• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

V.2 Saran

1. Hendaknya orang normal yang berada di sekeliling anak tunanetra dapat melihat bagaimana proses serta perjuangan anak tunanetra yang berintegrasi dapat mengembangkan konsep diri di tengah keterbatasan fisik mereka.

2. Hendaknya masing-masing anak tunanetra yang berintegrasi dapat membagi pengalaman dengan teman yang tidak berintegrasi, tentang bagaimana mereka selama berintegrasi dan dapat mengembangkan konsep diri di tengah keterbatasan fisik mereka.

3. Semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaca yang ingin melakukan penelitian serupa lebih lanjut dengan menambah kekurangan-kekurangan pada penelitian ini, berupa penelitian lebih dalam mengenai kegiatan rutin informan di Yayasan serta studi kepustakaan mengenai data pemeriksaan klinis mata anak-anak di Yayasan untuk dapat melengkapi data ataupun bisa digunakan untuk lampiran dokumenter.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Paradigma bukanlah teori-teori, namun lebih merupakan cara berfikir atau pola-pola untuk penelitian yang diperluas dan dapat menuju pembentukan suatu teori. Jadi, paradigma merupakan keseluruhan susunan kepercayaan dan asumsi-asumsi yang dipegang bersama yang dipakai oleh peneliti dalam memandang fokus masalah penelitiannya.

Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model-model tersebut biasanya disebut dengan paradigma. Paradigma merupakan model atau pola tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretatif dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Paradigma interpretatif ini dipakai pada penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini mengarahkan peneliti untuk mengetahui bagaimana cara masuk kedalam dunia konseptual para subjek yang diteliti dengan sedemikian rupa sehingga dapat memahami bagaimana pembentukan konsep diri anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum/integrasi.

Pendekatan Interpretatif atau hermeneutik (interpretative/hermeneutik approach) melihat kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dan peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat lebih sedikit penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti. Dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan ia harus menyatakannya secara jelas kepada pembacanya, karena nilai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian (Richard & Lynn dalam buku pengantar teori komunikasi, 2008:95).

Teori komunikasi interpretatif ini antara lain mengadopsi teori interaksi simbolis, teori hermenuetik, teori semiotika, maupun teori simbol. Teori ini berkembang sangat pesat dalam bidang komunikasi, karena perkembangan media komunikasi yang begitu pesat, terutama media cetak dan elektronik. Bahasa komunikasi berkembang dengan pesat dan modern, begitu pula perilaku orang berkomunikasi ikut berubah. Dari konteks inilah, maka berkembang teori interpretatif dalam kancah komunikasi.

II.2 Kajian Pustaka

II.2.1 Interaksionisme Simbolik

Perspektif ini sebenarnya dibawah payung fenomenologi dan perspektif interpretatif. Maurice Natason, seperti dikutip Mulyana (2001), menggunakan istilah fenomenologis sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan pengetahuan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subyektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berfikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat obyek yang sama.

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. George Herbert Mead mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia menyatakan bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul didalam sebuah situasi tertentu. Maksudnya makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang, baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas. Ralph LaRossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksionisme simbolik adalah pada intinya sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan orang lain menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini sebaliknya membentuk perilaku manusia.

Tema dan Asumsi Interaksionisme Simbolik 1. Pentingnya Makna bagi Perilaku Manusia

Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komuniksai karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif diantara orang-orang untuk menciptakan makna, bahkan tujuan dari teori ini adalah menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanpa makna yang sama, berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin. Sebagai contoh (“Sudah saya katakan untuk bersiap-siap secepat mungkin.” “Satu jam adalah waktu tercepat bagi saya bersiap-siap.” “Tetapi yang saya maksud adalah kamu sudah harus siap dalam waktu 15 menit.” “Kamu tidak mengatakan hal itu!.”) Kita berbicara dengan lawan bicara, dan berharap dia dapat melakukan apa yang kita maksud dengan tepat, tanpa harus menjelaskan semua makna untuk setiap kata yang kita gunakan (Herbert Blumer dalam buku pengantar teori komunikasi, 2008:99)

• Asumsi-asumsinya:

a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka. Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons yang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Sebagai contoh, kita sering kali melihat usia sebagai ukuran dari banyak tidaknya pengalaman/menghubungkan usia dengan pengalaman. b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. Mead menekankan dasar

orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai symbol yang mereka pertukaran dalam interaksi.

c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Blumer menyatakan bahwa proses interpretif ini memiliki dua langkah. (1) Para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna. (2) Melibatkan perilaku untuk memilih, mengecek dan melakukan transformasi makna di dalam konteks di mana mereka berada.

