• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

B. Pembahasan

Hasil pengujian korelasi antara social loafing dengan self-efficacy di dapat koefisien korelasi r sebesar 0.365 dan p = 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara social loafing dengan self-efficacy. Dengan demikian dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa orang yang memiliki self-efficacy rendah cenderung melakukan social loafing begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lawrence (1992) yang mengatakan bahwa seseorang dengan self-efficacy yang tinggi apabila mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan diberikan evaluasi akan memiliki performa yang lebih baik daripada melakukan tugas secara individual. Bandura (1977) juga mengatakan bahwa seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan percaya dengan kemampuan yang ia miliki sehingga tidak akan mengurangi segala usaha yang ia lakukan. Hal ini juga berlaku ketika individu itu bekerja dalam kelompok ia tidak akan mengurangi usahanya untuk bisa bekerja dengan maksimal. Hal ini diperkuat kembali oleh penelitian yang

individu yang percaya akan kemampuannya dalam melakukan suatu tugas maka akan mengurangi kemungkinan social loafing yang akan dilakukannya.

Mahasiswa pada umumnya memiliki banyak tugas yang dilakukan secara berkelompok seperti pada fakultas pertanian. Tuntutan mereka bekerja kelompok cukup besar mengingat mereka harus mengerjakan tugas yang diberikan dosen maupun di kegiatan lab ataupun di lapangan. Bekerja dalam kelompok memiliki kelemahan yakni akan terjadinya social loafing. Dari penelitian di atas, dapat diantisipasi bahwa mahasiswa yang memiliki self-efficacy tinggi dengan ciri-ciri salah satunya adalah memiliki komitmen dalam bekerja, percaya akan kemampuan dirinya, tekun mengerjakan tugas, diprediksi akan mampu bekerja dengan optimal walau bekerja dalam kelompok. Sesuai dengan teori Bandura (1977) yakni orang dengan self-efficacy yang tinggi memiliki keinginan yang besar dalam memotivasi dirinya untuk menyelesaikan tugas dalam bentuk apapun dan menjadikan hal tersebut sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Sesuai dengan hal tersebut, orang dengan self-efficacy yang tinggi memiliki kemungkinan yang sangat kecil dalam melakukan social loafing. Ia merasa segala bentuk tugas yang harus diselesaikan harus segera diselesaikan oleh dirinya sendiri. Bahkan orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan membuat tujuan dan meningkatkan komitmennya dalam mengerjakan sebuah tugas.

Hasil tambahan penelitian berdasarkan aspek social loafing ditemukan bahwa aspek dilution effect memiliki nilai mean yang paling tinggi jika dibandingkan dengan beberapa aspek social loafing yang lainnya. Latane (1981)

mengungkapkan bahwa dilution effect adalah kurangnya motivasi seseorang di dalam sebuah kelompok karena merasa kontribusi yang ia berikan tidak berarti dan kurang dihargai. Konsep dilution effect bisa dijelaskan oleh penleitian yang dilakuan oleh Geen (1991) dalam Hogg (2011) yang mengatakan bahwa evaluation apprehension yaitu orang merasa kurang dihargai bisa menjadi penyebab social loafing.

Latane, Williams & Harkins (1979) juga mengatakan bahwa kemungkinan seseorang melakukan social loafing karena mereka merasa banyak anggota yang mampu mengerjakan tugas kelompok tersebut sehingga kontribusi yang mereka berikan tidak akan terlalu berpengaruh bagi performa kelompok. Sejalan dengan hal ini, Harkins & Szymanski (1989) juga mengungkapkan bahwa orang akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak dievaluasi, baik oleh pemberi tugas maupun dari rekan kerjanya. Mereka akan merasa tidak diberikan penghargaan sehingga akan lebih memilih melakukan social loafing. Oleh karena itu, orang yang memiliki social loafing yang tinggi merasa kontribusi yang ia berikan tidak berarti dan menyadari bahwa penghargaan ataupun evaluasi yang diberikan kepada tiap individu tidak ada kaitannya dengan dirinya.

