PEMBAHASAN
Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Nyeri pada pasien paska operasi merupakan suatu nyeri yang tidak dapat dihindari, namun terdapat keuntungan disini dimana nyeri sudah dapat diprediksi, sehingga dapat dipersiapkan penanganan yang baik untuk mencegah terjadinya komplikasi yang berat pada pasien paska operasi.
Penanganan nyeri pada saat akut merupakan hal yang sangat penting, dimana apabila nyeri yang masih akut dibiarkan terus menerus, dapat mengalami sensitisasi menjadi nyeri yang kronis. Selain dari nyeri kronis, banyak perubahan dapat terjadi pada organ tubuh lain yang akan memberikan dampak negatif bagi pasien.
Pada kasus ini, pasien laki-laki 30 tahun dengan diagnosis fraktur tertutup leher humerus kiri Neer 4 Part, yang akan menjalani prosedur ORIF PS. Preoperasi pasien dengan permasalahan riwayat mendapat perawatn di ruang ICU Rumah Sakit Kerta Husada Singaraja dengan perdarahan kepala, namun tidak dilakukan operasi.
Selama pre operasi, pasien dipuasakan selama 8 jam sebagai prosedur pre-medikasi. Pre medikasi berupa medikamentosa diberikan saat pasien sudah berada di ruang operasi, dimana pasien diberikan midazolam 1 mg IV dan ondansentron 4 mg IV. Pemberian obat-obatan ini seperti pemberian midazolam yang tergolong sebagai psikotropika adalah bertujuan untuk membuat pasien berada dalam kondisi tenang (tidak cemas) serta efek sedasinya yang ringan karena aktivitasnya yang bekerja pada reseptor GABA pada otak. Apabila diberikan secara oral sekitar 1 hingga 2 jam pre operatif, midazolam hanya memberikan efek samping yang minimal terhadap fungsi kardiorespirasi. Kemudian pemberian ondansentron adalah untuk mencegah timbulnya rasa mual pada pasien selama pembiusan, disamping pemberian analgetik golongan opioid memiliki efek samping signifikan berupa mual muntah (Rull, 2014).
Pasien ini juga mengalami permasalahan kardiovaskular berupa hipertensi derajat I yang terkontrol dengan pemberian amlodipine 1x5 mg, dengan fluktuasi
42 tekanan darah yaitu antara 130-150 mmHg/80 – 90 mmHg. Tindakan pre medikasi ini sudah tepat untuk mengoptimalisasi kondisi pasien dengan kondisi medis tertentu sebelum tindakan operasi. Menurut Watson tahun 2018, pengobatan antihipertensi harus tetap dilanjutkan. Tidak terdapat bukti yang kuat untuk menunda pemberian obat antihipertensi pada hari operasi untuk menurunkan insiden adanya hipotensi, namun tetap harus memperhatikan batasan tekanan darah pasien agar tidak terlalu rendah. Apabila pasien sebelumnya pernah diresepkan penghambat reseptor beta, hal ini dapat diteruskan pada periode perioperatif karena adanya bukti bahwa obat ini dapat menurunkan risiko aritmia dan rupture plak arteri koroner.
Pemberian analgetik pilihan pre anestesi terhadap pasien ini berupa Fentanyl 150 mcg IV. Berdasarkan jurnal Postoperative Pain Management, pada persiapan pre operatif pada pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan tulang, pada kasus-kasus yang memiliki indikasi tertentu, ahli anestesi menyarankan pemberian anestesi lokoregional, dan dapat dilanjutkan dengan pemasangan kateter epidural sesuai dengan level yang sesuai bergantung pada prosedur pembedahan yang akan dilakukan. namun pemberian anestesi yang bersifat blokadi saraf masih menjadi perdebatan jika dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani anestesi umum.
Di UK, pemasangan kateter epidural hanya direkomendasikan untuk dilakukan setelah pasien diinduksi atau telah terbius total. Pemberian analgetik sistemik pre operatif (seperti golongan opioid) tidak terlalu disarankan untuk diberikan pre operatif(Malek dkk, 2017)
Edukasi pre operatif dan rencana penanganan nyeri perioperatif menjadi fokus terkini yang direkomendasikan oleh Chou R, dkk dalam makalahnya yang membahas mengenai panduan dalam penanganan nyeri pasca operatif. Ada beberapa bentuk panel rekomendasi yang diterbitkan, dimana sebagian besar membahas edukasi preoperatif secara menyeluruh, dimulai dari kondisi psikologis pasien, riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya, riwayat nyeri kronis sebelumnya, serta riwayat penggunaan antinyeri sebelumnya dan respon pasien terhadap penggunaan obat-obatan tersebut. Pada pasien ini belum dilakukan edukasi preoperatif yang cukup menyeluruh dikarenakan di Indonesia sendiri belum
43 banyak mengadopsi panduan penanganan nyeri pasca operatif yang sudah banyak berkembang.
Durante operasi pasien dilakukan pembiusan dengan general anestesi inhalasi menggunakan pipa endotrakeal. Selanjutnya pasien diposisikan supinasi untuk menjalani prosedur pembedahan. Operasi berlangsung selama 3 jam, hemodinamik stabil tanpa topangan obat, pasca operasi pasien dirawat di ruang
‘Medical Surgery’ dengan analgetik fentanil 400 mcg dalam 50 cc NS dengan kecepatan 2.1 mL/jam dan Paracetamol 500 mg tiap 6 jam PO. Berdasarkan teori pemilihan obat antinyeri, pemberian paracetamol diindikasikan untuk nyeri ringan yang tergolong dalam farmakoterapi tingkat I hingga II, sedangkan pemberian fentanil diindikasikan untuk nyeri sedang yang tergolong dalam farmakoterapi tingkat V(Arifin dkk, 2012).
