• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ORGANIZATIONAL JUSTICE TERHADAP SOCIAL LOAFING DI KALANGAN MAHASISWA SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi persyaratan. Ujian Sarjana Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH ORGANIZATIONAL JUSTICE TERHADAP SOCIAL LOAFING DI KALANGAN MAHASISWA SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi persyaratan. Ujian Sarjana Psikologi"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH ORGANIZATIONAL JUSTICE TERHADAP SOCIAL LOAFING DI KALANGAN MAHASISWA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

YOHANA CHRISELA RUMONDANG

111301083

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(2)
(3)
(4)

PENGARUH ORGANIZATIONAL JUSTICE TERHADAP SOCIAL LOAFING DI KALANGAN MAHASISWA

Yohana Chrisela dan Rika Eliana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh organizational justice terhadap social loafing ketika individu dihadapkan pada tugas yang berbasis kelompok. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan analisa data menggunakan analisa regresi sederhana. Subjek penelitian ini berjumlah 255 orang mahasiswa yang sedang menempuh perkuliahan S1 di perguruan tinggi di Medan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala adaptasi yaitu adaptasi skala Social Loafing Tendency Questionnaire Ying, dkk (2014), dan adaptasi skala High School Organizational Justice Survey Rodriguez (2012).

Kedua skala tersebut diadaptasi dan ditranslasi oleh beberapa orang di bidang linguistik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ada pengaruh organizational justice terhadap social loafing di kalangan mahasiswa. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa mahasiswa (laki-laki) memiliki kecenderungan social loafing. Mahasiswa yang memiliki IPK yang tinggi memiliki kecenderungan social loafing yang rendah.

Kata Kunci: Social Loafing, Organizational Justice, mahasiswa

(5)

The Influence of Organizational Justice to Social Loafing

Yohana Chrisela and Rika Eliana

ABSTRACT

This study attempts to identify the effects of organizational justice to social loafing when individuals are faced with group-based tasks. This research uses the quantitative method and analyzed using simple linear regression.The subjects of this study were 225 under graduated college students in Medan. The measuring instrument used in this research was adapted scale, namely Social Loafing Tendency Questionnaire by Ying, et al (2014), and High School Organizational Justice Survey by Rodriguez (2012). The result of this study indicates that there is influence of organizational justice to social loafing among college students.

Additional research results indicate that men have more social loafing tendencies.

Students with high GPA have a low social loafing tendency.

Keywords : Social loafing, Organizational Justice, College students

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas kasih karunia dan kebaikanNya sehingga saya mampu untuk menyelesaikan penelitian yang berjudul

“Pengaruh Organizational justice terhadap social loafing di kalangan mahasiswa”

ini. Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi syarat menjadi Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pembuatan skripsi ini adalah pengalaman pertama penulis, sehingga peneliti memohon maaf jika di dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, baik isi maupun cara penulisan.

Peneliti juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada orang tua yang terbaik dan yang sangat saya kasihi, bapak Has. Kembaren, M.Th dan ibu R E. Pangaribuan, M.Hum yang selalu membawa saya di dalam doa-doanya dan memberikan semangat secara moril maupun materil terutama selama proses pengerjaan skripsi saya ini. Peneliti juga berterima kasih kepada kakak dan adik- adik tersayang, Ruth Sylvia, S.Psi, Eunike Sondang Elfriantry br. Kembaren, Maria Christy Gracia br. Kembaren, Kirey Karisma br. Kembaren, terimakasih untuk doa dan semangat yang terus diberikan selama proses pengerjaan skripsi ini, semoga Tuhan Yesus memberkati.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari banyak pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

(7)

1. Bapak Zulkarnaen, P. Hd selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, beserta Wakil Dekan I, II, III Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Rika Eliana, M. Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi.

Terimakasih atas segala bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah ibu berikan selama penulisan skripsi ini. Terima kasih juga karena telah menjadi pembimbing yang penuh kasih dan selalu memberikan semangat kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, MA, psikolog, selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen penguji yang sabar dan juga telah memberikan masukan kepada saya selama pengerjaan skripsi.

4. Kak Ridhoi Meilona Purba, M. Si, selaku dosen penguji yang telah memotivasi saya untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan telah memberikan dukungan serta masukan kepada saya selama pengerjaan skripsi.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama ini.

6. Keluarga besar Kembaren dan Pangaribuan, opung, bou, amang boru, tulang dan nantulang serta sepupu-sepupu. Terima kasih untuk dukungan, doa dan semangat yang diberikan selama ini, mulai dari saya berkuliah hingga saya menyelesaikan skripsi.

7. Sahabatku yang terkasih, Fransisco Alexander Simbolon, S.Kom. Terima kasih karena selalu menjadi pendengar dan motivator yang baik saat penulis

(8)

sudah suntuk kuliah atau mulai merasa jenuh dalam proses pengerjaan seminar proposal dan skripsi. Terima kasih sudah mendukung dalam doa dan tenaga selama masa kuliah. Terima kasih juga karena sudah menemani dan membantu selama masa penulisan skripsi ini.

8. Sahabatku Christian Dedi Syahputra Laia. Terima kasih karena sudah memberikan semangat dan mendukung dalam doa serta mendengarkan keluh kesah selama penulisan skripsi ini.

9. Gadis-gadis kesayanganku Elisabet br Sibarani, Puspa Verawaty, S.E, Junita Naomi Sipayung, A.md, Nancy Silvani br Hutauruk, Yohana Selliabreint br Sembiring, Natahsya br Pasaribu, Melina Siallagan, S.Psi, Paskha Yohana S.Psi, Juniati Siallagan, S.Psi. Terima kasih karena selalu mendukung dan memberi semangat serta mendoakan selama masa perkuliahan hingga sampai penyusunan skripsi.

10. Anggota KKA Tanjung Selamat, Ester Angelina br Marbun, Immanuel Jonathan Laia, Rotua br. Sibarani, Dwi Dasa Marbun, Ratna Dewi br. Laia, Elbina br. Panggabean, Sukri Sinaga, Purnama Jelita br. Hutapea, Roy Malau, Fernando Simbolon, Rendy Parapat, dan Tuah Gultom. Terima kasih telah membawa saya di dalam doa-doa kalian dan terus memberikan semangat serta motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Seluruh mahasiswa yang telah bersedia mengisi skala penelitian ini, terima kasih atas kesediaan dan waktunya. Kiranya Tuhan memberkati saudara- saudari sekalian.

(9)

12. Semua pihak dan teman-teman yang mendukung proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Peneliti percaya Tuhan Yesus akan membalas segala kebaikan saudara semua.