Pada aspek self-efficacy, ditemukan bahwa hampir ke tiga aspek dari self-efficacy tidak jauh berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga aspek tersebut berperan penting dalam pembentukan self-efficacy mahasiswa. Sehingga mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi memiliki ketiga aspek tersebut. Sesuai dengan ciri-ciri orang dengan self-efficacy yang tinggi yakni

keyakinan bahwa ia dapat menangani dengan baik keadaan dan situasi yang mereka hadapi dan percaya pada kemampuan diri sendiri.

Berdasarkan pada hasil penelitian tambahan lainnya, sebagian besar mahasiswa yaitu sebanyak 73.3% berada dalam rentang social loafing yang sedang. Sebanyak 16.3% berada dalam rentang social loafing tinggi, dan 10.3% mahasiswa berada dalam rentang social loafing rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagian besar social laofing mahasiswa berada dalam kategori sedang. Ini berarti bahwa mereka bisa saja melakukan atau tidak melakukan socil loafing tergantung dari situasinya.

Sedangkan pada self-efficacy mahasiswa, sebagian besar mahasiswa yaitu sebanyak 73% mahasiswa berada dalam rentang self-efficacy yang sedang. Sebanyak 14.7% berada dalam rentang self-efficacy yang tinggi, dan 12.3% mahasiswa berada dalam rentang self-efficacy yang rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagian besar self-efficacy mahasiswa berada pada kategori sedang.

Informasi tamnbahan yang dilihat peneliti di lapangan, mahasiswa fakultas Pertanian dari Universitas Sumatera Utara dan Universitas Methodist Indonesia memiliki perbedaan dimana pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara jauh lebih kondusif ketika mengerjakan skala dibandingkan Universitas Methodist Indonesia dan hasil yang peneliti lebih cepat mengumpulkan hasil dari skala yang disebar di Universitas Sumatera Utara daripada Universitas Methodist Indonesia.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dan saran-saran sehubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Pada bagian pertama akan dijabarkan kesimpulan dari penelitian ini dan pada bagian akhir akan dikemukakan saran-saran baik yang bersifat praktis maupun metodologis yang mungkin dapat berguna bagi penelitian yang akan datang dengan topik yang sama.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Sesuai dengan hasil penelitian, ada hubungan negatif yang signifikan antara social loafing dengan self-efficacy pada mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan Universitas Methodist Indonesia.

2. Dilution effect adalah aspek tertinggi dari social loafing yang ditemukan dari penelitian ini berdasarkan nilai meannya. Sedangkan untuk variabel self-efficacy pada penelitian ini ketiga yaitu level, generality, dan strength ternyata tidak terlalu berbeda jauh berdasarkan nilai meannya.

3. Hasil penelitian tambahan diperoleh data sebagai berikut:

a. Sebagian besar social laofing mahasiswa berada dalam kategori sedang.

B. SARAN

1. Saran Metodologis

a. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti topik yang sama diharapkan dapat mengontrol faktor-faktor lain yang diperkirakan dapat mempengaruhi social loafing dan self-efficacy.

b. Diharapkan pada penelitian selanjutnya apabila melakukan pengambilan data dalam kelompok untuk lebih mengondusifkan kondisi pengambilan data agar tidak ada bias atau kesalahan pengambilan data.

2. Saran Praktis

a. Bagi dosen dan pihak fakultas

1) Untuk mengurangi tindakan social loafing yang rentan terjadi pada mahasiswa, sebaiknya para dosen dan staf pengajar memberikan evaluasi atas setiap pekerjaan ataupun tugas yang diberikan kepada mahasiswa agar mengurangi salah satu aspek pembentuk social loafing yakni dilution effect tidak terjadi.

2) Pihak fakultas khususnya khususnya staf pengajar sebaiknya dapat mendukung mahasiswa untuk terus mendukung dan mempertahankan self-efficacy yang sudah tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi social loafing mahasiswa terutama Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan Universitas Methodist Indonesia.

b. Bagi mahasiswa diharapkan tetap bekerja dengan optimal walaupun di dalam kelompok karena hasil yang didapatkan tetap merupakan tanggung jawab pribadi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SOCIAL LOAFING

1. Pengertian Social loafing

Social loafing merupakan pengurangan kinerja individu selama bekerja sama dengan kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri (Latane, 1979). Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual. (Karau & Williams, 1993). Menurut Ringelmann dalam Latane, Williams, & Harkins (1979), social loafing berarti penurunan usaha individu atau seseorang ketika ia bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan ketika ia bekerja seorang diri.

