DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Arifin, 1984, Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas, Bandung: Armico.
Bungin, Burhan, 2001. Metode Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga University Press.
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : RajaGrafindo
Persada.
Kriyantono, Rahmat. 2007. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana.
Mikkelsen, Britha.1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Morrissan. 2010. Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia
Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
________________. 2005. Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Rakhmat, Jalaludin. 2007. Psikologi komunikasi. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Senjaya, Sasa Djuarsa, dkk. 2007. Teori Komunikasi. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
Usman, Husaini, dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial Jakarta : Bumi Aksara.
Walgito, Bimo. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: ANDI.
Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sumber lain :
diakses pada 14 Maret 2012
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Metode Penelitian
Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi adalah suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan suatu metode (Usman, 2009:
41).
Secara umum penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subjek penelitian misalnya,
perilaku, persepsi, motivasi, dll. Secara holistic dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Pendekatan kualitatif tersebut digunakan
apabila data-data yang dibutuhkan berupa informasi yang tidak perlu
dikuantitatifkan atau tidak perlu mengadakan perhitungan.
Dalam tataran teoritik, ada beberapa asumsi yang menjadi landasan dalam
penelitian kualitatif seperti yang dikemukakan Merriam (dalam Creswell,
1994:145). Asumsi-asumsi tersebut adalah :
1. Peneliti kualitatif lebih memiliki perhatian pada proses daripada hasil atau produk
3. Peneliti kualitatif merupakan instrumen utama dalam pengumpulan dan analisis data. Data diperoleh melalui instrumen manusia daripada inventarisasi, kuesioner, ataupun melalui mesin.
4. Penelitian kualitatif sangat berkaitan dengan fieldwork. Artinya, peneliti secara fisik terlibat langsung dengan orang, latar (setting), tempat, atau institusi untuk mengamati atau mencatat perilaku dengan latar alamiahnya. 5. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu peneliti tertarik pada proses,
makna, dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata atau gambar-gambar.
6. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif, yaitu peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesis, dan teori.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, penelitian ini praktis berusaha untuk mengkaji
peristiwa kehidupan nyata yang dialami oleh subjek penelitian ini (anak tunanetra
yang bersekolah di sekolah umum) secara holistik dan bermakna. Penelitian ini
tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika data yang terkumpul
sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu
mencari sampling lainnya. Penelitian kualitatif lebih menekan pada persoalan
kedalaman (kasus) data bukan banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono, 2009:56).
Studi Kasus
Studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data
(sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan
menjelaskan secara komprehensif berbagi aspek individu, kelompok, suatu
program, organisasi atau peristiwa secara sistematis. Robert E.Stake menuliskan
dalam Handbook of Qualitative Research, Seceond Edition (Denzin, 2000:435)
bahwa studi kasus bukan suatu pilihan metodologi, tetapi suatu pilihan mengenai
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yaitu untuk mempelajari
secara insentif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi suatu sosial,
individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat (Usman, 2009:4). Peneliti
menggunakan metode studi kasus tersebut untuk memperoleh data yang
dibutuhkan tentang proses komunikasi kelompok dalam pembentukan konsep diri
anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum/integrasi.
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap
objek penelitian di lokasi penelitian. Semua hasil penelitian dituangkan dalam
pembahasan. Hasil wawancara nantinya akan dianalisis dan dipilih jawaban yang
paling mendekati dan berkaitan dengan tujuan penelitian. Adapun tujuan studi
kasus adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai peristiwa-peristiwa
komunikasi yang nyata dalam berbagai konteks, serta pernyataan tentang
bagaimana dan mengapa hal-hal tertentu terjadi dalam sebuah situasi tertentu.
III.2 Objek Penelitian
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2010:12), objek adalah keseluruhan gejala
yang ada di sekitar kehidupan manusia. Objek dalam penelitian kualitatif menurut
Spradley disebut Social Situation yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat
(place), pelaku (actors) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis
(Sugiyono, 2007:49).
Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah proses komunikasi kelompok
dalam pengembangan konsep diri anak tunanetra yang bersekolah di sekolah
III.3 Subjek Penelitian
Narasumber atau informan adalah orang yang bisa memberikan
informasi-informasi utama yang dibutuhkan dalam penelitian (Moleong, 2006: 132).
