LAMPIRAN
A
1. Reliabilitas Aitem Social Loafing
2. Reliabilitas Aitem Self-Efficacy
se6 85,6812 198,514 ,710 ,939
se7 85,9130 199,610 ,587 ,940
se8 86,0290 195,852 ,709 ,939
se9 85,6087 207,301 ,340 ,942
se10 85,7391 195,931 ,736 ,938
se11 85,7826 196,673 ,750 ,938
se12 85,7826 199,114 ,616 ,940
se13 85,8841 198,986 ,626 ,940
se14 85,8406 197,783 ,583 ,940
se15 85,7826 198,820 ,630 ,940
se16 85,6812 206,426 ,312 ,943
se17 85,6812 203,426 ,531 ,941
se18 85,9420 195,232 ,744 ,938
se19 85,7391 199,313 ,582 ,940
se20 85,9710 197,176 ,586 ,940
se21 85,7826 198,379 ,650 ,939
se22 85,6957 205,921 ,320 ,943
se23 85,8841 195,133 ,752 ,938
se24 85,7971 198,899 ,551 ,941
se25 85,4203 201,924 ,522 ,941
se26 85,6377 202,587 ,469 ,941
se27 85,4928 197,048 ,594 ,940
se28 85,6812 197,162 ,665 ,939
se29 85,8406 199,048 ,542 ,941
LAMPIRAN B
39 46
LAMPIRAN C
1. Uji Normalitas
2. Uji Linearitas
1. Uji Normalitas
Spearman's rho total sl Correlation Coefficient 1,000 ,365(**)
Sig. (1-tailed) . ,000
N 300 300
total se Correlation Coefficient ,365(**) 1,000
Sig. (1-tailed) ,000 .
N 300 300
LAMPIRAN D
No : …….
RAHASIA
SKALA PSIKOLOGI
KATA PENGANTAR
Partisipan yang terhormat,
Saya adalah seorang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang sedang melengkapi tugas akhir sebagai persyaratan untuk menjadi sarjana Psikologi. Dalam tugas akhir ini saya melakukan penelitian mengenai
“Social loafing” dan partisipasi Anda sangat dibutuhkan demi terselesaikannya penelitian ini.
Pada peneilitian ini Anda diminta untuk merespon seluruh pernyataan yang ada dalam skala ini sesuai dengan keadaan diri Anda. Tidak ada jawaban yang benar atau salah dalam pengisian skala ini. Pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan diri anda dengan sejujur-jujurnya. Semua respon dan informasi yang Anda berikan melalui skala ini akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian ini saja.
Atas kesediaan Anda meluangkan waktu dan kerjasama yang Anda berikan, saya mengucapkan terimakasih.
Peneliti
IDENTITAS DIRI
Nama/Inisial : (boleh disingkat) Jenis Kelamin : L / P *
Usia : tahun
Angkatan : Universitas :
Fakultas/Jurusan: / * Coret yang tidak perlu
PETUNJUK PENGISIAN
Berikut disajikan sejumlah pernyataan, mohon Anda baca dan pahami baik-baik setiap pernyataan. Anda diminta untuk memilih salah satu pilihan yang tersedia di sebelah kanan pernyataan berdasarkan keadaan diri Anda yang sesungguhnya.
Tidak ada jawaban yang salah dan data yang diperoleh akan dijaga kerahasiannya.
Berilah tanda silang (X) pada salah satu pilihan Anda. Alternatif jawaban yang tersedia terdiri dari 5 pilihan, yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS).
Contoh Pengisian Skala:
No. PERNYATAAN STS TS S SS
1. Saya senang belajar X
Jika Anda ingin mengganti jawaban Anda, berikan tanda = pada jawaban yang salah dan berikan tanda silang pada jawaban yang Anda anggap sesuai.
No. PERNYATAAN STS TS S SS
1. Saya senang belajar X X
No. PERNYATAAN STS TS S SS
1. Saya tidak begitu menonjol ketika bekerja di dalam kelompok.
2. Saya tidak begitu maksimal ketika bekerja di dalam kelompok.
3. Saya akan secara aktif ikut serta dalam diskusi dan memberikan gagasan-gagasan ketika bekerja di dalam kelompok.
4. Tidak masalah apabila saya tidak diikutsertakan di dalam kerja kelompok. 5. Di dalam kelompok tidak terlalu
berpengaruh apabila saya bekerja sebaik mungkin atau tidak.
6. Dengan kemampuan saya, saya akan melakukan yang terbaik di dalam kelompok.
7. Saya sangat menonjol ketika bekerja di dalam kelompok.
8. Mengingat kemampuan yang saya miliki, saya selalu mengupayakan yang terbaik di dalam kelompok.
9. Saya akan memberikan sumbangsih yang maksimal dalam kelompok.
No. PERNYATAAN STS TS S SS
12. Saya tidak dapat aktif memberikan gagasan-gagasan di dalam kelompok. 13. Walaupun dengan kemampuan yang
saya miliki, saya tidak dapat melakukan yang terbaik untuk kelompok saya.
Berdasarkan pernyataan yang telah Anda isi di atas, Anda diminta untuk
menentukan pilihan atas pernyataan di bawah ini:
No. PERNYATAAN STS TS S SS
1. Pada saat dihadapkan dengan ugas yang baru, saya akan tetap berusaha tenang. 2. Bila dihadapkan dengan permasalahan
yang sulit, saya tidak mampu menyelesaikannya.
3. Saya akan menyerah jika tugas yang sudah beberapa kali saya kerjakan tetap gagal.
4. Saya tidak mau menerima tugas yang belum pernah saya tangani karena saya kurang yakin dapat menyelesaikannya. 5. Saya dapat mengandalkan kemampuan
saya untuk menghadapi masalah-masalah yang belum pernah saya tangani sebelumnya.
7. Walaupun merasa capek, saya akan tetap berusaha melanjutkan tugas saya hingga selesai.
No. PERNYATAAN STS TS S SS
8. Saya merasa cemas jika dihadapkan dengan tugas-tugas yang sulit.
9. Saya tidak menganggap sepele terhadap tugas yang sudah sering saya hadapi. 10. Saya mudah menyerah jika dihadapkan
dengan tugas yang sulit.
11. Saya tertantang untuk menyelesaikan tugas yang belum pernah saya hadapi sebelumnya.
12. Ketika ditawarkan mengerjakan tugas yang sulit, saya cenderung menolaknya. 13. Jika saya mengalami hambatan dalam
mengerjakan tugas, saya tetap tertantang untuk menyelesaikannya.
No. PERNYATAAN STS TS S SS
19. Baik tugas yang sederhana maupun tugas yang sulit akan tetap saya kerjakan dengan baik.
20. Daripada menambah masalah, lebih baik saya menolak tugas yang diberikan kepada saya.
21. Saya meragukan kemampuan saya ketika diberikan yanggung jawab yang besar.
22. Seberat apapun masalah dalam tugas saya, saya akan tetap berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik.
23. Saya merasa tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika saya mengalami kegagalan.
24. Saya merasa bahwa tugas yang baru merupakan beban dalam pekerjaan saya.
25. “Dimana ada kemauan disitu ada jalan”
merupakan prinsip hidup saya.
