• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan terhadap sistem manajemen integritas UPM, terutama dalam hal instrumen-instrumen yang penting untuk menjalankan fungsi-fungsi yang ada dalam sistem manajemen integritas, yaitu fungsi 1) determining and defining integrity (mendefinisikan dan menetapkan kriteria integritas, 2) fungsi guiding (panduan), 3) fungsi monitoring (pengawasan), dan 4) fungsi enforcing (penegakan). Selain itu juga, akan dilihat bagaimana sistem manajemen integritas yang ada dalam pengelolaan sumber daya manusia UPM.

Dalam menjalankan fungsi determining and defining integrity perlu ditetapkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan integritas kerja di Paramadina serta kriteria-kriteria perilaku integritas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa civitas academica Universitas Paramadina memiliki sudut pandang yang bervariasi terhadap integritas kerja. Walau warna dari definisi cenderung mengarah kepada yang secara moral baik dan menjadi prinsip yang dijalani oleh individu.

Perbedaan cara pandang terhadap integritas dalam bekerja sedikit banyak dapat dilihat antara kelompok pengambil kebijakan dan pengelola pekerjaan dengan kelompok pelaksana pekerjaan. Kelompok pertama sebagai atasan cenderung menekankan integritas dari kelompok pelaksana kerja (staf), yang dinyatakan misalnya dengan “bekerja sesuai aturan, bekerja dengan benar meski tidak diawasi oleh atasan, dapat membedakan baik dan buruk, dapat dipercaya,

bisa diandalkan, komitmen dan tanggungjawab saat diberi tugas oleh atasan”. Sebaliknya, kelompok pelaksana kerja (staf) cenderung menekankan bagaimana melaksanakan kerja secara berintegritas, yang dinyatakan misalnya dengan “mematuhi aturan, bekerja sesuai SOP, loyal, bekerja dengan target, absen tepat waktu, bekerja multitasking”. Sedangkan Dosen sebagai kelompok pekerja yang lebih mandiri, cenderung memiliki perspektif integritas terkait kualitas kerjanya, yang dinyatakan misalnya dengan “melakukan pelerjaan sesuai aturan yang benar, terencana, berkualitas dan bertanggung jawab; sesuai apa yang dipikirkan, disampaikan, dikerjakan, dihasilkan;jujur, profesional, bermartabat; konsistensi prinsip dalam cara melakukan pekerjaan; selalu berbasis faktual, prosedural, siaga, tepat waktu dan professional” . Variasi yang berbeda ini yang menunjukkan perlu adanya panduan definisi yang jelas dari Universitas, apa yang dimaksud dengan integritas kerja, sehingga bisa dipahami secara sama oleh civitas academica, apapun posisi yang dipegangnya, baik pada dosen maupun tenaga kependidikan.

Dari empat fungsi manajemen integritas, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada instrumen manajemen integritas yang dinyatakan ada oleh seratus persen responden. Persentase responden menjawab “Ya” tertinggi ada pada instrumen atasan langsung menampilkan perilaku integritas, yang dapat menjadi teladan, yaitu sebesar 97 persen. Pada fungsi 1) determining and defining integrity (mendefinisikan dan menetapkan kriteria integritas, hanya ada dua dari lima instrumen yang dipersepsi ada oleh lebih dari 50 persen responden, yaitu aturan yang berhubungan dengan integritas kerja dan aturan tentang pemberian atau gratifikasi. Pada peraturan yang ada, hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi terhadap keadilan dari peraturan integritas yang ada sangat bervariasi, termasuk juga terhadap sejauh mana peraturan tersebut berfungsi sebagaimana mestinya. Hal tersebut hendaknya menjadi perhatian pihak Universitas karena penting untuk memperhatikan aspek keadilan. Seperti yang diungkapkan oleh Trevino and Weaver (dalam OECD, 2009) bahwa keadilan yang dipersepsi pada organisasi adalah faktor kritis yang dapat menjelaskan integritas dari anggota organisasi. Penilaian terhadap aspek keadilan yang bervariasi juga terlihat pada peraturan mengenai gratifikasi, proses seleksi dan rekrutmen karyawan, serta evaluasi dan promosi kerjaa pegawai.

