ……….

viii

DAFTAR TABEL ……….

x

DAFTAR GAMBAR ………

xi

DAFTAR SINGKATAN………

xii

BAB 1.

Pendahuluan ………..

1

1.1

Latar Belakang ………

1

1.2

Perumusan Masalah……….

3

1.3 Tujuan

Penelitian……….

3

1.4

Manfaat Penelitian………...

5

BAB 2.

Tinjauan Pustaka………

6

2.1

Penyakit Refluks Laringofaring………

6

2.1.1 Kekerapan……….

7

2.1.2 Komponen

refluks……….

7

2.1.3 Mekanisme proteksi……….

8

2.1.4 Patofisiologi………..

11

2.1.5 Diagnosis penyakit refluks laringofaring………..

13

2.1.6 Penatalaksanaan………..

19

2.3

Kerangka

Teori………

22

2.4

Kerangka Konsep………

23

2.5

Hipotesa Penelitian………

23

BAB 3.

Metodologi Penelitian………

24

3.1

Jenis Penelitian……….

24

(12)

Penelitian……….

3.3.1 Populasi………

24

3.3.2 Subjek penelitian……….

24

3.3.3 Besar subjek penelitian………

25

3.3.4Teknik pengambilan subjek penelitian………

25

3.4

Variabel Penelitian……….

26

3.5

Definisi Operasional………..

26

3.6

Alat dan Bahan Penelitian………

28

3.7

Cara Kerja………

28

3.8

Teknik

Pengumpulan Data………

29

3.9

Analisis Data………

29

3.10

Kerangka Kerja………

30

BAB 4.

Hasil Penelitian………..

31

BAB 5.

Pembahasan………

37

BAB 6 Kesimpulan dan

Saran……….

46

6.1

6.2

Kesimpulan………...

Saran ………

46

47

DAFTAR PUSTAKA………..

48

PERSONALIA PENELITIAN……….

54

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1

Reflux Symptom Index

(RSI)………...

14

Tabel 2.2

Reflux Finding Score

(RFS) ………

15

Tabel 4.1

Karakteristik subjek penelitian ……….

31

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks

laringofaring berdasarkan

Body Mass Index

(BMI)………

32

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks

laringoaring berdasrkan keluhan utama ……….

32

Tabel 4.4 Distribusi

frekuensi

penderita

dengan

gejala

refluks

laringofaring berdasarkan keluhan yang dirasakan………

33

Tabel 4.5 Distribusi

frekuensi

penderita

dengan

gejala

refluks

laringofaring berdasarkan tanda patologis laring yang didapat..

34

Tabel 4.6

Rerata RSI dan RFS……….

34

Tabel 4.7 Distribusi

frekuensi

penderita

dengan

gejala

refluks

laringofaring berdasarkan RFS ………..

35

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Pseudosulcus vokalis……….

16

Gambar 2.2

Ventrikular obliterasi………

16

Gambar 2.3

Eritemia/ hyperemia………

17

Gambar 2.4

Edema pita suara………

17

Gambar 2.5

Edema laring………

17

Gambar 2.6

Hipertrofi komisura posterior……….

18

Gambar 2.7

Granuloma………

18

Gambar 2.8

Mukus kental endolaring………

18

Gambar 2.9

Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit

refluks laringofaring berdasarkan American Medical

Association………..

21

Gambar 2.10

Kerangka Teori………

22

Gambar 2.11

Kerangka Konsep………

23

Gambar 3.1

Kerangka Kerja………

30

(15)

DAFTAR SINGKATAN

BMI

:

Body Mass Index

GERD

:

Gastroesophageal Reflux Disease

LES

:

Lower Esophageal Sphincter

PND

:

Post Nasal Drip

RFS

:

Reflux Finding Score

RSI

:

Reflux Symptom Index

(16)

ABSTRAK

Latar Belakang:

Penyakit refluks laringofaring sangat penting untuk dikenali

dimana jika tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup dan menjadi

penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat

mengancam nyawa. Gejala dan tanda penyakit refluks laringofaring yang

tidak spesifik menyebabkan penyakit ini sering tidak terdiagnosis. Penilaian

Reflux Symptom Index

(RSI) dan

Reflux Finding Score

(RFS) dapat

membantu penegakan diagnosis penyakit refluks laringofaring dengan RSI

>13 dan RFS >7 diduga sebagai penyakit refluks laringofaring. RSI dinilai

berdasarkan

keluhan

pasien

sedangkan RFS

dinilai

berdasarkan

pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur.

Tujuan:

Mengetahui korelasi antara RSI dan RFS pada penderita dengan

gejala refluks laringofaring

Metode:

Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dimana dari April

2013 hingga Januari 2014 didapatkan 40 subjek penelitian dengan RSI>13

dan dilakukan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur untuk

menilai RFS.

Hasil: Dari 40 subjek penelitian ditemukan wanita 26(65%) dan laki laki

14(35%). Kelompok umur terbanyak 45-64 tahun sebanyak 20 subjek (50%)

dan kebanyakan berpendidikan tinggi sebanyak 21(52,5%). Rerata BMI

25,8±4,51 dan lebih banyak subjek dengan

overweight

dan obesitas (52,5%).

Keluhan utama yang terbanyak adalah rasa mengganjal di tenggorokan

ditemukan pada 20 subjek (50%). Keluhan yang paling sering di temukan

adalah mendehem/ throat clearing (97,5%). Tanda patologis laring yang

paling sering di temukan adalah ventrikular obliterasi(97,5%). Rerata RSI

18,2±4,25 dan RFS 10,48±3,11. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna

antara jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, BMI, keluhan utama dengan

RFS (p>0,05). Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara RSI dan RFS

(p=0,128).