26. Saya yakin semua masalah pasti ada jalan keluarnya walaupun masalah itu baru pertama kali saya hadapi.
27. Pada saat diminta mengerjakan tugas, saya mencari alasan bagaimana cara untuk menolaknya karena saya tahu tugas itu sulit.
No. PERNYATAAN STS TS S SS
29. Saya akan segera menolak tugas yang sulit yang diberikan kepada saya karena
saya tidak yakin dapat
menyelesaikannya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing (7th ed.). Upper Saddle River, New Jersey: Simon & Schuster / A Viacom Company.
Azwar, S. 2000. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. _______. 2001. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
_______. 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
_______. 2010. Sikap Manusia (Cetakan IX). Jakarta: Pustaka Belajar.
Bandura, Albert. 1986. Social Foundations of Thought and Action: A Social-Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
____________. 1997. Self-efficacy : The Exercise Of Control. New York: Freeman and Company.
Baron, R. A.,dan Byne, D. 2000. Psikologi Sosial Jilid 1 (edisi 10). Jakarta : Erlangga.
Brickner, M.A., Ostrom, T.M., & Harkins, S.G. 1986. Effects of Personal Involvement: Thgought-Provoking Implications for Social loafing. Journal of Personality and Social Psychology. 51: 763-769.
Comer, D. R. 1995. A model of social loafing in real work groups. Human Relations, 48: 647–667.
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 1999. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta.
Earley, P. C. 1989. Social loafing and Colectivism: A Comparison of the United
States and the People’s Republic of China. Administrative Science Quarterly, 34: 565-581
George, J. M. 1992. Extrinsic and intrinsic origins of perceived social loafing in organizations. Academy of Management Journal, 35: 191–202.
Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Harkins, S.G., & Petty, R.E. 1982. Effects of Task Difficulty and Task Uniqueness on Social loafing. Journal of Personality and Social Psychology, 43: 1214-1229.
Jones, G. R. 1984. Task visibility, free riding, and shirking: Explaining the effect of structure and technology on employee behavior. Academy of Management Review, 9: 684–695.
Karau, S. J., & Williams, K. D. 1993. Social loafing: A meta-analytic review and theoretical integration. Journal of Personality and Social Psychology, 65: 681–706.
________________________. 1997. The effects of group cohesiveness on social loafing and social compensation. Group Dynamics, 1: 156–168.
Kerr, N.L., & Bruun, S.E. 1983. Dispensability dari upaya anggota dan kehilangan motivasi grup. Jurnal Kepribadian dan Psikologi Sosial, 45: 819-828.
Kidwell, R. E., & Bennett, N. 1993. Employee propensity to withhold effort: A conceptual model to intersect three avenues of research. Academy of Management Review, 18: 429–456.
Knopfemacher, B. A. 1978. Penatalaksanaan Stres. Jakarta: Rineka Cipta.
Kugihara, N. 1999. Gender and Social loafing in Japan. The Journal of Social Psychology, 139: 516-526.
Latané, B., Williams, K. D., & Harkins, S. 1979. Many hands make light the work: The causes and consequences of social loafing. Journal of Personality and Social Psychology, 37: 822–832.
Lawrence, J. S. 1992. Self-efficacy Theory: Implications for Social Facilitation and Social loafing. The American Psychological Association. 62: 774-786.
Liden, R.C., Wayne, S.J., Jaworski, R.A., & Bennett, N. 2004. Social loafing: A Field Investigation. Journal of Management, 30: 285-304).
Linse, A.R. 2004. Team Peer Evaluation. (http://www.schreyerinstitute.psu.edu/
diakses pada 2 Juli 2015).
Manz, C. C., & Angle, H. 1986. Can group self-management mean a loss of personal control: Triangulating a paradox. Group & Organization Studies, 11: 309–334.
Mudrack, P. E. 1989. Group cohesiveness and productivity: A closer look. Human
Mukti, Patria. 2013. Hubungan antara Kepercayaan Diri dan Motivasi Berprestasi dengan Social loafing pada Mahasiswa. Thesis. Fakultas Sains Psikologi. Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Sanna, L. J., & Shotland, R. L. 1990. Valence of anticipated evaluation and social facilitation: One more time. Journal of Experimental Social Psychology, 22: 242–248.
Schmuck, R.A., & Schmuck, P.A. 1980. Group Processes in the Classroom. Dubuque, Iowa: WM. C. Brown.
Schultz, D., & Schultz, E.S. 1994. Theories of personality. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Sudjana, Nana. 2001. Penelitian dan Peneliaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.
Smith, B. N. Dkk. 2001. Individual Differences in Social loafing: Need for Cognition as a Motivator in Collective Performance. The Educational Publishing Foundation. 5: 150-158.
Stipek. 1996. Efikasi diri (Self-efficacy).
(http://bk2009.files.wordpress.com/2010/06/monday.docx diakses pada 1 Juli 2015).
Suryabrata, S. 2010. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Syamsu, Yusuf. Dkk. 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wagner, J. A. 1995. Studies of individualism/collectivism: Effects on cooperation in groups. Academy of Management Journal, 38: 152–172.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diteliti, yaitu:
1. Variabel bebas (independent variable): self-efficacy
2. Variabel terikat (dependent variable): social loafing
B. Definisi Operasional Penelitian
1. Social loafing
Social loafing merupakan kecenderungan individu untuk mengurangi
usaha yang dikeluarkannya ketika bekerja di dalam kelompok dan dibandingkan
ketika bekerja secara individual. Social loafing diukur dengan menggunakan
skala social loafing yang disusun berdasarkan aspek dilution effect dan imediacy
gap. Social loafing dapat dilihat dari skor social loafing masing-masing subjek
yang diperoleh dari skala. Skor social loafing didapat dari penjumlahan hasil
masing-masing aspek social loafing yaitu dilution effect dan imediacy gap. Jika
skor social loafing semakin tinggi maka semakin tinggi derajat social loafing
yang ia miliki.
2. Self-efficacy
suatu tindakan dan melakukan suatu tugas untuk mencapai suatu tujuan dan
menghasilkan sesuatu dengan kemampuan tertentu. Self-efficacy diukur dengan
skala adaptasi yang disusun berdasarkan dimensi self-efficacy yaitu level,
generality, dan strenght. Self-efficacy dapat dilihat dari skor self-efficacy
masing-masing subjek yang diperoleh dari skala. Skor self-efficacy didapat dari
penjumlahan hasil masing-masing aspek self-efficacy yaitu level, generality dan
strength. Jika skor self-efficacy semakin tinggi maka semakin tinggi derajat
self-efficacy yang ia miliki.