Keseluruhan isi penelitian ini merupakan tanggung jawab peneliti. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna pengembangan penelitian ini. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Mei 2018

Yohana Chrisela Rumondang

(10)

i DAFTAR ISI Abstrak

Kata Pengantar

Daftar Isi ... i

Daftar Tabel ... iv

Daftar Lampiran... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Social Loafing ... 9

2.1.1. Definisi Social Loafing ... 9

2.1.2. Aspek yang mempengaruhi social loafing ... 10

2.1.3. Dimensi social loafing ... 13

2.1.4. Faktor-faktor yang dapat mengurangi social loafing ... 14

2.2. Organizational Justice ... 15

2.2.1. Pengertian Organizational Justice ... 16

2.2.2. Dimensi Organizational Justice ... 16

2.2.3. Mahasiswa ... 17 2.3. Pengaruh Organizational Justice terhadap social loafing

(11)

di kalangan mahasiswa ... 17

2.4. Hipotesa Penelitian... 19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Identifikasi Variabel Penelitian... 20

3.2. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 20

3.2.1. Social loafing ... 20

3.2.2. Organizational Justice ... 21

3.3 Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 21

3.3.1. Populasi ... 21

3.3.2. Metode Pengambilan Sampel ... 21

3.4. Metode Pengumpulan Data... 22

3.4.1. Skala Social Loafing... 22

3.4.2. Skala Organizational Justice ... 23

3.5. Uji Coba Alat Ukur ... 24

3.5.1. Validitas ... 24

3.5.2. Reliabilitas ... 25

3.6. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 25

3.6.1. Hasil Uji Coba Skala Social Loafing... 25

3.6.2. Hasil Uji Coba Skala Organizational Justice ... 26

3.7. Prosedur Pelaksaan Penelitian ... 27

3.7.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 28

3.7.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 28

(12)

iii

3.7.3. Tahap Pengolahan Data ... 29

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisa Data ... 30

4.1.1.Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 30

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 30

B. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jurusan ... 31

4.1.2. Hasil Uji Asumsi Penelitian... 32

A. Uji Normalitas ... 32

B. Uji Linearitas ... 33

C. Uji Multikolinearitas ... 34

4.1.3. Hasil Utama Penelitian ... 34

4.1.4. Hasil Analisa Tambahan ... 37

4.2. Pembahasan ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 44

5.2. Saran ... 45 DAFTAR PUSTAKA

Lampiran

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue Print Skala Social Loafing ... 23

Tabel 3.2 Blue Print Skala Organizational Justice... 24

Tabel 3.3 Blue Print Skala Social Loafing Setelah Uji Coba ... 26

Tabel 3.4 Blue Print Skala Organizational Justice Setelah Uji Coba ... 27

Tabel 4.1 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31

Tabel 4.2 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jurusan ... 32

Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas ... 33

Tabel 4.4 Hasil Uji Linearitas ... 33

Tabel 4.5 Hasil Uji Multikolinearitas ... 34

Tabel 4.6 Anova Analisis Regresi... 35

Tabel 4.7 Model Summary Prediktor Social Loafing ... 35

Tabel 4.8 Koefisien Regresi ... 36

Tabel 4.9 Hasil Perhitungan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Social Loafing ... 38

Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Organizational Justice ... 39

Tabel 4.11 Hasil Perbandingan Social loafing dan organizational justice berdasarkan jenis kelamin ... 40

Tabel 4.13 Perbandingan Social loafing dan organizational justice berdasarkan IPK ... 41

(14)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Skala Social Loafing dan skala Organizational Justice sebelum diadaptasi

Lampiran B : Translasi Skala Social Loafing dan Skala Organizational Justice Lampiran C : Alat Ukur Skala Social Loafing dan Skala Organizational Justice Lampiran D : Hasil Penelitian

Lampiran E : Skor Total Aitem Social Loafing dan Organizational Justice

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kelompok merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kelompok sosial adalah hal yang penting karena menempati sebagian besar dari kehidupan sehari-hari kita. Seperti bekerja dalam kelompok, bersosialisasi dalam kelompok, bermain dalam kelompok, dan juga mewakili pandangan dan sikap kita melalui kelompok (Hogg, 2002).

Latane, William dan Harkins (1976), menyatakan bahwa dengan adanya kelompok, seseorang dapat memenuhi tujuan pribadinya dengan lebih mudah melalui tindakan bersama dalam kelompok. Dengan kata lain, kelompok memudahkan individu untuk mencapai hasil kerja yang diinginkannya karena tugas yang diberikan dikerjakan secara bersama-sama.

Namun, tidak selamanya setiap anggota kelompok akan memberikan usaha yang sama dalam mengerjakan tugas kelompok. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ringelmann (1913), “The Ringelmann Effect” menunjukkan bahwa individu akan mengurangi performa kerjanya ketika dia berada dalam suatu kelompok yang cukup besar. Hal ini biasa disebut dengan motivation loss.

Latane, William dan Harkins (1979), menyatakan bahwa social loafing merupakan pengurangan kinerja individu selama bekerja dengan kelompok dibandingkan dengan saat bekerja sendiri. Individu akan cenderung untuk

(16)

mengurangi usahanya ketika menyadari bahwa terdapat banyak orang di dalam kelompok yang dapat membantunya untuk menyelesaikan tugas yang ada.

Geen (dalam Hogg 2012), menyatakan ada 3 (tiga) alasan mengapa seseorang melakukan social loafing. Pertama, kesetaraan hasil (output equity).

Individu akan menurunkan performa mereka sehingga dapat menyamakan tingkat usahanya dengan anggota kelompok lain ketika mereka percaya bahwa orang lain juga melakukan social loafing atau tidak berusaha secara sungguh-sungguh.

Kedua, kekhawatiran terhadap evaluasi (evaluation apprehension). Kehadiran anggota lain dalam kelompok memberikan individu perasaan tidak dilihat dan tidak dapat diidentifikasi bagi individu yang tidak termotivasi dalam sebuah tugas.

Ketiga, kesesuaian dengan standard (matching to standard). Individu melakukan social loafing karena tidak ada standard performa yang harus dicapai. Ketika di dalam kelompok tidak ada batasan dalam mengerjakan tugas atau memberi performa, anggota kelompok cenderung akan menurunkan performanya.

Orang yang melakukan social loafing biasanya akan merasakan dampak positif dari social loafing. Mereka tidak perlu memberikan effort yang besar dalam mengerjakan tugas kelompok, tetapi mendapatkan nilai yang sama dengan anggota kelompok lain yang bekerja lebih keras. Sedangkan anggota kelompok lain yang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas kelompok akan merasakan dampak negatif dari social loafing. Sehingga tidak jarang ditemui individu yang mengeluh karena merasakan ketidakadilan dalam tugas kelompoknya, baik itu pembagian tugas maupun hasil yang diterima. Hal ini dapat

(17)

3

dilihat dari komunikasi personal yang dilakukan dengan salah seorang mahasiswi berikut.

Suka kesal aja gitu, masa aku kerjain banyak tapi nilaiku sama dengan kawan yang hampir gak ada kerjaan. Pengennya sih aku dapat nilai yang lebih tinggilah dibanding dia. (Komunikasi Personal, 06/11/2017).

Menurut pendekatan teori pertukaran sosial, suatu suatu hubungan akan dihentikan jika cost dan reward tidak seimbang. Individu akan bertahan di dalam suatu hubungan ketika dia merasa bahwa apa yang telah diberikannya (cost) sesuai dengan apa yang dia peroleh (reward) dalam sebuah hubungan. Thibaut dan Kelley (1978) menyatakan bahwa ketika individu tidak merasakan keuntungan dari suatu hubungan maka dia cenderung akan meninggalkan hubungan tersebut. Jika hal ini diterapkan dalam konteks kerja kelompok, individu akan mengurangi effortnya ketika individu merasakan ketidakadilan dalam pembagian tugas ataupun penilaian yang diberikan oleh dosen. Hal inilah yang disebut Rodriguez (2012) sebagai distributive justice. Distributive justice menurut Rodriguez adalah persepsi mengenai keadilan pemberian nilai dan penghargaan. Menurut penelitian, distributive justice berhubungan dengan social loafing. Hal ini sejalan dengan konsep output equity dalam social loafing. Geen (dalam Hogg, 2012) menyatakan bahwa output equity adalah keadaan dimana seseorang menurunkan performa kerjanya karena merasa bahwa teman-temannya yang melakukan social loafing juga akan mendapatkan nilai yang sama dengan yang diterimanya. Distributive justice adalah bagian dari organizational justice.

