• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

D. Pembahasan

Hasil penelitian hubungan antara happiness dengan kualitas hidup pada pasien kanker diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar r = 0.451, yang berarti ada hubungan positif antara happiness dengan kualitas hidup. Hubungan yang positif menunjukkan bahwa kenaikan skor pada variabel

happiness akan diikuti kenaikan skor pada variabel kualitas hidup.

Hubungan antara happiness dengan kualitas hidup ini didukung pernyataan Myers (2002) yaitu, ciri-ciri individu yang bahagia adalah mampu menghargai dirinya sendiri, tidak mudah menyerah, dan mampu mengendalikan dirinya. Hal ini membuat individu yang bahagia lebih mampu untuk menerima kondisi kesehatan mereka dan memiliki harapan hidup yang tinggi (Soraki & Abolghasemi, 2016). Ketika individu mampu menerima kondisi kesehatannya, mereka akan lebih mampu bertahan dan tidak putus asa sehingga memiliki kualitas hidup yang lebih positif (Michalos et al, 2000).

Koefisien determinasi (R2) diperoleh sebesar 0,204 yang berarti

happiness menyumbang 20,4% pengaruh terhadap kualitas hidup subjek

penelitian dari sekian banyak faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup subjek. Menurut Brown (1996), terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang, yaitu faktor lingkungan dan pribadi. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan makro dan lingkungan sekitar, sedangkan faktor pribadi terdiri dari faktor biologis dan psikologis.

Happiness merupakan salah satu faktor psikologis yang berasal dari

pribadi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

Dari analisis data juga didapat kategorisasi happiness dan kualitas hidup subjek. Subjek dengan tingkat happiness yang rendah berjumlah 3% dan tinggi berjumlah 55%. Dari kelompok subjek yang berada pada kategori happiness tinggi, hasil pengukuran memperlihatkan bahwa aspek optimisme memberikan skor lebih tinggi dibanding aspek lainnya pada variabel happiness. Hal ini sejalan dengan penelitian Gustavsson-Lilius et al (2006) yang menyatakan bahwa pasien kanker yang optimis memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dibandingkan pasien kanker yang pesimis. Selain itu, rasa optimis yang dimiliki pasien kanker juga dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam menjalankan aktivitas sosialnya terutama menjalin hubungan positif dengan orang lain (Carver et al., 2003). Pasien kanker yang memiliki kesehatan psikologis dan kemampuan aktivitas sosial yang baik merupakan ciri-ciri orang yang bahagia (Myers, 2002). Hal ini didukung pula dengan hasil observasi yang peneliti lakukan di lapangan yaitu, meskipun sedang menjalani kemoterapi, pasien kanker yang menjadi subjek penelitian disini terlihat tidak mengeluh. Kebanyakan dari mereka juga melaporkan bahwa mereka memiliki keinginan untuk sembuh yang besar dan memiliki banyak hal yang ingin dilakukan kedepannya.

Pada kategorisasi kualitas hidup diketahui bahwa subjek dengan kualitas hidup yang negatif sebesar 6% dan positif sebesar 57%. Besarnya

emosi positif, seperti kebahagiaan yang dirasakan pasien kanker dapat menjadi faktor untuk menjelaskan hal ini. Soraki & Abolghasemi (2016) menyatakan bahwa happiness dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam hal positive thinking, problem solving, dan hope. Kemampuan tersebut dapat membantu pasien kanker untuk tetap dapat memaknai hidup mereka serta meningkatkan keberfungsian dalam menjalani hidup. Howren et al (2010) juga menyatakan bahwa pasien yang mengalami emosi negatif sering memiliki kualitas hidup yang lebih rendah diantara cancer survivor lainnya.

Selain itu, Bowling (2005) juga menyatakan bahwa kriteria kualitas hidup yang positif ditentukan dengan seseorang yang memiliki pandangan psikologis yang positif, memiliki kesejahteraan emosional, kesehatan fisik dan mental yang baik, kemampuan fisik untuk melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, serta memiliki hubungan yang baik dengan teman dan keluarga. Pernyataan Bowling (2005) tersebut sesuai dengan pernyataan mayoritas pasien kanker yang menjadi subjek pada penelitian ini yang juga melaporkan bahwa meskipun kondisi kesehatan mereka saat ini tidak sesehat dulu, tapi mereka merasa masih mampu menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa dan tetap memiliki hubungan yang baik dengan keluarga, teman, dan tetangga.