Kesimpulan: RSI tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan RFS.

Skor RSI tidak dapat memprediksi skor RFS. Pasien dengan gejala refluks

laringofaring

dengan

RSI>13

harus

dilakukan

pemeriksaan

nasofaringolaringoskopi optik serat lentur untuk melihat skor RFS.

(17)

ABSTRACT

Background: Laryngopharyngeal reflux disease is crucial to be recognized or

otherwise may impact qualiy of life and lead to aerodigestive tract diseases

that can be life-threatening. The symptoms and signs of this disease tend to

be vague and unspecific which can potentially be missed and stay

undiagnosed. Both RSI and RFS assessments are able to help the diagnosis

of laryngopharyngeal reflux disease with RSI > 13 and RFS > 7 as suspected

laryngopharyngeal reflux disease. RSI scores assessed based on the

analysis of patient complaints while RFS scores assessed based on the

flexible fiber-optic nasopharyngolaryngoscopy examination.

Purpose: To determine the correlation between RSI and RFS in the patients

with laryngopharyngeal reflux symptoms.

Methode:

This study used a cross-sectional study in which 40 subjects

obtained with RSI > 13 from April 2013 until Januari 2014 and flexible

fiber-optic nasopharyngolaryngoscopy was performed in order to assess RFS.

Result: 26 women (65%) and 14 men (35%) were obtained from 40 subjects.

The largest age group were between 45-64 years old in 20 subjects (50%)

and the most highly educated participants were 21 subjects (52.5 %). The

mean BMI = 25.8 and mostly overweight and obesity (52,5%). The most main

complaint was globus sensation in 20 subjects (50%). The most common

complaint was throat clearing (97.5 %). The mean RSI = 18.2 and RFS =

10.48. No significant differentiation between gender, age, level of education,

BMI, and main complaint with RFS scores found. No significant correlation

between the RSI and RFS scores found.

Conclusion:

RSI have no significant correlation with RFS.

RSI scores are

not able to predict RFS scores. The patients who possess laryngopharyngeal

reflux symptoms with RSI > 13 should be inspected by flexible fiber-optic

nasopharyngolaryngoscopy in order to assess RFS scores.

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Refluks dari asam lambung ke esofagus telah lama dikenal sebagai Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), hingga tahun 1968 refluks dari asam lambung diketahui sebagai penyebab laringitis, yang sekarang dikenal sebagai refluks laringofaring (Lenderking et al. 2003). Penyakit refluks laringofaring merupakan varian ekstraesofageal dari GERD yang sedang meningkat pada 4 dekade terakhir (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

Koufman, Amin & Panetti (2000) melaporkan bahwa 50% pasien dengan gangguan suara menderita penyakit refluks laringofaring. Belafsky & Rees (2007) menyatakan hampir 35% orang dewasa mempunyai gejala yang diduga refluks laringofaring. Altman pada tahun 2005 seperti yang dikutip oleh Koufman (2011) melaporkan kunjungan ke dokter spesialis THT dengan keluhan refluks laringofaring meningkat hampir 500% dari tahun 1990-2001.

Penyakit refluks laringofaring disebabkan adanya aliran balik atau refluks cairan lambung ke daerah laringofaring yang terjadi karena rusaknya barrier fisiologis yang dapat menghalangi refluks ke daerah laringofaring. Barrier itu adalah sfingter bawah esofagus atau Lower Esophageal Sphincter yang disingkat dengan LES, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya gravitasi (esophageal clearance), resistensi mukosa esofagus, sfingter atas esofagus atau Upper Esophageal Sphincter yang disingkat dengan UES (Ford 2005).

(19)

mempunyai proteksi terhadap refluks khususnya asam dan pepsin, karena tidak diproteksi oleh bicarbonate saliva, endogenous tissue buffering ataupun peristaltis seperti halnya esofagus. (Rees & Belafsky 2008; Vardar et al. 2012).

Prevalensi penyakit refluks laringofaring sendiri masih sedikit dipublikasikan, terutama karena standar baku emas yaitu pengukuran pH metri untuk mendiagnosis penyakit refluks laringofaring yang masih belum disepakati (Kotby et al. 2010). Sampai saat ini pemeriksaan pH metri dianggap sebagai baku emas diagnosis penyakit refluks laringofaring. Tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari ideal sebagai baku emas dengan sensitivitas dan spesifitas yang hanya 50-60%, banyaknya pasien yang tidak dapat bertoleransi terhadap prosedur pemeriksaan, serta ketersediaan alat yang terbatas (Knight 2005).

Gejala dan tanda penyakit refluks laringofaring tidak spesifik, sehingga sering tidak terdiagnosis. Walaupun begitu sangat penting untuk dapat mengenali penyakit refluks laringofaring dimana jika tidak terdiagnosis dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di saluran nafas dan saluran cerna yang dapat mengancam nyawa (Cohen et al. 2002; Ford 2005)

Sampai saat ini, gejala klinis serta pemeriksaan laring dengan nasofaringolaringoskop serat optik lentur digunakan sebagai modalitas untuk mendiagnosis penyakit refluks laringofaring oleh para ahli THT (Vardar et al. 2012). Untuk penilaian atas gejala pasien, Belafsky, Postma & Koufman (2002) membuat indeks gejala refluks atau Reflux Symptom Index (RSI) yang terdiri dari sembilan komponen indeks gejala. Skala untuk setiap komponen bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan 5 (keluhan berat) dengan skor total maksimum 45. RSI dengan nilai > 13 diduga penyakit refluks laringofaring.