Organizational justice merupakan persepsi keadilan dan evaluasi mengenai kelayakan hasil atau proses dalam organisasi (Cropanzano dan

(18)

Greenberg, 1997). Organizational justice merupakan konsep yang biasanya digunakan dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi, namun konsep organizational justice juga tidak kalah penting untuk di bahas dalam ranah pendidikan (Chory, 2002). Organizational justice diperlukan untuk melihat persepsi siswa mengenai keadilan yang ada di dalam kelas. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukannya mengenai classroom justice, mengenai keadilan pengajar yang dirasakan oleh siswa. Organizational justice penting karena saat siswa tidak merasakan keadilan di dalam kelas, maka siswa akan menurunkan performanya dalam proses belajar maupun pengerjaan tugas. Jika dalam organisasi output adalah gaji, maka dalam pendidikan outputnya adalah nilai (Rodriguez, 2012). Menurut Rodriguez (2012) organizational justice terbagi ke dalam 3 dimensi, yaitu distributive justice, procedural justice, interactional justice.

Distributive justice mengacu pada keadilan distribusi sumber daya dan hasil, misalnya nilai dan hukuman (Rodriguez, 2012). Individu yang merasa bahwa hasil akhir yang diterima dari pengerjaan tugas kelompoknya tidak adil pasti akan melakukan social loafing. Individu yang memberikan effort yang lebih besar dalam pengerjaan tugas akan merasakan ketidakadilan karena ada individu lain dalam kelompok yang memberikan effort sedikit sedangkan nilai yang diterima adalah sama. Hal inilah yang memberikan effort besar kemudian merasa malas dan melakukan social loafing karena individu tersebut tidak merasakan distributive justice.

(19)

5

Procedural justice mengacu pada keadilan dari proses yang digunakan

untuk membuat keputusan dan mencapai hasil (Rodriguez, 2012). Hal ini meliputi faktor- faktor seperti produktivitas, partisipasi di dalam kelas, hukuman dan peraturan di dalam kelas dan pengamatan yang berkaitan dengan prosedur yang digunakan dalam pengambilan keputusan akhir mengenai nilai. Bila individu mengevaluasi kewajaran mengenai bagaimana keputusan dibuat, mereka membuat penilaian procedural justice, tetapi jika individu melihat proses pengambilan keputusan akhir dalam pemberian nilai tidak wajar maka individu akan cenderung melakukan social loafing.

Interactional justice mengacu pada kualitas perlakuan interpersonal yang diterima individu dari orang lain dalam kelompok (Rodriguez, 2012). Hal ini mengacu kepada bagaimana orang lain dalam kelompok atau pun dosen memperlakukan individu (misalnya, sopan/tidak sopan, pilih kasih/tidak pilih kasih). Saat individu diperlakukan dengan sopan dan tidak pilih kasih oleh anggota kelompok yang lain maupun dosennya, maka individu tersebut merasakan interactional justice. Sedangkan, individu yang merasa tidak diperlakukan secara sopan dan merasakan bahwa adanya pilih kasih yang dilakukan oleh dosen ataupun anggota kelompok lainnya akan membuatnya menjadi malas dan melakukan social loafing.

Piezon (2008), dalam penelitiannya di sebuah kelompok belajar online menyimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara distributive justice dengan social loafing. Sementara, dimensi lain dari organizational justice belum pernah

(20)

diteliti. Oleh karena itu, penelitian kali ini berfokus kepada organizational justice secara keseluruhan untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap social loafing.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah pengaruh organizational justice terhadap social loafing?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh organizational justice terhadap social loafing.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik dan bersifat teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan pengetahuan terhadap ilmu Psikologi, yaitu Psikologi Sosial dalam mengembangkan ilmu di bidang tersebut.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberi pemahaman bagi pembaca mengenai pengaruh organizational justice terhadap social loafing pada saat mengerjakan tugas kelompok.

(21)

7

1.5 Sistematika Penulisan BAB I: Pendahuluan

Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Landasan Teori

Berisi tinjuan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Memuat dasar teori mengenai social loafing serta organizational justice, pengaruh organizational justice terhadap social loafing, dan hipotesa penelitian.

BAB III: Metode Penelitian

Berisi metode penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil penelitian.

BAB IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan

Terdiri dari gambaran subjek penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan dan deskripsi data penelitian.

(22)

BAB V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran penelitian dari peneliti terhadap penelitian selanjutnya.

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Social Loafing

2.1.1. Definisi Social Loafing

Latane, William dan Harkins (1979) menyatakan bahwa social loafing merupakan pengurangan kinerja individu selama bekerjasama dengan kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri. Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan individu untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan pada saat bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan saat bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993).

Ringelmann (dalam Latane, Williams, & Harkins, 1979) berpendapat bahwa social loafing adalah penurunan usaha individu atau seseorang ketika ia bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan ketika ia bekerja seorang diri.

Dari definisi di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa social loafing adalah kecenderungan individu untuk mengurangi usaha atau kinerjanya ketika bekerja di dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual.

Untuk mengukur social loafing tendency, Ying dkk (2014) membuat suatu alat mengenai SLT. Mereka menjelaskan bahwa kecenderungan ini merupakan karakter dari kepribadian seseorang. Social loafing tendency (SLT), yaitu semacam sifat (trait) atau kecenderungan berperilaku (habitual response) social loafing ketika bekerja di dalam kelompok. Ying dkk merasa bahwa faktor kepribadian juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi social loafing,

(24)

sehingga mereka mengembangkan suatu skala Social Loafing Tendency Questionnaire (SLTQ). Skala ini terdiri atas 7 item self-report SLTQ untuk mengukur variasi individual dalam social loafing. Partisipan akan merespon setiap item dalam skala dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Skor tinggi pada kuesioner ini mengindikasikan SLT tinggi, sedangkan skor yang rendah mengindikasikan SLT yang rendah. Individu dengan tingkat SLT tinggi hanya akan mengurangi kinerja dalam tugas kelompok, tetapi kinerja dalam tugas individual tidak berkurang.

2.1.2. Aspek yang Mempengaruhi Social Loafing

Hogg (2002), memaparkan dua hal mengenai mengapa orang menurunkan performanya ketika bekerja di dalam kelompok.

1. Coordination Loss. Ketika kelompok terlalu ramai, maka akan terjadi gangguan atau masalah dan anggota dalam kelompok akan mengurangi usahanya dan tidak mengeluarkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Banyaknya jumlah anggota dalam kelompok dapat membuat individu merasa bahwa hasil kerja mereka tidak dapat dinilai karena hasil kerja mereka akan bergabung ke dalam hasil kerja anggota kelompok lain sehingga individu merasa bahwa eksperimenter atau pemberi tugas tidak akan mungkin melakukan penilaian kinerja mereka secara individu. Kemudian, ketika terjadi permasalahan dalam kelompok tersebut dan tidak diselesaikan dengan baik, maka akan membuat hubungan antar anggota kelompok menjadi buruk sehingga akan sulit untuk bekerja sama dengan baik. Hal tersebut dapat memicu seseorang untuk mengurangi usahanya atau biasa disebut social loafing.