2. Pentingnya Konsep Diri.

Tema kedua pada teori ini berfokus pada pentingnya konsep diri (self-concept), atau seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Karakteristik yang diakui oleh Roger tentang ciri-ciri fisik, talenta, keadaan emosi, keterampilan dan keterbatasan sosial membentuk konsep dirinya. Pernyataan ini merupakan hal yang sangat penting untuk Interaksionisme Simbolik.

• Asumsi-asumsinya:

a. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri; mereka belajar tentang diri mereka melalui interaksi. Sebagai contoh, bayi tidak mempunyai perasaan mengenai dirinya sebagai individu dan ketika sudah setahun, dia mulai membedakan diri dari alam sekitarnya. Ini merupakan perkembangan

paling awal dari konsep diri.

b. Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenal diri mempengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting pada interaksionisme simbolik. Mead berpendapat bahwa karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Sebagai contoh, jika seorang mahasiswa merasa mampu dalam pelajaran teori komunikasi, maka akan sangat mungkin bahwa dia akan berhasil dengan baik dalam pelajaran itu (Herbert Blumer dalam buku pengantar teori komunikasi, 2008:100).

3. Hubungan antara individu dan masyarakat.

Tema ini berkaitan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Dalam hal ini dicoba dijelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.

• Asumsi-asumsinya:

a. Orang dan Kelompok Dipengaruhi oleh Proses Budaya dan Sosial. Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku manusia. Selain itu, budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita anggap penting dalam konsep diri. Sebagai contoh, jika dalam kehidupan sehari-hari kita berpakaian apa adanya, tetapi jika akan menghadiri suatu event formal, berpakaianlah selayaknya sesuai kebutuhan atau pantas secara sosial dengan konteks tertentu.

b. Struktur Sosial Dihasilkan melalui Interaksi Sosial. Asumsi ini menengahi posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksionisme simbolik mempertanyakan pendangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Dengan demikian para peserta dalam interaksi memodifikasi struktur dan tidak secara penuh dibatasi oleh hal tersebut. Dengan kata lain, manusia adalah pembuat pilihan.

Konsep Penting dalam Interaksi Simbolik 1. PIKIRAN (mind)

Sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Manusia tidak dapat berinteraksi dengan orang lain apabila belum mengenal bahasa. Bahasa itu sendiri tergantung pada simbol signifikan (significant symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang. Dengan bahasa, manusia dapat mengembangkan pikiran menjadi pemikiran (thought) dan akhirnya menghasilkan pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan orang lain.

2. DIRI (self)

Sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran yang khusus – maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat orang lain. Mead meminjam konsep Charles Cooley (1912), cermin diri (looking-glass-self), atau

kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dan pandangan orang lain.

3. MASYARAKAT (society)

Sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat didalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan suka rela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lainnya (Forte, 2004). Ada dua bagian penting masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan diri, yaitu:

• Orang lain secara khusus (particular others), merujuk pada individu-individu dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-orang ini biasanya adalah anggota keluarga, teman, dan kolega di tempat kerja serta supervisor. Kita melihat orang lain secara khusus tersebut untuk mendapatkan rasa penerimaan sosial dan rasa mengenai diri. Sering kali pengharapan dari beberapa particular others mengalami konflik dengan orang lainnya.

• Orang lain secara umum (generalized others), merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas” (Mead, 1934). Orang lain secara umum memberikan menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum.

Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial. Orang lain secara umum dapat membantu dalam menengahi konflik yang dimunculkan oleh kelompok-kolompok orang lain secara khusus yang berkonflik.

II.2.2 Penetrasi Sosial

Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal.

Altman dan Taylor (1973) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan. Menurut mereka, pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui proses “gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.”

Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia.

Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Dan jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang,

lapisan kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya.

Dan lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua, atau orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang.

Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi. Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat dilihat dari sini.

Dalam perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa penjabaran sebagai berikut:

• Pertama, Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula.

Kedua, keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik), terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka. Dan juga semakin tidak bersifat timbal balik.

• Ketiga, penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang. Dan biasanya banyak dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.

• Keempat, depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap, dan semakin memudar.

Dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting. Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam

beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga kita dapat membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya.

Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis). Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.

Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain adalah soal relational outcomes, relational satisfaction, dan relational stability.

Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untung-rugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk membina relasi lebih lanjut.