C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian merupakan individu yang menjadi sumber data
penelitian. Menurut Azwar (2001) populasi merupakan sekelompok subjek yang
hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Sekelompok subjek yang akan
dikenai generalisasi tersebut terdiri dari sejumlah individu yang setidaknya
mempunyai satu ciri atau karakteristik yang sama. Populasi dalam penelitian ini
adalah mahasiswa di Universitas Sumatera Utara dan Universitas Methodist
Indonesia yang memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Mahasiswa S1
2. Mahasiswa aktif
Berdasarkan kriteria tersebut teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah nonprobability incidental sampling yakni metode pengambilan sampel
yang ketika ditemukan akan dijadikan sampel. Metode ini digunakan karena
diutamakan. Sampel yang diambil merupakan mahasiswa Fakultas Pertanian.
Hal ini dikarenakan mahasiswa fakultas Pertanian memiliki cara belajar dan
mengerjakan tugas secara berkelompok baik itu tugas kuliah ataupun tugas
laboraturium. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 300 orang.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk mengungkap
data mengenai variabel yang akan diteliti. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi karena data yang ingin
diungkap dalam penelitian ini adalah berupa konstrak atau konsep psikologis
yang menggambarkan aspek kepribadian individu bukan faktual. Data yang
berupa konstrak atau konsep psikologis hanya bisa didapatkan secara tidak
langsung melalui indikator-indikator perilaku yang dihimpun dalam skala
psikologi (Azwar, 2007, h.5). Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala social loafing dan skala self-efficacy disajikan dalam bentuk
pernyataan yang favorable dan unfavorable. Setiap aitem pada skala terdiri dari
lima alternatif jawaban yang terdiri dari SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), N
(Netral), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Nilai setiap pilihan
bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu :
Sangat Setuju = 4, Setuju = 3, Tidak Setuju = 2, dan Sangat Tidak Setuju 1,
sedangkan bobot penilaian untuk yang unfavorable yaitu : Sangat Setuju = 1,
1. Skala Social loafing
Skala Social loafing yang digunakan adalah skala yang disusun oleh peneliti
berdasarkan teori yang dikemukakan Latane (1979). Blue print dari skala Social
loafing dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Blue Print Skala Social loafing
Aspek Favorable Unfavorable Total Bobot
Immediacy
gap 8, 10, 12 1, 5, 11, 14 7 46.67% Dilution
Effect
2, 4, 7, 9,
13, 15 3, 6 8 53.33%
2. Skala Self-efficacy
Skala self-efficacy akan diukur dengan skala self-efficacy adaptasi yang
disusun berdasarkan dimensi self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura
(1997) yakni level, generality, dan strength. Blue print dari skala self-efficacy
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Blue Print Skala Self-efficacy
Favorable Unfavorable Total Bobot
Level 6, 12, 19 2, 8, 15, 20,
21, 27, 29
10 33,33%
Generality 1, 5, 9, 11,
16, 22, 24,
26
Strength 7, 17, 25, 28 3, 10, 13, 14,
23, 30
10 33,33%
E. Uji Coba Alat Ukur
1. Validitas
Uji validitas menurut Azwar (2010) diperlukan untuk mengetahui apakah
sebuah alat ukur mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan
ukurnya. Atau dengan kata lain alat ukur tersebut memang mengukur apa yang
ingin diukur. Menurut Anastasi dan Urbina (1997), validitas tes berhubungan
dengan apa yang diukur oleh suatu tes dan seberapa baik tes tersebut dapat
mengukur atribut.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content
validity). Validitas isi menunjukkan sejauhmana item-item dalam tes mencakup
keseluruhan hal yang akan diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri
atribut yang hendak diukur. Validitas isi diperoleh melalui pendapat profesional
dari dosen pembimbing dan dosen yang memiliki kompetensi dalam bidang
yang hendak diteliti (Azwar, 2000).
Selain itu, validitas lainnya adalah validitas tampilan (face validity).
Validitas ini menunjukkan apakah tes tersebut terlihat valid bagi peserta tes yang
mengikutinya, bagi administator yang memutuskan untuk menggunakannya, dan
2. Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur merujuk pada konsistensi hasil pengukuran ketika alat
ukur tersebut digunakan oleh orang atau kelompok orang yang sama dalam
waktu berlainan atau oleh orang yang berbeda dalam waktu yang sama atau
dalam waktu berlainan (Suryabrata, 2010). Sejalan dengan hal tersebut Azwar
(2010) mengungkapkan reliabilitas mengacu pada konsistensi atau kepercayaan
hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran.
Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi
internal dimana prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes
kepada sekelompok individu sebagai subjek. Teknik yang digunakan untuk
pengukuran reliabilitas alat ukur penelitian ini adalah teknik koefisien Alpha
Cronbach. Reliabilitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan bantuan
program SPSS versi 15.0 for windows.
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur
Uji coba alat ukur bertujuan untuk mengetahui sejauh mana alat ukur dapat
mengungkap dengan tepat apa yang diukur dan seberapa jauh alat ukur
menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2007). Uji coba alat ukur penelitian
ini dilakukan terhadap 40 orang subjek penelitian yang dianggap memiliki
1. Hasil Uji Coba Skala Social loafing
Aitem yang diujicobakan dalam skala social loafing sebanyak 15 aitem.
Berdasarkan hasil analisis aitem maka diperoleh 13 aitem yang memiliki nilai
diskriminasi aitem di atas 0.3 dan 2 aitem yang gugur. Aitem-aitem inilah yang
nantinya akan digunakan di dalam penelitian. Hasil uji coba terhadap skala
social loafing menunjukkan koefisien α = 0.899 dengan rxy aitem yang bergerak
dari 0.429 sampai dengan 0.751 yang memiliki daya diskriminasi aitem yang
tinggi (rxy ≥ 0.30).
Tabel 3. Distribusi Skala Social loafing Setelah Uji Coba
Aspek Favorable Unfavorable Total Bobot
Immediacy
gap 8, 10 1, 5, 11, 14 6 46.67%
Dilution Effect
4, 7, 9, 13,
15 3, 6 7 53.33%
2. Hasil Uji Coba Skala Self-efficacy
Skala Self-efficacy yang diadaptasi sudah diujicobakan sebelumnya. Aitem
yang diujicobakan dalam skala self-efficacy sebanyak 30 aitem. Berdasarkan
hasil analisis aitem maka diperoleh 30 aitem yang memiliki nilai diskriminasi
aitem di atas 0.3 dan tidak ada aitem yang gugur. Aitem-aitem inilah yang
nantinya akan digunakan di dalam penelitian. Hasil uji coba terhadap skala
self-efficacy menunjukkan koefisien α = 0.942 dengan rxy aitem yang bergerak
dari 0.312 sampai dengan 0.752 yang memiliki daya diskriminasi aitem yang
Tabel 4. Distribusi Skala Self-efficacy Setelah Uji Coba
Favorable Unfavorable Total Bobot
Level 6, 12, 19 2, 8, 15, 20,
21, 27, 29
10 33,33%
Generality 1, 5, 9, 11,
16, 22, 24,
26
4, 18 10 33,33%
Strength 7, 17, 25, 28 3, 10, 13, 14,
23, 30
10 33,33%
G. Prosedur Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa tahap yang perlu
diperhatikan, yaitu tahap persiapan dan pelaksanaan penelitian, serta tahap
pengolahan data.
