MANAJEMEN NYERI AKUT PASKA OPERASI
Oleh:
dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC
DEPARTEMEN/KSM ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA /
RSUP SANGLAH 2019
i DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
DAFTAR TABEL ... iiiii
ABSTRAK ... iiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1. Definisi Nyeri ... 4
2.2. Klasifikasi Nyeri ... 4
2.3. Fisiologi Nyeri ... 6
2.4. Patofisiologi Nyeri ... 8
2.5. Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri ... 16
2.6. Respon Tubuh Terhadap Nyeri ... 17
2.7. Pengukuran Intensitas Nyeri... 18
2.8. Diagnostik Nyeri Akut ... 22
2.9. Penatalaksanaan Nyeri Akut ... 23
BAB III LAPORAN KASUS ... 36
BAB IV PEMBAHASAN ... 41
BAB V SIMPULAN ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 48
ii DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Lintasan Sensibilitas ... 7
Gambar 2. 2 Perjalanan Nyeri ... 8
Gambar 2. 3 Mekanisme Nyeri Perifer ... 11
Gambar 2. 4 Skema Sensitasi Sentral ... 14
Gambar 2. 5 Visual Analog Scale ... 19
Gambar 2. 6 Numeric Pain Intensity Scale ... 20
Gambar 2. 7 Faces Pain Scale ... 20
Gambar 2. 8 McGill Pain Questionnaire ... 20
Gambar 2. 9 Brief Pain Inventory ... 21
Gambar 2. 10 Memorial Pain Assessment Card ... 21
Gambar 2. 11 WHO Three Step Analgesic Ladder ... 29
Gambar 2. 12 Tangga Pemberian Analgesik WFSA ... 31
iii DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri ... 10 Tabel 2.2 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan
derajat nyeri ringan... 30 Tabel 2.3 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan
derajat nyeri sedang ... 30 Tabel 2.4 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan
derajat nyeri sedang dan berat ... 31
Tabel 4.1 Elemen yang disarankan untuk Penilaian Nyeri Pasca Operasi ... 45
iv ABSTRAK
Pasien laki-laki 51 tahun dengan diagnosis fraktur tertutup leher humerus kiri Neer 4 Part, yang akan menjalani prosedur ORIF PS. Preoperasi pasien dengan riwayat di ICU Rumah Sakit Kerta Husada Singaraja dengan perdarahan pada kepala. Saat ini kondisi pasien stabil dan tidak ada riwayat operasi pada pasien sebelumnya.
Pre operatif pasien dirawat dengan kondisi medis lain berupa hipertensi derajat I dan ditangani menggunakan Amlodipin 1 x 5 mg, dan hingga tiba saat operasi kondisi tekanan darah pasien berkisar antara 130-150/80-90 mmHg.
Sebelum tindakan operasi pasien diberikan obat-obatan pre medikasi berupa midazolam 1 mg IV dan ondansentron 4 mg IV. Tidak ada data berupa pemberian analgetik pre operatif terhadap pasien. Penanganan pre operatif lain terhadap pasien adalah berupa edukasi psikologis terkait persiapan operasi, tindakan yang akan dilakukan, serta komplikasi yang mungkin muncul dari operasi yang akan dijalani.
Durante operasi pasien dilakukan pembiusan dengan general anestesi inhalasi menggunakan pipa endotrakheal. Selanjutnya pasien diposisikan supinasi untuk menjalani prosedur pembedahan. Analgetik yang digunakan selama durante operasi adalah fentanil 150 mcg IV. Penanganan nyeri akut pasien pasca operasi adalah fentanil 400 mcg dalam 50 cc NS dengan kecepatan 2.1 mL/jam yang dikombinasikan dengan paracetamol 500 mg tiap 6 jam PO. Pasca oeprasi pasien dirawat di ruangan dengan kontrol nyeri oleh bagian anestesi.
v ABSTRACT
A 51-year-old male patient with a diagnosis of closed fracture of left humerus neck Neer 4 Part, who would undergo the ORIF PS procedure. In preoperative state, patients with a history in the ICU Hospital of Singertaja Kerta Husada with intracranial bleeding but no surgical history toward that other medical condition. At present the patient's condition is stable.
Preoperative patients treated with other medical conditions in the form of first degree hypertension and treated using Amlodipine 1 x 5 mg, and until arriving at surgery the patient's blood pressure ranged from 130-150 / 80-90 mmHg. Before surgery the patient is given pre-medication in the form of midazolam 1 mg IV and ondansentron 4 mg IV. There is no data about preoperative analgesics for patients.
Other preoperative treatments for patients are psychological education related to surgery preparation, actions to be taken, and complications that may arise from the surgery to be undertaken.
During the surgical procedure, the patient undergo general anesthesia with inhalation anesthesia using endotracheal tubes. Next the patient is supine positioned to undergo the surgical procedure. The analgesic used during surgical is fentanyl 150 mcg IV. Treatment for acute pain in postoperative patients is fentanyl 400 mcg in 50 cc NS with a speed of 2.1 mL / h combined with paracetamol 500 mg every 6 hours orally. In postoperative patients are treated in a room with pain control by the anesthesia department.
1 BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut (Schung dkk, 2015; Morgan, 2013).
Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis)(Latief, 2010).
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang menjadi manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensif, dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di sisi lain, nyeri tetaplah merupakan rasa tidak menyenangkan bagi siapapun dan semestinya ditangani oleh karena menimbulkan perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ (Mangku, 2007).
Bila tidak teratasi dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku, gangguan tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas(Loese, 2009).
Nyeri sering digambarkan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan(Latief, 2010). Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya
2 nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik(Mangku, 2007).
Penilaian nyeri melibatkan lebih dari sekedar menguantifikasi intensitas dari nyeri itu sendiri. Intensitas nyeri yang tinggi atau nilai dari skala sifat tidak yang tidak menunjukkan respon terhadap pelayanan yang baisa harus diinvestigasi lebih lanjut untuk menilai apakah nyeri yang timbul adalah karena permasalahan medis atau komplikasi dari pembedahan, serta peran potensial dari toleransi opioid serta distres psikologi. Penilaian yang dilakukan harus menjelaskan intervensi apa yang efektif untuk nyeri yang timbul, bagaimana nyeri mempengaruhi fungsi seseorang, tipe nyeri (neuropati, viseral, somatic, kram otot), dan apakah terdapat batasan terhadap penanganan nyeri. Selain itu, penilaian nyeri tidak cukup hanya pada saat pasien beristirahat. Nyeri yang dapat dikontrol dengan baik saat istirahat dapat menjadi buruk saat adanya pergerakan atau aktivitas tertentu(Chous dkk, 2016).