(20)

lentur. Skala ini bervariasi dari 0 (tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 (nilai yang terburuk) dan RFS > 7 menunjukkan dugaan penyakit refluks laringofaring (Belafsky, Postma & Koufman 2001).

Penilaian Reflux Finding Score (RFS) dengan menggunakan alat nasofaringolaringoskop serat optik lentur ini merupakan permasalahan karena tidak semua sentra mempunyai alat ini. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui korelasi antara Reflux Symptom Index yang berdasarkan atas keluhan yang dirasakan oleh pasien dan Reflux Finding Score yang didasarkan pada pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur pada pasien dengan gejala refluks laringofaring di poliklinik THT RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu bagaimana korelasi antara RSI dan RFS penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP.H.Adam Malik Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui korelasi antara RSI dan RFS penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP.H.Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan khusus

(21)

2. Mengetahui distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan umur di poliklinik THT-KL RSUP.H.Adam Malik Medan.

3. Mengetahui distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan tingkat pendidikan di poliklinik THT-KL RSUP.H.Adam Malik Medan.

4. Mengetahui distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI) di poliklinik THT-KL RSUP.H.Adam Malik Medan.

5. Mengetahui distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan keluhan utama di poliklinik THT-KL RSUP.H.Adam Malik Medan.

6. Mengetahui distribusi frekuensi keluhan yang ditemukan pada penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

7. Mengetahui distribusi frekuensi tanda patologis laring yang ditemukan pada penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

8. Mengetahui rata-rata skor RSI pada pasien dengan gejala penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP H.Adam Malik Medan.

9. Mengetahui rata-rata skor RFS pada pasien dengan gejala refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP.H.Adam Malik Medan.

10. Mengetahui perbedaan karakteristik penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan RFS di poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain :

(22)

refluks laringofaring tanpa menggunakan nilai RFS yang menggunakan alat nasofaringolaringoskop serat optik lentur. Hal ini berguna untuk membantu penegakan diagnosis penyakit refluks laringofaring di daerah yang tidak mempunyai alat nasofaringolaringoskopi serat optik lentur.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Refluks Laringofaring

Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring, faring, trakea dan bronkus. Refluks asam yang mengenai laring pertama kali dipublikasikan oleh majalah Otolaryngology pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang dikutip oleh Alberto (2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan granulasi pada laring akibat adanya paparan cairan asam lambung.Istilah refluks laringofaring sendiri dicetuskan oleh Koufman pada tahun 1991 (Alberto 2008). Refluks laringofaring disebut juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical reflux disease (Belafsky & Rees 2007).

Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). TLESR dirangsang oleh distensi lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch receptor pada dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang dimediasi oleh nervus vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen vagal ke sfingter bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory interneuron yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara yang tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara independen dari proses menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah kontraksi dari sfingter bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi pada postprandial dan posisi upright (Andersson 2009).

2.1.1 Kekerapan

(24)

pasien yang mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari

refluks laringofaring.

Dari penelitian Belafsky et al. (2001) didapatkan rata-rata umur dari pasien

dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73% adalah wanita, nilai

rata-rata RFS 11,5±5,2 dan nilai rata-rata-rata-rata RSI 19,3 ±8,9. Carrau et al. (2004)

mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring 48 tahun

dimana 66,7% adalah wanita. Belafsky et al. (2002) mendapatkan rata-rata

umur penderita refluks laringofaring 57 tahun, dimana 56% adalah pria,

rata-rata nilai RSI 20,9 ± 9,6.

2.1.2 Komponen refluks

Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di

daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan

asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang

berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan

pada hewan secara

in vitro

menunjukkan pepsin menjadi aktif dan

menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6 ( Andersson 2009).

Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan.

Mayoritas dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan

sama pada orang normal dan pasien laringitis. Refleks yang berbentuk

campuran gas dan cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan

penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita penyakit refluks

laringofaring (Andersson 2009).

2.1.3 Mekanisme proteksi.

(25)

Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan baik antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi serta mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan, sfingter bawah esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari sistem saraf pusat. Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan hormon. Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer disebabkan karena adanya aktifitas otot polos intrinsik. Inervasi otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain dapat membuktikan adanya neurotransmiter α adrenergic dan β blocker dalam meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade α adrenergic dan stimulasi β adrenergic akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus (Kahrilas 2003).

Peranan hormon dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi perdebatan yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin menyebabkan penurunan sebesar 80% pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang masuk. Pengasaman lambung dan makanan yang mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus (Kahrilas 2003).

(26)

Refleks vasovagal disusun oleh mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan dibatang otak dan eferen di sfingter bawah esofagus yang mengatur TLESR. Distensi abdomen (post prandial atau karena pengosongan lambung yang abnormal atau pada saat menelan udara) merupakan stimulus TLESR. Posisi yang menyebabkan letak gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan udara di lambung juga diduga menyebabkan terjadinya refluks. Faktor lain yang mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung adalah gerakan, ketegangan, obesitas, volume yang berlebihan atau makanan yang hiperosmolar dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006; Andersson 2009)

Menurut Lipan, Reidenberg & Laitman (2006), episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter bawah esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah, (2) relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan dan (3) peningkatan sementara tekanan intraabdomen di lambung atau kombinasi antara (1) dan (2).

Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized yang terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam adalah pembersihan zat asam intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post epitel. Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan lapisan cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana menjadi basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah dibandingkan pada lambung maupun duodenum (Orlando 2006)

(27)

ion HCO3-. Ion Na+ yang berikatan dengan Cl- atau ion HCO3- akan bertukar tempat di basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar ke sel cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan diperbaiki melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu oleh hormon epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam (Orlando 2006).

Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa karbonik anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan ekstrasel esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jaringan serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi dari karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan epitel (Koufman et al. 2006; Ford 2005)

Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian kecil serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan pertahanan utama terhadap terjadinya refluks laringofaring (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

(28)

dapat meningkatkan tekanan sfingter atas esofagus yaitu saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal breathing dan saat melakukan valsava (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat terjadinya hambatan pada lower motor neuron di batang otak yang mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu oleh posisi elevasi laring kearah anterosuperior (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006). 2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi refluks laringofaring terjadi karena rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke dalam saluran pernafasan atas yaitu sfingter bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa esofagus dan sfingter atas esofagus (Ford 2005)

Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal. Yang pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal ini mungkin saling berhubungan. Gejala yang timbul karena trauma mukosa langsung atau kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk ( Andersson 2009).

(29)

Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit refluks laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al. (2002) menyatakan satu kali refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal ini berdasarkan penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama 1 minggu sudah dapat menyebabkan kerusakan mukosa laring.

2.1.5 Diagnosis penyakit refluks laringofaring

a. Anamnesis

Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip oleh Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari hasil anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing (98%), batuk yang terus mengganggu (97%), perasaan mengganjal di tenggorok (95%) dan suara parau (95%).

b. Gejala Klinis

(30)
[image:30.612.114.529.142.537.2]

Tabel 2.1. Reflux Symptom Index (RSI)

Reflux Symptom Index (RSI)

Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita

0 = tidak, 5 = sangat berat

1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5

2 Clearing your throat (sering mengeluarkan lender tenggorok/ mendehem)

0 1 2 3 4 5

3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5

4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5

5 Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5

6 Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5

7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5

8 Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5

9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan, regurgitasi asam

0 1 2 3 4 5

Sumber : Belafsky et al ( 2002)

(31)
[image:31.612.114.512.252.703.2]

Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks laringofaring, Belafsky juga memperkenalkan skor refluks seperti yang dikutip oleh Tamin (2008), yaitu Reflux Finding Score (RFS). RFS merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur ( Tamin 2008).

Tabel 2.2. Reflux Finding Score (RFS)

Reflux Finding Score (RFS)

Edema Subglotik / pseudosulcus vokalis 0 = tidak ada

2 = ada

Ventrikular obliterasi 2 = parsial

4 = komplit

Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid

4 = difus

Edema pita suara 1 = ringan

2 = moderat

3 = berat

Edema laring difus 1 = ringan

2 = moderat

3 = berat

4 = obstructing

Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan

2 = moderat

3 = berat

4 = obstructing

(32)

2 = ada

Mukus kental endolaring 0 = tidak ada

2 = ada

Sumber : Belafsky et al ( 2001)

Skala ini bervariasi dari nilai 0 (tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai yang terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian yang dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks (Tamin 2008).

Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi laring posterior sebesar 85%. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al (2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan pseudosulcus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga ke daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar.

[image:32.612.112.512.114.185.2]

Gambar 2.1 Pseudosulcus vokalis (Pham 2009)

(33)
[image:33.612.173.503.222.327.2]

Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria. Keadaan lain seperti ventrikular obliterasi ditemukan sebanyak 80% akibat terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti tampak pada gambar (Belafsky etal. 2002).

[image:33.612.179.382.352.502.2]

Gambar 2.3 Eritemia/ hiperemia (Pham 2009)

Gambar 2.4: Edema pita suara (Pham 2009)

[image:33.612.206.479.543.650.2]
(34)
[image:34.612.198.419.247.371.2]

Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya mengenai aritenoid mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring skor 4. Edema ringan atau slight swelling pita suara skor 1, bila edema tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan bentuk pita suara sudah tidak halus atau polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4 (Belafsky et al. 2002)

[image:34.612.184.426.418.508.2]

Gambar 2.6 Hipertrofi komisura posterior (Pham 2009)

Gambar 2.7 Granuloma (Pham 2009)

[image:34.612.203.430.553.666.2]
(35)

Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang jelas dengan sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian terakhir berupa ada tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka skor 2 (Belafsky et al. 2002).

c. Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling dapat dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esofagus dengan bantuan manometri. (Andersson 2009; Merati et al. 2005)

Walaupun dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes yang ideal dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari tes ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas ( Knight 2005).

d. Tes PPI

(36)

2.1.6 Penatalaksanaan

(37)

Gambar 2.9 Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring berdasarkan American Medical Association (Ford, 2005)

Penilaian Awal

Pasien dengan refluks laringofaring

Reflux Symptom Index (Riwayat Gejala) > 13 dan Reflux Finding Score (Laringoskopi) > 7

Uji Terapeutik Empiris Pola Hidup

Diet

Penilaian selama 3 bulan

Gejala Membaik

Peningkatan dosis PPI Lanjutkan Modifikasi Pola

Hidup dan Diet

Gejala Tetap atau Memburuk Gejala Teratasi

Terapi PPI Titrat

Penilaian selama 6 bulan

Gejala Teratasi

Gejala Tidak Teratasi

Terapi PPI Titrat

Penilaian Definitif

[image:37.612.142.535.74.639.2]
(38)
[image:38.612.96.555.108.688.2]

2.2 Kerangka Teori

Gambar 2.10 Kerangka teori Cairan Lambung

Sfingter atas dan bawah esofagus

Resistensi mukosa esofagus

Fungsi motorik mukosa esofagus

Refluks laringofaring

Tanda patologis laring (RFS) :

1. Edema subglotik/ pseusdosulcus vocalis 2. Ventricular obliterasi 3. Eritemia / hyperemia 4. Edema pita suara 5. Edema laring difus