1. Tahap Persiapan Penelitian
Tahap pertama yang dilakukan peneliti adalah mempersiapkan penelitian yang
terdiri dari langkah-langkah berikut:
a. Pertama kali peneliti akan membuat alat ukur. Penelitian ini menggunakan
dua skala yang disusun sendiri oleh peneliti. Skala terdiri dari 45 aitem yang
terdiri dari 15 aitem untuk skala social loafing, dan 30 aitem untuk skala
b. Setelah skala disusun, maka aitem-aitem tersebut akan ditelaah dengan
analisis rasional dari professional judgement.
c. Setelah diuji validitasnya skala tersebut akan diuji coba kepada mahasiswa
yang ada di kota Medan yang memenuhi kriteria sampel.
d. Setelah melakukan try out peneliti akan melakukan uji coba alat ukur dengan
menguji validitas, daya beda aitem, dan reliabilitas semua skala. Aitem-aitem
yang lolos hasil uji coba alat ukurlah yang akan dimasukkan ke dalam skala.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah diujicobakan, selanjutnya peneliti akan menyebarkan skala pada
sampel penelitian sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3. Tahap Pengolahan Data
Setelah diperoleh hasil skor nilai pada masing-masing subjek, maka
untuk pengolahan data selanjutnya diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS
for windows 15.0 version.
H. Metode Pengolahan Data
Metode analisa data yang digunakan untuk pengujian hipotesis dalam
penelitian ini adalah dengan metode Spearman’s Correlation Coeficient.
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan program komputer
Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 15.0.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah pengujian tentang kenormalan distribusi data (Santoso
& Ashari, 2005). Penggunaan uji normalitas karena pada analisis statistik
parametrik, asumsi yang harus dimiliki oleh data adalah bahwa data tersebut
terdistribusi secara normal. Uji normalitas pada penelitian ini dengan melihat
koefisien dengan menggunakan analisa Saphiro Wilk. Data dikatakan
terdistribusi normal jika nilai koefisien p > 0.005.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel linear
atau tidak. Asumsi ini menyatakan bahwa hubungan antara variabel social
loafing dan variabel self-efficacy yang hendak dianalisis mengikuti garis lurus.
Uji linearitas dalam penelitian ini dilakukan melalui Test for Linearity pada
program SPSS version 15.0 for Windows dengan melihat nilai p, dimana jika p ≤
0.05 artinya terdapat hubungan linear antara variabel bebas dan variabel
tergantung. Sebaliknya jika p > 0.05 artinya hubungan antara variabel bebas dan
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan analisa data dan pembahasan yang diawali
dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan
pembahasan.
A. Analisa Data
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara dan Universitas Methodist Indonesia angkatan 2013 dan 2014.
Subjek Penelitian adalah 300 mahasiswa Fakultas Pertanian dengan
masing-masing 150 mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan
Fakultas Pertanian Universitas Methodist Indonesia yang terdiri dari angkatan
2011, 2012, 2013, 2014 dan 2015.
2. Hasil Penelitian
a. Uji Asumsi Penelitian
Jumlah skala yang disebarkan kepada subjek penelitian sebanyak 300 buah
dan sesuai dengan karakteristik penelitian. Setelah dilakukan pemeriksaan
terhadap skala tersebut maka keseluruhannya telah memenuhi syarat untuk
Sebelum analisis data dilakukan, ada beberapa syarat yang harus dilakukan
terlebih dahulu yaitu uji asumsi normalitas sebaran pada kedua variabel
penelitian, baik variabel social loafing maupun variabel self-efficacy. Selain itu,
dilakukan juga uji lineritas untuk mengetahui bentuk korelasi antara
masing-masing variabel. Pengujian asumsi dan analisa data dilakukan dengan program
SPSS 15.0 for Windows.
1) Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian
telah menyebar secara normal. Uji normalitas menggunakan metode
Shapiro-Wilk. Data dikatakan terdistribusi normal jika harga p > 0.05. Hasil uji
normalitas dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Normalitas Sebaran Variabel Social loafing dan Variabel
Self-efficacy
Variabel P Z Keterangan
Social loafing 0.001 0.981 Tidak Normal
Self-efficacy 0.000 0.973 Tidak Normal
Kaidah normal yang digunakan untuk uji normalitas jika p ≥ 0.05 maka data
penelitian tedistribusi normal, sebaliknya jika nilai p ≤ 0.05 maka data penelitian
tidak terdistribusi normal.
Hasil uji normalitas variabel social loafing diperoleh nilai z = 0.981 dan p =
0.001. Hasil menunjukkan bahwa nilai p (0.001) < α (0.05) maka data dari
Hasil uji normalitas variabel self-efficacy diperoleh nilai z = 0.973 dan p =
0.000. Hasil menunjukkan bahwa nilai p (0.000) < α (0.05) maka data dari
variabel self-efficacy terdistribusi tidak normal.
2) Uji Linearitas
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian,
yaitu variabel social loafing dan self-efficacy memiliki hubungan linear. Uji
linearitas dilakukan dengan menggunakan teknik analisa Varians, yang
menunjukkan bahwa variabel social loafing memiliki hubungan linear dengan
self-efficacy. Kedua variabel dikatakan memiliki hubungan yang linear jika nilai
p < 0.05. dari hasil uji linearitas antara social loafing dengan self-efficacy,
diperoleh nilai p = 0.000 (p < 0.05). Hasil tersebut menunjukkan variabel social
loafing memiliki hubungan yang linear dengan self-efficacy. Hal ini dapat
dilihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 6. Hasil Pengujian Linearitas
Variabel F P Keterangan
Social loafing dengan
Self-efficacy 61.188 0.000 Linear
b. Hasil Utama Penelitian
1) Hasil Perhitungan Korelasi
Untuk menjawab hipotesa yang diajukan oleh peneliti, digunakan uji
Spearman’s Correlation Ceofficient untuk menguji hubungan antara social
loafing dengan self-efficacy pada mahasiswa. Adapun hipotesa penelitian adalah
1. Hₒ (hipotesa nihil) : tidak ada hubungan negatif antara social
loafing dengan self-efficacy pada mahasiswa.
2. Hₐ (Hipotesa alternatif) : ada hubungan negatif antara social
loafing dengan self-efficacy pada mahasiswa.