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf. Di sisi lain, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortalitas, dan mutu kehidupan. Lebih dari 80% pasien yang menjalani prosedur pembedahan mengalami nyeri akut pasca operasi dan sekitar 75% di antaranya melaporkan tingkat keparahan nyeri pasca operasi yang sedang, berat, ataupun sangat berat. Bukti menunjukkan kurang dari setengah pasien yang menjalani pembedahan mengatakan terbebas dari rasa nyeri akut pasca operasi.
Kontrol nyeri yang tidak adekuat ini dapat mempengaruhi kualitas hidup, fungsi sehari-hari, dan fungsi dari perbaikan kondisi, bahkan timbulkan komplikasi pasca operasi (Chous dkk, 2016).
Nyeri pasca operatif dalam beberapa dekade ini tidak mendapat penanganan yang maksimal. Survei terakhir yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat tidak menunjukkan adanya perbaikan mayor yang baik. Nyeri pasca operatif yang persisten setelah prosedur pembedahan masih dirasakan pada hampir 50% pasien. Peran dari layanan pemberian antinyeri akut untuk meningkatkan
3 penanganan nyeri sudah mulai berkembang namun masih menghadapi berbagai tantangan. Perlunya perbaikan dari peran dan panduan layanan perlu diperhatikan (Rawal, 2016).
Penanganan nyeri yang baik dan tepat setelah pembedahan merupakan hal yang penting untuk mencegah hasil akhiryang buruk seperti takikardia, hipertensi, iskemi miokard, penurunan ventilasi alveolar, dan penyembuhan luka yang buruk.
Eksaserbasi dari nyeri akut dapat memicu sensitisasi neural dan terlepasnya mediator baik secara perifer maupun sentral (Vadivelu, 2010).
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Nyeri
Menurut IASP (International Association for the Study of Pain), nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan atau yang digam barkan sebagai kerusakan jaringan. Syarat untuk bisa disebut nyeri adalah perasaan tidak menyenangkan, tanpa itu tidak bisa disebut sebagai nyeri. Selain itu nyeri merupakan suatu gabungan dari dua komponen yakni komponen indrawi (sensorik) dan komponen psikologik (emosional)(Schung dkk, 2015; Morgan, 2013)..
Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya.
Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan(Schung dkk, 2015; Morgan, 2013)..
2.2. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah menurut proses neurobiologinya dan menurut durasinya(Aribawa dkk, 2017).
Klasifikasi nyeri menurut proses neurobiologi : a) Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif timbul akibat teraktivasinya nosiseptor oleh suatu rangsangan kuat yang mengancam keutuhan jaringan. Rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan mekanik, termal, dan kimia. Rangsangan yang merupakan
“potential tissue damage” dapat menimbulkan refleks menghindar (withdrawal reflex) guna mencegah kerusakan jaringan. Namun apabila rangsangan tersebut telah menimbulkan kerusakan jaringan disebut dengan nyeri nosiseptif.
Nyeri nosiseptif dibagi menjadi 2 bagian yaitu : a. Nyeri somatik
Berasal dari kulit, jaringan pengikat otot, otot, tulang, dan sendi.
Biasanya lokasinya jelas sehingga pasien bisa menunjukkan lokasi nyerinya dengan telunjuk.
5 b. Nyeri visceral
Berasal dari organ-organ dalam seperti rongga toraks, abdomen, dan pelvik. Biasanya lokasinya tidak jelas, terkadang terasa nyeri di dalam, tumpul, dan tersamar sehingga pasien tidak bisa menunjukkan lokasi nyerinya dengan telunjuk namun dengan telapak tangan. Hal tersebut terjadi karena nyeri visceral umumnya diinervasi oleh serabut C.
b) Nyeri inflamasi
Nyeri infamasi timbul akibat ada proses inflamasi setelah adanya infeksi atau kerusakan jaringan. Pada kondisi ini, rangsangan lemah yang normalnya tidak terasa nyeri dapat dirasakan nyeri oleh pasien. Kondisi ini disebut sebagai alodinia.
Sedangkan rangsangan kuat yang normalnya dirasakan nyeri akan dirasakan nyeri hebat oleh pasien. Kondisi ini disebut sebagai hiperalgesia. Hal ini terjadi karena terjadi reaksi hipersensitif sebagai akibat dari aktivasi system imun dan lepasnya mediator inflamasi terutama prostaglandin, yang menyebabkan mengsentisisasi nosiseptor sehingga nilai ambang nyeri menurun. Nyeri inflamasi termasuk nyeri protektif karena pasien akan menghindari gerakan atau sentuhan pada bagian tubuh yang mengalami inflamasi agar penyembuhan dapat berjalan dengan normal dan lebih cepat.
c) Nyeri patologik
Nyeri patologik muncul akibat perubahan fungsi dari susunan saraf.
Nyeri menjadi penyakit itu sendiri yaitu penyakit susunan saraf, bukan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan.
a. Nyeri neuropatik
Pada nyeri neuropatik ditemukan lesi atau kerusakan atau disfungsi system saraf perifer maupun sistem saraf pusat.
b. Nyeri disfungsional
Pada nyeri disfungsional tidak ditemukan kerusakan atau disfungsi saraf, tapi jika ditemukan keluhan kronik, bisa tersebar di seluruh tubuh atau pada suatu area spesifik di tubuh, yang disertai penguatan sinyal nyeri ataupun sensitivitas yang abnormal terhadap nyeri.
Klasifikasi nyeri menurut durasi(Aribawa, 2017):
6 i. Nyeri akut
Nyeri akut menunjukkan ada sesuatu yang salah di dalam tubuh kita dan butuh pemeriksaan lebih lanjut. Ciri khasnya dimulai dari adanya kerusakan jaringan lalu terjadi inflamasi yang self-limited, yaitu nyerinya akan hilang bersamaan dengan penyembuhan kerusakan jaringan tersebut.
ii. Nyeri kronik
Nyeri kronik berlangsung lebih dari 3 bulan dan menetap melampaui proses penyembuhannya. Terdapat 3 komponen yang berperan dalam terjadinya nyeri kronik yaitu komponen biologis, psikologis, dan social. Sehingga perlu penanganan multidisiplin.
2.3. Fisiologi Nyeri
Sistem saraf memiliki salah satu fungsi penting untuk menyampaikan informasi tentang ancaman kerusakan tubuh hingga dapat menjadi nyeri. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen(Avidan, 2010):
a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.
b. Saraf aferen primer yaitu saraf A-delta dan C yang mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.
c. Kornu dorsalis medulla spinalis yaitu tempat terjadinya hubungan serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.