Penentuan orang yang menjadi sumber data dilakukan secara purposive, yaitu
dipilh dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Cara penentuannya yaitu,
melalui keterangan orang yang berwenang dan melalui wawancara pendahuluan
(Sugiyono, 2007:52).
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah anak-anak tunanetra serta
kawan-kawan/orang normal dalam lingkup sosial. Informan yang ingin diteliti
sebagai berikut :
1. Anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum.
2. Orang normal (sebagai informan kunci) yang dianggap berpengaruh
dalam pembentukan konsep diri anak tunanetra.
3. Penelitian ini dilakukan di YAPENTRA dan Sekolah Umum (SMA
RK Serdang Murni L.Pakam, SMP N 2 L.Pakam, STT Abdi Sabda, Jln
YAPENTRA DAN PENDIDIKANNYA
Yayasan Pendidikan Tunanetra “SUMATERA” (YAPENTRA)
Sebagai lembaga pendidikan bagi anak-anak yang mengalami kebutaan dan
gangguan mata atau visual impairment, Yapentra telah berupaya menolong,
memberi advokasi, dan mendidik sejumlah anak tunanetra di Sumatera Utara.
Kepada mereka diberi ‘mata baru’ melalui ilmu, keterampilan dan iman, yang
diperolehnya di dalam terang Kristus, kembali ke masyarakat dan mampu
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya.
Bahwa lembaga ini adalah kampus, bukan Panti Asuhan. Sebuah kampus yang
diasuh Yayasan GKPI yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa terutama bagi
anak tunanetra. Kampus ini adalah tempat persemaian pengajaran ilmu
pengetahuan, moral dan spiritual. Yapentra bukan penitipan anak atau Panti
Asuhan, karena itu orangtua, Gereja, masyarakat dan pemerintah harus memberi
perhatian yang seimbang bagi keberlangsungan hidup Yayasan ini.
Sebagai kampus yang berfungsi ganda, tempat pendidikan dan rumah tempat
tinggal, Yapentra telah memfasilitasi anak-anak dengan membangun empat unit
asrama berbasis rumah keluarga (familyhood of house). Masing-masing unit
terdiri atas empat kamar tidur, ruang belajar/tamu, dapur dan kamar mandi dua
unit, didiami enam belas orang anak, dan setiap rumah asrama dipimpin seorang
pengasuh sebagai kepala keluarga. Sasaran dari program rumah asrama ini adalah
untuk membina anak-anak merasa tinggal di rumah dan ditengah keluarga sendiri,
serta mendidik mereka untuk bertanggung jawab atas pemeliharaan rumahnya
Pendidikan di YAPENTRA
• Perekrutan Siswa/i
Pada umumnya siswa/i Yapentra didapatkan melalui program penyuluhan ke
desa-desa, tetapi ada juga satu dua orang yang diantar orangtua atau keluarga.
Dengan demikian, anak didik SLB-A Yapentra berasal dari pedesaan dan datang
dari keluarga tidak mampu, dan semua kebutuhan hidup siswa/i dibiayai dan
difasilitasi oleh Yapentra.
Sebelum masuk sekolah, hal pertama yang harus dilakukan adalah assessment
untuk dapat menilai data tentang jenis kebutuhan si anak. Anak terlebih dahulu
dibawa ke Rumah Sakit dan dokter mata untuk mengetahui kesehatan dan
keadaan matanya, sebab 99,6 persen siswa/i Yapentra mengalami kebutaan setelah
lahir. Kebutaan itu disebabkan penyakit campak, glaucoma, katarak dan kurang
vitamin.
Jenjang pendidikan di Yapentra sama dengan sekolah umum lainnya. Seorang
anak harus menjalani 6 tahun di SD, dan melanjut ke SMP, dan seterusnya. Usia
anak SLB-A Yapentra berbeda dengan usia anak di sekolah umum atau sebab usia
saat masuk ke SDLB-A Yapentra tergantung pada usia saat anak tersebut
dijemput atau masuk ke Yapentra. Bila ada anak yang usianya sudah
terlambat/tidak sesuai dengan usia anak SD, maka Yapentra memasukkan anak ke
• Kurikulum Pendidikan
SLB-A Yapentra di dalam menyelenggarakan pendidikan mengacu kepada
kurikulum pendidikan nasional Republik Indonesia. Perbedaannya dengan sekolah
umum hanya pada metode dan teknik penyampaian. Karena kehilangan visual,
maka buku-buku bacaan harus dicetak dalam huruf Braille. Adapun jumlah
siswa/i dalam satu kelas tidak lebih 5-8 orang, dengan metode pengajaran
konkritisasi yang bertujuan untuk mencegah si anak verbalisme. Teknik mengajar
yang dipakai adalah individual training (one by one). Tetapi jauh lebih penting
dari semua itu adalah kecerdasan emosional, yaitu sabar dan memiliki cinta kasih.