Tabel 7. Korelasi Antara Social loafing dengan Self-efficacy
Social
Berdasarkan hasil pengujian statistik yang telah dilakukan diperoleh
koefisien korelasi (r) sebesar 0.365 dan p = 0.000 untuk korelasi antara social
loafing dengan self-efficacy. Dari hasil analisis tersebut diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0.000 (p < 0.05) maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ha
diterima dan Ho ditolak yang artinya ada hubungan negatif antara social
loafing dengan self-efficacy pada mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara dan Universitas Methodist Indonesia.
2) Hasil Analisa Tambahan
a) Gambaran mean pada aspek social loafing
Tabel 8. Nilai Mean Berdasarkan Aspek Social loafing
Immediacy
gap 14.53 2.119 0.122
Dilihat dari tabel 8, maka ditemukan bahwa aspek dilution effect jauh lebih
tinggi daripada aspek immediacy gap pada variabel social loafing.
b) Gambaran mean pada aspek self-efficacy
Tabel 9. Nilai Mean Berdasarkan Aspek Self-efficacy
Aspek Mean Std.
Deviation
Std. Error Mean
Level 28.24 2.830 0.163
Generality 29.88 2.896 0.167
Strength 29.75 3.51 0.203
Dilihat dari tabel 9 ditemukan bahwa, ketiga aspek level, generality, dan
strength memiliki mean yang tidak terlalu jauh berbeda.
c) Gambaran mean social loafing dan self-efficacy
Analisa data penelitian dapat dilakukan dengan pengelompokan yang
mengacu pada kriteria kategorisasi.
Tabel 10. Deskripsi Data Penelitian Social loafing dan Self-efficacy
Variabel Skor Mean
Min Max Mean SD
Social Loafng 27 52 38.44 3.98
Berdasarkan tabel 10 diperoleh mean untuk skala Social loafing sebesar 38.44
dengan SD sebesar 3.98 dan mean untuk skala self-efficacy sebesar 87.88 dengan
SD sebesar 7.86.
Sesuai dengan kategorisasi subjek penelitian secara empirik, data
dikelompokkan dalam tingkatan-tingkatan untuk kemudian disusun menurut
norma tertentu. Untuk kriteria variabel social loafing mahasiswa dengan jumlah
frekuensi dan persentase dapat dilihat pada tabel 11 berikut:
Tabel 11. Kategorisasi Data Social loafing
Variabel Rentang
Nilai Kategori Frekuensi Persentase
Social loafing
42 ≤ X Tinggi 49 16.3%
34 ≤ X < 42 Sedang 220 73.3%
X < 34 Rendah 31 10.3%
Berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak
16.3% termasuk dalam kategori social loafing yang tinggi, 73.3% termasuk
dalam kategori social loafing yang sedang dan 10.3% yang berada pada kategori
rendah. Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar social loafing mahasiswa
berada dalam kategori sedang.
Untuk kriteria variabel self-efficacy mahasiswa dengan jumlah frekuensi dan
persentase dapat dilihat pada tabel 12 berikut:
Tabel 12. Kategorisasi Data Self-efficacy
Variabel Rentang Nilai
Kategori Frekuensi Persentase
Self-efficacy
96 ≤ X Tinggi 44 14.7%
80 ≤ X < 96 Sedang 219 73%
Berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak
14.7% termasuk dalam kategori self-efficacy yang tinggi, 73% termasuk dalam
kategori self-efficacy yang sedang dan 12.3% yang berada pada kategori rendah.
Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar self-efficacy mahasiswa berada
dalam kategori sedang.
B. Pembahasan
Hasil pengujian korelasi antara social loafing dengan self-efficacy di dapat
koefisien korelasi r sebesar 0.365 dan p = 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa
ada hubungan negatif yang signifikan antara social loafing dengan self-efficacy.
Dengan demikian dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa orang yang
memiliki self-efficacy rendah cenderung melakukan social loafing begitu juga
sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lawrence (1992) yang
mengatakan bahwa seseorang dengan self-efficacy yang tinggi apabila
mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan diberikan evaluasi akan
memiliki performa yang lebih baik daripada melakukan tugas secara individual.
Bandura (1977) juga mengatakan bahwa seseorang yang memiliki self-efficacy
yang tinggi akan percaya dengan kemampuan yang ia miliki sehingga tidak akan
mengurangi segala usaha yang ia lakukan. Hal ini juga berlaku ketika individu
itu bekerja dalam kelompok ia tidak akan mengurangi usahanya untuk bisa
individu yang percaya akan kemampuannya dalam melakukan suatu tugas maka
akan mengurangi kemungkinan social loafing yang akan dilakukannya.
Mahasiswa pada umumnya memiliki banyak tugas yang dilakukan secara
berkelompok seperti pada fakultas pertanian. Tuntutan mereka bekerja kelompok
cukup besar mengingat mereka harus mengerjakan tugas yang diberikan dosen
maupun di kegiatan lab ataupun di lapangan. Bekerja dalam kelompok memiliki
kelemahan yakni akan terjadinya social loafing. Dari penelitian di atas, dapat
diantisipasi bahwa mahasiswa yang memiliki self-efficacy tinggi dengan ciri-ciri
salah satunya adalah memiliki komitmen dalam bekerja, percaya akan
kemampuan dirinya, tekun mengerjakan tugas, diprediksi akan mampu bekerja
dengan optimal walau bekerja dalam kelompok. Sesuai dengan teori Bandura
(1977) yakni orang dengan self-efficacy yang tinggi memiliki keinginan yang
besar dalam memotivasi dirinya untuk menyelesaikan tugas dalam bentuk
apapun dan menjadikan hal tersebut sebagai tantangan yang harus diselesaikan.
Sesuai dengan hal tersebut, orang dengan self-efficacy yang tinggi memiliki
kemungkinan yang sangat kecil dalam melakukan social loafing. Ia merasa
segala bentuk tugas yang harus diselesaikan harus segera diselesaikan oleh
dirinya sendiri. Bahkan orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan
membuat tujuan dan meningkatkan komitmennya dalam mengerjakan sebuah
tugas.
Hasil tambahan penelitian berdasarkan aspek social loafing ditemukan
bahwa aspek dilution effect memiliki nilai mean yang paling tinggi jika
mengungkapkan bahwa dilution effect adalah kurangnya motivasi seseorang di
dalam sebuah kelompok karena merasa kontribusi yang ia berikan tidak berarti
dan kurang dihargai. Konsep dilution effect bisa dijelaskan oleh penleitian yang
dilakuan oleh Geen (1991) dalam Hogg (2011) yang mengatakan bahwa
evaluation apprehension yaitu orang merasa kurang dihargai bisa menjadi
penyebab social loafing.
