• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penatalaksanaan Nyeri Akut

Dalam dokumen MANAJEMEN NYERI AKUT PASKA OPERASI (Halaman 29-42)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Penatalaksanaan Nyeri Akut

Setelah diagnosis nyeri ditetapkan, rencana terapi harus disusun. Landasan-landasan yang dianjurkan dalam penatalaksanaan nyeri(Mangku dkk, 2018):

1. Mengutamakan pendekatan klinis termasuk pendekatan psikoterapi 2. Melibatkan pasien dan keluarga, dan menjelaskan

kemungkinan-kemungkinan terapi klinis apa yang tersedia

3. Menyarankan pasien dan keluarga untuk menginformasikan secara terperinci mengenai nyeri dan lain-lain yang dianggapnya penting untuk diketahui.

Kendala-kendala dalam penatalaksanaan nyeri(Mangku dkk, 2018):

1. Dari pihak dokter

24 Berbagai kendala dari dokter biasanya meliputi kurangnya pengetahuan dalam menilai sifat dan beratnya nyeri. Adanya peraturan-peraturan tentang penggunaan narkotika juga dapat menyebabkan fobia terhadap penggunaan morfin, selain itu efek samping obat sering dikhawatirkan.

2. Dari pihak pasien

Seringkali pasien kurang terbuka dalam melaporkan sifat dan beratnya nyeri yang dirasakan, nyeri juga dirasakan secara subjektif sehingga sulit dievaluasi dengan tepat. Beberapa pasien juga fobia terhadap penggunaan morfin karena takut akan penggunaannya dan efek samping yang bisa terjadi.

3. Dari pihak pelayanan medis

Pihak pelayanan medis termasuk asuransi medis terkadang memberatkan keluarga pasien karena system ganti pembiayaan yang kurang memadai dan prosedur yang sulit. Aturan-aturan tentang penggunaan narkotika terutama opioid menyebabkan sulitnya ketersediaan obat jenis ini.

Perencanaan pengobatan untuk paska bedah harus disusun. Beberapa modalitas pengobatan nyeri akut paska bedah telah dicoba dan diteliti, beberapa jenis diantaranya sebagai berikut:

a. Modalitas fisik

Modalitas fisik umumnya dianggap aman, namun bukti tentang efektivitasnya sebagai terapi terapi tambahan bagian dari pendekatan multimodal manajemen nyeri perioperative bervariasi secara substansial. Beberapa contoh terapi fisik adalah TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation), akupuntur, pijat, terapi dingin (dengan dan tanpa kompresi), terapi panas terlokalisasi, gerakan pasif terus menerus, dan imobilisasi atau bracing (Chous dkk, 2016).

TENS merupakan perangkat yang memberikan arus listrik tegangan rendah melalui kulit. Diperirakan mengkaktifkan jalur inhibisi descenden endogen kemudian mengaktifkan reseptor opioid agar menurunkan rangsangan sentral dan mengurangi rasa sakit melalui efek stimulasi pada serat aferen berdiameter besar.

TENS pada terapi paska operasi akan menurunkan penggunaan analgesik lainnya dibandingkan tanpa TENS. Walaupun hingga saat ini belum ada cukup bukti yang

25 merekomendasikan TENS spesifik untuk terapi nyeri paska operasi (Chous dkk, 2016).

Akupuntur merupakan terapi dengan menempatkan jarum di dalam tubuh pada titik-titik yang ditentukan. Ada beberapa metode lain yang juga mengginakan titik akupuntur misalnya akrupresur (menggunakan tekanan di titik akupuntur) dan elektroakupuntur (pengunaan arus listrik di jarum pada titik akupuntur). Hingga kini, bukti mengenai efektivitas akupuntur untuk nyeri pasca operasi belum bisa dipastikan karena pada beberapa penelitian tidak ditemukan pernyataan menanggulangi nyeri paska operasi dengan akupuntur dengan analgesic dbandingkan hanya menggunakan analgesik. Sehingga membutuhkan penelitian lanjut untuk menentukan efektivitas dari akupuntur pada penanganan nyeri paska operasi (Chous dkk, 2016).