7 Gambar 2. 1 Lintasan Sensibilitas
f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri, ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk withdrawl respon).
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level medulla spinalis
Jalur Nyeri di Sistem Saraf Pusat(Bahrudin, 2017):
1. Jalur Asenden
Serabut saraf A-delta dan C bersinaps disubstansia gelatinosa kornu dorsalis medulla spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau cabang paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Cabang neospinotalamikus diaktifkan terutama oleh saraf A-delta kemudian bersinap di nukleus ventroposterolateralis thalamus lalu ke kortek somatosensorik girus pasca sentralis dimana nyeri dipersepsikan. Cabang paleospinotalamikus diaktifkan
8 terutama oleh saraf C merupakan jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formation retikularis batang otak. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus, system limbik, dan korteks serebri.
2. Jalur Desenden
Jalur desenden diidentifikasikan mencakup 3 komponen :
a. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG) dan substansia grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi aquaductus Sylvius.
b. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata bagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
c. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula spinalis ke suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.
Gambar 2. 2 Perjalanan Nyeri
2.4. Patofisiologi Nyeri
Nyeri timbul melalui proses multiple yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotif, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Terdapat empat proses yang jelas terjadi mengikuti proses elektro-fisiologik nosisepsi, yaitu : transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi (Bahrudin, 2017; Mangku dkk, 2018).
9 Transduksi merupakan proses stimuli nyeri yang diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktivitas listrik pada ujung-ujung saraf. Terdapat tiga tipe serabut saraf yang terlibat yaitu serabut A – beta, A – delta, dan C. Serabut A-delta dan C berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri atau nosiseptor. Serabut saraf aferen sebagai silent nociceptor tidak berespon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi (Bahrudin, 2017; Mangku dkk, 2018).
Transmisi merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke kornu dorsalis medulla spinalis kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medulla spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal(Bahrudin, 2017; Mangku dkk, 2018).
Modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesik endogen meliputi enkefalin, endorphin, serotonin, dan noreadrenalin yang mempunyai efek menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. Proses tertutupnya atau terbukanya pintu nyeri trsebut diperankan oleh sistem analgesik endogen. Serangkaian reseptor opioid dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur descending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke midbrain dan medulla oblongata, kemudian ke medulla spinalis. Hasil dari proses inhibisi descendens ini adalah penguatan atau penghambatan (blok) sinyal di kornu dorsalis(Bahrudin, 2017; Mangku dkk, 2018).
Persepsi nyeri adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik mulai dari transduksi, transmisi, dan modulasi kemudian menghasilkan peraaan subyektif yang dikenal sebagai persepsi. Reseptor nyeri yaitu organ tubuh berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh tersebut adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis,
10 reseptor nyeri ada yang bermyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen(Bahrudin, 2017; Mangku dkk, 2018).
Rangsangan nyeri diterima oleh kulit bisa dengan intensitas tinggi dan rendah. Apabla sel mengalami nekrotik akan merilis K+ dan protein intraseluler.
Ketika terjadi peningkatan kadar K+ di ekstrasululer terjadi depolarisasi nosiseptor.
Protein pada beberapa kondisi akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga terjadi inflamasi. Akibatnya terjadi pelepasan mediator nyeri seperti leukotriene, prostaglandin E2, dan histamin yang merangsang nosiseptor kemudian terjadi nyeri (hyperalgesia atau allodynia). Lesi tersebut juga akan mengaktifkan factor pembekuan darah sehingga bradykinin dan serotonin terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Apabila terjadi oklusi pembuluh darah dapat terjadi iskemia yang menyebabkan akumulasi K+ ekstraseluler dan H+ yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor(Bahrudin, 2017).
Ketika terjadi kerusakan jaringan atau ancaman terjadi kerusakan jaringan dalam kondisi seperti pembedahan akan menyebabkan sel-sel menjadi rusak kemudian mengeluarkan zat-zat kimia yang bersifak algesik, sitokin, serta produk- produk seluler lain. Zat-zat ini akan berkumpul di sekitar jaringan yang rusak sehingga muncul nyeri(Latief, 2010).
Tabel 2. 1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri
Histamin, bradykinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi edema local, tekanan
Zat Sumber Menimbulkan
nyeri
Efek pada aferen primer Kalium
Seroronin Bradikinin Histramin Prostaglandin Lekotrien Substansi P
Sel-sel rusak Trombosis
Kininogen plasma Sel-sel mast
Asam arakidonat dan sel rusak Asam arakidonat dan sel rusak Aferen primer
++
++
++++
±
±
±
Mengaktifkan Mengaktifkan Mengaktifkan Mengaktifkan Sensitisasi Sensitisasi Sensitisasi
11 jaringan meningkat dan terjadi perangsangan nosiseptor. Ketika nosiseptor terangsang, substansi peptide P dan kalsitonin gen terkait peptide akan merangsang proses inflamasi, vasodilatasi, dan meningkatnya pemeabilitas pembuluh darah.
Serotonin memiliki efek vasokontriksi diikuti oleh vasodilatasi yang menyebabkan migrain. Semua perangsangan nosiseptor ini yang menjadi penyebab nyeri (Bahrudin, 2017).
Gambar 2. 3 Mekanisme Nyeri Perifer
Neuroregulator merupakan substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf yang terdiri dari neurotransmitter dan neuromodulator.
Neurotransmitter akan mengirimkan impuls-impuls elektrik melalui celah sinaps antara dua serabut saraf yang bisa mengeksitasi atau menghambat. Neuromodulator bekerja secara tidak langsung meningkatkan atau menurunkan efek neurotransmitter(Bahrudin, 2017).
1. Neurotransmiter
a. Substansi P (Peptida)
Ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptide eksitator) berfungsi untuk menstranmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan dapat menyebabkan vasodilatasi dan edema.
12 b. Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri.
c. Prostaglandin
Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dipercaya dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
2. Neuromodulator
a. Endorfin (morfin endogen)
Merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh. Diaktivasi oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal, dan traktus gastrointestinal. Berfungsi memberi efek analgesik
b. Bradikinin
Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada daerah yang mengalami cedera. Bekerja pada reseptor saraf perifer, menyebabkan peningkatan stimulus nyeri. Bekerja di sel, menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.
Stimulus noksius yang berkepanjangan akibat pembedahan atau inflamasi, dapat mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari nuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius.
Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri (Benzon dkk, 2009).
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut
13 sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi(Benzon dkk, 2009).
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri.
Dewasa ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan(Benzon dkk, 2009).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan(Benzon dkk, 2009).