Kategorisasi happiness dan kualitas hidup pada penelitian ini ditemukan bahwa sangat sedikit subjek yang berada pada kategorisasi

tinggi atau positif. Hal ini dapat disebabkan metode pengumpulan data yang dilakukan peneliti, yaitu dengan cara subjek tidak membaca dan mengisi sendiri skala happiness dan kualitas hidup yang telah disiapkan melainkan peneliti membacakan setiap pernyataan yang ada di skala yang kemudian dijawab oleh subjek penelitian. Hal ini dapat menimbulkan

faking good, dimana subjek berusaha menampilkan kesan yang baik

kepada peneliti. Selain itu, aitem-aitem yang mengandung nilai social

desirability yang tinggi juga dapat menjadi penyebab subjek memiliki skor

yang tinggi pada kedua alat ukur tersebut. Hal-hal tersebut merupakan kelemahan pada penelitian ini dan diharapkan pada penelitian-peneiltian selanjutnya hal tersebut dapat dipertimbangkan.

Pada penelitian ini juga dianalisa perbedaan nilai rata-rata subjek pada variabel happiness dan kualitas hidup yang ditinjau berdasarkan usia dan jenis kelamin. Pada variabel happiness, berdasarkan jenis kelamindidapatkan skor rata-rata pada subjek laki-laki sebesar 55,52 dan pada subjek perempuan sebesar 55,37. Selisih keduanya adalah sebesar 0,15. Hal ini didukung pernyataan Seligman (2005) yang menyatakan bahwa tingkat emosi rata-rata pria dan wanita tidak jauh berbeda.

Pada variabel kualitas hidup, skor rata-rata pada subjek laki-laki sebesar 52,52 dan pada subjek perempuan sebesar 51,88. Selisih keduanya adalah sebesar 0,64. Dapat dilihat dari hasil tersebut bahwa skor rata-rata kualitas hidup laki-laki dan perempuan secara signifikan tidak terlalu berbeda. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Giesinger et al (2009)

yang menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas hidup pada pasien kanker laki-laki maupun perempuan.

Berdasarkan usia, pada variabel happiness didapatkan skor rata-rata subjek pada kelompok tahap perkembangan dewasa awal adalah sebesar 58,70 dan pada dewasa madya sebesar 52,68. Selisih keduanya adalah sebesar 6,02. Meskipun tidak terlalu besar, terlihat bahwa nilai happiness pada subjek dewasa awal lebih tinggi dibandingkan subjek pada kelompok tahap perkembangan dewasa madya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Seligman (2005) yaitu, intensitas emosi yang dirasakan seseorang baik positif maupun negatif akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia.

Pada variabel kualitas hidup didapatkan skor rata-rata subjek pada kelompok tahap perkembangan dewasa awal adalah sebesar 57,17 dan pada dewasa madya sebesar 47,82. Selisih keduanya adalah sebesar 9,35. Dari hasil tersebut terlihat bahwa nilai kualitas hidup pada subjek dewasa awal lebih tinggi dibandingkan subjek pada dewasa madya. Hal ini sejalan dengan penelitian Pereira & Canavarro (2011) yang menyatakan bahwa kualitas hidup individu pada kelompok usia dewasa awal lebih tinggi dibandingkan individu dewasa madya.

Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan, pasien kanker yang menjadi subjek penelitian disini menanggapi pernyataan – pernyataan yang terdapat pada skala dengan kooperatif meskipun sedang

dengan jawaban sangat tidak setuju sampai sangat setuju, subjek juga menjelasakan alasan dibalik jawaban yang mereka berikan. Meskipun tidak banyak, ada juga subjek yang sampai meneteskan air mata ketika menjelaskan bagaimana perasaan mereka mengenai penyakit yang mereka alami tersebut. Penjelasan-penjelasan yang diberikan subjek juga memperlihatkan bahwa mereka memiliki keinginan yang besar untuk sembuh.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil Utama Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan utama penelitian diperoleh hasil utama penelitian yaitu adanya hubungan antara happiness dengan kualitas hidup pada pasien kanker yang menjadi subjek penelitian. 2. Hasil Tambahan Penelitian

a. Berdasarkan kategorisasi, pada variabel happiness, mayoritas subjek berada pada kategorisasi tinggi. Begitu pula dengan variabel kualitas hidup, mayoritas subjek berada pada kategorisasi positif. b. Berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang terlalu

signifikan pada pasien kanker yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan pada variabel happiness maupun kualitas hidup.

c. Berdasarkan usia, pasien kanker pada tahap perkembangan dewasa awal memiliki skor rata-rata lebih tinggi dibandingkan subjek pada kelompok tahap perkembangan dewasa madya pada variabel

B. Saran

Adapun saran-saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Saran Metodologis

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengungkap variabel lainnya yang berhubungan dengan kualitas hidup selain happiness, seperti optimisme karena ditemukan bahwa aspek optimisme memiliki skor tertinggi diantara kelima aspek kualitas hidup lainnya pada subjek penelitian.

