• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Parameter fisika dan kimia air yang diukur pada saat pengamatan meliputi suhu, kekeruhan (TSS), DO, pH, BOD, nitrat, dan fosfat. Dari masing-masing stasiun, yaitu stasiun I yang merupakan kontrol, stasiun II yang terdapat aktivitas domestik, dan stasiun III yang terdapat aktivitas pasar. Hasil penelitian parameter fisika dan kimia perairan memiliki nilai bervariasi yang diperoleh dari hasil pengukuran yang terdapat pada Lampiran 2, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu jauh antara masing- masing stasiun. Parameter fisika dan kimia perairan sungai Belawan Desa Lalang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Parameter Fisika dan Kimia Perairan Sungai Belawan Desa Lalang

Parameter Satuan Baku Mutu Air Kelas Stasiun

I II III IV I II III Fisika Suhu oC deviasi 3 deviasi 3 deviasi 3 deviasi 5 26,39 28,39 28,83 Kekeruhan (TSS) mg/L 50 50 400 400 8,81 12,97 11,36 Kimia DO mg/L ≥6 ≥4 ≥3 ≥0 6,49 5,53 4,39 pH - 6-9 6-9 6-9 5-9 6,37 5,77 5,20 BOD mg/L 2 3 6 12 0,52 0,64 0,61 Nitrat mg/L 10 10 20 20 0,65 0,87 0,76 Fosfat mg/L 0,2 0,2 1 5 0,11 0,12 0,11

Parameter Biologi (Makrozoobenthos)

Pengambilan sampel makroozoobenthos dilakukan pada area 1 m2 setiap stasiun. Berdasarkan rata-rata hasil pengukuran makroozoobenthos yang terdapat pada Lampiran 3, jumlah dan bobot makrozoobenthos terbanyak didapat pada Melanoides sp.

(Gambar 7) pada semua stasiun. Melanoides sp. pada stasiun I berjumlah 7 dan bobot 15,40 gram, pada stasiun II berjumlah 15 dan bobot 32,70 gram, dan pada stasiun III berjumlah 19 dan bobot 40,10 gram. Pada stasiun I, jumlah terendah adalah Corbicula sp. (Gambar 8), Melania sp. (Gambar 9), dan Syrmylasma sp. (Gambar 10) yang masing-masing berjumlah 1. Pada stasiun II, jumlah dan bobot terendah adalah Corbicula sp. sebanyak 0. Pada stasiun III, jumlah dan bobot terendah adalah Syrmylasma sp. sebanyak 1 dengan bobot 2,60 gram. Adapun keterangan tentang spesies-spesies tersebut terdapat dalam Lampiran 4. Nilai parameter biologi (makroozoobenthos) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Parameter Biologi (Makrozoobenthos) Sungai Belawan Desa Lalang Jenis Stasiun I II III Jumlah Bobot (g) Jumlah Bobot (g) Jumlah Bobot (g) Corbicula sp. 1 3,10 0 0 2 5,90 Melania sp. 1 2,30 1 2,50 2 5,30 Melanoides sp. 7 15,40 15 32,70 19 40,10 Syrmylasma sp. 1 2,60 1 2,40 1 2,60 Total 10 23,40 17 37,60 24 53,90

Gambar 9. Melania sp. Gambar 10. Syrmylasma sp.

Kualitas Air Berdasarkan Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Kualitas air yang ditentukan dari nilai parameter fisika dan kimia perairan dilakukan dengan menggunakan metode Storet untuk memperoleh total skor yang menunjukkan status mutu air. Pemberian skor setiap parameter per stasiun yang terdapat pada Lampiran 5 dikelompokkan sesuai peruntukan baku mutu air kelas I (bahan baku air minum dan peruntukan lain dengan syarat kualitas air yang sama), II (prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman), III (pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman), dan IV (pertanaman) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Lampiran 7). Pada stasiun I, diperoleh skor 0 pada semua peruntukan kelas maka air dapat digolongkan dalam Kelas I. Pada stasiun II dan III, diperoleh skor -10 pada peruntukan kelas II, III, dan IV maka air dapat digolongkan dalam Kelas II. Kualitas air berdasarkan parameter fisika dan kimia air dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kualitas Fisika dan Kimia Perairan Sungai Belawan Desa Lalang