Pembelajaran di sekolah mendapat bantuan IB Fundation, Jakarta. IB
Fundation salah satu lembaga yang bersedia membantu SLB-A yang memerlukan
alat-alat peraga untuk anak-anak tunanetra, mesin tik Braille, komputer hingga
menyelenggarakan pelatihan bagi instruktur yang akan menangani tunanetra.
• Orientasi dan Mobilitas (O&M) Dan Activity Daily Living (ADL)
Orientasi & Mobilitas dan Activity Daily Living adalah dua materi ajar
pendidikan yang harus dimiliki guru untuk diberikan kepada tunanetra. Dengan
kemampuan Orientasi & Mobilitas dan ADL, sang guru turut merasakan betapa
sulit dan sukarnya menjadi tunanetra. Hal ini dialami guru atau tenaga lainnya
melalui pelatihan Orientasi dan Mobilitas dengan menutup mata selama beberapa
waktu. Setelah mengalaminya dalam pelatihan, maka seorang guru diharapkan
menjadi designer kehidupan tunanetra. Orientasi dan Mobilitas memampukan
menguasai tempat dan ruangan lainnya, dan kemudian mampu bermobilisasi.
Keterampilan ini laksana mesin pencetak “mata baru” bagi tunanetra.
Kedua keterampilan ini penting sekali, merupakan tugas utama pendidikan di
Yapentra ditambah dengan pelajaran dan keterampilan lainnya. Anak-anak diajari
bertahap bagaimana dia harus beraktivitas mengurus diri sendiri seperti: mandi,
sikat gigi, membersihkan kamar mandi, menggosok, memasak, serta mampu
bersosialisasi dengan publik seperti bersalaman. Tujuan akhir dari layanan
Orientasi Mobilitas dan Activity Daily Living adalah seorang tunanetra dapat
terampil memasuki setiap lingkungan dengan selamat, mandiri, efektif dan baik.
Dalam mencapai tujuan untuk memandirikan tunanetra harus dipadankan
kemampuan Orientasi dan Mobilitas serta ilmu pengetahuan lainnya.
• Siswa/i Integrasi
Seorang tunanetra akan mampu berintegrasi dengan masyarakat apabila ia
terampil dalam Orientasi dan Mobilitas. Integrasi artinya menyatu menjadi satu
kesatuan. Integrasi akan bisa terjadi apabila tunanetra dapat mengambil haknya di
masyarakat dan memberikan kewajibannya kepada masyarakat. Dan sebaliknya,
masyarakat akan bisa berintegrasi dengan tunanetra apabila ia dapat memahami
dan menghargai tunanetra sebagai manusia yang punya hak dan kewajiban.
Tunanetra harus dapat hidup dan bersaing di tengah masyarakat awas. Pengakuan
masyarakat akan timbul apabila tunanetra mampu menampilkan dirinya dengan
baik.
Mengingat maksud dan tujuan Yapentra, maka Badan Pengurus dan Direktur
masyarakat luas. Salah satu langkah awal yang ditempuh adalah dengan mencari
sekolah di Lubuk Pakam yang bersedia menerima anak tunanetra bergabung
belajar dengan anak awas. Pekerjaan ini tidak mudah dan bahkan sampai sekarang
belum semua SMP dan SMU di Lubuk Pakam yang bersedia menerima siswa/i
tunanetra. Sekolah pertama yang bersedia menerima anak tunanetra adalah
Yayasan Perguruan Nusantara Lubuk Pakam, menerima satu orang siswa
tunanetra pertama. Lalu tahun berikut SMP Khatolik menerima 2 orang siswa
tunanetra, bahkan ada yang lulus testing ke SMP N 2. Selanjutnya kerja sama
dengan SMA Trisakti Lubuk Pakam dan SMA Khatolik Serdang Murni Lubuk
Pakam yang menjadi mitra Pendidikan Yapentra di sekolah sebagai tempat
anak-anak belajar. Bahkan sampai ke jenjang Universitas, yaitu UNIMED jurusan
Bahasa Jerman yang mana diikuti siswa Yapentra dengan lulus SPMB.