(25)

11

2. Motivation Loss, yaitu ketika individu hanya memiliki sedikit motivasi dan memang tidak mencoba dengan keras untuk berpartisipasi dalam kelompok.

Kurang motivasi bisa terjadi karena tugas yang diberikan kurang menarik atau hasil yang di dapatkan dari pengerjaan tugas tersebut yang kurang menarik.

Memberikan hadiah yang menarik dapat membangkitkan motivasi dan semangat setiap individu untuk bekerja lebih semangat dan dapat mengurangi terjadinya social loafing (Tyagi, 2010).

Geen (dalam Hogg, 2012) mengemukakan beberapa pendapat mengenai mengapa seseorang melakukan social loafing.

1. Kesetaraan Hasil (output equity). Individu akan menurunkan performa mereka sehingga dapat menyamakan tingkat usahanya dengan anggota kelompok lain ketika mereka percaya bahwa orang lain juga melakukan social loafing atau tidak berusaha secara sungguh-sungguh. Seperti yang disebutkan di atas tadi social loafing memiliki efek yang sangat buruk terhadap individu atau pun orang disekitarnya. Individu yang melakukan social loafing tentu saja akan mempengaruhi hasil kerja dari kelompok yang dimasukinya. Sedangkan, kepada anggota lain yang melihat ada anggota kelompoknya melakukan social loafing juga dapat ikut untuk menurunkan performanya dalam kelompok.

2. Kekhawatiran terhadap evaluasi (evaluation apprehension). Sebuah keadaan yang terjadi ketika kehadiran anggota lain dalam kelompok menyebabkan individu memiliki perasaan tidak dilihat dan tidak dapat diidentifikasi bagi individu yang tidak termotivasi dalam sebuah tugas.

(26)

3. Kesesuaian dengan standar (matching to standard). Individu melakukan social loafing karena tidak ada standard performa yang harus dicapai. Ketika di dalam kelompok tidak ada batasan dalam melakukan tugas atau memberi performa, anggota kelompok cenderung akan menarik performanya. Mereka akan bekerja menurut batasan masing-masing individu dan tentu saja setiap orang memiliki batasan yang berbeda-beda. Pemberian batasan juga penting agar dapat dijadikan sebuah acuan dalam melakukan penilaian terhadap performa setiap individu dalam kelompok.

Selain itu, ada juga beberapa faktor yang juga mempengaruhi terjadinya social loafing, antara lain:

1. Besarnya kelompok mempengaruhi terjadinya social loafing. Latane, Williams dan Harkins dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin besar suatu kelompok maka semakin besar juga kemungkinan terjadinya social loafing (Latane, Williams, & Harkins, 1979).

2. Jenis kelamin juga mempengaruhi terjadinya social loafing. Kugihara dalam penelitiannya menyatakan bahwa laki-laki lebih cenderung untuk melakukan social loafing dibandingkan dengan perempuan (Kugihara, 1999).

3. Budaya kolektivis dan individualis juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi social loafing. Earley dalam penelitiannya menyatakan bahwa orang dengan budaya individualis lebih cenderung untuk melakukan social loafing dibandingkan dengan budaya kolektivis (Earley, 1989).

4. Kohesivitas kelompok juga mempengaruhi social loafing. Karau dan Williams dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin kohesif sebuah

(27)

13

kelompok maka semakin rendah kemungkinan terjadinya social loafing di dalam kelompok tersebut (Karau & Williams, 1997).

5. Faktor kepribadian juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi social loafing. Ying dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa seseorang melakukan social loafing dapat dikarenakan faktor kepribadian dari orang tersebut (Ying dkk, 2014). Ada individu yang memang tidak suka bekerja di dalam sebuah kelompok sehingga memungkinkan individu tersebut melakukan social loafing.

6. Evaluasi juga dapat mempengaruhi terjadinya social loafing. Harkins dalam penelitiannya menyatakan bahwa anggota kelompok akan cenderung melakukan social loafing ketika kontribusinya secara individual tidak dapat dievaluasi oleh anggota kelompoknya maupun oleh si pemberi tugas (Harkins, 1989).

7. Self-efficacy juga mempengaruhi terjadinya social loafing. Purba dan Eliana dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi self-efficacy maka semakin rendah kemungkinan individu akan melakukan social loafing (Purba &

Eliana, 2016).

8. Selain itu, locus of control juga mempengaruhi terjadinya social loafing.

Simanjuntak dan Eliana dalam penelitiannya menyatakan bahwa orang yang memiliki locus of control internal biasanya tidak akan melakukan social loafing (Simanjuntak & Eliana, 2016).

2.1.3. Dimensi Social Loafing

Latane (1981) mengemukakan 2 dimensi social loafing, antara lain.

(28)

1. Dilution Effect

Suatu keadaan dimana semakin besar sebuah kelompok membuat individu semakin kurang termotivasi untuk ikut mengerjakan tugas, karena merasa kontribusinya tidak berarti, atau individu menyadari bahwa penghargaan yang diberikan kepada tiap individu tidak ada.

2. Immediacy gap

Suatu keadaan dimana individu merasa terasing dari kelompoknya. Pada immediacy gap dijelaskan bahwa semakin seorang anggota kelompok merasa jauh (terasing) dari kelompoknya maka individu akan mengurangi kontribusinya dalam kelompok.

2.1.4. Faktor-Faktor yang Dapat Mengurangi Social Loafing

Rich dan rekan-rekannya (2014), mengemukakan faktor-faktor yang dapat mengurangi social loafing, antara lain.

1. Social loafing dapat dikurangi dengan memastikan siswa untuk mengakui tanggung jawab mereka dengan cara ikut berpartisipasi aktif dalam pengerjaan tugas kelompok.

2. Mempertimbangkan kesulitan tugas. Guru perlu untuk mempertimbangkan tingkat kesulitan tugas yang diberikan. Seseorang yang merasa dirinya lebih unggul dalam satu pekerjaan tidak akan melakukan social loafing ketika tugas yang diberikan menantang (Huguet, Charbonnier, dan Monteli, 1998).

3. Menciptakan beberapa bentuk pengukuran kinerja bagi setiap individu sehingga individu termotivasi untuk mengerjakan tugas dengan baik.

(29)

15

4. Group size juga merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam menurunkan social loafing. Social loafing bisa di kurangi dengan cara membatasi jumlah anggota kelompok agar tidak terlalu banyak.

5. Memastikan kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok adalah hal yang penting untuk dimiliki oleh setiap kelompok. Semakin kohesif suatu kelompok maka semakin tinggi partisipasi kelompok dalam mengerjaan tugas yang diberikan sehingga dapat mengurangi terjadinya social loafing.

6. Melakukan evaluasi anggota kelompok selama pengerjaan tugas kelompok berlangsung. Dengan adanya evaluasi anggota kelompok maka setiap individu akan mengetahui bahwa ada konsekuensi jika individu tersebut tidak ikut berpartisipasi dalam pengerjaan tugas kelompok. Hal ini dapat mengurangi social loafing.

7. Menekankan mengenai betapa berharganya kontribusi setiap individu dalam pengerjaan tugas kelompok. Hal ini akan membuat siswa mau turut serta berkontribusi dalam mengerjakan tugas, karena merasa bahwa usahanya akan diketahui oleh teman-teman satu kelompoknya.