Kelas Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Skor Kualitas Air Skor Kualitas Air Skor Kualitas Air

I 0 Memenuhi baku mutu -10 Tercemar Ringan -10 Tercemar Ringan II 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu III 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu IV 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu

Kualitas Air Berdasarkan Parameter Biologi (Makrozoobenthos)

Kepadatan relatif (KR) dan biomassa relatif (BR) tertinggi dimiliki oleh Melanoides sp. pada semua stasiun, yaitu 70% (KR) dan 66% (BR) pada stasiun I, 88% (KR) dan 87% (BR) pada stasiun II, 80% (KR) dan 74% (BR) pada stasiun III. Oleh sebab itu, ranking spesies kepadatan dan biomassa tertinggi dimiliki oleh Melanoides sp. pada semua stasiun.

Berdasarkan ranking spesies dan persentase kumulatif (PK) yang terdapat pada Lampiran 6, stasiun I diperoleh kurva ABC saling tumpang tindih yang menandakan kualitas air adalah sedang. Kurva ABC stasiun I ditampilkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Kurva ABC Stasiun I Sungai Belawan Desa Lalang

Grafik di atas menunjukkan urutan ranking kepadatan pada stasiun I adalah Melanoides sp. dengan PK 70% (1), Corbicula sp. dengan PK 80% (2), Melania sp. dengan PK 90% (3), dan Syrmylasma sp. dengan PK 100% (4). Sedangkan urutan ranking biomassa pada stasiun I adalah Melanoides sp. dengan PK 66% (1), Corbicula sp. dengan PK 79% (2), Syrmylasma sp. dengan PK 90% (3), dan Melania sp. dengan PK 100% (4).

Pada stasiun II diperoleh kurva ABC yang saling tumpang tindih juga yang menandakan kualitas air adalah sedang. Kurva ABC stasiun II ditampilkan pada Gambar 12. 0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 P er sen ta se K u m u la ti f Ranking Stasiun I Kepadatan Biomassa

Gambar 12. Kurva ABC Stasiun II Sungai Belawan Desa Lalang

Grafik di atas menunjukkan urutan ranking kepadatan pada stasiun II adalah Melanoides sp. dengan PK 88% (1), Melania sp. dengan PK 94% (2), Syrmylasma sp. dengan PK 100% (3), dan Corbicula sp. dengan PK 100% (4). Sedangkan urutan ranking biomassa pada stasiun II adalah Melanoides sp. dengan PK 87% (1), Melania sp. dengan PK 94% (2), Syrmylasma sp. dengan PK 100% (3), dan Corbicula sp. dengan PK 100% (4).

Pada stasiun III diperoleh kurva ABC yang saling tumpang tindih sama dengan stasiun I dan II yang menandakan kualitas air adalah sedang. Kurva ABC stasiun III ditampilkan pada Gambar 13.

0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 P er sen ta se K u m u la ti f Ranking Stasiun II Kepadatan Biomassa

Gambar 13. Kurva ABC Stasiun III Sungai Belawan Desa Lalang

Grafik di atas menunjukkan urutan ranking kepadatan pada stasiun III adalah Melanoides sp. dengan PK 80% (1), Corbicula sp. dengan PK 88% (2), Melania sp. dengan PK 96% (3), dan Syrmylasma sp. dengan PK 100% (4). Sedangkan urutan ranking biomassa pada stasiun III adalah Melanoides sp. dengan PK 74% (1), Corbicula sp. dengan PK 85% (2), Melania sp. dengan PK 96% (3), dan Syrmylasma sp. dengan PK 100% (4). 0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 P er sen ta se K u m u la ti f Ranking Stasiun III Kepadatan Biomassa