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf (Benzon dkk, 2009).
14 Gambar 2. 4 Skema Sensitasi Sentral
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA(Benzon dkk, 2009).
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan
15 influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca- calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor. Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu sendiri.
Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri(Benzon dkk, 2009).
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya “wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan. Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri(Benzon dkk, 2009).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral (Benzon dkk, 2009).
16 2.5. Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri
Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri.
Hal ini dapat terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti(Mangku, 2007):
1. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.
Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
2. Serat inhibisi desendens.
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu:
a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus c. Lintasan III: Berawal dari nucleus Edinger Wesphal
Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3. Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa.
17 2.6. Respon Tubuh Terhadap Nyeri
Respon tubuh terhadap terhadap nyeri akan terjadi reaksi endokrin berupa mobilisasi hormone-hormon katabolic dan terjadi reaksi imunologik yang disebut sebagai respon stress. Respon stress akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, menganggu fungsi respirasi, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung, serta akan mengundangrisiko terjadi tromboemboli, lalu meningkatkan morbiditas dan mortalitas(Mangku dkk, 2018).
Rangsang nosiseptif menyebabkan respon hormonal bifasik yaitu pelepasan hormone katabolic seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II, ADH, ACTH, GH, dan Glukagon. Sedangkan hormone anabolic seperti insulin akan ditekan produksinya.hormon katabolic akan menyebabkan hiperglikemia akibat mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses gluconeogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan lipolysis aldosterol, kortisol, ADH akan menyebabkan terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin akan merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah(Mangku dkk, 2018).
1. Efek nyeri terhadap kardiovaskular dan respirasi
Pelepasan Katekolamin, Alosteron, Kortisol, ADH, dan aktifasi Angiotensin IIakan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormone-hormon ini mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh darah serta dapat meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II menimbulkan vasokontriksi.
Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan resistensi vascular perifer yang akan menyebabkan hipertensi. Takikardia dan disritmia dapat menyebabkan iskemia miokard. Retensi Na dan air dapat menimbulkan risiko gagal jantung kongesti(Mangku dkk, 2018).
Bertambahnya cairan ekstrasel di paru-paru dapat menyebabkan kelainan ventilasi perfusi. Apabila terjadi nyeri di dada dan abdomen dapat meningkatkan tonus otot daerah tersebut sehingga dapat muncul hipoventilasi, sulit nafas dalam dan mengeluarkan sputum. Akibatnya penderita mudah mengalami atelectasis dan hipoksemia(Mangku dkk, 2018).
2. Efek nyeri terhadap organ lain
18 Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri dapat menimbulkan inhibisi saluran cerna dan dapat terjadi gangguan pasase usus. Nyeri juga akan mempengaruhi fungsi immunologic seperti limfopenia, leukositosis, dan depresi RES sehingga menyebabkan resistensi terhadap kuman-kuman pathogen menurun. Efek nyeri terhadap fungsi koagulasi dapat menimbulkan perubahan viskositas darah dan fungsi platelet, serta peningkatan adevitas trombosit. Efek dari katekolamin juga dapat menyebabkan vasokontriksi dan imobilisasi sehingga mudah terjadi komplikasi thrombosis(Mangku dkk, 2018).
3. Efek nyeri terhadap mutu kehidupan
Pasien akan sangat menderita ketika mengalami nyeri. Banyak kegiatan yang sulit dilakukan oleh pasien yang mengalami nyeri. Pasien kesulitan bernapas dan batuk, tidak enak makan dan minum, gelisah, cemas, perasaan tak tertolong dan putus asa. Kondisi ini sangatt mengganggu kehidupan normal penderita. Mutu kehidupannya sangat rendah, bahkan ada yang tak mampu hidup secara mandiri seperti orang sehat. Maka dari itu, penatalaksanaan nyeri tidak hanya mengurangi rasa nyeri tapi juga menjangkau peningkatan kualitas hidup pasien agar dapat menjalani kehidupan normal(Mangku dkk, 2018).
2.7. Pengukuran Intensitas Nyeri
Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri menggunakan skala assessment nyeri tunggal (uni-dimensional) dan multidimensi. Skala uni- dimensional hanya mengukur intensitas nyeri, biasanya digunakan pada nyeri akut, dan biasa digunakan untuk evaluasi outcome pemberian analgetik. Skala uni- dimensional meliputi Visual Analog Scale (VAS), Verbal Rating Scale (VRS), Numeric Rating Scale (NRS), dan Wong Baker Pain Rating Scale. Sedangkan skala multi-dimensional mengukur intensitas dan afektif nyeri, biasanya diaplikasikan pada nyeri kronis, dan bisa dipakai untuk outcome assessment klinis. Skala multi- dimensional meliputi McGill Pain Questionnaire (MPQ), The Brief Pain Inventory (BPI), Memorial Pain Assessment Card, dan Catatan harian nyeri (Pain Diary) (Yudiyanta dkk, 2015).
1. Visual Analogue Scale (VASs)
19 Metoda menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat (Morgan, 2013; Yudiyanta dkk, 2015).
No Pain The most intense pain Gambar 2. 5 Visual Analog Scale
2. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk menjelaskan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan(Morgan, 2013; Yudiyanta dkk, 2015).
Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
- tidak nyeri (none) - nyeri ringan (mild) - nyeri sedang (moderate) - nyeri berat (severe)
- nyeri sangat berat (very severe) 3. Numerical Rating Scale (NRSs)
Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Pasien diberikan penjelasan bahwa jika tidak ada nyeri sama sekali diberi angka 0, sedangkan nyeri yang paling hebat diberi angka 10. Kemudian pasien diminta derajat nyeri dalam cakupan 0 sampai 10. Untuk mempermudah biasanya disodorkan gambar skala 0-10 pada penderita untuk diminta menentukan tempat derajat nyeri yang dideritanya(Morgan, 2013; Yudiyanta dkk, 2015).
20 Gambar 2. 6 Numeric Pain Intensity Scale
4. The Faces Pain Scale (Wong Baker Pain Rating Scale)
Metoda ini menggunakan mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak. Ekspresi yang bisa dinilai mulai dari tidak sakit sampai sangat sakit(Morgan, 2013; Yudiyanta dkk, 2015).
Faces Pain Rating Scale (untuk anak)
Gambar 2. 7 Faces Pain Scale 5. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejala nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”(Morgan, 2013; Yudiyanta dkk, 2015).
Gambar 2. 8 McGill Pain Questionnaire 6. The Brief Pain Inventory (BPI)
Metode ini menggunakan kuisioner yang digunakan untuk menilai nyeri kronis(Yudiyanta dkk, 2015).
