• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 5. PEMBAHASAN

Tingginya angka kejadian sepsis neonatorum merupakan penyebab utama kematian pada neonatus.1Penelitian ini mendapatkan 39 pasien (78%) mengalami sepsis bakterialis berdasarkan hasil kultur darah dari 50 bayi sangkaan sepsis sebagai sampel penelitian. Dijumpai usia gestasi yang bervariasi pada sampel penelitian dan yang paling banyak menderita sepsis bakterialis yaitu usia gestasi kurang dari 37 minggu sebanyak 27 orang (69.2%). Hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor risiko yang dapat menyebabkan sepsis bakterialis yaitu meliputi prematuritas,karena bayi prematur memiliki berbagai masalah akibat belum berkembangnya organ- organ tubuh, sehingga belum siap untuk berfungsi di luar rahim.

Beberapa masalah yang dapat ditemui antara lain adalah masalah pernapasan, asupan, resiko perdarahan, dan infeksi. Bayi prematur memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya sepsis neonatorum dibandingkan bayi aterm.4,6Disamping itu faktor risiko lainnya yang menyebabkan sepsis yaitu berat lahir rendah, Respiratory Distress Syndrom (RDS), tindakan resusitasi yang agresif.21 Riwayat asfiksia berat mempermudah terjadinya infeksi karena cedera sel akibat hipoksia dan akan memacu respon peradangan.21,22 Pada penelitian ini berat badan lahir rata-rata bayi yang mengalami sepsis ataupun tidak sepsis yaitu berat badan lahir > 2500 gram.

Faktor risiko lain yang juga mempengaruhi terjadinya sepsis yaitu jenis kelamin. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan, hal ini disebabkan karena aktivitas dan metabolisme bayi laki laki lebih tinggi dibandingkan bayi perempuan sehingga kebutuhan oksigen pada bayi laki laki lebih tinggi dibandingkan bayi perempuan, karena oksigen yang kurang menyebabkan mudahnya berkembangbiak bakteri anaerob yang hidup pada suasana kurang oksigen.6Hal ini sesuai dengan penelitian ini yang menemukan bahwa 25 orang (64.1%) bayi laki-laki yang mengalami sepsis dibandingkan bayi perempuan yang berjumlah hanya 14 orang (35.8%).

Pada masa neonatal berbagai bentuk infeksi dapat terjadi pada bayi. Di negara yang sedang berkembang jenis infeksi yang sering ditemukan berturut-turut infeksi saluran pernapasan akut, infeksi saluran cerna (diare), tetanus neonatal, sepsis dan meningitis.26 Diagnosis yang paling banyak dijumpai pada pasien sepsis dalam penelitian ini respiratory distress yaitu sebanyak 19 orang (48.7%), hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 2008 yaitu penyebab terbanyak sepsis berturut-turut berasal dari infeksi saluran pernapasan (38%), saluran cerna (18%), infeksi pasca operasi (9%), meningitis (6%), infeksi saluran kencing (5%) dan tidak teridentifikasi sebanyak (24%).49

antar satu negara dengan negara lain. perbedaan pola kuman ini akan berdampak terhadap pemilihan antibiotik yang dipergunakan pada pasien. Perbedaan pola kuman mempunyai kaitan pula dengan prognosa dan komplikasinya. Sepsis juga disebabkan oleh infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial pada bayi baru lahir terutama berkembang dari flora yang ditemukan dikulit, saluran nafas dan saluran cerna.20

Pada penelitian ini didapat bakteri hasil kultur yang terbanyak adalah jenis Klebsiella pneumonia yaitu sebanyak 13 pasien (33.3%),

Klebsiella pneumonia merupakan jenis kuman gram negatif, mengenai jenis kuman terdapat perbedaan pada beberapa Rumah Sakit, tergantung pola kuman setempat. Pola penyebab infeksi senantiasa berubah sejalan dengan kemajuan teknologi. Demikian juga pola resistensinya yang cenderung berubah sejalan dengan pemakaian antibiotik. Oleh karena itu pengetahuan tentang pola penyebab, resistensinya dan faktor risiko perlu terus dipantau sebagai landasan dalam pemilihan antibiotik yang tepat bagi penderita bakteriemia khususnya pada neonatus. Untuk itu, masih perlu dilakukan penelitian tentang pola kuman dan sensitivitasnya terhadap antibiotik penyebab bakteremia pada neonatus di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada penelitian ini didapatkan sensitivitas prokalsitonin 92.3%, spesifisitas 90.9%, positive predictive value 97.2%, negative predictive value 76.9%. Seperti disebutkan dalam judul penelitian bahwa penelitian ini adalah untuk menentukan apakah prokalsitonin dapat digunakan dalam

mendiagnosa sepsis bakterialis pada neonatus secara cepat dan tepat. Untuk itu diperlukan sensitifitas yang tinggi untuk mencari subjek yang sakit, oleh karena dengan sensitivitas yang tinggi maka akan semakin kecil yang lolos dari penyakit, demikian pula dengan spesifisitas yang tinggi akan didapatkan hasil bukan sepsis yang makin tinggi bila hasil pemeriksaan menunjukkan hasil negatif.

Pada penelitian ini juga dibuat suatu uji dengan membuat kurva ROC yang merupakan alat untuk tawar menawar hasil sehingga didapatkan titik potong yang menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas yang optimal. Pada penelitian ini didapatkan ROC 0.929 (95% CI 0.713- 0.953) dengan taraf signifikansi 5% yang menujukkan akurasi uji diagnostik ini adalah sangat baik.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di Amerika Serikat tahun 2005 yang mendapatkan sensitivitas prokalsitonin sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 80% pada nilai cut off value 0.5 ng/mL,50 Penelitian di Spanyol tahun 2010 juga memperlihatkan hasil yang hampir sama, dengan menggunakan cut off value 1.1 ng/mL didapatkan nilai sensitifitas 92% dan spesifisitas 76%.51 Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan di Meksiko pada tahun 2011 mendapatkan sensitifitas sebesar 100% dan spesifisitas 72%,52 dan penelitian di Turki tahun 2007 didapatkan nilai spesifisitas yang tinggi yaitu 100% dan sensitivitas 48%.42 Dari sebagian besar penelitian yang ada pemeriksaan prokalsitonin

yang cukup akurat dan cepat dibandingkan bila harus menunggu hasil kultur darah yang memerlukan waktu yang lama ataupun dibandingkan dengan pemeriksaan marker sepsis yang lain seperti pemeriksaan CRP (C-reaktif protein), sehingga diagnosis sepsis neonatorum dapat cepat ditegakkan dan penatalaksanaan sepsis dapat segera dilakukan secara tepat sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada neonatus.42,50

Penurunan nilai prokalsitonin dapat digunakan sebagai panduan dari pemantauan hasil terapi antibiotika pada neonatus dengan sepsis dan hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Jerman tahun 2010 dimana pemeriksaan prokalsitonin dilakukan secara berkala selama pemberian antibiotika sehingga waktu pemakaian antibiotika dapat dipersingkat.18 Keterbatasan dari studi adalah tidak melakukan analisa dan pemantauan efek terapi antibiotika terhadap sampel penelitian sehingga penurunan nilai prokalsitonin sebagai respon terhadap terapi pengobatan antibiotika belum dapat dipantau. Studi lebih lanjut diperlukan pemeriksaan prokalsitonin berkala untuk menilai efek terapi antibiotika sehingga waktu pemakaian antibiotika dapat dipersingkat.

Dokumen terkait