2. Saran Praktis

a. Pasien kanker diharapkan dapat menerima penyakit mereka dan menyesuaikan diri dengan ketidaknyamanan atau bahkan keterbatasan secara fisik yang mereka rasakan setelah mengalami penyakit tersebut. Masalah psikologis seperti munculnya emosi-emosi negatif merupakan hal yang wajar dirasakan pasien kanker pada awal diagnosis, namun diharapkan pasien kanker tidak berlarut-larut merasakan emosi negatif melainkan bangkit dan menjalani pengobatan medis dengan rutin untuk melawan kanker tersebut.Sehingga pasien kanker dapat merasakan kebahagiaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker.

b. Pasien kanker juga perlu meningkatkan rasa optimis dengan bantuan dari orang sekitarnya seperti keluarga, teman, dan tim medis, yaitu dengan memberikan dukungan dan perhatian kepada

pasien kanker. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini ditemukan bahwa optimisme merupakan aspek penting dalam kebahagiaan.

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Happiness

1. Definisi Happiness

Kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda. Aristoteles (dalam Adler, 2003) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan berasal dari kata

happy” atau bahagia yang berarti feeling good, having fun, having a good

time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan.

Sedangkan orang yang bahagia menurut Aristoteles (dalam Rusydi, 2007) adalah orang yang mempunyai good birth, good health, good look, good

luck, good reputation, good friends, good money dan goodness.

Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang tidak mempunyai komponen perasaan sama sekali. Sedangkan

happiness atau kebahagiaan menurut Biswas-Diener & Dean (2007)

merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia – apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang lebih tinggi.

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa happiness adalah perasaan positif yang ditandai dengan adanya pengalaman menyenangkan yang dirasakan individu sehingga membuat kehidupan dan kesehatan individu menjadi lebih baik.

2. Aspek – Aspek Kebahagiaan

Menurut Seligman dkk (2005), ada lima aspek utama yang dapat menjadi sumber kebahagiaan sejati, yaitu :

a. Menjalin hubungan positif dengan orang lain

Hubungan yang positif bukan sekedar memiliki teman, pasangan, ataupun anak. Status perkawinan dan kepemilikan anak tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang.

b. Keterlibatan penuh

Bagaimana seseorang melibatkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan yang ditekuni. Keterlibatan penuh bukan hanya pada karir, tetapi juga dalam aktivitas lain seperti hobi dan aktivitas bersama keluarga. Keterlibatan penuh membutuhkan partisipasi aktif dari orang yang bersangkutan. Dengan melibatkan diri secara penuh, bukan hanya fisik yang beraktivitas, tetapi hati dan pikiran juga turut serta.

c. Menemukan makna dalam keseharian

Dalam keterlibatan penuh dan hubungan positif dengan orang lain tersirat satu cara lain untuk dapat bahagia, yakni temukan makna dalam apapun yang dilakukan.

d. Optimis, namun tetap realistis

Orang yang optimis ditemukan lebih berbahagia. Mereka tidak mudah cemas karena menjalani hidup dengan penuh harapan.

e. Menjadi pribadi yang resilien

Orang yang berbahagia bukan berarti tidak pernah mengalami penderitaan. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang dialami. Melainkan sejauh mana seseorang memiliki resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang terpahit sekalipun.

3. Unsur – Unsur Kebahagiaan

Ada dua hal yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu afeksi dan kepuasan hidup (Rusydi, 2007).

a. Afeksi

Perasaan (feeling) dan emosi (emotion) merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Setiap pengalaman emosional selalu berhubungan dengan afektif atau perasaan yang sangat menyenangkan sampai kepada perasaan yang tidak membahagiakan.

b. Kepuasan hidup

Kepuasan hidup merupakan kualitas dari kehidupan seseorang yang telah teruji secara keseluruhan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Kepuasan hidup merupakan hasil dari perbandingan antara segala peristiwa yang dialami dengan apa yang menjadi tumpuan harapan dan keinginan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin terpenuhinya kebutuhan dan harapan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan seseorang.