Terapi dingin menerapkan pendinginan permukaan kulit dengan atau tanpa kompresi, dengan atau tanpa alat resirkulasi agar suhu tetap dingin. Terapi dingin lokal biasanya digunakan termasuk pada nyeri akut paska operasi untuk menurunkan suhu jaringan sehingga edema berkurang dan memberi efek analgesia lokal. Terapi dingin sering tidak konsisten dan tidak ditemukan perbedaan hasil yang signifikan dengan yang tidak dilakukan terapi dingin pada nyeri paska operasi (Chous dkk, 2016).

Modalitas fisik umumnya dianggap aman, namun belum ada cukup evidence yang menunjukkan efektivitasi dari terapi sehingga belum direkomendasikan untuk terapi nyeri akut paska operasi. Biaya perawatan, waktu rawat inap, juga harus dipertimbangkan sebelum memulai terapi fisik sebagai adjuvant perawatan lainnya (Chous dkk, 2016).

b. Modalitas kognitif-behavioral

Beberapa modalitas kognitif-perilaku telah diuji sebagai terapi tambahan pada pasien yang menjalani operasi. Beberapa diantaranya yaitu relaksasi dengan pencitraan atau relaksasi lain, hypnosis, dan sugesti intraoperatif yaitu pemberian sugesti positif pada pasien dalam pengaruh anestesi dalam menghadapi nyeri paska operasi dan penyembuhannya. Musik juga telah dievaluasi sebagai intervensi terpisah atau bagian dari intervensi lain. Modalitas kognitif-perilaku bisa diberikan

26 berbagai tenaga kesehatan seperti psikolog, perawat, dokter, atau bisa juga pekerja rumah sakit lainnya (Chous dkk, 2016).

Beberapa terapi kognitif-perilaku menunjukkan dampak positif pada nyeri akut paska operasi, kecemasan, dan penggunaan obat analgesik paska operasi.

Walaupun efek yang dihasilkan belum jelas pada durasi rawat inap, tidak terdapat risiko yang signifikan karena tidak melakukan tindakan invasif. Tidak terdapat bukti yang merekomendasikan menggunakan satu modalitas kognitif-perilaku diatas modalitas yang lain. Diantara semua modalitas, tidak dapat ditentukan terapi mana yang paling efektif, dan tidak dapat ditentukan apakah lebih baik diberikan sebelum operasi atau setelah operasi (Chous dkk, 2016).

Penggunaannya sebagai bagian dari pendekatan terapi multimodal pada orang dewasa dapat dipertimbangkan dalam pemberian terapi adjuvant. Tidak terdapat cukup bukti untuk merekomendasikan maupun menentang modalitas kognitif-perilaku pada anak-anak. Dokter perlu mendiskusikan penggunaan dengan pasien besera keluarga dalam mempertimbangkan penggunaan modalitas kognitif-perilaku sebagai bagian dari rencana manajemen perioperative secara keseluruhan (Chous dkk, 2016).

c. Modalitas Anestesi Regional (Neuraxial)

Anestesi lokal (dengan atau tanpa opioid) untuk analgesia epidural dan analgesia spinal (opioid intratekal) pada dewasa dan anak-anak dapat memberikan hasil skor nyeri postoperatif yang lebih rendah dan penurunan penggunaan analgesik jika dibandingkan dengan injeksi plasebo atau analgesik opioid sistemik pada pasien yang menjalani berbagai operasi. Analgesia epidural dan spinal dapat memberi hasil penurunan risiko mortalitas paska operasi, tromboemboli vena, infark miokard, pneumonia, depresi pernapasan, dan penurunan durasi ileus dibandingkan analgesia sistemik (Chous dkk, 2016).