8. Feedback yang diberikan oleh dosen dan teman satu kelompok juga dapat mengurangi kecenderungan social loafing pada individu (Sianturi dan Eliana, 2017).

2.2 Organizational Justice

2.2.1 Pengertian Organizational Justice

Cropanzano dan Greenberg (1997), menyatakan bahwa organizational justice merupakan persepsi keadilan dan evaluasi mengenai kelayakan hasil atau

(30)

proses dalam organisasi. Chory (2002), dalam penelitian yang dilakukannya mengenai classroom justice, mencerminkan bagaimana siswa merasakan diperlakukan secara adil oleh tenaga pengajar. Rodriguez (2012) menyatakan bahwa organizational justice mengacu pada persepsi tentang keadilan hasil atau proses yang terjadi dalam konteks pendidikan.

Dari definisi di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa organizational justice adalah persepsi individu mengenai keadilan yang dirasakannya pada proses pengerjaan tugas berbasis kelompok di kampus.

2.2.2 Dimensi Organizational Justice

Rodriguez (2012), mengemukakan 3 dimensi dari organizational justice, antara lain sebagai berikut.

1. Distributive Justice

Distributive justice adalah mengacu pada keadilan distribusi sumber daya dan hasil, misalnya nilai dan hukuman. Individu mengevaluasi kewajaran pertukaran dengan menempatkan nilai pada apa yang mereka berikan dan membandingkannya dengan apa yang mereka terima sebagai imbalannya.

Keadilan dialami ketika effort individu sebanding dengan nilai yang mereka terima.

2. Procedural Justice

Procedural justice mengacu pada keadilan dari proses yang digunakan untuk membuat keputusan dan mencapai hasil. Chory (2007) menyatakan bahwa masalah procedural justice di dalam kelas sering melibatkan penilaian praktik, metode guru dalam melaksanakan kelas, dan kebijakan untuk perilaku siswa.

(31)

17

Ketika siswa menilai kewajaran mengenai bagaimana distribusi sumber daya kelas keputusan dibuat, siswa mengukur procedural justice.

3. Interactional Justice

Interactional Justice mengacu pada kualitas perlakuan interpersonal yang individu terima. Chory (2007), mengemukakan bahwa dalam pendidikan interactional justice melibatkan evaluasi mengenai keadilan guru sehubungan dengan bagaimana mereka memperlakukan siswa dan komunikasi dengan siswa.

2.3 Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Siswoyo (2007), mengemukakan bahwa mahasiswa adalah individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setara dengan perguruan tinggi.

Tugas merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari mahasiswa, baik itu tugas yang bersifat individual maupun tugas yang harus dikerjakan di dalam kelompok. Bolton (dalam Pang & Wong, 2011) mengemukakan bahwa hampir 72% tugas yang diberikan di dalam kampus berkaitan dengan tugas berbasis kelompok.

2.4 Pengaruh Organizational Justice Terhadap Social Loafing di Kalangan Mahasiswa

Mahasiswa memiliki kaitan yang sangat erat dengan tugas, baik itu tugas individual maupun tugas yang harus dikerjakan di dalam kelompok. Biasanya,

(32)

dosen akan memberikan tugas kelompok dengan tujuan agar mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tugas individual karena tugas kelompok merupakan hasil pemikiran dari beberapa orang dalam kelompok. Sehingga tidak heran jika hampir di semua mata kuliah dapat kita temui tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Dengan mengerjakan tugas secara berkelompok, individu diajarkan untuk dapat saling bertoleransi dengan anggota kelompok lainnya dan tidak berusaha untuk mencari keuntungan pribadi. Latane, William dan Harkins (1976), menyatakan bahwa dengan adanya kelompok, seseorang dapat memenuhi tujuan pribadinya dengan lebih mudah melalui tindakan bersama dalam kelompok. Namun kerja kelompok tidak selalu berjalan dengan baik, karena setiap anggota kelompok akan memberikan effort yang berbeda-beda dalam pengerjaan tugas kelompok.

Menurut pendekatan teori pertukaran sosial, suatu hubungan akan dihentikan jika cost dan reward tidak seimbang. Thibaut dan Kelley (1978) menyatakan bahwa ketika individu tidak merasakan keuntungan dari suatu hubungan maka dia cenderung akan meninggalkan hubungan tersebut. Saat individu merasa bahwa effort yang diberikannya di dalam hubungan tidak sesuai dengan output yang diterimanya, maka individu akan meninggalkan hubungan tersebut. Jika hal ini diterapkan di dalam konteks kerja kelompok, ini berarti individu akan mengurangi effortnya ketika individu merasakan ketidakadilan, yaitu effort yang diberikannya di dalam kelompok tidak sesuai dengan output (hasil) yang diterimanya. Piezon (2008), dalam penelitiannya di sebuah kelompok belajar online menyimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara distibutive

(33)

19

justice dengan social loafing. Sehingga dapat disimpulkan, saat individu tidak merasakan rasa adil ketika mendapatkan penilaian atau penghargaan maka individu akan cenderung untuk melakukan social loafing. Distributive justice adalah bagian dari organizational justice. Rasa adil itu tidak hanya terkait dengan penilaian tetapi juga persepsi terhadap peraturan yang ada, yang biasa disebut sebagai procedural justice serta interaksi bagaimana dosen memperlakukan mahasiswa (interactional justice). Griffin dan Moorhead (2014), mengemukakan bahwa organizational justice adalah persepsi orang-orang mengenai keadilan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa organizational justice mempengaruhi munculnya social loafing dalam pengerjaan tugas kelompok.

2.5 Hipotesa Penelitian

Hipotesa dari penelitian ini adalah ada pengaruh negatif organizational justice terhadap social loafing. Sedangkan hipotesa alternatifnya adalah tidak ada pengaruh organizational justice terhadap social loafing.

(34)

20 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Identifikasi Variabel Penelitian

Azwar (2000), menyatakan bahwa identifikasi variabel penelitian adalah suatu langkah dalam menetapkan variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam suatu penelitian dan penentuan fungsinya masing-masing. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

Variabel tergantung : Social loafing

Variabel bebas : Organizational justice 3.2. Definisi Operasional Variabel Penelitian

3.2.1. Social loafing

Social loafing adalah kecenderungan individu untuk mengurangi usaha atau kinerjanya ketika bekerja di dalam kelompok. Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur social loafing adalah Social Loafing Tendency Questionnaire (SLTQ) yang disusun oleh Ling, dkk (2014). Skala ini terdiri atas 7 item self- report SLTQ untuk mengukur variasi individual dalam social loafing. Semakin tinggi skor yang diperoleh individu dalam skala ini berarti semakin tinggi pula kecenderungan social loafing yang dimiliki individu. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh, berarti semakin rendah kecenderungan social loafing yang dimiliki individu.

(35)

21

3.2.2. Organizational Justice

Organizational justice merupakan persepsi seseorang mengenai perlakuan adil yang diterima individu yang berkaitan dengan nilai (output) dan kontribusi individu, proses dalam memperoleh nilai, dan perlakuan yang diberikan dosen kepada individu. Organizational justice diukur dengan skala yang diadaptasi dari skala High School Organizational Justice yang disusun oleh Rodriguez (2012).