4. Ciri-Ciri Orang yang Bahagia

Menurut David G. Myers (2002), ada empat karakteristik yang selalu ada pada orang yang memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu : a. Menghargai diri sendiri

Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Mereka cenderung setuju dengan pernyataan seperti “Saya adalah orang yang menyenangkan”. Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti diatas.

b. Optimis

Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau pesimis, yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah) dan pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak situasi). Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang pesimis menyerah di segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di area tertentu.

c. Terbuka

Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain. –

orang extrovert dan mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan yang lebih besar.

d. Mampu mengendalikan diri

Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol pada hidupnya. Mereka merasa memiliki kekuatan atau kelebihan sehingga biasanya mereka berhasil lebih baik di sekolah atau pekerjaan.

5. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan

Berikut adalah faktor – faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang, yaitu:

a. Budaya

Triandis (dalam Carr, 2004) mengatakan bahwa faktor budaya dan sosial politik berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang. Carr (2004) mengatakan bahwa budaya dalam kesamaan sosial memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Carr juga menambahkan bahwa kebahagiaan lebih tinggi dirasakan di negara yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan efisien dan terdapat hubungan yang memuaskan antara warga dengan anggota birokrasi pemerintahan. b. Kehidupan sosial

Menurut Seligman (2005), orang yang sangat bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.

c. Agama atau religiusitas

Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Hal ini dikarenakan agama memberikan harapan akan masa depan dan menciptakan makna dalam hidup bagi manusia (Seligman, 2005). Selain itu, keterlibatan seseorang dalam kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat memberikan dukungan sosial bagi orang tersebut (Carr, 2004). Hubungan antara harapan akan masa depan dan keyakinan beragama merupakan landasan mengapa keimanan sangat efektif melawan keputusasaan dan meningkatkan kebahagiaan (Seligman, 2005).

d. Pernikahan

Seligman (2005) mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan kebahagiaan dan pernikahan yaitu, orang yang bahagia lebih atraktif sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai pasangan dan orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia dan

besar penghasilan dan hal ini berlaku bagi pria dan wanita (Seligman, 2005).

e. Usia

Kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, afek positif sedikit melemah, dan afek negatif tidak berubah (Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan hal yang berubah ketika seseorang menua adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai puncak dunia” dan “terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring dengan bertambahnya umur dan pengalaman.

f. Uang

Seligman (2005) menjelaskan bahwa di Negara yang sangat miskin, kaya bisa berarti lebih bahagia. Namun di Negara yang lebih makmur dimana hampir semua orang memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada kebahagiaan (Seligman, 2005).

g. Kesehatan

Kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Menurut Seligman (2005) yang penting adalah persepsi subjektif kita terhadap seberapa sehat diri kita. Seligman (2005) juga menambahkan bahwa orang yang memiliki lima atau lebih masalah kesehatan, kebahagiaan mereka berkurang sejalan dengan waktu.

h. Jenis kelamin

Jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim daripada pria (Seligman, 2005). Wanita mengalami lebih banyak emosi positif dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan pria (Seligman, 2005). Seligman (2005) juga menjelaskan bahwa tingkat emosi rata – rata pria dan wanita tidak berbeda namun wanita lebih bahagia dan juga lebih sedih daripada pria.

B. Kualitas Hidup

1. Definisi Kualitas Hidup

Kualitas hidup didefinisikan dengan cara yang berbeda oleh para peneliti. Hal ini karena istilah tersebut merupakan istilah multi disipliner tidak hanya digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi dalam konteks penelitian dihubungkan dengan berbagai macam bidang khusus seperti sosiologi, ilmu kedokteran, keperawatan dan psikologi. Oleh karena adanya perbedaan disiplin ilmu dan perspektif yang berbeda maka, kualitas hidup sulit didefinisikan secara pasti (Zega, 2015).

Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau

adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Ware JE & Sherbourne CD, dalam Silitonga 2007) .

Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) Group (dalam Rapley, 2003) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu tentang posisinya di kehidupan dalam konteks kebudayaan dan sistem nilai dimana mereka hidup, berhubungan dengan tujuan, harapan, ukuran, dan perhatian individu tersebut. Sedangkan menurut Donner, Karone, & Bertoliti (1997), kualitas hidup secara umum adalah keadaan individu dalam lingkup kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dan menjalankan bermacam-macam perannya secara memuaskan.