Untuk membantu siswa/i dan mahasiswa/i yang belajar di sekolah umum dan
Perguruan Tinggi, Yapentra membeli buku paket sekolah dan mencetaknya dalam
huruf Braille. Sementara untuk membantu mereka di sekolah, Yapentra
menyediakan guru, yang disebut guru integrasi (resource teacher). Guru integrasi
bertindak untuk membantu siswa/i tunanetra yang belajar di sekolah umum dalam
mengatasi kesulitannya dan mengkomunikasikan masalah ketunanetraan itu
III.4 Kajian Analisis
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan dan bahan bahan lain
sehingga dapat dengan mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain. Analisis data adalah sangat penting, baik itu penelitian
kualitatif maupun penelitian kuantitatif.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan, selama dilapangan dan setelah selesai di lapangan. Analisa data dalam
penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya
menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu
teori baru. Maksudnya adalah analisis data dalam penelitian kualitatif pada
hakikatnya adalah suatu proses, bahwa pelaksanannya sudah harus dimulai sejak
tahap pengumpulan data di lapangan untuk kemudian dilakukan secara intensif
setelah data terkumpul seluruhnya.
Menurut Miles & Huberman (2007:16), analisis data kualitatif adalah suatu
proses analisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan,
yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
III.5 Teknik Pengumpulan Data
Mengacu pada pendapat Lofland dan Lofland (1984), sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen, dan lain-lain. Ada dua jenis data yang digunakan
1. Data primer
Data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian perorangan,
kelompok, dan organisasi. Untuk memperoleh data primer, maka pada penelitian
ini peneliti menggunakan metode studi kasus (case study). Untuk dapat
memenuhi metode studi kasus, peneliti juga melakukan pengamatan dan
pengumpulan data, termasuk (1) wawancara mendalam dan (2) observasi.
1) Wawancara
a) Pengertian Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2005:
186).
Wawancara mendalam secara umum adalah proses keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antar pewawancara
dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana
pewawancara terlibat dalam kehidupan sosial informan (Bungin, 2008: 18).
Wawancara bisa mengambil beberapa bentuk. Yang paling umum adalah
wawancara bertipe open-ended, di mana peneliti dapat bertanya kepada responden
tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai peristiwa
yang ada. Responden juga bisa mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap
peristiwa tertentu dan peneliti bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar
penelitian selanjutnya. Wawancara juga dapat dilakukan secara terfokus, di mana
untuk mendukun fakta-fakta tertentu yang sudah ditetapkan peneliti. Tipe
wawancara ketiga memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terstruktur,
sejalan dengan survei (Yin, 2003: 108-110 ).
Wawancara dapat menggunakan beberapa alat bantu atau perlengkapan
wawancara seperti tape recorder, pulpen, pensil, note, karet penghapus, stopmap
plastik, daftar pertanyaan, hardboard, surat tugas, surat izin dan daftar responden,
bahkan peta lokasi juga amat membantu. Perlengkapan-perlengkapan tersebut ada
yang secara langsung bermanfaat dalam wawancara seperti pulpen dan pensil,
tetapi ada juga yang hanya berguna apabila dibutuhkan. Teknik penggunaan
alat-alat bantu wawancara ini menjadi otoritas pewawancara, yang digunakan
berdasarkan kemampuan, pengalaman, dan kondisi yang ada (Bungin, 2007:
114-115).