Penggunaan analgesia epidural atau spinal untuk manajemen nyeri pasca operasi dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang menjalani prosedur pembedahan toraks dan abdomen utama, operasi sesar, operasi pinggul dan operasi ekstremitas bawah. Teknik ini juga dipertimbangkan pada pasien yang beresiko seperti penyakit jantung, komplikasi paru, ataupun ileus yang berkepanjangan.

27 Keuntungan analgesia epidural dibandingkan dengan analgesia lain yakni metode ini dapat diberikan sebagai infus berkelanjutan atau sebagai PCA dengan anestesi lokal, sedangkan analgesia spinal terbatas pada dosis tunggal opioid (Chous dkk, 2016).

Penggunaan analgesia epidural dengan anestesi lokal ersama clonidine dapat memberikan hasil peningkatan analgesia pasien paska operasi dibandingkan tanpa clonidine. Namun hingga saat ini belum ada bukti yang cukup dalam merekomendasikan penggunaan rutin obat ini dan sering dikaitkan dengan risiko hipotensi (Chous dkk, 2016).

Pemberian analgesia epidural dengan anestesi lokal bersama clonidine dapat memberikan hasil peningkatan analgesia pada pasien paska operasi dibandingkan dengan anestesi lokal epidural saja, tetapi belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin obat ini dan penggunaannya sering dikaitkan dengan peningkatan risiko hipotensi. Sementara untuk anestesi lainnya, belum ada bukti cukup mengenai efektivitas obat-obatan ajuvan yang diberikan dengan menggunakan rute epidural atau spinal dengan anestesi lokal (dengan atau tanpa opioid). Pemberian magnesium, benzodiazepin, neostigmin, tramadol, dan ketamin dalam pengobatan nyeri akut postoperatif tidak disarankan karena tidak ada manfaat yang jelas dan kurang cukup bukti untuk menentukan keamanan (Chous dkk, 2016).

Walaupun neuraxial analgesia dihubungkan dengan menurunnya risiko mortalitas pada pasien perioperatif dan komplikasi paru jantung dibandingkan opioid sistemik, dapat terjadi efek samping seperti depresi pernapasan, hipotensi, dan kelemahan motoric akibat kompresi sumsum tulang belakang akibat hematoma atau infeksi. Analgesia neuraxial pada pasien yang melakukan operasi pinggul dan ekstremitas bawah, mungkin dapat menutupi gejala sindrom kompartmen.

Sehingga dokter harus terus memantau pasien yang menerima intervensi analgesia neuraxial, agar apabila terjadi efek samping dokter telah siap untuk mengobati dengan pengurangan dosis, pengangkatan kateter, antagonis opioid, dekompresi hematoma epidural, antibiotic, dan tindakan lain sesuai dengan tindakan yang diperlukan (Chous dkk, 2016).

28 d. Modalitas Anestesi Topikal dan/atau Lokal

Pada penggunaan infiltrasi subkutan dan/atau intraartikular sebagai anestesi lokal long-acting di lokasi bedah terbukti efektif menjadi komponen analgesia multimodal dalam beberapa prosedur bedah, termasuk operasi total knee replacement, operasi lutut artroskopik, operasi sesar, laparotomi, dan operasi wasir.

Tapi dalam beberapa penelitian, tidak ditemukan manfaat spesifik sehingga hasil akhir penerapannya belum pasti yang menyebabkan metode ini belum direkomendasikan untuk penggunaan rutin (Chous dkk, 2016).

Bukti menunjukkan efektifitas anestesi topikal pada bayi yang menjalani sirkumsisi dalam kombinasi dengan blok saraf penis. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas campuran euktik anestesi lokal untuk prosedur ini, namun campuran eutektik anestesi lokal dikaitkan dengan risiko methemoglobinemia pada bayi di bawah 3 bulan, apabila aplikasi berlebihan, atau jika menggunakan obat lain yang terkait dengan methemoglobinemia (Chous dkk, 2016).