Pembahasan

Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Hasil pengamatan di sungai Belawan Desa Lalang menunjukkan bahwa nilai suhu air tertinggi terdapat pada stasiun III (aktivitas pasar) sebesar 28,83 oC dan terendah pada stasiun I (kontrol) sebesar 26,39 oC. Suhu tertinggi pada daerah aktivitas pasar disebabkan oleh banyaknya sampah organik antara lain sayuran dan buah-buahan. Peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme menggunakan sejumlah oksigen dan menghasilkan karbondioksida sehingga dapat menaikkan suhu pada perairan. Brehm dan Meijering (1990) menyatakan bahwa mikroorganisme yang mendekomposisi bahan organik dapat meningkatkan konsumsi oksigen sehingga menghasilkan karbondioksida tinggi yang mengakibatkan kenaikan suhu dalam air. Daerah aktivitas pasar di sekitar sungai ini terdapat sampah sayuran yang lebih banyak daripada sampah buah-buahan. Sampah sayuran sulit diuraikan dibandingkan dengan produk pertanian lainnya. Menurut Ningrum (2012), sampah sayuran cenderung lebih sulit diuraikan dibandingkan dengan hasil pertanian yang lain, karena memiliki kadar air yang relatif rendah.

Interval suhu di perairan sungai Belawan Desa Lalang dipengaruhi oleh cuaca pada saat pengamatan yang cenderung cerah dan tidak terlalu panas. Maniagasi, dkk., (2013) menyatakan suhu suatu perairan ditentukan oleh beberapa faktor lain seperti intensitas cahaya matahari, curah hujan, dan ketinggian suatu daerah. Sejumlah makroozoobenthos ditemukan di sungai ini yang mengindikasikan bahwa organisme masih mentolerir suhu perairan, yaitu berkisar 26,33 – 29,00 oC. Menurut Risawati (2002), secara umum benthos jenis moluska dapat mentolerir suhu antara 0 – 48,6 oC dan aktif pada kisaran 5 – 38 oC.

Nilai kekeruhan (TSS) yang tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas domestik) sebesar 12,97 mg/L dan terendah pada stasiun I (kontrol) sebesar 8,81 mg/L. Aktivitas domestik atau rumah tangga menghasilkan berbagai limbah cair maupun padat. Padatan yang dihasilkan ada yang dapat diuraikan, sulit diuraikan, dan tidak dapat diuraikan. Air dalam saluran rumah tangga biasanya dialirkan ke perairan tergenang seperti sungai. Aliran limbah yang berada dalam tanah juga masuk ke dalam perairan. Limbah yang mengalir dapat mengikis tanah sehingga terbentuk total padatan tersuspensi (TSS). Effendi (2003) menyatakan bahwa total padatan tersuspensi terdiri atas segala sesuatu yang merupakan kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa air, terutama limbah rumah tangga hasil aktivitas manusia. Selanjutnya Rahmawati dan Azizah (2005) menyatakan penentuan zat padat tersuspensi berguna untuk mengetahui kekuatan pencemaran air limbah domestik dan efisiensi unit pengolahan air.

Kandungan DO tertinggi terdapat pada stasiun I (kontrol) sebesar 6,49 mg/L dan terendah pada stasiun III (aktivitas pasar) sebesar 4,39 mg/L. Daerah kontrol tidak terdapat aktivitas manusia sehingga memiliki kandungan DO yang tinggi. Masyarakat sekitar sungai Belawan Desa Lalang banyak yang melakukan aktivitas pasar, maka limbah pasar memiliki kadar yang tinggi dalam sungai tersebut. Kadar limbah yang tinggi dalam perairan dapat meningkatkan suhu sehingga DO menurun sesuai dengan Effendi (2003), semakin besar suhu dan semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Pujiastuti, dkk., (2013) juga menyatakan bahwa oksidasi aerobik juga dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah bahkan anaerob. Kandungan DO pada stasiun I (kontrol) cenderung stabil, yaitu 6,49 mg/L. Menurut Barus (2004), kisaran DO normal adalah 6 – 8 mg/L sesuai dengan hukum Van’t Hoffs, kenaikan suhu sebesar 10oC (hanya pada kisaran

suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan metabolisme dari organisme sebesar 2 - 3 kali lipat sehingga menurunkan oksigen terlarut.

Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun I (kontrol) sebesar 6,37 dan terendah pada stasiun III (aktivitas pasar) sebesar 5,20. Nilai pH pada daerah kontrol cenderung mendekati pH netral karena tidak ada bahan pencemar. Bahan dalam limbah hasil aktivitas pasar penyebab pencemaran mengakibatkan pH berubah menjadi lebih rendah karena sampah sayuran dan buah-buahan memiliki keasaman yang relatif cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ningrum (2012) yang menyatakan bahwa sampah sayuran dan buah-buahan merupakan limbah organik yang memiliki keasaman tinggi. Nilai pH dalam perairan bergantung pada jenis bahan pencemar yang ada dalam perairan. Menurut Purba dan Alexander (2010), nilai pH air tercemar dipengaruhi oleh jenis zat pencemarnya. Kisaran nilai pH pada perairan sungai Belawan Desa Lalang sebesar 5,17 – 6,43 belum banyak mempengaruhi biota perairan. Odum (1998) menyatakan perairan dengan pH yang tidak terlalu tinggi atau rendah tidak mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang ada di dalamnya. Selanjutnya Effendi (2003) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5.

Nilai BOD tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas domestik) sebesar 0,64 mg/L dan terendah pada stasiun I (kontrol) sebesar 0,52 mg/L. Hasil pengukuran nilai BOD pada setiap stasiun penelitian mengindikasikan perairan yang terdapat aktivitas domestik menghasilkan limbah yang berakibat terhadap semakin meningkatnya proses dekomposisi oleh organisme pengurai, sehingga menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi BOD. Pujiastuti, dkk., (2013) menyatakan bahwa perairan dengan nilai

tersebut juga tinggi, yang menunjukkan semakin banyaknya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme yang menggunakan sejumlah oksigen di perairan.

Nilai kandungan nitrat tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas domestik) sebesar 0,87 mg/L dan terendah pada stasiun I (kontrol) sebesar 0,65 mg/L. Kandungan nitrat tinggi pada daerah aktivitas domestik karena adanya limbah hasil kegiatan manusia dalam rumah tangga. Air limbah domestik yang merupakan sumber utama nitrogen berasal dari air limbah feses, urin, dan sisa makanan. Besarnya kontribusi limbah domestik dapat meningkatkan kandungan nitrat dalam perairan. Menurut Tarigan, dkk (2013), konsentrasi nitrat yang tinggi dalam suatu perairan dapat disebabkan oleh banyaknya limbah manusia berupa kotoran dan sisa makanan. Sedangkan daerah kontrol tidak terdapat aktivitas apapun dari manusia sehingga memiliki kandungan nitrat rendah yang hanya berasal dari alam dan kandungan nitratnya lebih sedikit daripada nitrat hasil buangan manusia. Budiharjo dan Huboyo (2007) menyatakan bahwa sumber polutan seperti nitrat yang berasal dari perairan (alam) mempunyai jumlah lebih sedikit dibandingkan yang berasal dari aktivitas manusia. Jika dilihat dari kandungan nitratnya, perairan sungai Belawan Desa Lalang tergolong tidak memiliki kesuburan tinggi. Menurut Nugroho (2006), klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan nitrat 1,13 – 11,29 mg/L tergolong perairan dengan kesuburan tinggi. Barus (2004) menyatakan nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nutrisi yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk dapat tumbuh dan berkembang.

