BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Refluks Laring Faring atau yang disebut sebagai Laryngopharyngeal Reflux (LPR) didefinisikan sebagai aliran balik cairan lambung melalui esofagus ke laringofaring yang menimbulkan iritasi dan perubahan pada laringofaring, dengan karakteristik gejala suara serak, chronic throath clearing, mukus berlebih, kesulitan dalam proses menelan,batuk setelah makan/berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok(Koufman, 2002; Belafsky, 2007).
Kebanyakan pasien tidak menyadari keluhan yang dialaminya berkaitan dengan LPR. Penelitian Koufman (2000) menyatakan dari 113 pasien dengan gangguan suara dan laringitis hampir 50% mengalami LPR. Campagnolo (2014) dari Brazil menyatakan bahwa Laryngopharyngeal Reflux (LPR) merupakan penyakit dengan insidensi yang tinggi dan sering ditemukan dipoli THT. Altman (2005) menyatakan bahwa penderita LPR yang datang ke poli THT antara 1990 sampai dengan 2001 meningkat 500%. El-Sirag (2007), seperti yang dikutip oleh Campagnolo (2014) menyatakan sejak 1976 prevalensi dari LPR mengalami kenaikan sebesar 4% setiap tahunnya (Koufman, 2000; Franco, 2006; Campagnolo, 2014). Patofisiologi terjadinya Laryngopharyngeal Reflux sampai saat ini masih sulit dipastikan, dimana mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung dalam cairan refluks. Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus karena tidak mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti esofagus (Koufman, 2002; Johnston, 2012).
Ford (2005) seperti yang dikutip Febriyanti (2014) menyatakan bahwa refluks laringofaring berhubungan dengan banyak gejala dan diagnosis kelainan di kepala dan leher. Jadi sangatlah penting untuk dapat
1
mengenali penyakit refluks laringofaring dimana jika tidak terdiagnosa dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa (Ford, 2005;Febriyanti, 2014).
Diagnosis LPR dapat ditegakkan dari riwayat penyakit, gejala klinik dan pemeriksaan laringoskopi, tes PPI (Proton Pump Inhibitor) serta pemeriksaan ambulatory 24 hour double-probe (pharyngeal and esophageal) pH monitoring. Pemeriksaan pH monitoring dianggap sebagai gold standard untuk diagnosis LPR, namun pemeriksaan ini masih jauh dari kriteria ideal oleh karena sensitivitasnya dilaporkan hanya 50% sampai 80% dan sekitar 12% dari pasien THT tidak dapat mentoleransi prosedur ini. Selain itu modifikasi diet (untuk standarisasi prosedur) dapat menghasilkan false-negative dan biaya pemeriksaan pH-metri masih mahal serta tidak semua pusat pelayanan menyediakan alat ini (Knight, 2005).
Menurut Belafsky (2002), terdapat sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan Reflux Symptom Index (RSI), yang berguna untuk menilai gejala pasien. Setiap skala RSI mempunyai komponen bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5 (keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13 dicurigai sebagai penyakit refluks laringofaring. Belafsky juga memperkenalkan skor refluks yaitu Reflux Finding Score (RFS). RFS merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur dengan nilai > 7 dicurigai sebagai penyakit refluks laringofaring (Belafsky, 2002).
Penelitian terbaru untuk mendeteksi LPR adalah dengan menentukan ada tidaknya pepsin pada laring dengan metode immunoasssay (ELISA). Karena pepsin tidak disintesis oleh sel tipe apapun dalam saluran napas, maka adanya pepsin pada saluran napas merupakan bukti nyata bahwa pepsin tersebut berasal dari refluks isi lambung ke laringofaring, sehingga
pengukuran pepsin pada sekret saluran napas dapat menjadi petanda diagnostik LPR (Knight, 2005;Andriani, 2011; Bertic, 2012).
Penelitian Potluri (2003) di Amerika yang menggunakan sampel dari saliva dan sputum untuk menilai pepsin dari 180 sampel pasien dijumpai 19 pasien terdeteksi pepsin. Penelitian Wang (2010) di China dari 56 sampel pasien dengan laringitis dengan nilai RSI dan RFS yang tinggi dijumpai adanya pepsin yang tinggi pada semua sampel. Penelitian Andriani (2011) di Makasar menyatakan bahwa RSI dan RFS dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis LPR, dimana pepsin dari saliva dapat terdeteksi disemua sampel yang dilakukan pemeriksaan. Begitu juga dengan penelitian Bertic (2012) di kroasia dari 45 sampel dengan riwayat LPR terdapat pepsin di 45 sampel. Penelitian Ocak (2015) di Turki dari 20 pasien yang memenuhi kriteria dimana nilai RSI >13 dan RFS >7, pepsin dideteksi melalui saliva, dijumpai nilai positif sebanyak 6 pasien dengan sensitivitas 33% dan spesifitas 100%, sehingga Ocak menyimpulkan bahwa deteksi pepsin dari saliva dengan metode ELISA dapat digunakan sebagai diagnostik untuk LPR (Potluri, 2003;Wang, 2010; Andriani, 2011; Bertic, 2012; Ocak, 2015).
Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang perbedaan kadar pepsin dalam saliva penderita LPR dan yang bukan LPR di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar pepsin dalam saliva penderita LPR dan non LPR.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui perbedaan kadar pepsin pada penderita LPR dan non LPR
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui rerata kadar pepsin dalam saliva pada penderita LPR dan non LPR.
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi dan hubungan antara karakteristik penderita LPR dan non LPR berdasarkan: umur, jenis kelamin dan nilai BMI.
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita refluks laringofaring berdasarkan keluhan utama
4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita refluks laringofaring berdasarkan gejala-gejala yang dialami (RSI)
5. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita refluks laringofaring berdasarkan kelainan laring yang paling banyak ditemukan (RFS).
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat antara lain :
1. Dengan diketahuinya perbedaan kadar pepsin dalam saliva antara penderita LPR dan non LPR pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk mendiagnosis LPR. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
data dan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pustaka untuk pengembangan ilmu dibagian THT.
3. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan penyakit refluks laringofaring.