Menurut teori pertukaran sosial, ada kesulitan dalam menentukan atau memprediksi keuntungan apa yang akan didapatkan dalam suatu hubungan atau

relasi dengan orang lain. Karena secara psikologis apa yang dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda tiap-tiap orang. Teori pertukaran sosial mengajukan dua standar umum tentang apa-apa yang dijadikan perbandingan atau tolok ukur dalam mengevaluasi suatu hubungan interpersonal.

a. terkait dengan relative satisfaction (kepuasan relatif): seberapa jauh hubungan interpersonal tersebut dapat membuat kita bahagia atau justru tidak bahagia. Thibaut dan Kelley menyebut hal ini sebagai comparison level.

Sebagai contoh, comparison level dalam hal pertemanan, asmara, hubungan keluarga, banyak dipengaruhi oleh bagaimana sejarah hubungan interpersonal di masa lalu. Kita menilai nilai suatu hubungan berdasarkan perbandingan dengan pengalaman kita di masa yang lampau. Kita cenderung menyimpan secara baik kenangan dalam hubungan interpersonal dengan pihak lain untuk dijadikan semacam perbandingan dalam hubungan interpersonal di masa sekarang dan di masa depan.

b. oleh Thibaut dan Kelley disebut sebagai the comparison level of alternatives. Pada tahapan ini muncul suatu pertanyaan dalam hubungan interpersonal. Kita mulai mempertanyakan kemungkinan apa yang ada di luar hubungan yang sedang dijalani tersebut. Pertanyaan tersebut antara lain

jika saya berhubungan dengan orang yang lain?” atau pertanyaan “Kemungkinan terburuk apa yang akan saya dapatkan jika saya tetap berhubungan dengan orang ini?”.

`Semakin menarik kemungkinan yang lain di luar hubungan tersebut maka ketidakstabilan dalam hubungan akan semakin besar. Dalam hal ini terkesan teori pertukaran sosial ini lebih mirip dengan kalkulasi ekonomis tentang untung-rugi. Banyak pihak yang menyebutkan teori ini sebagai theory of ecomonic behavior.

Tidak seperti comparison level, comparison level of alternatives tidak mengukur tentang kepuasan. Konsep ini tidak menjelaskan mengapa banyak orang yang tetap bertahan dalam suatu hubungan dengan orang yang sering menyiksa dirinya, sering menyakiti.

Maka menurut teori ini, kunci dari suatu hubungan yang akan tetap terbina adalah sejauh mana suatu hubungan itu memberikan keuntungan, sejauh mana hubungan tersebut mampu menghasilkan kepuasan, sejauh mana hubungan tersebut tetap stabil, dan tidak adanya kemungkinan yang lain yang lebih menarik daripada hubungan yang sedang mereka jalani tersebut.

Teori ini juga tidak mengungkapkan persoalan gender dalam penjelasannya. Padahal perbedaan gender akan sangat berpengaruh kepada persoalan keterbukaan-diri dalam relasi interpersonal. Bahkan penelitian selanjutnya dari Altman dan Taylor mengungkapkan bahwa males are less open than females.

II.2.3 Self Disclosure

Proses pengungkapan diri (self disclosure) adalah proses pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain atau sebaliknya. Pengungkapan diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Proses pengungkapan diri dilakukan dalam dua bentuk; pertama, dilakukan secara tertutup, yaitu seseorang mengungkapkan informasi diri kepada orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi melalui ungkapan dan tindakan, dimana ungkapan dan tindakan itu merupakan sebuah keterbukaan tentang apa yang terjadi pada diri seseorang. Dalam teori interaksi simbolis, bahwa semua tindakan, perkataan dan ungkapan seseorang memiliki makna interaksi tentang apa yang sedang dipikirkan. Jadi, tindakan adalah ekspresi dari apa yang ada dalam pikiran seseorang.

Ahli lain, Joseph Luft (Reardon, 1987:163, Sendjaja, 2002), mengemukakan teori self disclosure lain yang didasarkan pada model interaksi manusia, yang disebut Johari Window. Seseorang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain, dan tidak diketahui oleh siapa pun.

Dalam suatu interaksi antara individu dengan orang lain, apakah orang lain akan menerima atau menolak, bagaimana mereka ingin orang lain mengetahui tentang mereka akan ditentukan oleh bagaimana individu dalam mengungkapkan dirinya. Secara harfiah, yaitu membuka diri atau proses pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain/sebaliknya. Meskipun self disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Artinya, perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu

tentang diri kita pada orang lain akan menghasilkan efek positif atau malah efek negatif bagi hubungan kita dengan orang tersebut.

Tujuan Self Disclosure

Kita mengungkapkan informasi ke orang lain dengan beberapa alasan.

Menurut Derlega & Grzelak (dalam Taylor, 2000), lima alasan utama untuk

Dokumen terkait