Analgesia intrapleural dengan anestesi lokal setelah operasi toraks tidak berhubungan dengan efek menguntungkan yang jelas pada nyeri paska operasi, meskipun hasil penelitian agak tidak konsisten. Selain itu, teknik ini mungkin dikaitkan dengan toksisitas potensial karena tingginya penyerapan sistemik anestesi lokal dari ruang intrapleural. Jika analgesia intrapleural dengan anestesi lokal digunakan, itu harus sebagai bagian dari pendekatan multimodal dengan pemantauan ketat untuk potensi toksisitas (Chous dkk, 2016).

e. Modalitas Farmakoterapi Sistemik

Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit. Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut(Morgan, 2013) :

• Bisakah pasien minum analgesik oral?

• Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?

29

• Bisakah anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?

• Bisakah digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Gambar 2. 11 WHO Three Step Analgesic Ladder

Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti “WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu(Morgan, 2013):

1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.

2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.

3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses transduksi dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol(Arifin dkk, 2012).

30 Tabel 2.2 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat

nyeri ringan

Tabel 2.3 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat nyeri sedang

31 Tabel 2.4 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat

nyeri sedang dan berat

Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang bekerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer(Arifin dkk, 2016).

Gambar 2. 12 Tangga Pemberian Analgesik WFSA

32 Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa pemberian opioid IV tidak lebih baik dibandingkan dengan rute oral untuk analgesia postoperatif. Oleh karena itu, pemberian opioid oral umumnya lebih dipilih untuk manajemen nyeri paska operasi pada pasien yang dapat menggunakan rute oral. Nyeri pasca operasi seringkali berlangsung terus menerus pada awalnya dan sering membutuhkan dosis sepanjang waktu selama 24 jam pertama. Opioid oral kerja lama umumnya tidak direkomendasikan pada periode sesaat paska operasi karena dibutuhkannya titrasi dosis dan kurangnya bukti yang menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan opioid oral kerja pendek. Penggunaan rute intramuskuler untuk pemberian analgesik untuk manajemen nyeri paska operasi tidak dianjurkan karena pemberian intramuskuler dapat menyebabkan nyeri yang signifikan kepada pasien dan penyerapannya sendiri kurang bagus sehingga menghasilkan analgesia postoperatif yang tidak konsisten. Rute intramuskuler juga tidak menunjukkan keunggulan dibandingkan rute lainnya (oral, IV, per-rectal, maupun topikal) (Chous dkk, 2016).

Ketika pemberian analgesik enteral pasca operasi tidak dapat diberikan (pada pasien ileus, risiko aspirasi, atau setelah prosedur bedah) maka dapat direkomendasikan penggunaan iv PCA. Rute iv PCA ini hanya diberikan kepada pasien yang memerlukan analgesia selama lebih dari beberapa jam dan memiliki fungsi kognitif yang memadai untuk memahami penggunaan alat dan batasan keamanannya. Pada anak-anak diberikan batasan usia 6 tahun untuk dapat menggunakan iv PCA dengan tepat. Dari survey dan penelitian ditunjukkan efektivitas dan kepuasan pasien lebih besar dengan penggunaan iv PCA daripada pemberian opioid intermiten oleh penyedia layanan kesehatan. Bolus opioid IV dapat dipertimbangkan dalam periode sesaat (beberapa jam pertama) paska operasi untuk penghilang rasa sakit yang lebih cepat dan titrasi analgesik, dan pada pasien dengan sedasi pasca operasi yang dipantau secara ketat(Chous dkk, 2016).

Pada pasien yang menggunakan rute iv PCA, tidak direkomendasikan penggunaan rutin infus basal opioid pada pasien yang belum terpapar opioid sebelumnya, dikarenakan bukti menunjukkan tidak ada keunggulan analgesia yang didapatkan dibandingkan dengan PCA tanpa infus basal. Selain itu, infus basal opioid dikaitkan dengan peningkatan risiko mual dan muntah, dan dalam beberapa

33 penelitian didapatkan peningkatan risiko depresi pernapasan pada orang dewasa.