Dari definisi di atas saya dapat menyimpulkan bahwa social loafing adalah kecenderungan individu untuk mengurangi usaha yang dikeluarkannya ketika bekerja di dalam kelompok dan dibandingkan ketika bekerja secara individual.

2. Dimensi Social loafing

Menurut Latane (1981), social loafing dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu: a. Dilution Effect

Individu kurang termotivasi karena merasa kontribusinya tidak berarti atau menyadari bahwa penghargaan yang diberikan kepada tiap individu tidak ada. b. Immediacy gap

Individu merasa terasing dari kelompok. Hal ini menandakan semakin jauh anggota kelompok dari anggotanya maka ia akan semakin jauh dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

3. Faktor-faktor Penyebab Social loafing

Faktor penyebab seseorang melakukan social loafing adalah:

a. Orang akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan kerjanya (Harkins & Szymanski, 1989).

b. Gender seseorang merupakan salah satu faktor penyebab social loafing. Seorang perempuan lebih mungkin untuk tidak melakukan social loafing dibandingkan dengan seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita umunya berorientasi pada pemeliharaan koordinasi kelompok (Kugihara, 1999). c. Individu yang mendapatkan tugas secara berkelompok tidak merasakan

hasilnya secara pribadi. Individu ini akan memandang tugas yang dikerjakan sebagai sebuah tugas yang harus diselesaikan dengan saling bergantung

senang dengan hasil yang harus ia bagi dengan anggota yang lainnya (Manz & Angle, 1986).

d. Individu ingin menumpang pada kesuksesan atau pekerjaan orang lain tanpa ikut serta dalam pengerjaannya. Hal ini juga terkadang dilakukan karena keyakinan individu tersebut bahwa orang yang memberikan tugas tidak akan menyadari pengurangan usaha yang dilakukannya (Kidwell & Benner, 1993).

e. Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas. Tugas yang tidak jelas pembagiannya atau arahnya akan cenderung memberikan kemalasan bagi individu yang mengerjakannya. Individu tersebut kurang termotivasi dalam memberikan upaya saat menyelesaikan tugas (George, 1992).

f. Tugas yang terlalu mudah. Ketika sebuah kelompok mendapatkan tugas yang sulit untuk diselesaikan, maka akan sedikit kemungkinan anggota di dalam kelompok melakukan social loafing (Harkins & Petty, 1982).

g. Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada kolektivis. Performa individualis yang bekerja dalam sebuah kelompok lebih rendah dibandingkan ketika bekerja sendiri. Sebaliknya, mereka yang memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih baik dalam kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki budaya kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok sebagai hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis menmpercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan kelompok (Early, 1989).

h. Semakin banyak anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing seorang individu akan semakin meningkat. Hal ini juga semakin membuat sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu. Kemungkinan seseorang melakukan social loafing dikarenakan merasa banyak anggota yang mampu mengerjakan tugas kelompok tersebut (Latane, Williams, & Harkins, 1979).

i. Ketidak-lekatan antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga dapat mempengaruhi social loafing (Karau & Williams, 1997). Hal ini dapat didefinisikan sebagai sejauh mana anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya tertarik dan memiliki keinginan untuk bersama-sama (Mudrack, 1989).

j. Evaluation Apprehension atau ada tidak adanya evaluasi yang diberikan oleh pemberi tugas ataupun sesama rekan kerja (Geen, 1991).

k. Kepercayaan diri juga dapat membuat perilaku social loafing menurun (Mukti, 2013)

Dapat disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan social loafing dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah tidak adanya evaluasi (Harkins & Szymanski, 1989), gender (Kugihara, 1999), tugas yang dirasa harus dikerjakan secara berkelompok (Manz & Angle, 1986), menumpang kesuksesan (Kidwell & Benner, 1993), ketidakjelasan tugas (George, 1992), faktor budaya (Early, 1989), kemudahan tugas (Harkins & Petty, 1982), besarnya kelompok (Jones, 1984), kepercayaan diri (Mukti, 2013), dan kelekatan kelompok (Karau & Williams, 1997).