21 Gambar 2. 9 Brief Pain Inventory
7. Memorial Pain Assessment Card
Metoda ini merupakan instrument yang cukup valid untuk menilai nyeri kronis secara subjektif. Terdiri dari 4 bagian penilaian tentang nyeri meliputi intensitas
nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan nyeri, dan mood(Yudiyanta dkk, 2015).
Gambar 2. 10 Memorial Pain Assessment Card
22 8. Catatan harian nyeri (Pain Diary)
Metoda ini menggunakan catatan tertulis atau lisan mengenai pengalaman pasien dan perilaku pasien. Cara ini dapat membantu memantau berbagai variasi status penyakit dan respon pasien terhadap terapi. Aktivitas yang dinilai misalnya tidur, aktivitas seksual, penggunaan obat, makan, merawat rumah, rekreasi, dan aktivitas lainnya(Yudiyanta dkk, 2015).
2.8. Diagnostik Nyeri Akut
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri.
Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada(Latief, 2010; Mangku, 2007).
a. Anamnesis
Tahap pertama yang dilakukan dalam diagnosis nyeri adalah melakukan anamnesis ke pasien. Beberapa pertanyaan diajukan berdasarkan sacred seven dan fundamental four. Khusus untuk anamnesis nyeri, kita harus mengetahui bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, tanyakan lokasi nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu. intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri.
Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat (Hamill, 2009).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan
23 Glasgow come scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial(Hamill, 2009).
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenic(Hamill, 2009).
c. Pemeriksaan psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai. Test yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam menetahui permasalahan psikologis yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk penaggulangan nyeri(Hamill, 2009).
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan(Latief, 2010; Hamill, 2009).
2.9. Penatalaksanaan Nyeri Akut
Setelah diagnosis nyeri ditetapkan, rencana terapi harus disusun. Landasan- landasan yang dianjurkan dalam penatalaksanaan nyeri(Mangku dkk, 2018):
1. Mengutamakan pendekatan klinis termasuk pendekatan psikoterapi 2. Melibatkan pasien dan keluarga, dan menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan terapi klinis apa yang tersedia
3. Menyarankan pasien dan keluarga untuk menginformasikan secara terperinci mengenai nyeri dan lain-lain yang dianggapnya penting untuk diketahui.
Kendala-kendala dalam penatalaksanaan nyeri(Mangku dkk, 2018):
1. Dari pihak dokter
24 Berbagai kendala dari dokter biasanya meliputi kurangnya pengetahuan dalam menilai sifat dan beratnya nyeri. Adanya peraturan-peraturan tentang penggunaan narkotika juga dapat menyebabkan fobia terhadap penggunaan morfin, selain itu efek samping obat sering dikhawatirkan.
2. Dari pihak pasien
Seringkali pasien kurang terbuka dalam melaporkan sifat dan beratnya nyeri yang dirasakan, nyeri juga dirasakan secara subjektif sehingga sulit dievaluasi dengan tepat. Beberapa pasien juga fobia terhadap penggunaan morfin karena takut akan penggunaannya dan efek samping yang bisa terjadi.
3. Dari pihak pelayanan medis
Pihak pelayanan medis termasuk asuransi medis terkadang memberatkan keluarga pasien karena system ganti pembiayaan yang kurang memadai dan prosedur yang sulit. Aturan-aturan tentang penggunaan narkotika terutama opioid menyebabkan sulitnya ketersediaan obat jenis ini.
Perencanaan pengobatan untuk paska bedah harus disusun. Beberapa modalitas pengobatan nyeri akut paska bedah telah dicoba dan diteliti, beberapa jenis diantaranya sebagai berikut:
a. Modalitas fisik
Modalitas fisik umumnya dianggap aman, namun bukti tentang efektivitasnya sebagai terapi terapi tambahan bagian dari pendekatan multimodal manajemen nyeri perioperative bervariasi secara substansial. Beberapa contoh terapi fisik adalah TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation), akupuntur, pijat, terapi dingin (dengan dan tanpa kompresi), terapi panas terlokalisasi, gerakan pasif terus menerus, dan imobilisasi atau bracing (Chous dkk, 2016).
TENS merupakan perangkat yang memberikan arus listrik tegangan rendah melalui kulit. Diperirakan mengkaktifkan jalur inhibisi descenden endogen kemudian mengaktifkan reseptor opioid agar menurunkan rangsangan sentral dan mengurangi rasa sakit melalui efek stimulasi pada serat aferen berdiameter besar.
TENS pada terapi paska operasi akan menurunkan penggunaan analgesik lainnya dibandingkan tanpa TENS. Walaupun hingga saat ini belum ada cukup bukti yang
25 merekomendasikan TENS spesifik untuk terapi nyeri paska operasi (Chous dkk, 2016).
Akupuntur merupakan terapi dengan menempatkan jarum di dalam tubuh pada titik-titik yang ditentukan. Ada beberapa metode lain yang juga mengginakan titik akupuntur misalnya akrupresur (menggunakan tekanan di titik akupuntur) dan elektroakupuntur (pengunaan arus listrik di jarum pada titik akupuntur). Hingga kini, bukti mengenai efektivitas akupuntur untuk nyeri pasca operasi belum bisa dipastikan karena pada beberapa penelitian tidak ditemukan pernyataan menanggulangi nyeri paska operasi dengan akupuntur dengan analgesic dbandingkan hanya menggunakan analgesik. Sehingga membutuhkan penelitian lanjut untuk menentukan efektivitas dari akupuntur pada penanganan nyeri paska operasi (Chous dkk, 2016).
Terapi dingin menerapkan pendinginan permukaan kulit dengan atau tanpa kompresi, dengan atau tanpa alat resirkulasi agar suhu tetap dingin. Terapi dingin lokal biasanya digunakan termasuk pada nyeri akut paska operasi untuk menurunkan suhu jaringan sehingga edema berkurang dan memberi efek analgesia lokal. Terapi dingin sering tidak konsisten dan tidak ditemukan perbedaan hasil yang signifikan dengan yang tidak dilakukan terapi dingin pada nyeri paska operasi (Chous dkk, 2016).