b) Bentuk-Bentuk Pertanyaan Wawancara
Jika pewawancara hendak mempersiapkan suatu wawancara, ia perlu
membuat beberapa keputusan. Keputusan itu berkaitan dengan pertanyaan apa
yang perlu ditanyakan, bagaimana mengurutkannya, sejauh mana kekhususan
pertanyaan itu, berapa lama proses wawancara, dan bagaimana memformulasikan
pertanyaan itu (Moleong, 2005: 192). Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2005:
194-195) mengklasifikasikan beberapa pertanyaan yang akan diajukan dalam
a) Pertanyaan hipotesis atau pertanyaan bagaimana bila…
b) Pertanyaan yang mempersoalkan sesuatu yang ideal dan responden ditanya
agar memberikan respons tentang hipotesis alternatif mengenai masa lalu,
sekarang, atau yang akan datang;
c) Pertanyaan yang menanyakan dan menantang responden untuk merespons
dengan cara memberikan hipotesis alternatif atau penjelasan;
d) Pertanyaan interpretatif yang menyarankan kepada responden agar memberikan
interpretasinya tentang kejadian atau peristiwa;
e) Pertanyaan yang memberikan saran;
f) Pertanyaan tentang alasan mengapa yang mengarahkan agar responden
memberikan penjelasan tentang kejadian atau perasaan;
g) Pertanyaan tipe argumen yang berusaha mengajar responden untuk menyatakan
perasaan atau menunjukkan sikap yang, apabila pewawancara tidak berada di situ
tidak akan tampak;
h) Pertanyaan tentang sumber yang berusaha mengungkapkan sumber tambahan,
informasi asli, dan data atau dokumen tambahan;
i) Pertanyaan yang mengharapkan jawaban ya atau tidak, yaitu pertanyaan yang
berusaha menutupi intensitas perasaan atau kepercayaan tentang sesuatu
sedangkan pewawancaranya belum yakin;
j) Pertanyaan yang mengarahkan, dalam hal ini responden diminta untuk
2) Observasi
Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya
melalui hasil kerja pancaindera mata serta dibantu dengan pancaindera lainnya.
Jadi dapat dikatakan metode observasi adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan
penginderaan (Bungin, 2007: 115).
Beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif
(studi kasus) adalah observasi partisipasi, observasi tidak berstruktur, dan
observasi kelompok tidak berstruktur.
a) Observasi Partisipasi
Observasi partisipasi adalah suatu observasi khusus di mana peneliti tidak
hanya mennjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil peran dalam
situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti
(Yin, 2003: 113-114).
b) Observasi Tidak Berstruktur
Observasi ini dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi
ini, pengamat harus mampu secara pribadi mengembangkan daya
pengamatannya dalam mengamati suatu objek. Yang terpenting dalam
observasi tidak berstruktur adalah pengamat harus menguasai ilmu tentang
objek secara umum dari apa yang hendak diamati, hal mana yang
membedakannya dengan observasi partisipasi, yaitu pengamat tidak perlu
memahami secara teoritis terlebih dahulu objek penelitian (Bungin, 2007:
c) Observasi Kelompok
Observasi ini dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa
objek sekaligus.
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data kedua setelah sumber data primer.
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari data tertulis, seperti sumber
buku, arsip, dan dokumen resmi yang dapat dijadikan acuan peneliti dalam
melakukan penelitian, seperti Penelitian Kepustakaan (Library Research).
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan literature dan berbagai bacaan
yang dianggap relevan dan mendukung penelitian. Studi kepustakaan dalam
penelitian ini dilakukan melalui buku-buku, jurnal dan internet yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
Waktu Penelitian dilaksanakan pada April 2012. Pengambilan data ke
YAPENTRA dikakukan pada April 2012, wawancara pertama pada hari Kamis,
2012.
III.6. Teknik Analisis Data
Data dalam metode kualitatif mencerminkan interpretasi yang mendalam dan
menyeluruh atas fenomena tertentu (kasus). Data dikelompokkan dalam
kelas-kelas, tidak menurut angka-angka (Mikkelsen, 1993:318). Sumber data pada
penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menggunakan data
Dalam analisis kualitatif, peneliti tidak hanya mengandalkan kemampuan diri
dalam mengupas objek penelitian melalui alat-alat ukur yang layak, tetapi lebih
dari itu: kemampuan panca indera, feeling, intuisi, serta kepekaan peneliti
terhadap lingkungan dimana objek penelitian berlangsung (berada) adalah lebih
menentukan keberhasilan analisis tersebut.
Metode analisis induktif memungkinkan peneliti mengidentifikasi berbagai
realitas di lapangan, membuat interaksi dengan informan dan peneliti lebih
eksplisit, tampak dan mudah dilakukan, serta memungkinkan pengidentifikasian
aspek yang saling mempengaruhi.