Pemberian obat-obatan antinyeri pada pasien pasca operasi sehendaknya disesuaikan terlebih dahulu dengan tingkat nyeri yang dialami oleh pasien. ada beberapa alat atau cara yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai bagaimana cara menilai ambang nyeri pada seseorang. Salah satunya adalah dengan menggunakan Visual Analagoue Score (VAS), Numerical Rating Scale (NRS) yang dapat digunakan pada pasien dalam keadaan sadar. Penilaian secara subjektif ini setidaknya dapat membantu klinisi dalam menentukan pemilihan obat antinyeri fase akut yang dapat diberikan pada pasien pasca operasi. Masih banyak lagi alat untuk menilai ambang nyeri yang lebih valid. Beberapa rekomendasi menyarankan penggunaan alat-alat tersebut dalam menilai nyeri untuk dapat menyesuaikan pemberian analgetik dalam menangani nyeri akut pasca operasi, meskipun tidak terdapat bukti yang adekuat terhadap efek dari alat-alat yang berbeda secara spesifik. Oleh karena itu, pemilihan alat penilai ambang nyeri harus disesuaikan pada beberapa faktor seperti status perkembangan, status kognitif, tingkat kesadaran, tingkat pendidikan, dan perbedaan bahasa. Alat-alat yang telat berkembang untuk digunakan dalam beberapa situasi perawatan meliputi Behavioral Pain Scale dan the Critical-Care Pain Observational Tool. (Chou R, 2016) Pada pasien ini tidak dilakukan dan dipaparkan lebih lanjut mengenai penilaian ambang nyeri pasca operasi ketika pasien sudah berada dalam kondisi
44 sadar penuh sebelum kemudian diputuskan diberikan analgetik golongan opioid sebagai penanganan anti nyeri pasca operasi.
Berdasarkan jurnal Postoperative Pain Management, dikatakan bahwa tindakan pembedahan pada tulang tergolong dalam nyeri pasca operasi yang cukup berat. Penanganan nyeri yang dapat digunakan untuk pasien-pasien yang menjalani prosedur pembedahan tulang adalah golongan opioid. Pemberian parasetamol pada pasien ditujukan untuk terapi multimodal / sebagai tambahan untuk memberikan efek analgesia maksimal. Selain itu, pemberian parasetamol dapat mengurangi dosis morfin sehingga dapat mengurangi resiko efek samping dari obat yang digunakan. Dikatakan bahwa ketika pasien masih merasa kurang nyaman hanya dengan pemberian obat antinyeri golongan opioid, maka dapat dikombinasikan dengan pemberian obat golongan non-opioid lainnya seperti paracetamol IV ataupun oral dengan dpsis total hingga 4 g dalam 24 jam, atau golongan coxib (parecoxib 2 x 40 mg IV, celecoxib 2x100 mg per oral) dengan keuntungan berupa efek pembekuan darah yang lebih kecil19. Pada kasus ini, tidak digunakan terapi modal lain (fisik, kognitif behavioral, dan lainnya) dikarenakan kurangnya bukti dan penggunaannya yang masih belum banyak di Indonesia.
Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang, penilaian nyeri tidak terbatas seberapa berat nyeri yang dirasakan oleh pasien, khususnya pada pasien pasca operasi. Penilaian nyeri sebaiknya bersifat menyeluruh, untuk dapat melihat kualitas, onset, hal yang memperingan dan memperburuk, serta apakah nyeri tersebut timbul sebagai komplikasi dari operasi ataupun kondisi lainnya. Chou R, dkk. merekomendasikan beberapa elemen yang harus dievaluasi pasca operasi.
Adapun elemen-elemen tersebut tertuang dalam tabel berikut(Chous dkk, 2016) :
45 Tabel 4.1 Elemen yang disarankan untuk Penilaian Nyeri Pasca Operasi
Elemen Pertanyaan yang digunakan untuk menilai
1. Onset dan gambaran nyeri Kapan nyeri tersebut timbul? Seberapa sering nyeri tersebut timbul? Apakah intensitasnya berubah?
2. Lokasi Dimana letak nyerinya? Apakah
terlokalisir pada area insisi, menyebar, atau di lokasi lainnya?
3. Kualitas nyeri Bagaimana nyeri yang anda rasakan?
4. Intensitas Seberapa parah nyeri yang dirasakan?
5. Faktor memperingan dan memperberat
Apa yang membuat nyeri tersebut membaik atau memburuk?
6. Penanganan sebelumnya Apa tipe penanganan yang efektif atau tidak yang sebelumnya diberikan untuk mengurangi nyeri?
7. Efek Bagaimana nyeri yang timbul ini
mempengaruhi fungsi fisik, emosional, dan tidur anda?
8. Batasan terhadap penilaian nyeri
Faktor apa yang dapat mempengaruhi akurasi dari penilaian nyeri (seperti budaya atau bahasa, kognitif, miskonsepsi terkait intervensi)?
Elemen-elemen yang diharapkan dapat menjadi alat untuk menilai kualitas nyeri secara menyeluruh pada pasien pasca operasi ini tampaknya belum diimplementasikan secara luas di Indonesia, khususnya pada pasien ini.
46