Latane, Williams & Harkins (1979) juga mengatakan bahwa kemungkinan
seseorang melakukan social loafing karena mereka merasa banyak anggota yang
mampu mengerjakan tugas kelompok tersebut sehingga kontribusi yang mereka
berikan tidak akan terlalu berpengaruh bagi performa kelompok. Sejalan dengan
hal ini, Harkins & Szymanski (1989) juga mengungkapkan bahwa orang akan
cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak
dievaluasi, baik oleh pemberi tugas maupun dari rekan kerjanya. Mereka akan
merasa tidak diberikan penghargaan sehingga akan lebih memilih melakukan
social loafing. Oleh karena itu, orang yang memiliki social loafing yang tinggi
merasa kontribusi yang ia berikan tidak berarti dan menyadari bahwa
penghargaan ataupun evaluasi yang diberikan kepada tiap individu tidak ada
kaitannya dengan dirinya.
Pada aspek self-efficacy, ditemukan bahwa hampir ke tiga aspek dari
self-efficacy tidak jauh berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga aspek
tersebut berperan penting dalam pembentukan self-efficacy mahasiswa. Sehingga
mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi memiliki ketiga aspek
keyakinan bahwa ia dapat menangani dengan baik keadaan dan situasi yang
mereka hadapi dan percaya pada kemampuan diri sendiri.
Berdasarkan pada hasil penelitian tambahan lainnya, sebagian besar
mahasiswa yaitu sebanyak 73.3% berada dalam rentang social loafing yang
sedang. Sebanyak 16.3% berada dalam rentang social loafing tinggi, dan 10.3%
mahasiswa berada dalam rentang social loafing rendah. Hal ini dapat diartikan
bahwa sebagian besar social laofing mahasiswa berada dalam kategori sedang.
Ini berarti bahwa mereka bisa saja melakukan atau tidak melakukan socil loafing
tergantung dari situasinya.
Sedangkan pada self-efficacy mahasiswa, sebagian besar mahasiswa yaitu
sebanyak 73% mahasiswa berada dalam rentang self-efficacy yang sedang.
Sebanyak 14.7% berada dalam rentang self-efficacy yang tinggi, dan 12.3%
mahasiswa berada dalam rentang self-efficacy yang rendah. Hal ini dapat
diartikan bahwa sebagian besar self-efficacy mahasiswa berada pada kategori
sedang.
Informasi tamnbahan yang dilihat peneliti di lapangan, mahasiswa fakultas
Pertanian dari Universitas Sumatera Utara dan Universitas Methodist Indonesia
memiliki perbedaan dimana pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara jauh
lebih kondusif ketika mengerjakan skala dibandingkan Universitas Methodist
Indonesia dan hasil yang peneliti lebih cepat mengumpulkan hasil dari skala
yang disebar di Universitas Sumatera Utara daripada Universitas Methodist
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dan saran-saran sehubungan dengan
hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Pada bagian pertama akan dijabarkan
kesimpulan dari penelitian ini dan pada bagian akhir akan dikemukakan
saran-saran baik yang bersifat praktis maupun metodologis yang mungkin dapat berguna
bagi penelitian yang akan datang dengan topik yang sama.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan pada bagian
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut:
1. Sesuai dengan hasil penelitian, ada hubungan negatif yang signifikan antara
social loafing dengan self-efficacy pada mahasiswa Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara dan Universitas Methodist Indonesia.
2. Dilution effect adalah aspek tertinggi dari social loafing yang ditemukan dari
penelitian ini berdasarkan nilai meannya. Sedangkan untuk variabel
self-efficacy pada penelitian ini ketiga yaitu level, generality, dan strength
ternyata tidak terlalu berbeda jauh berdasarkan nilai meannya.
3. Hasil penelitian tambahan diperoleh data sebagai berikut:
a. Sebagian besar social laofing mahasiswa berada dalam kategori
sedang.
B. SARAN
1. Saran Metodologis
a. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti topik yang sama diharapkan
dapat mengontrol faktor-faktor lain yang diperkirakan dapat mempengaruhi
social loafing dan self-efficacy.
b. Diharapkan pada penelitian selanjutnya apabila melakukan pengambilan
data dalam kelompok untuk lebih mengondusifkan kondisi pengambilan
data agar tidak ada bias atau kesalahan pengambilan data.
2. Saran Praktis
a. Bagi dosen dan pihak fakultas
1) Untuk mengurangi tindakan social loafing yang rentan terjadi pada
mahasiswa, sebaiknya para dosen dan staf pengajar memberikan
evaluasi atas setiap pekerjaan ataupun tugas yang diberikan kepada
mahasiswa agar mengurangi salah satu aspek pembentuk social loafing
yakni dilution effect tidak terjadi.
2) Pihak fakultas khususnya khususnya staf pengajar sebaiknya dapat
mendukung mahasiswa untuk terus mendukung dan mempertahankan
self-efficacy yang sudah tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi social
loafing mahasiswa terutama Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
b. Bagi mahasiswa diharapkan tetap bekerja dengan optimal walaupun di
dalam kelompok karena hasil yang didapatkan tetap merupakan tanggung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SOCIAL LOAFING
1. Pengertian Social loafing
Social loafing merupakan pengurangan kinerja individu selama bekerja
sama dengan kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri (Latane, 1979).
Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi
upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan
ketika bekerja secara individual. (Karau & Williams, 1993). Menurut
Ringelmann dalam Latane, Williams, & Harkins (1979), social loafing berarti
penurunan usaha individu atau seseorang ketika ia bekerja dalam kelompok
dibandingkan dengan ketika ia bekerja seorang diri.
Dari definisi di atas saya dapat menyimpulkan bahwa social loafing
adalah kecenderungan individu untuk mengurangi usaha yang dikeluarkannya
ketika bekerja di dalam kelompok dan dibandingkan ketika bekerja secara
2. Dimensi Social loafing
Menurut Latane (1981), social loafing dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu:
a. Dilution Effect
Individu kurang termotivasi karena merasa kontribusinya tidak berarti atau
menyadari bahwa penghargaan yang diberikan kepada tiap individu tidak ada.
b. Immediacy gap
Individu merasa terasing dari kelompok. Hal ini menandakan semakin jauh
anggota kelompok dari anggotanya maka ia akan semakin jauh dengan pekerjaan
yang dibebankan kepadanya.
3. Faktor-faktor Penyebab Social loafing
Faktor penyebab seseorang melakukan social loafing adalah:
a. Orang akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di
dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan
kerjanya (Harkins & Szymanski, 1989).
b. Gender seseorang merupakan salah satu faktor penyebab social loafing.