Kandungan fosfat tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas domestik) sebesar 0,12 mg/L dan terendah pada stasiun I (kontrol) dan III (aktivitas pasar) sebesar 0,11 mg/L. Fosfat yang tinggi berasal dari aktivitas domestik karena setiap sisa atau buangan

rumah tangga (mandi, cuci, kakus) dan penggunaan deterjen yang mengandung fosfat dialirkan melalui tanah dan bergabung dengan buangan lain kemudian masuk ke dalam perairan. Menurut Sasongko (2006), fosfat dapat bersumber dari air buangan penduduk, penggunaan deterjen, dan sisa makanan yang dibuang ke perairan. Jika dilihat dari kandungan fosfatnya, perairan sungai Belawan Desa Lalang tergolong memiliki kesuburan cukup tinggi. Nugroho (2006) menyatakan bahwa klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfat 0,10 – 0,20 mg/L tergolong perairan dengan kesuburan tinggi.

Parameter Biologi (Makrozoobenthos)

Jumlah dan bobot tertinggi makrozoobenthos pada tiap stasiun adalah Melanoides sp. Pada stasiun I (kontrol) berjumlah 7 dan bobot 15,40 gram, pada stasiun II (aktivitas domestik) berjumlah 15 dan bobot 32,70 gram, dan pada stasiun III (aktivitas pasar) berjumlah 19 dan bobot 40,10 gram. Pada stasiun I, jumlah terendah adalah Corbicula sp., Melania sp., dan Syrmylasma sp. yang masing-masing berjumlah 1. Pada stasiun II, jumlah dan bobot terendah adalah Corbicula sp. sebanyak 0. Pada stasiun III, jumlah dan bobot terendah adalah Syrmylasma sp. sebanyak 1 dengan bobot 2,60 gram. Melanoides sp. memiliki toleran yang besar terhadap semua limbah dari aktivitas manusia termasuk domesik dan pasar. Menurut Simamora (2009), beberapa genus benthos ada yang dapat metolerir perubahan faktor lingkungan yang besar dan drastis atau dapat mentolerir faktor lingkungan yang ekstrim. Sementara Corbicula sp., Melania sp., dan Syrmylasma sp. memiliki karakteristik membutuhkan kandungan organik atau nutrisi yang harus mencukupi. Kowalke (1997) menyatakan bahwa famili Corbiculidae dan beberapa genus dari famili Thiaridae memiliki habitat dengan

Kualitas Air Berdasarkan Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Kualitas air tebaik terdapat pada stasiun I (kontrol), diperoleh skor 0 maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 air dapat digolongkan dalam Kelas I. Pada stasiun II (aktivitas domestik) dan III (aktivitas pasar), diperoleh skor -10 maka air dapat digolongkan dalam Kelas II. Oleh sebab itu, stasiun I dapat menjadi air peruntukan bahan baku air minum dan peruntukan lain dengan syarat kualitas air yang sama serta stasiun II dan III dapat menjadi air peruntukan prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman. Hal ini disebabkan karena pada stasiun I tidak ada aktivitas manusia, sedangkan pada stasiun II terdapat aktivitas domestik dan stasiun III terdapat aktivitas pasar yang masing-masing menghasilkan limbah. Menurut Agustina, dkk., (2012), aktivitas manusia di sepanjang perairan dapat memberikan dampak buruk terhadap perairan tersebut yang ditandai dengan masuknya sejumlah beban pencemar ke dalam lingkungan perairan yang mengganggu ekosistem.

Kualitas Air Berdasarkan Parameter Biologi (Makrozoobenthos)

Ranking spesies makroozoobenthos berdasarkan kepadatan relatif (KR) dan biomassa relatif (BR) tertinggi adalah Melanoides sp. pada tiap stasiun. Melanoides sp. merupakan jenis makrozoobenthos yang tolerir terhadap limbah atau bahan pencemar hasil aktivitas domestik maupun pasar. Bahan organik dan anorganik dalam zat pencemar dibutuhkan oleh Melanoides sp. sebagai nutrisi untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Kowalke (1997), genus Melanoides menggunakan senyawa organik atau anorganik dalam limbah (bahan pencemar) sebagai nutrisi bagi kehidupannya dan mentolerir kandungan limbah tersebut dalam perairan.