Modalitas fisik umumnya dianggap aman, namun belum ada cukup evidence yang menunjukkan efektivitasi dari terapi sehingga belum direkomendasikan untuk terapi nyeri akut paska operasi. Biaya perawatan, waktu rawat inap, juga harus dipertimbangkan sebelum memulai terapi fisik sebagai adjuvant perawatan lainnya (Chous dkk, 2016).
b. Modalitas kognitif-behavioral
Beberapa modalitas kognitif-perilaku telah diuji sebagai terapi tambahan pada pasien yang menjalani operasi. Beberapa diantaranya yaitu relaksasi dengan pencitraan atau relaksasi lain, hypnosis, dan sugesti intraoperatif yaitu pemberian sugesti positif pada pasien dalam pengaruh anestesi dalam menghadapi nyeri paska operasi dan penyembuhannya. Musik juga telah dievaluasi sebagai intervensi terpisah atau bagian dari intervensi lain. Modalitas kognitif-perilaku bisa diberikan
26 berbagai tenaga kesehatan seperti psikolog, perawat, dokter, atau bisa juga pekerja rumah sakit lainnya (Chous dkk, 2016).
Beberapa terapi kognitif-perilaku menunjukkan dampak positif pada nyeri akut paska operasi, kecemasan, dan penggunaan obat analgesik paska operasi.
Walaupun efek yang dihasilkan belum jelas pada durasi rawat inap, tidak terdapat risiko yang signifikan karena tidak melakukan tindakan invasif. Tidak terdapat bukti yang merekomendasikan menggunakan satu modalitas kognitif-perilaku diatas modalitas yang lain. Diantara semua modalitas, tidak dapat ditentukan terapi mana yang paling efektif, dan tidak dapat ditentukan apakah lebih baik diberikan sebelum operasi atau setelah operasi (Chous dkk, 2016).
Penggunaannya sebagai bagian dari pendekatan terapi multimodal pada orang dewasa dapat dipertimbangkan dalam pemberian terapi adjuvant. Tidak terdapat cukup bukti untuk merekomendasikan maupun menentang modalitas kognitif-perilaku pada anak-anak. Dokter perlu mendiskusikan penggunaan dengan pasien besera keluarga dalam mempertimbangkan penggunaan modalitas kognitif-perilaku sebagai bagian dari rencana manajemen perioperative secara keseluruhan (Chous dkk, 2016).
c. Modalitas Anestesi Regional (Neuraxial)
Anestesi lokal (dengan atau tanpa opioid) untuk analgesia epidural dan analgesia spinal (opioid intratekal) pada dewasa dan anak-anak dapat memberikan hasil skor nyeri postoperatif yang lebih rendah dan penurunan penggunaan analgesik jika dibandingkan dengan injeksi plasebo atau analgesik opioid sistemik pada pasien yang menjalani berbagai operasi. Analgesia epidural dan spinal dapat memberi hasil penurunan risiko mortalitas paska operasi, tromboemboli vena, infark miokard, pneumonia, depresi pernapasan, dan penurunan durasi ileus dibandingkan analgesia sistemik (Chous dkk, 2016).
Penggunaan analgesia epidural atau spinal untuk manajemen nyeri pasca operasi dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang menjalani prosedur pembedahan toraks dan abdomen utama, operasi sesar, operasi pinggul dan operasi ekstremitas bawah. Teknik ini juga dipertimbangkan pada pasien yang beresiko seperti penyakit jantung, komplikasi paru, ataupun ileus yang berkepanjangan.
27 Keuntungan analgesia epidural dibandingkan dengan analgesia lain yakni metode ini dapat diberikan sebagai infus berkelanjutan atau sebagai PCA dengan anestesi lokal, sedangkan analgesia spinal terbatas pada dosis tunggal opioid (Chous dkk, 2016).
Penggunaan analgesia epidural dengan anestesi lokal ersama clonidine dapat memberikan hasil peningkatan analgesia pasien paska operasi dibandingkan tanpa clonidine. Namun hingga saat ini belum ada bukti yang cukup dalam merekomendasikan penggunaan rutin obat ini dan sering dikaitkan dengan risiko hipotensi (Chous dkk, 2016).
Pemberian analgesia epidural dengan anestesi lokal bersama clonidine dapat memberikan hasil peningkatan analgesia pada pasien paska operasi dibandingkan dengan anestesi lokal epidural saja, tetapi belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin obat ini dan penggunaannya sering dikaitkan dengan peningkatan risiko hipotensi. Sementara untuk anestesi lainnya, belum ada bukti cukup mengenai efektivitas obat-obatan ajuvan yang diberikan dengan menggunakan rute epidural atau spinal dengan anestesi lokal (dengan atau tanpa opioid). Pemberian magnesium, benzodiazepin, neostigmin, tramadol, dan ketamin dalam pengobatan nyeri akut postoperatif tidak disarankan karena tidak ada manfaat yang jelas dan kurang cukup bukti untuk menentukan keamanan (Chous dkk, 2016).
Walaupun neuraxial analgesia dihubungkan dengan menurunnya risiko mortalitas pada pasien perioperatif dan komplikasi paru jantung dibandingkan opioid sistemik, dapat terjadi efek samping seperti depresi pernapasan, hipotensi, dan kelemahan motoric akibat kompresi sumsum tulang belakang akibat hematoma atau infeksi. Analgesia neuraxial pada pasien yang melakukan operasi pinggul dan ekstremitas bawah, mungkin dapat menutupi gejala sindrom kompartmen.
Sehingga dokter harus terus memantau pasien yang menerima intervensi analgesia neuraxial, agar apabila terjadi efek samping dokter telah siap untuk mengobati dengan pengurangan dosis, pengangkatan kateter, antagonis opioid, dekompresi hematoma epidural, antibiotic, dan tindakan lain sesuai dengan tindakan yang diperlukan (Chous dkk, 2016).
28 d. Modalitas Anestesi Topikal dan/atau Lokal
Pada penggunaan infiltrasi subkutan dan/atau intraartikular sebagai anestesi lokal long-acting di lokasi bedah terbukti efektif menjadi komponen analgesia multimodal dalam beberapa prosedur bedah, termasuk operasi total knee replacement, operasi lutut artroskopik, operasi sesar, laparotomi, dan operasi wasir.
Tapi dalam beberapa penelitian, tidak ditemukan manfaat spesifik sehingga hasil akhir penerapannya belum pasti yang menyebabkan metode ini belum direkomendasikan untuk penggunaan rutin (Chous dkk, 2016).
Bukti menunjukkan efektifitas anestesi topikal pada bayi yang menjalani sirkumsisi dalam kombinasi dengan blok saraf penis. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas campuran euktik anestesi lokal untuk prosedur ini, namun campuran eutektik anestesi lokal dikaitkan dengan risiko methemoglobinemia pada bayi di bawah 3 bulan, apabila aplikasi berlebihan, atau jika menggunakan obat lain yang terkait dengan methemoglobinemia (Chous dkk, 2016).