6. Hipertrofi komisura posterior 7. Granuloma/ jaringan granulasi 8. Mukus kental endolaring Gejala Klinis (RSI):

1. Suara serak 2. Throat clearing

3. Mucus berlebih / post nasal drip 4. Kesukaran menelan

5. Batuk setelah makan/ berbaring 6. Kesukaran bernafas/ chocking 7. Batuk yang mengganggu 8. Rasa mengganjal di tenggorok 9. Heartburn, rasa nyeri didada,

gangguan pencernaan, regurgitasi asam

 pH metry  Tes PPI (+)

Penyakit Refluks laringofaring

Perubahan pola hidup Diet

(39)
[image:39.612.166.504.186.362.2]

2. 2 Kerangka Konsep

Gambar 2.11 Kerangka konsep

2.3 Hipotesa Penelitian

Terdapat korelasi antara nilai RSI dan nilai RFS pada penderita refluks laringofaring.

RSI RFS

-Umur

-Jenis kelamin

(40)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi potong lintang yang bersifat analitik yaitu untuk mengetahui korelasi RSI dan RFS.

3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik THT-KL Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dari bulan April 2013 sampai Januari 2014.

3.3 Populasi, Subjek Dan Besar Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi adalah penderita dengan salah satu atau lebih gejala penyakit refluks laringofaring yaitu suara serak, berdehem (throat clearing), post nasal drip, kesukaran menelan, batuk yang mengganggu, batuk setelah makan atau berbaring, terasa mengganjal ditenggorokan, kesukaran bernafas/ chocking, regurgitasi asam yang datang ke poliklnik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3.2 Subjek penelitian

(41)

Kriteria inklusi :

a. Subjek dengan keluhan refluks laringofaring dengan RSI >13

b. Usia

18 tahun

c.Bersedia ikut dalam seluruh proses penelitian dan memberikan persetujuan

secara tertulis setelah mendapat penjelasan (

informed consent

)

Kriteria eksklusi :

a. Subjek dengan diagnosis kelainan paru kronis seperti asma, penyakit paru obstruktif kronis, TB paru, perokok.

b. Subjek dengan penyakit laring seperti polip, nodul, paralisa pita suara, karsinoma c. Subjek yang pernah mendapat radioterapi atau operasi didaerah leher

d. Subjek yang sedang mendapat pengobatan dengan PPI

3.3.3. Besar subjek penelitian

Penentuan jumlah besar subjek penelitian dengan menggunakan rumus

[ [( ) ]]

Keterangan :

n = jumlah subjek minimal

α = kesalahan tipe I ditetapkan 5% , maka Zα = 1,96

β = kesalahan tipe II ditetapkan 20%, maka Zβ = 0,842

r =nilai koefisien korelasi dari survey pendahuluan terhadap 11

responden = 0,64

(42)

3.3.4 Teknik pengambilan subjek penelitian

Pengambilan subjek penelitian penelitian diambil secara non probability consecutive sampling dimana setiap subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sehingga jumlah subjek penelitian yang diperlukan terpenuhi.

3.4 Variabel Penelitian

 Variabel Independen : RSI, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keluhan utama, BMI.

 Variabel dependen : RFS

3.5 Definisi operasional variabel

1. Reflux Symptom Index (RSI)

Definisi : penilaian tingkat gejala klinis refluks laringofaring dengan cara memberikan skor 0-5 terhadap gejala klinis yang dialami oleh penderita. Alat ukur : kuesioner dan penilaian Reflux Symptom Index

Skala ukur : nominal

Hasil ukur : LPR (+) jika RSI > 13 LPR (-) jika RSI ≤ 13 2. Reflux Finding Score (RFS)

Definisi : skor penilaian keadaan patologis di laring yang dinilai melalui pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur. Penilaian meliputi 8 keadaan patologis laring. Skor penilaian berkisar antara 0 ( tidak didapatkan keadaan abnormal) hingga 26 ( nilai maksimum pada keadaan yang sangat parah)

(43)

Skala ukur : nominal

Hasil ukur : Tanda refluks laringofaring (+) jika RFS > 7 Tanda refluks laringofaring (-) jika RFS ≤ 7 3. Keluhan utama

Definisi :keluhan yang paling mangganggu pasien sehingga datang berobat ke poli THT RSUP H. Adam Malik Medan

Skala ukur : Nominal

Alat ukur : kuesioner penilaian reflux symptom index Hasil ukur : ya = dijumpai keluhan

4. Jenis kelamin

Definisi : sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis Alat ukur : kuesioner

Skala ukur : nominal Hasil ukur:

a. Laki-laki

b. Perempuan

5. Umur

Definisi: usia yang dihitung dalam tahun dan dihitung pada saat

pemeriksaan, menurut tanggal lahir yang tercatat pada rekam

medis, apabila > 6 bulan dibulatkan ke atas, dan apabila kurang dari

6 bulan dibulatkan ke bawah.

(44)

a. < 45 tahun

b. 45-64 tahun

c. > 64 tahun

6. Tingkat pendidikan

Definisi: jenjang pendidikan terakhir pasien

Alat ukur : kuesioner

Skala ukur : ordinal

Hasil ukur : Rendah : jenjang pendidikan terakhir SD/SMP

Sedang : jenjang pendidikan terakhir SMU

Tinggi : jenjang pendidikan terakhir akademi/ universitas

7. Body Mass Index (BMI)

Definisi : indeks massa tubuh berupa

rasio

yang dinyatakan sebagai

berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan

(dalam meter)

Alat ukur : kuesioner

Skala ukur : ordinal

Hasil ukur : BMI < 18.5

=

Underweight

BMI 18.5

24.9

=

Normoweight

BMI 25.0

29.9

=

Overweight

BMI ≥

30.0

= Obesitas

3.6 Alat dan Bahan Penelitian

Alat penelitian adalah sebagai berikut : a. Catatan medis penderita

(45)

d. Nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek Olympus evis Exera II CV-180. Olympus PSD -30.

e. Light source merk Olympus evis exera II CLV – 180 f. Xylocain jelly

g. Status Penelitian

3.7 Cara Kerja

Cara kerja penelitian adalah sebagai berikut:

- Kepada penderita dengan gejala refluks laringofaring ditanyakan identitas, kemudian dilakukan anamnesis dan penilaian gejala klinis berdasarkan RSI dan dicatat dalam status penelitian.