Seorang perempuan lebih mungkin untuk tidak melakukan social loafing
dibandingkan dengan seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita umunya
berorientasi pada pemeliharaan koordinasi kelompok (Kugihara, 1999).
c. Individu yang mendapatkan tugas secara berkelompok tidak merasakan
hasilnya secara pribadi. Individu ini akan memandang tugas yang dikerjakan
senang dengan hasil yang harus ia bagi dengan anggota yang lainnya (Manz
& Angle, 1986).
d. Individu ingin menumpang pada kesuksesan atau pekerjaan orang lain tanpa
ikut serta dalam pengerjaannya. Hal ini juga terkadang dilakukan karena
keyakinan individu tersebut bahwa orang yang memberikan tugas tidak akan
menyadari pengurangan usaha yang dilakukannya (Kidwell & Benner,
1993).
e. Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas. Tugas yang tidak jelas
pembagiannya atau arahnya akan cenderung memberikan kemalasan bagi
individu yang mengerjakannya. Individu tersebut kurang termotivasi dalam
memberikan upaya saat menyelesaikan tugas (George, 1992).
f. Tugas yang terlalu mudah. Ketika sebuah kelompok mendapatkan tugas
yang sulit untuk diselesaikan, maka akan sedikit kemungkinan anggota di
dalam kelompok melakukan social loafing (Harkins & Petty, 1982).
g. Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada
kolektivis. Performa individualis yang bekerja dalam sebuah kelompok
lebih rendah dibandingkan ketika bekerja sendiri. Sebaliknya, mereka yang
memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih baik dalam
kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki budaya
kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok
sebagai hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis
menmpercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan
h. Semakin banyak anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing
seorang individu akan semakin meningkat. Hal ini juga semakin membuat
sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu. Kemungkinan
seseorang melakukan social loafing dikarenakan merasa banyak anggota
yang mampu mengerjakan tugas kelompok tersebut (Latane, Williams, &
Harkins, 1979).
i. Ketidak-lekatan antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga
dapat mempengaruhi social loafing (Karau & Williams, 1997). Hal ini dapat
didefinisikan sebagai sejauh mana anggota kelompok yang satu dengan
yang lainnya tertarik dan memiliki keinginan untuk bersama-sama
(Mudrack, 1989).
j. Evaluation Apprehension atau ada tidak adanya evaluasi yang diberikan
oleh pemberi tugas ataupun sesama rekan kerja (Geen, 1991).
k. Kepercayaan diri juga dapat membuat perilaku social loafing menurun
(Mukti, 2013)
Dapat disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan social loafing dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah tidak adanya
evaluasi (Harkins & Szymanski, 1989), gender (Kugihara, 1999), tugas yang
dirasa harus dikerjakan secara berkelompok (Manz & Angle, 1986), menumpang
kesuksesan (Kidwell & Benner, 1993), ketidakjelasan tugas (George, 1992),
faktor budaya (Early, 1989), kemudahan tugas (Harkins & Petty, 1982), besarnya
kelompok (Jones, 1984), kepercayaan diri (Mukti, 2013), dan kelekatan kelompok
B. SELF-EFFICACY
1. Pengertian Self-efficacy
Konsep self-efficacy pertama kali diungkapkan oleh Bandura. Menurut
Bandura (1997), Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas
kemampuannya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang
dibutuhkan untuk mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Schultz
(1994) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan individu terhadap
kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.
Self-efficacy juga memiliki arti sebagai penilaian individu terhadap kemampuan atau
kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan
menghasilkan sesuatu (Baron & Byne, 2000).
Dari definisi di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa self-efficacy adalah persepsi, penilaian, dan perasaan tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi suatu tindakan, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu dengan kecakapan tertentu.
2. Ciri-Ciri Individu dengan Self-efficacy Tinggi dan Self-efficacy Rendah
Bandura (1997) menjelaskan bahwa individu dengan self-efficacy yang
tinggi adalah ketika individu tersebut merasa memiliki keyakinan bahwa ia dapat
menangani dengan baik keadaan dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam
mengerjakan tugas-tugas, memiliki keinginan yang besar dalam memotivasi diri
memandang kesulitas sebagai tantangan, mampu membuat tujuan dan
meningkatkan komitmen terhadap apa yang dilakukan, menanamkan usaha pada
apa yang dilakukannya, bila gagal maka akan memikirkan strategi dalam
menghadapinya dan mudah bangkit setelah mengalami kegagalan.
Sedangkan individu dengan self-efficacy yang rendah adalah individu
yang merasa tidak berdaya, menghindari kegiatan-kegiatan yang menantang,
cepat menyerah, mudah cemas, apatis, upaya yang rendah dan komitmen yang
lemah pada sebuah tujuan yang ingin digapai, cenderung akan memikirkan
kekurangan dan konsekuensi akan kegagalan, serta lambat untuk
membangkitkan kembali perasaan bahwa ia mampu menghadapi kegagalan.
3. Dimensi Self-efficacy
Bandura (1997) mengungkapkan ada tiga dimensi self-efficacy, yakni:
a. Level
Level berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan
dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang
hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap
individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada
yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa
tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan
b. Generality
Generality sejauh mana inidividu yakin akan kemampuannya dalam
berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa
dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam
serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality merupakan
perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas yang
berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.
c. Strength
Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan
yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam
pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang
kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus
bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan.
Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini sesesorang.
Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu pula. Individu
yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh
dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.
C. Mahasiswa
Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di
Universitas, institut atau akademi. Mahasiswa merupakan calon sarjana yang
dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi
mahasiswa meliputi rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Mahasiswa
biasa belajar di kelas, membaca buku, membuat makalah, presentasi, diskusi dan
lain sebagainya. Mereka sangat erat kaitannya dengan tugas yang diberikan oleh
para pengajar atau dosen. Tugas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999)
memiliki arti sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk
dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau pekerjaan
yang wajib dibebankan. Mahasiswa sudah pasti pernah merasakan saat-saat
dimana membuat laporan, makalah, mencari bahan kuliah, tugas praktek dan
presentasi. Tugas itu sendiri dapat diberikan secara individual ataupun
berkelompok (Sudjana, 2001).
D. Hubungan antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa
Mahasiswa yang sangat erat kaitannya dengan tugas seringkali diberikan
tugas dengan bentuk kelompok. Biasanya, ketika dosen memberikan tugas
secara berkelompok diharapkan agar penyelesaian tugas lebih mendalam dan
sempurna, karena merupakan produk pemikiran dari beberapa orang. Mahasiswa
juga diajarkan untuk bisa bekerjasama dan berinteraksi dengan sesama dan
lingkungan sekitarnya. Mereka dapat belajar untuk mengambil keputusan
dengan baik, bersikap toleransi dan menghargai sesama mahasiswa lain.
Orang dapat memenuhi tujuan untuk menyelesaikan tugas individu
mereka dengan lebih mudah melalui kerjasama dalam kelompok (Latane,
Williams, & Harkins, 1979). Pemberian tugas secara berkelompok ini
satu kelompok sering terdapat mahasiswa yang tidak turut aktif berpartisipasi
dalam proses pengerjaan tugas tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai social
loafing, yaitu kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan
individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara
individual (Karau & Williams, 1993). Social loafing memiliki dampak yang
sangat banyak khususnya terhadap sebuah kelompok. Dampak yang diberikan
juga merupakan dampak yang bersifat merugikan.