Jumlah kepadatan dan biomassa setiap jenis makrozoobenthos yang terdapat di perairan sungai Belawan Desa Lalang tidak merata karena setiap jenis organisme

memiliki penyesuaian atau adaptasi yang berbeda. Dewiyanti (2004) menyatakan bahwa tidak meratanya jumlah individu atau kepadatan berhubungan dengan pola adaptasi masing-masing spesies. Berdasarkan ranking spesies dan persentase kumulatif, pada setiap stasiun diperoleh kurva ABC yang saling tumpang tindih yang menandakan kualitas air adalah sedang. Menurut Warwick (1986), kategori kualitas sedang jika kurva biomassa per satuan luas dan kurva jumlah individu per satuan luas saling tumpang tindih atau berimpit. Kurva kepadatan dan biomassa yang berimpit menunjukkan perkembangan jumlah dan biomassa sama dan kedua variabel ini cukup sesuai dengan kualitas air demikian. Yonvitner dan Imran (2006) menyatakan bahwa adanya kurva saling tumpang tindih antara kepadatan dan biomassa menunjukkan kualitas air sedang karena kemampuan jumlah dan biomassa untuk berkembang dalam kualitas air ini adalah sama.

Rekomendasi Pengelolaan Perairan Sungai Belawan Desa Lalang

Hasil penelitian yang dilakukan di sungai Belawan Desa Lalang menunjukkan bahwa pada stasiun I (kontrol) digolongkan dalam kelas I yang dapat digunakan untuk bahan baku air minum, prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman. Hal ini didukung oleh adanya operasi PDAM Tirtanadi Sunggal yang menggunakan air sungai Belawan di daerah Sunggal yang dekat dengan lokasi penelitian. Pada stasiun II (aktivitas domestik) dan III (aktivitas pasar) digolongkan dalam kelas II yang dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman. Sejauh ini dapat dikatakan bahwa aktivitas domestik dan pasar belum banyak mempengaruhi dalam penurunan kualitas air sungai.

Perairan sungai Belawan Desa Lalang terdapat aktivitas domestik dan pasar yang tergolong kelas II mengakibatkan air tidak dapat digunakan sebagai bahan baku air minum atau tercemar ringan. Dalam memperbaiki dan mempertahankan kualitas perairan sungai, perlu dilakukan pengelolaan setiap aktivitas yang ada di sekitar sungai dan pengawasan terhadap kualitas air serta penetapan peraturan dan sanksi dari pemerintah setempat atau instansi terkait karena seringkali terjadi pembuangan sisa aktivitas manusia secara sembarang. Meskipun ada beberapa aktivitas di sekitar sungai, sebaiknya perlu memperhatikan ekosistem perairan sungai dengan tidak membuang limbah rumah tangga, limbah pasar, dan sampah atau sisa pembuangan lain terutama yang sulit terurai agar sungai tetap memiliki kualitas air yang baik. Pengelolaan limbah hasil aktivitas pasar dan domestik merupakan suatu cara untuk mengurangi bahan pencemar sehingga sungai dapat dimanfaatkan dengan lestari. Menurut Asdak (1995), pengelolaan perairan sungai mencakup proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di sekitar sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air baik faktor fisika, kimia, maupun biologi perairan.

Pengelolaan sungai harus ditujukan untuk mewujudkan kondisi optimal dalam ekosistem sungai untuk mendukung kehidupan makhluk hidup. Edi (2005) menyatakan bahwa pada dasarnya mengelola perairan sungai bertujuan untuk menstabilkan sumberdaya air, tanah, vegetasi, dan organisme lain di dalamnya sehingga mampu memberi manfaat yang besar dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia.

Dokumen terkait