- Pemeriksaan fisik THT.

- Jika RSI >13 , maka pasien akan dilanjutkan dengan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur di kamar bedah poli THT untuk menilai RFS oleh dokter spesialis THT yang ahli dibidangnya.

- Pemberian penjelasan kepada pasien dan pengisian informed consent.

3.8 Teknik Pengumpulan Data

- Data skor RSI didapatkan dari anamnesis terhadap pasien berdasarkan RSI yang kemudian dicatat di status penelitian

- Data skor RFS didapatkan dari hasil pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur

3.9 Analisis Data

(46)

1. Analisis univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal

variabel variabel independen dan variabel dependen dan disajikan dalam

tabel distribusi frekuensi.

(47)

3.10 Kerangka Kerja

[image:47.612.115.565.146.670.2]

Gambar 3.1 Kerangka kerja

RSI ≤ 13

Anamnesa dan pemeriksaan THT rutin Penderita dengan keluhan yang diduga refluks

laringofaring

RSI > 13

Pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat

lentur

RFS > 7

RFS ≤7

(48)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

[image:48.612.108.545.414.645.2]

Penelitian ini menggunakan studi potong lintang yang bersifat analitik yaitu untuk mengetahui korelasi antara Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS) pada penderita dengan gejala refluks laringofaring. Subyek penelitian pada penelitian ini adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah subjek penelitian minimal berdasarkan rumus perhitungan besar subjek penelitian untuk korelasi adalah 17 subjek penelitian dan pada penelitian ini didapatkan 40 subjek penelitian.

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik N %

Jenis Kelamin

Laki-Laki 14 35

Perempuan 26 65

Umur

<45 tahun 14 35

45-64 tahun 20 50

>64 tahun 6 15

Tingkat Pendidikan

Rendah 10 25

Menengah 9 22,5

Tinggi 21 52,5

Total 40 100

(49)

yang berumur 45-64 tahun yaitu sebanyak 20 (50%). Dilihat dari tingkat pendidikan, yang terbanyak adalah subjek penelitian berpendidikan tinggi (akademi dan universitas) sebesar 52,5%, subjek penelitian dengan pendidikan menengah (SMU) sebesar 22,5% dan 25% berpendidikan rendah (SD dan SMP).

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit reluks laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI)

Karakteristik BMI Jumlah Presentase

18,5 - 24,9 19 47,5

25,0 - 29,9 13 32,5

> 30 8 20,0

Body Mass Index (BMI)± rerata (SB) 25,8±4,51

[image:49.612.109.545.275.410.2]
(50)
[image:50.612.117.522.220.405.2]

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan keluhan utama

Karateristik Keluhan Utama Jumlah Presentase

Banyak dahak di tenggorokan (PND) 9 22,5

Rasa mengganjal di tenggorokan 20 50,0

Sering mengeluarkan lendir tenggorok 5 12,5

Suara serak 1 2,5

Sukar menelan 5 12,5

Total 40 100

(51)

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala refluks laringofaring berdasarkan keluhan yang dirasakan (n=40)

Karakteristik keluhan Jumlah (%)

Mendehem (throat clearing) 39 (97,5)

Rasa mengganjal 37 (92,5)

Batuk yang menganggu 33 (82,5)

heartburn 31 (77,5)

PND/ mukus berlebih 31 (77,5)

Suara serak 28 (70,0)

Sukar menelan 24 (60,0)

Batuk setelah makan/berbaring 20 (50,0)

Sukar nafas/ chocking 19 (47,5)

[image:51.612.109.533.246.524.2]
(52)

penelitian (50%) dan keluhan yang paling jarang adalah sukar bernafas/ chocking, yaitu terdapat pada 19 subjek penelitian(47,5%).

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala refluks laringofaring berdasarkan tanda patologis laring yang didapat (n=40)

Karakteristik tanda patologis laring Jumlah (%)

Ventrikular obliterasi 39 (97,5)

Hipertrofi komisura posterior 38(95,0)

Edema difus 31(77,5)

Eritema 28(70,0)

Edema glotis 25(62,5)

Mukus kental endolaring 24(60,0)

Edema subglotik 22(55,0)

Granuloma 2(5,0)

[image:52.612.109.532.295.544.2]
(53)
[image:53.612.113.525.142.213.2]

Tabel 4.6 Rerata RSI dan RFS

Mean SD Min Max 95% CI

RSI 18.2 4.25 14 28 16.84 - 19.56

RFS 10.48 3.11 5 17 9.48 – 11.47

Dari tabel 4.6 terlihat rerata RSI dari seluruh subjek penelitian yang mengikuti penelitian ini adalah 18.2±4.25 dengan skor RSI terendah 14 dan tertinggi 28 sedangkan untuk skor RFS dengan rerata 10.48±3.11 dan skor RFS terendah dan tertinggi masing-masing 5 dan 17.