B. SELF-EFFICACY

1. Pengertian Self-efficacy

Konsep self-efficacy pertama kali diungkapkan oleh Bandura. Menurut Bandura (1997), Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas kemampuannya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Schultz (1994) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan individu terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Self-efficacy juga memiliki arti sebagai penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu (Baron & Byne, 2000).

Dari definisi di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa self-efficacy adalah persepsi, penilaian, dan perasaan tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi suatu tindakan, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu dengan kecakapan tertentu.

2. Ciri-Ciri Individu dengan Self-efficacy Tinggi dan Self-efficacy Rendah Bandura (1997) menjelaskan bahwa individu dengan self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa memiliki keyakinan bahwa ia dapat menangani dengan baik keadaan dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam mengerjakan tugas-tugas, memiliki keinginan yang besar dalam memotivasi diri untuk menyelesaikan tugas yang sulit, percaya pada kemampuan diri sendiri,

memandang kesulitas sebagai tantangan, mampu membuat tujuan dan meningkatkan komitmen terhadap apa yang dilakukan, menanamkan usaha pada apa yang dilakukannya, bila gagal maka akan memikirkan strategi dalam menghadapinya dan mudah bangkit setelah mengalami kegagalan.

Sedangkan individu dengan self-efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, menghindari kegiatan-kegiatan yang menantang, cepat menyerah, mudah cemas, apatis, upaya yang rendah dan komitmen yang lemah pada sebuah tujuan yang ingin digapai, cenderung akan memikirkan kekurangan dan konsekuensi akan kegagalan, serta lambat untuk membangkitkan kembali perasaan bahwa ia mampu menghadapi kegagalan.

3. Dimensi Self-efficacy

Bandura (1997) mengungkapkan ada tiga dimensi self-efficacy, yakni: a. Level

Level berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan mudah dilakukan.

b. Generality

Generality sejauh mana inidividu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.

c. Strength

Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini sesesorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu pula. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.

C. Mahasiswa

Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di Universitas, institut atau akademi. Mahasiswa merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual (Knopfemacher, 1978). Menurut Winkel (1997) masa

mahasiswa meliputi rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Mahasiswa biasa belajar di kelas, membaca buku, membuat makalah, presentasi, diskusi dan lain sebagainya. Mereka sangat erat kaitannya dengan tugas yang diberikan oleh para pengajar atau dosen. Tugas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) memiliki arti sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau pekerjaan yang wajib dibebankan. Mahasiswa sudah pasti pernah merasakan saat-saat dimana membuat laporan, makalah, mencari bahan kuliah, tugas praktek dan presentasi. Tugas itu sendiri dapat diberikan secara individual ataupun berkelompok (Sudjana, 2001).

D. Hubungan antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa

Mahasiswa yang sangat erat kaitannya dengan tugas seringkali diberikan tugas dengan bentuk kelompok. Biasanya, ketika dosen memberikan tugas secara berkelompok diharapkan agar penyelesaian tugas lebih mendalam dan sempurna, karena merupakan produk pemikiran dari beberapa orang. Mahasiswa juga diajarkan untuk bisa bekerjasama dan berinteraksi dengan sesama dan lingkungan sekitarnya. Mereka dapat belajar untuk mengambil keputusan dengan baik, bersikap toleransi dan menghargai sesama mahasiswa lain.

Orang dapat memenuhi tujuan untuk menyelesaikan tugas individu mereka dengan lebih mudah melalui kerjasama dalam kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Pemberian tugas secara berkelompok ini sesungguhnya juga memiliki satu kelemahan yang sangat sering terjadi. Pada

satu kelompok sering terdapat mahasiswa yang tidak turut aktif berpartisipasi dalam proses pengerjaan tugas tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai social loafing, yaitu kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993). Social loafing memiliki dampak yang sangat banyak khususnya terhadap sebuah kelompok. Dampak yang diberikan juga merupakan dampak yang bersifat merugikan.