Skala ini terdiri dari 25 aitem untuk mengukur variasi individu dalam persepsinya mengenai organizational justice. Semakin tinggi skor organizational justice yang diperoleh seseorang, maka semakin tinggi keadilan yang dirasakan individu.

Sebaliknya, semakin rendah skor organizational justice, maka semakin rendah pula keadilan yang dirasakan individu.

3.3. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 di kota Medan.

3.3.2. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode non- probability sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang digunakan apabila tidak semua orang di dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi subjek penelitian. Jenis metode yang digunakan dalam penelitian adalah incidental sampling, untuk mendapatkan akses yang lebih praktis dan mudah.

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 255 orang.

(36)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala psikologi karena data yang ingin diukur berupa konsep psikologis yang dapat diungkapkan secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).

3.4.1. Skala social loafing

Alat ukur yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah Social Loafing Tendency Questionnaire (SLTQ) yang dikemukakan oleh Ying, dkk (2014). Skala ini terdiri dari 7 pernyataan dan menggunakan lima pilihan respon, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Blue print skala social loafing dapat dilihat di tabel 1.

(37)

23

Tabel 3.1. Blue Print Skala Social Loafing Aspek Indikator

Perilaku

Aitem Favorable

Aitem Unvaforable

Jumlah

Dilution Effect Kurang termotivasi;

merasa kontribusi tidak berarti;

tidak ada penghargaan yang diberikan

1,4 2,6 4

Immediacy Gap

Merasa terasing dari kelompok;

Menjauh dari anggota kelompok;

Menjauh dari pekerjaan yang dibebankan

5,7 3 3

3.4.2 Skala Organizational Justice

Alat ukur yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah skala organizational justice yang diadaptasi dari skala High School Organizational Justice yang disusun oleh Rodriguez (2012). Dimensi-dimensi dari organizational justice (distributive jusctice, procedural justice, dan interactional justice). Skala menggunakan 7 pilihan respon (1-7). Blue print skala organizational justice dapat dilihat di tabel 3.2.

(38)

Tabel 3.2. Blue Print Skala Organizational Justice Dimensi Indikator Perilaku Aitem Distributive

Justice

Persepsi mengenai keadilan pemberian nilai dan penghargaan

1,3,6,8,10,14,16,23

Procedural Justice

Persepsi mengenai proses pemberian nilai

4,7,11,13,18,19,21,22,24,25

Interactional Justice

Persepsi mengenai perlakuan dosen dan anggota lain dalam kelompok

2,5,9,12,15,17,20

3.5. Uji Coba Alat Ukur 3.5.1. Validitas

Validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu dapat mengukur apa yang ingin diukur. Uji validitas menurut Azwar (2010) diperlukan untuk mengetahui apakah sebuah alat ukur mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi mengukur sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Selain itu, validitas lainnya adalah validitas tampilan (face validity). Validitas ini menunjukkan apakah tes tersebut terlihat valid bagi peserta tes yang mengikutinya, bagi administator yang memutuskan untuk menggunakannya, dan bagi orang lain (Anastasi & Urbina, 1997).

(39)

25

3.5.2. Reliabilitas

Reliabilitas alat ukur merupakan konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2000). Teknik yang digunakan untuk pengukuran reliabilitas alat ukur penelitian ini adalah teknik koefisien Alpha Cronbach. Semakin koefisien reliabilitas mendekati angka 1.00, menunjukkan semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya, semakin koefisien reliabilitas mendekati angka 0.00, berarti semakin rendah reliabilitasnya.

Reliabilitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 18.0 for windows.

3.6. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur berikut ini dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2018.

Uji coba dilakukan terhadap 79 orang mahasiswa S1 Psikologi di Universitas Sumatera Utara. Peneliti mengelolah data uji coba alat ukur menggunakan SPSS 18.0 version for Windows.

3.6.1. Hasil Uji Coba Skala Social Loafing

Pada skala social loafing, jumlah aitem yang digunakan dalam uji coba sebanyak 7 aitem. Setelah dilakukannya uji coba, semua aitem memenuhi koefisien korelasi minimum, yaitu diatas 0,30. Koefisien korelasi aitem pada hasil uji coba berkisar antara 0,547 sampai dengan 0,887.

(40)

Tabel 3.3 Blue Print Skala Social Loafing Setelah Uji Coba Aspek Indikator

Perilaku

Aitem Favorable

Aitem Unvaforable

Jumlah

Dilution Effect

Kurang termotivasi;

merasa kontribusi tidak berarti;

tidak ada penghargaan yang diberikan

1,4 2,6 4

Immediacy Gap

Merasa terasing dari kelompok;

Menjauh dari anggota kelompok;

Menjauh dari pekerjaan yang dibebankan

5,7 3 3

3.6.2. Hasil Uji Coba Skala Organizational Justice

Pada skala organizational justice, jumlah aitem yang digunakan dalam uji coba sebanyak 25 aitem. Setelah dilakukannya uji coba, semua aitem memenuhi koefisien korelasi minimum, yaitu diatas 0,30. Koefisien korelasi aitem pada hasil uji coba berkisar antara 0,775 sampai dengan 1,351.

(41)

27

Tabel 3.4. Blue Print Skala Organizational Justice Setelah Uji Coba Dimensi Indikator

Perilaku

Aitem Jumlah

Distributive Justice

Persepsi mengenai keadilan pemberian nilai dan penghargaan

1,3,6,8,10,14,16,23 8

Procedural Justice

Persepsi mengenai proses pemberian nilai

4,7,11,13,18,19,21,22,24,25 10

Interactional Justice

Persepsi mengenai perlakuan dosen dan anggota lain dalam kelompok

2,5,9,12,15,17,20 7

3.7. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan pengolahan data.

(42)

3.7.1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan informasi-informasi yang berhubungan dengan kedua variabel yang hendak diukur, yaitu social loafing dan organizational justice. Peneliti menggunakan jurnal dan artikel sebagai referensi untuk kedua variabel yang akan diukur. Selanjutnya, peneliti mencari alat ukur yang berupa skala untuk mengukur social loafing dan organizational justice.

Setelah peneliti menemukan skala tersebut, peneliti pun mengadaptasinya ke bahasa Indonesia dan menyesuaikannya dengan setting pendidikan. Peneliti juga meminta bantuan kepada proffesional judgement, dalam hal ini adalah dosen pembimbing untuk meninjau kembali kesesuaian aitem-aitem yang telah dibuat oleh peneliti. Setelah ada persetujuan dari dosen pembimbing, peneliti kemudian melakukan try out alat ukur kepada 79 mahasiswa stambuk 2017 di Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara pada tanggal 29 Maret 2018. Setelah itu, peneliti melakukan analisis data dari hasil try out alat ukur tersebut, dan hasil analisis menunjukkan bahwa semua aitem yang ada memenuhi kriteria social loafing dan organizational justice. Peneliti pun mempersiapkan alat ukur yang nantinya akan disebarkan kepada subjek penelitian.

3.7.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai dari tanggal 03 April 2018.

Pengambilan data ini dilakukan pada mahasiswa dari beberapa Universitas yang ada di kota Medan, yaitu sebanyak 255 mahasiswa.

(43)

29

3.7.3. Tahap Pengolahan Data

Setelah skala terkumpul seluruhnya, peneliti kemudian melakukan pengolahan data dengan bantuan program SPSS version 18.0 for Windows.