Tabel 4.7. Perbedaan karakteristik penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan RFS

Karakteristik

RFS

p

≤ 7 > 7

Umur, n (%)

< 45 tahun 1 (7,1) 13 (92,9) 0.809a

45 – 64 tahun 2 (10) 18 (90)

> 64 tahun 1 (16,7) 5 (83,3)

Umur, rerata (SB), tahun 53,5 (12,66) 47,61 (2,36) 0,417b

Jenis Kelamin

Laki-laki 2 (14,3) 12 (85.7) 0.602a

Perempuan 2 (7,7) 24 (92,3)

Tingkat Pendidikan

[image:53.612.114.537.393.704.2]
(54)

Menengah 2 (22) 7 (78)

Tinggi 1 (4,8) 20 (95,2)

Keluhan Utama

Banyak dahak di tenggorokan (PND) 0 9 (100) 0.114a

Rasa mengganjal di tenggorokan 2 (10) 18 (90)

Sering mengeluarkan lendir tenggorok 2 (40) 3 (60)

Suara serak 0 1 (100)

Sukar menelan 0 5 (100)

Body Mass Index (BMI)

18.5-24.9 1 (5,3) 18 (94,7) 0,147a

25.0-29.9 3 (23,1) 10 (76,9)

≥ 30.0 0 8 (100)

Body Mass Index (BMI), rerata (SB) 25,6 (0,84) 25,87 (4,76) 0,857b a Chi Ssquare, b Mann Whitney

[image:54.612.111.531.634.689.2]

Dari tabel diatas diketahui rerata umur pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara umur dan RFS (p= 0,809). Sebagian besar responden baik laki-laki dan perempuan mempunyai skor RFS > 7 yaitu masing-masing 12 orang (85,7%) dan 24 orang (92,3%). Jenis kelamin, tingkat pendidikan, keluhan utama dan BMI juga tidak berbeda secara signifikan dengan skor RFS (p > 0.05).

Tabel 4.8 Korelasi RSI dan RFS

Variabel r R2 Persamaan garis p

(55)
[image:55.612.177.474.164.366.2]

Dengan menggunakan uji korelasi Spearman, ditemukan RSI tidak berkorelasi secara signifikan dengan RFS (p = 0.128).

(56)

BAB 5

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dari 40 subjek penelitian yang datang dengan keluhan gejala refluks laringofaring didapatkan lebih banyak wanita, yaitu 26 (65%) dan 14 (35%) pria. Hal ini sesuai dengan penelitian Belafsky et al (2001) dari 40 subjek penelitian yang didiagnosis klinis dengan penyakit refluks laringofaring terdapat 73% wanita. Carrau et al. (2004) mendapatkan dari 117 pasien dengan penyakit refluks laringofaring 66,7% adalah wanita. Sebuah penelitian meta-analisis pengukuran pH metri pada pasien dengan penyakit refluks laringofaring dari tahun 1991 dan 2003 oleh Merati et al. (2005) didapatkan dari 291 pasien dengan penyakit refluks laringofaring terdapat 169 wanita (58%).

Penelitian yang dilakukan oleh Siupsinskene, Adamonis & Tohill (2007) mendapatkan dari 136 pasien yang diduga penyakit refluks laringofaring terdapat 74,7% wanita dan 25,3% pria. Mesallam et al. (2007) juga mendapatkan lebih banyak wanita (65%) dengan keluhan refluks laringofaring pada penelitiannya. Walaupun wanita lebih banyak didiagnosis dengan penyakit refluks laringofaring tetapi pada penelitian-penelitian tersebut tidak terdapat perbedaan bermakna antara jenis kelamin dan penyakit refluks laringofaring.

Anderson et al. (2010) melakukan penelitian pada kelompok penyakit refluks laringofaring dengan kelompok yang bukan penyakit refluks laringofaring dan mendapatkan hasil perempuan lebih banyak ditemukan pada grup penyakit refluks laringofaring dengan p=0,004, tetapi tidak terdapat penjelasan terhadap dominasi wanita pada penelitian ini.

(57)

(1987) menemukan wanita lebih banyak melaporkan keluhan keluhan dan akan mencari pengobatan untuk setiap keluhan ringan yang dirasakannya dibandingkan dengan pria.

Wanita khususnya usia diatas 35 tahun akan mengalami masa perimenopause, yaitu masa dimana mulai terjadi perubahan pada regulasi hormon khususnya penurunan hormon estrogen dan progesteron. Penurunan hormon estrogen dan progesteron mengurangi sekresi mukus yang berfungsi untuk melindungi mukosa dari refluks (Infantino 2008).

Kelompok umur yang terbanyak ditemukan pada penelitian ini adalah kelompok umur 45-64 tahun yaitu sebanyak 20 (50%) subjek penelitian. Penelitian Koufman et al (2001) mendapatkan kasus terbanyak yang menderita refluks laringofaring diatas 40 tahun. Walaupun demikian, banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa umur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian penyakit refluks laringofaring (Carrau et al. 2004; Andersson et al. 2010; Marcum et al. 2011; Saruc et al. 2012).

(58)

Tingkat pendidikan pada penelitian di temukan lebih banyak pada yang pendidikan tinggi sebesar 52,5%. Penelitian oleh Andersson et al. (2010) pada pasien refluks laringofaring, didapatkan rata rata pendidikan 12 tahun±4tahun, tetapi hasil ini tidak bermakna secara statistika.