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup adalah penilaian individu tentang kehidupannya yang berhubungan dengan tujuan, harapan, kemampuan, dan keterbatasan untuk berfungsi menjalani perannya dalam kehidupan.

2. Aspek Kualitas Hidup

Menurut WHO Quality of Life (WHOQOL) (dalam Rapley, 2003), menyatakan bahwa pengukuran kualitas hidup harus didasarkan pada 6 aspek yaitu aspek physical health, psychological, level of independence,

Namun kemudian 6 aspek tersebut diperbaharui menjadi 4 aspek kualitas hidup (WHOQOL-BREF dalam Rapley, 2003) yang meliputi:

a. Physical Health

Physical Health mencakup aktivitas sehari - hari; ketergantungan pada

obat-obatan, energi dan kelelahan; mobilitas; sakit dan ketidaknyamanan; tidur dan istirahat; kapasitas kerja.

b. Psychological Health

Psychological Health mencakup bodily image dan appearance,

perasaan negatif, perasaan positif; self-esteem,spiritual / agama / keyakinan pribadi, berpikir, belajar; memori dan konsentrasi.

c. Social Relationships

Social Relationships mencakup relasi personal, dukungan sosial;

aktivitas seksual.

d. Environment

Environment mencakup sumber finansial, kebebasan, keamanan dan

keselamatan fisik; perawatan kesehatan dan sosial termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun keterampilan; partisipasi dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan yang menyenangkan di waktu luang; lingkungan fisik termasuk polusi / kebisingan / lalu lintas / iklim; serta transportasi.

3. Domain Kualitas Hidup

Menurut European Organization for Research and Treatment of

Cancer Quality of Life Questionnaire-C30 (EORTC-C30) terdapat tujuh

domain kualitas hidup meliputi (Perwitasari, 2009).

a. Fungsi fisik, mencakup kegiatan berat, berjalan kaki dalam jarak jauh, berjalan kaki dalam jarak dekat, berbaring di tempat tidur/duduk di kursi, memerlukan bantuan orang lain saat makan, berpakaian dan buang air.

b. Fungsi peran, mencakup keterbatasan saat bekerja dan keterbatasan saat melakukan kegiatan santai atau hobi.

c. Fungsi emosi, mencakup perasaan tegang, perasaan khawatir, tersinggung dan depresi.

d. Fungsi kognitif, mencakup konsentrasi dan memori.

e. Fungsi sosial, mencakup kehidupan keluarga dan kehidupan sosial. f. Kondisi kesehatan secara keseluruhan

g. Domain gejala, mencakup kelelahan, butuh istrahat, badan lemah, lelah, mual, muntah, nyeri, sesak nafas, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, konstipasi, diare dan kesulitan keuangan.

4. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Menurut Brown (1996), faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang adalah:

a. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan terdiri dari:

1. Lingkungan makro, meliputi lingkungan biospherik, ekonomi, sosial, budaya, politik dan kebangsaan.

2. Lingkungan sekitar, meliputi lingkungan keluarga, tetangga, tempat dimana kita bekerja, sekolah, rumah, dan keluarga sosial. b. Faktor Pribadi

Faktor pribadi terdiri dari:

1. Faktor biologis, meliputi keadaan tubuh, struktur otak, dan tingkah laku.

2. Faktor psikologis, meliputi kebiasaan, kognisi, emosi, persepsi, dan pengalaman yang merupakan karaterisitik individu untuk menyesuaikan diri dengan dunianya.

C. Kanker

1. Definisi Kanker

Kanker adalah suatu proses pelipatgandaan sel yang tidak terkendali dan menghasilkan tumor yang menyerang jaringan-jaringan yang ada didekatnya dan bermetastatis (Kiple, 2003). Dalam

lain sehingga dapat menyebabkan kematian (Setiati, 2009). Jenis kanker tergantung pada jenis organ atau sel tempat terjadinya pembelahan sel yang abnormal tersebut, contohnya: kanker rahim, kanker payu dara, kanker hati, kanker usus, kanker pankreas, kanker otak, kanker kulit, kanker prostat, kanker tulang sarkoma,kanker testis, kanker lidah, kanker mata, kanker darah, dan lain-lain. Hasil penelitian Oemiati (2011), kanker terbanyak di Indonesia adalah kanker ovarium dan serviks uteri.

Dokumen terkait