(44)

30 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan secara keseluruhan sesuai dengan data yang telah didapatkan.

Pembahasan akan diawali dengan memberikan gambaran mengenai subjek dalam penelitian, dan kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisa terhadap hasil penelitian.

4.1. Analisa Data

4.1.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang sedang menjalankan perkuliahan S1 yang dalam proses belajarnya sering mengerjakan tugas yang berbasis kelompok dan berjumlah 255 orang. Berikut ini deskripsi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan fakultas.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel berikut.

(45)

31

Tabel 4.1 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

JENIS KELAMIN JUMLAH (N) PERSENTASE

LAKI-LAKI 111 43,53%

PEREMPUAN 144 56,47%

TOTAL 255 100%

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 111 orang (43,53%) dan berjenis kelamin perempuan berjumlah 144 orang (56,47%). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa subjek dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan yang berjenis kelamin laki-laki.

B. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jurusan

Gambaran subjek berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel berikut.

(46)

Tabel 4.2 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jurusan

FAKULTAS JUMLAH PERSENTASE

Hukum 80 31,37%

Sastra Inggris 47 18,43%

Teknik Elektro 36 14,12%

Teknik Industri 40 15,69%

Administrasi Bisnis 32 12,55%

Ekonomi 20 7,84%

TOTAL 255 100%

4.1.2. Hasil Uji Asumsi Penelitian

Untuk melakukan analisis data, terdapat beberapa persyaratan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu uji asumsi normalitas pada data residu variabel berupa skor dan uji linearitas untuk mengetahui bentuk korelasi antara tiap-tiap sampel. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS version 18.0 for Windows.

A. Uji Normalitas

Uji normalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah kolmogorv smirnov. Uji kolmogorov smirnov dipilih karena uji tersebut dapat menetapkan apakah skor skor dalam sampel dapat secara masuk akal dianggap dari populasi sama dengan suatu distribusi teoritis tertentu (Siegel, 2011). Berikut adalah hasil dari uji normalitas kolmogorov smirnov.

(47)

33

Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas

Standardized Residual Asymp. Sig. (2-tailed) Keterangan Social loafing dan

Organizational Justice

,103 Terdistribusi normal

Dari tabel kolmogorov smirnov diatas dapat kita lihat bahwa dengan menggunakan sig 0,05 kita dapat melihat bahwa p > α (0,103 > 0,05). Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa data tersebut terdistribusi normal.

B. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas ataupun variabel tergantung berkorelasi secara linear atau tidak. Data dapat dikatakan linear apabila nilai p < 0,05, begitu pula sebaliknya. Apabila nilai p > 0,05 berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung dinyatakan tidak linear.

Hasil uji linearitas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.4 Hasil Uji Linearitas

Variabel Sig. Linearity Keterangan

Social Loafing &

Organizational Justice

,000 Linear

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi linearitas antara kedua variabel sebesar 0.000 yang berarti lebih kecil dari 0.05. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang linear secara signifikan antara organizational justice dengan social loafing.

(48)

C. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat ada atau tidak hubungan antara variabel bebas, yaitu antara masing-masing dimensi organizational justice dengan melihat Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF kurang dari 10, maka pada setiap variabel bebas tidak terdapat gejala multkolinearitas, artinya tidak terdapat hubungan antara setiap variabel bebas. Hasil uji multikolinearitas pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 4.5 Hasil Uji Multikolinearitas

Variabel Tolerance VIF Keterangan

Distributive Justice

,270 3,710 Tidak terjadi

multikolinearitas

Procedural Justice ,220 4,553 Tidak terjadi

multikolinearitas Interactional

Justice

,295 3,386 Tidak terjadi

multikolinearitas

Berdasarkan hasil uji asumsi di atas, ketiga variabel, yakni distibutive justice, procedural justice dan interactional justice tidak mengalami multikolinear, yang berarti tidak terdapat hubungan antar setiap variabel bebas.

4.1.3. Hasil Utama Penelitian

Sesuai dengan penjelasan yang ada di bab 1, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh organizational justice terhadap social loafing. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisa regresi sederhana dengan menggunakan bantuan aplikasi SPSS Statistic 18.0 version for Windows.

(49)

35

Tabel 4.6 Anova Analisis Regresi

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 1273,557 1 1273,557 164,549 ,000a

Residual 1958,145 253 7,740

Total 3231,702 254

a. Predictor : (Constant), Organizational Justice b. Dependent Variabel : Social Loafing

Berdasarkan tabel 4.6 diatas, hasil perhitungan yang di dapat adalah nilai F=164,549 dan p=0,000. Field (2009) menyatakan bahwa jika nilai p < 0,05 maka Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara organizational justice dengan social loafing.

Tabel 4.7 Model Summary Prediktor Social Loafing

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 ,628a ,394 ,392 2,782

a. Predictor : (Constant), Organizational Justice b. Dependent Variabel : Social Loafing

Berdasarkan tabel diatas, koefisien determinan (R-square) yang diperoleh dari pengaruh organizational justice terhadap social loafing pada subjek penelitian adalah sebesar 0,394. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh organizational justice terhadap social loafing pada mahasiswa S1 adalah sebesar 39,4%. Yang artinya, organisasi memberikan sumbangan efektif sebesar 39,4%

(50)

dalam memunculkan social loafing, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor- faktor lain tidak diteliti dalam penelitian ini.

Tabel 4.8 Koefisien Regresi

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std.

Error

Beta

1 (Constant) 24,894 ,858 29,005 ,000

Organizationa l Justice

-,089 ,007 -,628 -12,828 ,000

Social Loafing dilambangkan dengan (Y) dan Organizational justice dilambangkan dengan (X). Pada tabel 4.8 persamaan garis regresi yang dihasilkan adalah Y= 24,894 - 0,628 X. Berdasarkan nilai koefisien regresi X (organizational justice) sebesar - 0,628, menyatakan bahwa setiap penambahan 1 nilai organizational justice akan menurunkan nilai social loafing sebesar 0,628.

Dengan kata lain, semakin tinggi organizational justice yang dirasakan mahasiswa maka akan semakin rendah tingkat social loafing mahasiswa.

Dari analisis regresi di atas, dapat dikatakan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti, terdapat pengaruh negatif organizational justice terhadap social loafing.

(51)

37

4.1.4. Hasil Analisa Tambahan

Deskripsi data penelitian dilampirkan untuk mengetahui karakteristik data pokok yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Deskripsi data pokok yang dilampirkan adalah perbandingan rerata empiris, rerata hipotetik dan distribusi skor perolehan berdasarkan kategori tertentu.

Rerata empiris diperoleh dari respon subjek, sedangkan rerata hipotetik diperoleh dari rerata kemungkinan diperoleh subjek atas jawaban skala yang diberikan.

Dalam hal ini, skala yang diberikan adalah Social Loafing Tendency Questionnaire (SLTQ) dan skala Organizational justice.

a. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Social Loafing

Pada skala social loafing, terdapat 7 aitem yang dinilai dan menjadi data penelitian dengan rentang skor 1 sampai 5 sehingga dihasilkan skor minimum 7 dan skor maksimum 35. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh total skor minimum 7 dan skor maksimum 23. Hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik social loafing dijelaskan pada tabel berikut.