Analgesia intrapleural dengan anestesi lokal setelah operasi toraks tidak berhubungan dengan efek menguntungkan yang jelas pada nyeri paska operasi, meskipun hasil penelitian agak tidak konsisten. Selain itu, teknik ini mungkin dikaitkan dengan toksisitas potensial karena tingginya penyerapan sistemik anestesi lokal dari ruang intrapleural. Jika analgesia intrapleural dengan anestesi lokal digunakan, itu harus sebagai bagian dari pendekatan multimodal dengan pemantauan ketat untuk potensi toksisitas (Chous dkk, 2016).
e. Modalitas Farmakoterapi Sistemik
Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit. Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut(Morgan, 2013) :
• Bisakah pasien minum analgesik oral?
• Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?
29
• Bisakah anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?
• Bisakah digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.
Gambar 2. 11 WHO Three Step Analgesic Ladder
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti “WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu(Morgan, 2013):
1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.
Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses transduksi dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol(Arifin dkk, 2012).
30 Tabel 2.2 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat
nyeri ringan
Tabel 2.3 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat nyeri sedang
31 Tabel 2.4 Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat
nyeri sedang dan berat
Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang bekerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat- obatan yang bekerja di perifer(Arifin dkk, 2016).
Gambar 2. 12 Tangga Pemberian Analgesik WFSA
32 Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa pemberian opioid IV tidak lebih baik dibandingkan dengan rute oral untuk analgesia postoperatif. Oleh karena itu, pemberian opioid oral umumnya lebih dipilih untuk manajemen nyeri paska operasi pada pasien yang dapat menggunakan rute oral. Nyeri pasca operasi seringkali berlangsung terus menerus pada awalnya dan sering membutuhkan dosis sepanjang waktu selama 24 jam pertama. Opioid oral kerja lama umumnya tidak direkomendasikan pada periode sesaat paska operasi karena dibutuhkannya titrasi dosis dan kurangnya bukti yang menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan opioid oral kerja pendek. Penggunaan rute intramuskuler untuk pemberian analgesik untuk manajemen nyeri paska operasi tidak dianjurkan karena pemberian intramuskuler dapat menyebabkan nyeri yang signifikan kepada pasien dan penyerapannya sendiri kurang bagus sehingga menghasilkan analgesia postoperatif yang tidak konsisten. Rute intramuskuler juga tidak menunjukkan keunggulan dibandingkan rute lainnya (oral, IV, per-rectal, maupun topikal) (Chous dkk, 2016).
Ketika pemberian analgesik enteral pasca operasi tidak dapat diberikan (pada pasien ileus, risiko aspirasi, atau setelah prosedur bedah) maka dapat direkomendasikan penggunaan iv PCA. Rute iv PCA ini hanya diberikan kepada pasien yang memerlukan analgesia selama lebih dari beberapa jam dan memiliki fungsi kognitif yang memadai untuk memahami penggunaan alat dan batasan keamanannya. Pada anak-anak diberikan batasan usia 6 tahun untuk dapat menggunakan iv PCA dengan tepat. Dari survey dan penelitian ditunjukkan efektivitas dan kepuasan pasien lebih besar dengan penggunaan iv PCA daripada pemberian opioid intermiten oleh penyedia layanan kesehatan. Bolus opioid IV dapat dipertimbangkan dalam periode sesaat (beberapa jam pertama) paska operasi untuk penghilang rasa sakit yang lebih cepat dan titrasi analgesik, dan pada pasien dengan sedasi pasca operasi yang dipantau secara ketat(Chous dkk, 2016).
Pada pasien yang menggunakan rute iv PCA, tidak direkomendasikan penggunaan rutin infus basal opioid pada pasien yang belum terpapar opioid sebelumnya, dikarenakan bukti menunjukkan tidak ada keunggulan analgesia yang didapatkan dibandingkan dengan PCA tanpa infus basal. Selain itu, infus basal opioid dikaitkan dengan peningkatan risiko mual dan muntah, dan dalam beberapa
33 penelitian didapatkan peningkatan risiko depresi pernapasan pada orang dewasa.
Data mengenai penggunaan infus basal opioid pada pasien toleran opioid yang menggunakan PCA masih kurang, akan tetapi diduga terdapat alasan kuat untuk penggunaannya karena adanya potensi untuk kurangnya dosis dan rasa sakit yang tidak terkendali, serta terjadinya withdrawal opioid, terutama pada pasien yang menerima terapi opioid jangka panjang sebelum operasi. Selain itu, belum ada bukti cukup untuk merekomendasikan penggunaan infus basal opioid pada anak-anak, meskipun pada beberapa penelitian ditunjukkan bahwa pemberian opioid basal dengan dosis rendah dapat digunakan dengan aman(Chous dkk, 2016).
Dikarenakan adanya risiko sedasi berlebih dan depresi pernafasan, pasien yang menerima opioid sistemik untuk analgesia paska operasi harus dipantau secara ketat pada jam-jam awal setelah operasi atau perubahan dosis berikutnya.
Pemantauan mencakup penilaian kesadaran dan tanda-tanda atau gejala hipoventilasi atau hipoksia pada pasien. Meskipun pulse oximetry sering digunakan untuk memantau status pernapasan pada periode paska operasi, disarankan dilakukan pemantauan tambahan oleh petugas kesehatan dikarenakan pulse oximetry memiliki sensitivitas rendah untuk hipoventilasi ketika oksigen tambahan sedang diberikan. Penggunaan kapnografi mungkin lebih sensitif daripada pulse oxymetry dalam mengidentifikasi depresi pernapasan pada pasien yang menerima oksigen tambahan. Namun, tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan kapnografi atau metode pemantauan canggih lainnya. Depresi pernapasan cenderung terjadi apabila didapatkan faktor resiko berupa riwayat sleep apnea obstruktif atau sentral dan adanya penggunaan obat penekan sistem saraf pusat. Pada pasien dengan sedasi berlebihan atau tanda-tanda depresi pernapasan, harus segera dilakukan pengubahan ataupun pengurangan opioid, pemberian bantuan pernapasan, dan pemberian antagonis opioid bila perlu(Chous dkk, 2016).
Asetaminofen dan NSAID telah dievaluasi sebagai bagian dari analgesia multimodal pada pasien yang juga menerima opioid untuk manajemen nyeri paska operasi. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan acetaminophen atau NSAID yang diberikan dengan opioid dikaitkan dengan pengurangan rasa sakit paska operasi dan jumlah opioid yang dikonsumsi daripada pemberian opioid tunggal.