Data mengenai penggunaan infus basal opioid pada pasien toleran opioid yang menggunakan PCA masih kurang, akan tetapi diduga terdapat alasan kuat untuk penggunaannya karena adanya potensi untuk kurangnya dosis dan rasa sakit yang tidak terkendali, serta terjadinya withdrawal opioid, terutama pada pasien yang menerima terapi opioid jangka panjang sebelum operasi. Selain itu, belum ada bukti cukup untuk merekomendasikan penggunaan infus basal opioid pada anak-anak, meskipun pada beberapa penelitian ditunjukkan bahwa pemberian opioid basal dengan dosis rendah dapat digunakan dengan aman(Chous dkk, 2016).

Dikarenakan adanya risiko sedasi berlebih dan depresi pernafasan, pasien yang menerima opioid sistemik untuk analgesia paska operasi harus dipantau secara ketat pada jam-jam awal setelah operasi atau perubahan dosis berikutnya.

Pemantauan mencakup penilaian kesadaran dan tanda-tanda atau gejala hipoventilasi atau hipoksia pada pasien. Meskipun pulse oximetry sering digunakan untuk memantau status pernapasan pada periode paska operasi, disarankan dilakukan pemantauan tambahan oleh petugas kesehatan dikarenakan pulse oximetry memiliki sensitivitas rendah untuk hipoventilasi ketika oksigen tambahan sedang diberikan. Penggunaan kapnografi mungkin lebih sensitif daripada pulse oxymetry dalam mengidentifikasi depresi pernapasan pada pasien yang menerima oksigen tambahan. Namun, tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan kapnografi atau metode pemantauan canggih lainnya. Depresi pernapasan cenderung terjadi apabila didapatkan faktor resiko berupa riwayat sleep apnea obstruktif atau sentral dan adanya penggunaan obat penekan sistem saraf pusat. Pada pasien dengan sedasi berlebihan atau tanda-tanda depresi pernapasan, harus segera dilakukan pengubahan ataupun pengurangan opioid, pemberian bantuan pernapasan, dan pemberian antagonis opioid bila perlu(Chous dkk, 2016).

Asetaminofen dan NSAID telah dievaluasi sebagai bagian dari analgesia multimodal pada pasien yang juga menerima opioid untuk manajemen nyeri paska operasi. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan acetaminophen atau NSAID yang diberikan dengan opioid dikaitkan dengan pengurangan rasa sakit paska operasi dan jumlah opioid yang dikonsumsi daripada pemberian opioid tunggal.

Selain itu, acetaminophen dan NSAID memiliki mekanisme kerja yang berbeda dan

34 penelitian menunjukkan bahwa kombinasi acetaminophen dengan NSAID akan lebih efektif daripada penggunaan kedua obat secara tunggal. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara pemberian obat melalui rute iv dibandingkan dengan pemberian oral dalam mengurangi rasa sakit pasca operasi, selain dari pada onset yang lebih cepat dengan penggunaan rute iv. NSAID dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan dan ulserasi gastrointestinal, kejadian kardiovaskular, dan disfungsi ginjal yang harus dipertimbangkan ketika memilih terapi. Resiko kerusakan gastrointestinal dianggap lebih rendah dengan pemberian COX 2-selective NSAID yakni celecoxib. Meskipun beberapa data pengamatan menunjukkan keterkaitan antara penggunaan NSAID dosis tinggi dan nonunion dalam fusi tulang belakang, pada penelitian dengan data yang besar, hubungan tersebut didapatkan tidak signifikan secara statistik. Studi pengamatan lain juga menunjukkan bahwa penggunaan NSAID mungkin terkait dengan peningkatan risiko dari kebocoran anastomosis setelah pembedahan kolorektal, namun belum ditemukan bukti yang cukup. NSAID dikontraindikasikan untuk penatalaksanaan nyeri perioperatif pada pasien yang menjalani operasi cangkok bypass arteri koroner karena peningkatan risiko kejadian kardiovaskular(Chous dkk, 2016).