Seringkali terdapat banyak mahasiswa yang melakukan loafing karena berbagai hal. Seperti karena tidak adanya kelekatan pada setiap anggota kelompok (Karau & Williams, 1997), terlalu besarnya sebuah kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979), atau bahkan karena terlalu mudahnya tugas yang diberikan oleh dosen (Harkins & Petty, 1982).

Social loafing yakni kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993). Tidak sedikit faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan social loafing. Kugihara menemukan bahwa laki-laki cenderung melakukan social loafing daripada perempuan (Kugihara, 1999). Faktor eksternal yang kerap dihubungkan adalah besarnya kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979) yang dibuktikan dengan semakin banyak nya anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing seorang individu akan semakin meningkat. Orang akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan kerjanya (Harkins & Szymanski, 1989). Kelekatan

antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga dapat mempengaruhi social loafing (Karau & Williams, 1997). Jika individu tidak menyukai anggota yang lain maka ia akan lebih mungkin untuk terlibat dalam social loafing. Budaya yang dimiliki dan dianut oleh individu juga membuat seseorang seperti individualis atau kolektivis (Earley, 1993).

Pada penelitian Early (1993) dikatakan bahwa Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada budaya kolektivis. Performa seorang individu yang berasal dari budaya individualis lebih rendah ketika bekerja dalam sebuah kelompok dibandingkan ketika ia bekerja sendiri. Sebaliknya, mereka yang memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih baik dalam kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki budaya kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok sebagai hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis mempercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan kelompok.

Hasil dari penelitian Ames (1992) dan Dweck & Legger (1988) mengungkapkan bahwa orang yang menganut budaya individualis merupakan orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini dikarenakan orang dalam budaya individualis akan mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk belajar serta lebih memberikan usaha yang lebih untuk performanya. Sebaliknya, orang dengan budaya kolektivis merupakan orang dengan self-efficacy yang rendah.

Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas kemampuannya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya (Bandura, 1997).

Lawrence (1992) yang melakukan 2 eksperimen di mana eksperimen pertama self-efficacy dimanipuasi dengan evaluasi yang salah dan hasil yang diharapkan dimanipulasi dengan 3 kelompok yang memiliki kondisi yang berbeda (sendiri, bekerja bersama tetapi dengan melihat hasil individu, dan bekerja bersama dengan melihat hasil dari kelompok). Pada ekperimen kedua, self-efficacy yang diinginkan ditingkatkan secara tiba-tiba ketika para partisipan mengerjakan tugas yang mudah ke yang sulit, dan hasil yang diharapkan dimanipulasi dengan 3 kondisi evaluasi yang berbeda (sendiri, dievaluasi, dan tidak dievaluasi). Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa seseorang dengan self-efficacy yang tinggi apabila mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan diberikan evaluasi akan memiliki performa yang lebih baik daripada melakukan tugas secara individual. Sebaliknya, jika seseorang dengan self-efficacy yang rendah dan mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan dievaluasi, maka ia akan memiliki performa yang buruk daripada melakukannya secara individual. Schmuck & Schmuck (1980) menyatakan bahwa membentuk kelompok kecil dan dapat membantu satu sama lain untuk menyelesaikan tugas yang lebih kompleks adalah strategi untuk meningkatkan self-efficacy seseorang. Berdasarkan dari beberapa penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa orang dengan self-efficacy yang tinggi justru akan membuat tindakan social loafing menurun. Hal ini dikarenakan orang tersebut diberikan evaluasi saat

mengerjakan tugas (Lawrence, 1992) dan dapat saling membantu saat bekerja kelompok (Schmuck & Schmuck, 1980) sehingga akan mengurangi perilaku social loafing seseorang.

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teori dan dinamika antara dimensi self-efficacy yang telah dipaparkan oleh peneliti, hipotesa yang diajukan dalam penelitian adalah ada hubungan negatif antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa dimana semakin tinggi derajat self-efficacy yang dimiliki individu justru membuat tindakan social loafing menurun.

Dokumen terkait