(52)

Tabel 4.9 Hasil Perhitungan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Social Loafing

Variabel Empirik Hipotetik

Min Max Mean SD Min Max Mean SD

Social Loafing

7 23 14,11 3,567 7 35 17,5 8,514

Berdasarkan tabel di atas diperoleh mean empirik social loafing sebesar 14,11. Selanjutnya mean hipotetik sebesar 17,5. Artinya, jika dilihat perbandingan antara mean empirik dan mean hipotetik, mean hipotetik lebih besar dibandingkan dengan mean empirik. Hasil ini menunjukkan bahwa social loafing pada populasi pada umumnnya lebih tinggi dibandingkan social loafing pada subjek penelitian, sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki hasil skor social loafing yang lebih rendah daripada yang diperkirakan alat ukur.

b. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Organizational Justice

Pada skala organizational justice, terdapat 25 aitem yang dinilai dan menjadi data penelitian dengan rentang skor 1 sampai 7 sehingga dihasilkan skor minimum 25 dan skor maksimum 175. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh total skor minimum 57 dan skor maksimum 175. Hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik organizational justice dijelaskan pada tabel berikut.

(53)

39

Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Organizational justice

Variabel Empirik Hipotetik

Min Max Mean SD Min Max Mean SD

Organizational justice

57 175 140,27 25,024 25 175 87,5 43,734

Berdasarkan tabel di atas diperoleh mean empirik organizational justice sebesar 140,27. Selanjutnya mean hipotetik sebesar 87,5. Artinya, jika dilihat perbandingan antara mean empirik dan mean hipotetik, mean hipotetik lebih kecil dibandingkan dengan mean empirik. Hasil ini menunjukkan bahwa organizational justice pada populasi pada umumnnya lebih rendah dibandingkan organizational justice pada subjek penelitian, sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki hasil skor organizational justice yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan alat ukur.

c. Perbandingan Social loafing dan organizational justice berdasarkan jenis kelamin

Perbandingan ini dilakukan untuk melihat nilai antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan social loafing dan dalam merasakan organizational justice. Hasil perbandingan dapat dilihat pada tabel berikut.

(54)

Tabel 4.11 Hasil Perbandingan Social loafing dan organizational justice berdasarkan jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

Mean STD Mean STD

Social Loafing 14,68 3,616 13,68 3,480

Organizational justice 118,41 25,661 122,07 24,493

Berdasarkan tabel di atas diperoleh mean social loafing pada laki-laki adalah 14,68 dengan standar deviasi 3,616. Sedangkan pada perempuan, mean 13,68 dengan standar deviasi 3,480. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat social loafing pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat social loafing pada perempuan.

Pada tabel di atas, mean organizational justice pada laki-laki adalah 118,41 dengan standar deviasi 25,661. Sedangkan pada perempuan, mean 122,07 dengan standar deviasi 24,493. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa organizational justice pada laki-laki lebih rendah dibandingkan organizational justice pada perempuan.

d. Perbandingan Social loafing dan organizational justice berdasarkan IPK

Perbandingan ini dilakukan untuk membandingkan nilai antara mahasiswa yang dikategorikan berdasarkan IPK dalam melakukan social loafing dan dalam merasakan organizational justice. Hasil perbandingan dapat dilihat pada tabel berikut.

(55)

41

Tabel 4.12 Perbandingan Social loafing dan organizational justice berdasarkan IPK

< 2,5 2,5-3 3,1-3,5 >3,5

Mean STD Mean STD Mean STD Mean STD Social

Loafing

16,75 5,315 15,04 3,493 14,39 3,34 5

12,63 3,57

Organization al justice

107,7 5

16,46 0

119,9 8

24,80 0

119,2 3

25,6 60

124,3 1

24,16 7

Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat nilai mean pada mahasiswa jika dikelompokkan berdasarkan IPK. Nilai mean tertinggi social loafing dimiliki oleh mahasiswa-mahasiswa dengan IPK < 2,50, yaitu 16,75 dan standar deviasi 5,315.

Hal ini berarti, mahasiswa-mahasiswa dengan IPK < 2,5 memiliki tingkat social loafing paling tinggi jika dibandingkan dengan IPK lainnya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa IPK mempengaruhi terjadinya social loafing.

Pada tabel di atas juga dapat dilihat, bahwa mean organizational justice tertinggi dimiliki oleh mahasiswa-mahasiswa dengan IPK > 3,5 yaitu dengan mean 124,31 dan standar deviasi 24,167. Hal ini berarti, dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa dengan IPK lainnya, mahasiswa-mahasiswa dengan IPK >

3,5 lebih merasakan organizational justice. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya IPK juga mempengaruhi seseorang dalam merasakan organizational justice.

(56)

4.2. Pembahasan

Sesuai dengan hipotesis yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti menguji apakah organizational justice memiliki pengaruh terhadap social loafing.

Hasil analisis data mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa ada pengaruh organizational justice terhadap social loafing pada mahasiswa S1 di Medan. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Thibaut dan Kelley (1978) yang mengatakan bahwa individu akan memberhentikan suatu hubungan ketika individu merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan apa yang diperolehnya. Ketika individu tidak merasakan keuntungan dari sebuah hubungan, maka individu cenderung akan menarik diri dari hubungan tersebut (Thibaut dan Kelley, 1978). Jika diterapkan dalam konteks kerja kelompok, maka individu dapat akan mengurangi effortnya (melakukan social loafing) ketika merasa bahwa terjadi ketidakadilan dalam pembagian tugas ataupun penilaian yang diberikan oleh dosen. Hal inilah yang disebut Rodriguez (2012) sebagai distributive justice. Distributive justice menurut Rodriguez adalah persepsi mengenai keadilan pemberian nilai dan penghargaan. Menurut penelitian, distributive justice berhubungan dengan social loafing. Hal ini sejalan dengan konsep output equity dalam social loafing. Geen (dalam Hogg, 2012) menyatakan bahwa output equity adalah keadaan dimana seseorang menurunkan performa kerjanya karena merasa bahwa teman-temannya yang melakukan social loafing juga akan mendapatkan nilai yang sama dengan yang diterimanya. Piezon (2008), dalam penelitiannya di sebuah kelompok belajar online menyimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara distibutive justice dengan social loafing. Sehingga dapat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan tugas akhir ini adalah membangun sebuah sistem berbasis pengetahuan Psikiater dalam mendiagnosa autisme dan gangguan psikologis lainnnya pada usia anak-anak yang dapat

Sedangkan menurut Kartajaya (2010), experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi pelanggan

Selisih luasan yang dihasilkan dari hasi pengolahan data adalah sebagai berikut: pengukuran bidang tanah metode statik singkat menggunakan SpiderWeb dengan waktu

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat bimbingan dan kasih-Nya yang begitu besar sehingga skripsi yang berjudul ”Upaya

Dalam teori Client Centered guru pembimbing berkedudukan sebagai pencipta kondisi-kondisi atau hubungan yang memungkinkan klien untuk beriteraksi dengan baik

(2001) menun- jukkan bahwa rasa wortel yang diberikan kepada ibu saat trimester ketiga kehamilan dapat dikenal dengan baik oleh bayinya saat mulai diberi makanan

Table 1 presents the result of these series of experiments by showing the number of iteration needed for the initial contour to be converged to the true boundary for each approach:

Dengan kurang maksimalnya penegakan hukum terhadap penambang pasir tanpa izin di Kabupaten Bener Meriah dapat kita pahami bahwa hukum belum bekerja secara baik terhadap