Beberapa penelitian juga merekomendasikan penggunaan celecoxib sebelum operasi pada pasien yang menjalani operasi besar. Pada penelitian yang dilakukan, Celecoxib dengan dosis 200 hingga 400 mg yang diberikan 30 menit hingga 1 jam sebelum operasi dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan opioid setelah operasi, dan didapatkan skor nyeri pasca operasi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa penambahan celecoxib. Namun, pemberian celecoxib dikontraindikasikan pada pasien yang menjalani operasi cangkok bypass arteri koroner dikarenakan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular. Penelitian lebih lanjut masih dilakukan untuk meneliti manfaat dan efek samping dari obat ini (Chous dkk, 2016).

Penggunaan gabapentin atau pregabalin sebagai bagian dari rejimen multimodal pada pasien yang menjalani operasi juga dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan opioid setelah prosedur bedah besar atau kecil, dan beberapa penelitian melaporkan skor nyeri pasca operasi yang lebih rendah. Kedua obat tampak efektif ketika diberikan saat pre-operasi (600 atau 1200 mg gabapentin

35 atau 150 atau 300 mg pregabalin, diberikan 1-2 jam sebelum operasi), Beberapa penelitian juga menemukan penggunaan obat ini pada paska operasi cukup efektif (gabapentin 600 mg dosis tunggal dan pregabalin 150 atau 300 mg setelah 12 jam).

walaupun dosis yang lebih tinggi obat ini lebih efektif dalam menangani nyeri paska operasi namun efek sedasi juga semakin tinggi sehingga, dosis optimal untuk penggunaannya pun masih diteliti lebih lanjut lagi. Pengurangan dosis direkomendasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal(Chous dkk, 2016).

Ketamin IV telah dievaluasi sebagai bagian dari analgesia multimodal. Pada orang dewasa dan anak-anak, sama seperti obat lainnya pemberian ketamin iv dikaitkan dengan penurunan penggunaan obat nyeri paska operasi menurunkan skor nyeri pasca operasi. Dalam uji coba, ketamin dapat diberikan sebelum operasi, intraoperatif, dan/atau paska operasi, pada berbagai dosis (mulai dari bolus 0.15-2 mg / kg sebelum insisi dan pada penutupan). Belum ada bukti yang cukup menentukan dosis optimal untuk ketamin, akan tetapi guideline dari America Pain Society menyarankan menggunakan bolus sebelum operasi 0,5 mg/kg diikuti dengan infus 10 µg/kg/menit secara intraoperatif, dan paska operasi dengan atau tanpa infus dosis yang lebih rendah. Ketamin dikaitkan dengan peningkatan risiko halusinasi dan mimpi buruk(Chous dkk, 2016).

Lidokain IV telah dievaluasi sebagai bagian dari analgesia multimodal.

Pada pasien yang menjalani prosedur bedah perut terbuka atau laparoskopi, penelitian menunjukkan pemberian infus lidokain perioperatif atau intraoperatif, dapat membuat durasi ileus yang lebih pendek dan kualitas analgesia yang lebih baik dibandingkan dengan placebo. Dimana pada uji coba, lidokain diberikan sebagai bolus (100-150 mg atau 1,5-2,0 mg / kg) diikuti dengan infus 2 sampai 3 mg/kg/jam sampai akhir operasi. Dosis optimal lidokain yang direkomendasikan secara pasti belum ada, tetapi berdasarkan data klinis sampai sekarang disarankan dosis induksi 1,5 mg/kg diikuti oleh 2 mg/kg/jam secara intraoperatif. Pemberian lidokain pada periode paska operasi belum diteliti lagi lebih lanjut(Chous dkk, 2016).

36

Dalam dokumen MANAJEMEN NYERI AKUT PASKA OPERASI (Halaman 29-42)

Dokumen terkait