Seringkali terdapat banyak mahasiswa yang melakukan loafing karena
berbagai hal. Seperti karena tidak adanya kelekatan pada setiap anggota
kelompok (Karau & Williams, 1997), terlalu besarnya sebuah kelompok (Latane,
Williams, & Harkins, 1979), atau bahkan karena terlalu mudahnya tugas yang
diberikan oleh dosen (Harkins & Petty, 1982).
Social loafing yakni kecenderungan untuk mengurangi upaya yang
dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika
bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993). Tidak sedikit faktor-faktor
yang menyebabkan seseorang melakukan social loafing. Kugihara menemukan
bahwa laki-laki cenderung melakukan social loafing daripada perempuan
(Kugihara, 1999). Faktor eksternal yang kerap dihubungkan adalah besarnya
kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979) yang dibuktikan dengan semakin
banyak nya anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing seorang
individu akan semakin meningkat. Orang akan cenderung melakukan social
loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari
antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga dapat mempengaruhi
social loafing (Karau & Williams, 1997). Jika individu tidak menyukai anggota
yang lain maka ia akan lebih mungkin untuk terlibat dalam social loafing.
Budaya yang dimiliki dan dianut oleh individu juga membuat seseorang seperti
individualis atau kolektivis (Earley, 1993).
Pada penelitian Early (1993) dikatakan bahwa Social loafing lebih sering
terjadi pada budaya individualis daripada budaya kolektivis. Performa seorang
individu yang berasal dari budaya individualis lebih rendah ketika bekerja
dalam sebuah kelompok dibandingkan ketika ia bekerja sendiri. Sebaliknya,
mereka yang memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih
baik dalam kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki budaya
kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok sebagai
hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis
mempercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan
kelompok.
Hasil dari penelitian Ames (1992) dan Dweck & Legger (1988)
mengungkapkan bahwa orang yang menganut budaya individualis merupakan
orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini dikarenakan orang dalam
budaya individualis akan mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk belajar
serta lebih memberikan usaha yang lebih untuk performanya. Sebaliknya, orang
Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas kemampuannya
dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang dibutuhkan untuk
mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya (Bandura, 1997).
Lawrence (1992) yang melakukan 2 eksperimen di mana eksperimen
pertama self-efficacy dimanipuasi dengan evaluasi yang salah dan hasil yang
diharapkan dimanipulasi dengan 3 kelompok yang memiliki kondisi yang
berbeda (sendiri, bekerja bersama tetapi dengan melihat hasil individu, dan
bekerja bersama dengan melihat hasil dari kelompok). Pada ekperimen kedua,
self-efficacy yang diinginkan ditingkatkan secara tiba-tiba ketika para partisipan
mengerjakan tugas yang mudah ke yang sulit, dan hasil yang diharapkan
dimanipulasi dengan 3 kondisi evaluasi yang berbeda (sendiri, dievaluasi, dan
tidak dievaluasi). Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa seseorang
dengan self-efficacy yang tinggi apabila mengerjakan sebuah tugas secara
berkelompok dan diberikan evaluasi akan memiliki performa yang lebih baik
daripada melakukan tugas secara individual. Sebaliknya, jika seseorang dengan
self-efficacy yang rendah dan mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan
dievaluasi, maka ia akan memiliki performa yang buruk daripada melakukannya
secara individual. Schmuck & Schmuck (1980) menyatakan bahwa membentuk
kelompok kecil dan dapat membantu satu sama lain untuk menyelesaikan tugas
yang lebih kompleks adalah strategi untuk meningkatkan self-efficacy seseorang.
Berdasarkan dari beberapa penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa
orang dengan self-efficacy yang tinggi justru akan membuat tindakan social
mengerjakan tugas (Lawrence, 1992) dan dapat saling membantu saat bekerja
kelompok (Schmuck & Schmuck, 1980) sehingga akan mengurangi perilaku
social loafing seseorang.
E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian teori dan dinamika antara dimensi self-efficacy yang
telah dipaparkan oleh peneliti, hipotesa yang diajukan dalam penelitian adalah
ada hubungan negatif antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa
dimana semakin tinggi derajat self-efficacy yang dimiliki individu justru
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mahasiswa merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan
perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual
(Knopfemacher, 1978). Mahasiswa biasa belajar di kelas, membaca buku,
membuat makalah, presentasi, diskusi dan lain sebagainya. Mereka sangat erat
kaitannya dengan tugas yang diberikan oleh para pengajar atau dosen. Tugas
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) memiliki arti sebagai sesuatu yang
wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan, pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab seseorang atau pekerjaan yang wajib dibebankan. Mahasiswa
sudah pasti pernah merasakan saat-saat dimana membuat laporan, makalah,
mencari bahan kuliah, tugas praktek dan presentasi. Tugas itu sendiri dapat
diberikan secara individual ataupun berkelompok (Sudjana, 2001). Biasanya,
ketika dosen memberikan tugas secara berkelompok diharapkan agar penyelesaian
tugas lebih mendalam dan sempurna, karena merupakan produk pemikiran dari
beberapa orang. Mahasiswa juga diajarkan untuk bisa bekerjasama dan
berinteraksi dengan sesama dan lingkungan sekitarnya. Mereka dapat belajar
untuk mengambil keputusan dengan baik, bersikap toleransi dan menghargai
Orang dapat memenuhi tujuan untuk menyelesaikan tugas individu mereka
dengan lebih mudah melalui kerjasama dalam kelompok (Latane, Williams, &
Harkins, 1979). Pemberian tugas secara berkelompok ini sesungguhnya juga
memiliki kelemahan, yakni pengambilan keputusan yang berlarut-larut,
kecakapan anggota kelompok yang berbeda, memakan waktu yang banyak dan
terlalu banyak persiapan. Selain itu, ada juga kelemahan lainnya yaitu social
loafing. Pada satu kelompok sering terdapat mahasiswa yang tidak turut aktif
berpartisipasi dalam proses pengerjaan tugas tersebut. Hal ini dapat dikatakan
sebagai social loafing, yaitu kecenderungan untuk mengurangi upaya yang
dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja
secara individual (Karau & Williams, 1993).
Social loafing memiliki dampak yang sangat banyak. Dampak positif dari
social loafing biasanya akan dirasakan oleh individu yang melakukan social
loafing. Orang yang melakukan social loafing akan merasa diuntungkan dengan
tidak ikutnya dalam proses penyelesaian tugas, mendapatkan nilai yang baik
karena kinerja kelompok dan lainnya. Selain itu ada juga dampak yang bersifat
merugikan khususnya terhadap sebuah kelompok. Hal ini dapat terlihat dari
sebuah kutipan wawancara dengan seorang mahasiswa yang merasa kelompok
tidak efektif dalam penyelesaian tugas karena tidak adanya kerjasama yang baik