OECD (2009) menyatakan pentingnya membangun suatu tata kelola integritas yang didasarkan pada analisis risiko serta menggali dilema etis yang dialami karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baru 51,5 persen responden yang menyatakan dilakukannya analisis risiko dan 35,4 persen yang menyatakan adanya

penggalian data mengenai dilema etis. Bila kedua hal ini dilakukan secara sistematis dan lebih baik lagi, tentunya peraturan terkait integritas dan penunjangnya akan menjadi lebih baik lagi. Pada fungsi guiding (panduan), dari 6 instrumen yang dipetakan, terdapat 4 instrumen yang dipersepsi ada oleh lebih dari 50 persen responden, yaitu atasan langsung menampilkan perilaku integritas dalam bekerja, adanya sosialiasi kebijakan integritas, adanya sarana diskusi tentang dilema dalam penegakan integritas kerja, serta adanya deklarasi pakta integritas. Namun demikian, 3 instrumen kecuali perilaku integritas oleh atasan langsung, hanya dipersepsi ada oleh separuh lebih sedikit responden. Hasil ini menunjukkan bahwa UPM masih perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas dari instrumen-instrumen yang digunakan sebagai panduan dan pengarah dari pelaksanaan manajemen integritas di UPM. Hal tersebut sejalan juga dengan saran dari responden agar sosialisasi bisa digiatkan dan dilakukan dengan berbagai metode.

Pada fungsi monitoring (pengawasan) hanya ada 1 dari 4 instrumen yang dipersepsi ada oleh lebih dari 50 persen responden, yaitu instrumen pengawasan terhadap integritas kerja individu. OECD (2009) mengemukakan bahwa secara umum terdapat dua bentuk monitoring, yaitu pengawasan aktif dan pasif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang dipersepsi ada oleh sebagian besar responden adalah monitoring aktif dalam bentuk pengawasan. Namun demikian, penilaian responden sangat bervariasi terhadap seberapa memadai pengawasan ini, bahkan ada yang menilai sangat tidak memadai dan sangat tidak setuju bahwa pengawasan tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan tidak konsisten disemua lini organisasi UPM. Sebagian besar responden menyatakan tidak ada bentuk monitoring pasif seperti adanya whistle blowing system ataupun mekanisme pengaduan. Padahal ini adalah aspek yang bisa jadi menjadi bentuk monitoring yang paling mudah dilakukan, namun dinilai tidak ada oleh sebagian besar responden.

Pada fungsi enforcing (penegakan), terdapat 2 dari 3 instrumen yang dipersepsi ada oleh lebih dari 50 persen responden, yaitu aturan mengenai sanksi pelanggaran integritas dan mekanisme penyidikan terhadap pelanggaran integritas. Penilaian terhadap efektivitas dan keadilan dari kedua instrumen ini pun sangat beragam. Hal tersebut menunjukkan bahwa implementasi dari kedua instrumen ini membutuhkan evaluasi mendasar. OECD (2009) mengemukakan bahwa penting untuk membangun strategi komunikasi yang baik mengenai pelanggaran integritas yang terjadi pada internal kampus. Dengan melihat kurang dari 50 persen responden yang menyatakan adanya komunikasi internal mengenai pelanggaran integritas yang terjadi, patut untuk ditelaah lebih lanjut apakah memang tidak ada pelanggaran

atau pelanggaran tersebut tidak dikomunikasikan, namun diinformasikan kepada pihak tertentu saja di organisasi.

Seperti yang telah disampaikan pada paragraf sebelumnya, terdapat instrumen manajemen integritas yang melekat pada direktorat yang ada di UPM, yaitu instrumen manajemen integritas yang dikaitkan dengan pengelolaan SDM. Ketiga instrumen yang ada, integritas sebagai kriteria seleksi dan rekrutmen, adanya deskripsi kerja tertulis, dan integritas sebagai kriteria evaluasi dan promosi kinerja, menunjukkan bahwa sebagain besar responden (lebih dari 50%) menyatakan adanya keberadaan instrumen tersebut. Namun demikian, bila dilihat pada penilaian terhadap implentasi dari instrumen tersebut, menunjukkan bahwa evaluasi mendasar perlu dilakukan terhadap pelaksanaan dari instrumen ini.

Memperhatikan saran dan komentar responden terhadap manajemen integritas di UPM, hasil menunjukkan bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dari manajemen integritas UPM. Dari analisis kualitatif tercermin adanya kesenjangan yang cukup besar antara pemahaman terhadap integritas dan penilaian terhadap manajemen integritas. Hasil survei mengenai pemahaman integritas dalam bekerja menunjukkan bagaimana kuat dan teguhnya nilai/prinsip integritas dan perilaku berintegritas pribadi individu pegawai. Namun belum didukung secara konkrit oleh Kebijakan Integritas yang ada saat ini, yang mampu memberikan panduan konkrit bagi pegawai dalam mengimplementasikan integritas di UPM. Maka dari itu Universitas dituntut untuk menyediakan instrument, mekanisme implementasi dan penegakan kebijakan integritas yang jelas dan detail bagi para pegawainya, sehingga akan membangun budaya kerja yang baik di lingkungan UPM.

BAB 5

KESIMPULAN dan REKOMENDASI

Berdasarkan uraian dan hasil analisis data survey tentang pemetaan Sistem Manajemen Integritas di UPM, dapat diambil kesimpulan dan rekomendasi berikut ini.

Dokumen terkait