Ross & Wu (1995) menyatakan individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki daya kendali yang lebih besar terhadap kesehatan mereka dan juga memiliki dukungan sosial yang tinggi. Dengan dukungan sosial yang tinggi memungkinkan individu dengan pendidikan tinggi lebih banyak mendapat informasi tentang kesehatan sehingga cenderung untuk mengetahui penyakit yang di deritanya dan mencari pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian ini dimana lebih banyak ditemukan subjek dengan pendidikan tinggi.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa subjek penelitian dengan berat badan normal (BMI 18,5-24,9) sebanyak 19 subjek penelitian (47,5%) diikuti dengan overweight (BMI 25,0-29,9) sebanyak 13 subjek penelitian (32,5%) dan obesitas sebanyak 8 subjek penelitian (20%). Terlihat lebih banyak subjek penelitian dengan berat badan tidak normal (overweight dan obesitas) yaitu 21 subjek penelitian (52,5%). Rerata BMI pada penelitian ini adalah 25,8±4,51. Halum et al. (2005) mendapatkan rerata BMI 27,9±6,42. Wang et al. (2011) menemukan BMI rata rata 22.9±3,2. Lai, Wang & Lin (2008) mendapatkan rerata BMI pada pasien penyakit refluks laringofaring 23,4±3,2. Andersson (2010) mendapatkan rerata BMI 26,1±5,2. Dari beberapa hasil penelitian ini menunjukkan kebanyakan penderita refluks laringofaring tidak mengalami obesitas. Walaupun hasil dari banyak studi menyatakan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya refluks khususnya pada GERD, tetapi tampaknya tidak dengan refluks yang terjadi pada penyakit refluks laringofaring. Penelitian Halum et al (2005) mendapatkan bahwa refluks faringeal tidak berhubungan dengan kenaikan BMI ataupun obesitas.

(59)

(22,5%). Sering mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing/ mendehem dan sukar menelan sebanyak 12,5% serta suara serak sebanyak 2,5% (Tabel4.3).

Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mesallam et al (2007) dimana keluhan yang terbanyak adalah sensasi rasa mengganjal di tenggorokan (37,5%), suara serak (27,5%), heartburn (17,5%), sering mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing/ mendehem (17,5%). Wang et al (2012) mendapatkan keluhan utama adalah rasa menganjal ditenggorokan (29,6%) diikuti dengan throat clearing/ mendehem (27,6%).

Penyakit refluks laringofaring sering tidak terdiagnosis dengan baik, karena gejala yang hampir sama dengan keluhan infeksi laring yang lain. Pasien sering mengabaikan adanya gejala-gejala ini atau tidak merasakan gejala dan pemeriksa sering tidak mendiagnosis penyakit ini. Padahal penyakit refluks laringofaring berhubungan dengan penyakit-penyakit seperti stenosis subglotik, karsinoma laring, contact ulcer, granuloma, nodul pita suara (Koufman, Amin & Panetti 2000). Dari sebuah studi dengan 100 subjek penelitian diatas umur 40 tahun tanpa keluhan suara dan tanpa keluhan menelan atau gejala yang berhubungan dengan GERD didapatkan 64% mempunyai penemuan klinis refluks laringofaring pada pemeriksaan laring (Zucato & Behlau 2012). Hal ini menunjukkan kemungkinan tingginya angka kejadian penyakit refluks laringofaring tetapi sering tidak terdiagnosis.

(60)

Keluhan utama banyak dahak di tenggorokan serta sering mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing dapat mempengaruhi komunikasi sehingga dapat mengganggu interaksi dalam lingkungan pekerjaan dan sosial (Tamin 2008).

Subjek penelitian yang datang dengan keluhan utama suara serak hanya 1 subjek (2,5%). Berbeda dengan pernyataan Koufman (2000) yang menyatakan setidaknya 50% pasien dengan keluhan saat datang suara serak kemungkinan menderita penyakit refluks laringofaring.

Hal ini dikarenakan karena suara serak pada pasien penyakit refluks laringofaring bersifat hilang timbul (Ford 2005), sehingga keluhan suara serak ini tidak menjadi keluhan utama pasien datang mencari pengobatan. Walaupun begitu pada penelitian ini keluhan suara serak ditemukan pada 28 (70%) subjek penelitian ( Tabel 4.4).

Sementara keluhan lain pada instrumen RSI seperti batuk setelah makan atau berbaring, kesukaran bernafas atau chocking, batuk yang mengganggu serta heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan dan regurgitasi asam tidak ada menj

Gambar

Tabel 2.1 Reflux Symptom Index (RSI)……………………………………...
Tabel 2.1. Reflux Symptom Index (RSI)
Tabel 2.2. Reflux Finding Score (RFS)
Gambar 2.2 Ventrikular obliterasi (Pham 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai International Prostate Symptom Score (IPSS) dan gejala yang paling sering muncul dari 7 gejala IPSS pada pasien BPH di

Hanya dengan rahmat dan karunia Allah SWT sehingga saya dapat menyelesaikan tesis saya yang berjudul “ Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring

digunakan sebagai gold standard adalah pemeriksaan pH monitoring, namun pemeriksaan ini masih jauh dari kriteria ideal oleh karena sensitivitasnya dilaporkan hanya 50% sampai

Penelitian Andriani (2011) di Makasar menyatakan bahwa RSI dan RFS dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis LPR, dimana pepsin dari saliva dapat terdeteksi disemua sampel

Sebaliknya penelitian Andriani (2011), dari FK-UNHAS di Makasar menemukan kelainan laring yang paling banyak adalah eritema/hiperemis laring 100%, sedangkan Spyridoulias (2015),

Dalam penelitian ini Bapak / Ibu akan menjalani pengambilan sampel saliva (ludah) sewaktu untuk memastikan diagnosis apakah ada terkandung pepsin disaliva, dan sebelumnya saya

Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui korelasi antara domain kognitif dengan kemampuan fungsi sosial pada pasien skizofrenia di RSJ