Selain itu, acetaminophen dan NSAID memiliki mekanisme kerja yang berbeda dan
34 penelitian menunjukkan bahwa kombinasi acetaminophen dengan NSAID akan lebih efektif daripada penggunaan kedua obat secara tunggal. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara pemberian obat melalui rute iv dibandingkan dengan pemberian oral dalam mengurangi rasa sakit pasca operasi, selain dari pada onset yang lebih cepat dengan penggunaan rute iv. NSAID dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan dan ulserasi gastrointestinal, kejadian kardiovaskular, dan disfungsi ginjal yang harus dipertimbangkan ketika memilih terapi. Resiko kerusakan gastrointestinal dianggap lebih rendah dengan pemberian COX 2-selective NSAID yakni celecoxib. Meskipun beberapa data pengamatan menunjukkan keterkaitan antara penggunaan NSAID dosis tinggi dan nonunion dalam fusi tulang belakang, pada penelitian dengan data yang besar, hubungan tersebut didapatkan tidak signifikan secara statistik. Studi pengamatan lain juga menunjukkan bahwa penggunaan NSAID mungkin terkait dengan peningkatan risiko dari kebocoran anastomosis setelah pembedahan kolorektal, namun belum ditemukan bukti yang cukup. NSAID dikontraindikasikan untuk penatalaksanaan nyeri perioperatif pada pasien yang menjalani operasi cangkok bypass arteri koroner karena peningkatan risiko kejadian kardiovaskular(Chous dkk, 2016).
Beberapa penelitian juga merekomendasikan penggunaan celecoxib sebelum operasi pada pasien yang menjalani operasi besar. Pada penelitian yang dilakukan, Celecoxib dengan dosis 200 hingga 400 mg yang diberikan 30 menit hingga 1 jam sebelum operasi dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan opioid setelah operasi, dan didapatkan skor nyeri pasca operasi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa penambahan celecoxib. Namun, pemberian celecoxib dikontraindikasikan pada pasien yang menjalani operasi cangkok bypass arteri koroner dikarenakan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular. Penelitian lebih lanjut masih dilakukan untuk meneliti manfaat dan efek samping dari obat ini (Chous dkk, 2016).
Penggunaan gabapentin atau pregabalin sebagai bagian dari rejimen multimodal pada pasien yang menjalani operasi juga dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan opioid setelah prosedur bedah besar atau kecil, dan beberapa penelitian melaporkan skor nyeri pasca operasi yang lebih rendah. Kedua obat tampak efektif ketika diberikan saat pre-operasi (600 atau 1200 mg gabapentin
35 atau 150 atau 300 mg pregabalin, diberikan 1-2 jam sebelum operasi), Beberapa penelitian juga menemukan penggunaan obat ini pada paska operasi cukup efektif (gabapentin 600 mg dosis tunggal dan pregabalin 150 atau 300 mg setelah 12 jam).
walaupun dosis yang lebih tinggi obat ini lebih efektif dalam menangani nyeri paska operasi namun efek sedasi juga semakin tinggi sehingga, dosis optimal untuk penggunaannya pun masih diteliti lebih lanjut lagi. Pengurangan dosis direkomendasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal(Chous dkk, 2016).
Ketamin IV telah dievaluasi sebagai bagian dari analgesia multimodal. Pada orang dewasa dan anak-anak, sama seperti obat lainnya pemberian ketamin iv dikaitkan dengan penurunan penggunaan obat nyeri paska operasi menurunkan skor nyeri pasca operasi. Dalam uji coba, ketamin dapat diberikan sebelum operasi, intraoperatif, dan/atau paska operasi, pada berbagai dosis (mulai dari bolus 0.15-2 mg / kg sebelum insisi dan pada penutupan). Belum ada bukti yang cukup menentukan dosis optimal untuk ketamin, akan tetapi guideline dari America Pain Society menyarankan menggunakan bolus sebelum operasi 0,5 mg/kg diikuti dengan infus 10 µg/kg/menit secara intraoperatif, dan paska operasi dengan atau tanpa infus dosis yang lebih rendah. Ketamin dikaitkan dengan peningkatan risiko halusinasi dan mimpi buruk(Chous dkk, 2016).
Lidokain IV telah dievaluasi sebagai bagian dari analgesia multimodal.
Pada pasien yang menjalani prosedur bedah perut terbuka atau laparoskopi, penelitian menunjukkan pemberian infus lidokain perioperatif atau intraoperatif, dapat membuat durasi ileus yang lebih pendek dan kualitas analgesia yang lebih baik dibandingkan dengan placebo. Dimana pada uji coba, lidokain diberikan sebagai bolus (100-150 mg atau 1,5-2,0 mg / kg) diikuti dengan infus 2 sampai 3 mg/kg/jam sampai akhir operasi. Dosis optimal lidokain yang direkomendasikan secara pasti belum ada, tetapi berdasarkan data klinis sampai sekarang disarankan dosis induksi 1,5 mg/kg diikuti oleh 2 mg/kg/jam secara intraoperatif. Pemberian lidokain pada periode paska operasi belum diteliti lagi lebih lanjut(Chous dkk, 2016).
36 BAB III LAPORAN KA SUS
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Putu Suprapta Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 51 tahun
Alamat : Br. Babakan, Panji, Sukasada, Buleleng Pekerjaan : Wiraswasta
No RM : 19022858 Ruangan : Angsoka 105
MRS : 27 Mei 2019 pk. 14.28 Wita
DPJP Anestesi : dr. IGP Sukrana Sidemen, Sp. An, KAR DPJP Bedah : dr. Made Bramantya Karna, Sp. OT Diagnosis : CF Left Neck Humerus Neer 4 Part Tindakan : ORIF PS
II. ANAMNESIS
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada lengan kiri sejak 3 minggu yang lalu setelah mengalami kecelakaan pada tanggal 4 Mei 2019 menggunakan sepeda motor. Pasien terjatuh kearah kiri hingga tangan kirinya terbentur. Pasien sempat dirawat di Rumah Sakit Kerta Husada Singaraja dan sempat mendapat perawatan di ICU. Sempat dikatakan mengalami perdarahan kepala namun tidak dilakukan operasi, saat ini kondisi pasien membaik. Pasien juga mengeluhkan sulit menggerakkan tangan kirinya. Tidak terdapat keluhan mual, muntah, demam, dan sesak.
Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu dan rutin mengonsumsi obat amlodipine 1 x 5 mg. Riwayat stroke pada tahun 2015 dengan kelemahan badan sebelah kiri dan bicara rero, sempat dilakukan perawatan lalu pasien dapat beraktivitas seperti biasa tanpa obat dan tidak ada sequelae. Riwayat kencing manis, asma, dan penyakit lain disangkal. Tidak terdapat riwayat alergi dan operasi. Pasien tidak memiliki