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen, 1982 (dalam Moleong,
2006:32) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada
orang lain. Tahapan analisis data secara umum (Moleong, 2005: 281-287) adalah
sebagai berikut:
1) Menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja. Sejak menganalisis
data di lapangan, peneliti sudah mulai menentukan tema dan hipotesis
kerja. Pada analisis yang dilakukan secara lebih intensif, tema dan
hipotesis kerja lebih diperkaya, diperdalam, dan lebih ditelaah lagi dengan
menggabungkan data dari sumber-sumber lain. Ada beberapa petunjuk
dalam menemukan tema dan hipotesis kerja yaitu: (a) Bacalah dengan
pembicaraan tertentu agar tidak tumpang tindih ketika ada judul yang
sama kembali muncul; (c) Susunlah menurut kerangka klasifikasi/tipologi;
(d) Bacalah kepustakaan yang ada dengan masalah dan latar penelitian
(membandingkan hasil penemuan dengan kepustakaan profesional).
2) Menganalisis berdasarkan hipotesis kerja. Sesudah memformulasikan
hipotesis kerja, peneliti mengalihkan pekerjaan analisisnya dengan
mencari dan menemukan apakah hipotesis kerja itu didukung oleh data
dan apakah hal itu benar. Apabila peneliti telah menemukan seperangkat
hipotesis kerja dasar, maka selanjutnya adalah menyusun kode tersendiri
atas dasar hipotesis kerja dasar tersebut. Data yang telah tersusun
dikelompokkan berdasarkan hipotesis kerja dasar tersebut. Pekerjaan
demikian memerlukan ketekunan, ketelitian, dan perhatian khusus serta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 1 Deskripsi Subjek Penelitian
Penelitian tentang proses komunikasi kelompok anak tunanetra dalam
mengembangkan konsep diri ini, membutuhkan 3 atau lebih anak tunanetra yang
bersekolah di sekolah umum (integrasi) serta orang awas yang dianggap
berpengaruh pada pengembangan konsep diri mereka dan berdomisili di
YAPENTRA, Tanjung Morawa, Medan. Penelitian dilakukan melalui wawancara
mendalam kepada masing-masing informan secara berkala hingga mendapatkan
informasi yang sesuai dengan kebutuhan peneliti.
Peneliti melakukan pra penelitian untuk mendapatkan informasi tentang
YAPENTRA, sehingga integrasi/inklusilah yang diangkat dari YAPENTRA itu
sendiri sebagai judul dari penelitian. Penelitian I yang dilakukan pada 19 April
2012 bertempat di Yayasan Pendidikan Tunanetra Km 21,5 Tanjung Morawa dan
dapat dikatakan sedikit mengecewakan. Betapa tidak, peneliti pergi pagi-pagi dari
Medan berharap dapat segera melakukan penelitian, ternyata setibanya disana
Kepala Yayasan dan bagian tata usaha sedang tidak berada di tempat, ditambah
lagi anak-anak yang sedang melaksanakan ujian. Jadi hanya seorang ibu yang
menyambut peneliti dan mengatakan tinggalkan saja nomer yang bisa dihubungi,
kalau mereka sudah pulang dari luar kota akan segera dihubungi.
Hari kedua penelitian dapat dikatakan lancar, karena pada saat itu
kebetulan anak-anak yang akan diwawancarai sedang berada di Yayasan dan
dipertemukan dengan Kepala Sekolah, yaitu Bapak Hutasoit, dimana Bapak itulah
yang menjelaskan sekilas tentang Integrasi di YAPENTRA. Wawancara
dilakukan pada tanggal 20 April sekitar pukul 10.30 WIB di ruang Kepala
Sekolah. Sampai pada akhir wawancara yang mengarah ke perbincangan santai,
tibalah 2 orang anak Yayasan yang berintegrasi di SMA RK Serdang Murni,
Lubuk Pakam, dan kebetulan baru selesai mengikuti Ujian Akhir Nasional. Bapak
Hutasoit pun memperkenalkan peneliti pada 2 orang anak itu, yang bernama
Timson dan Siska. Dan langsung menyuruh kami berbincang di ruang rapat.
Setelah berada diruang rapat, peneliti pun memperkenalkan diri ulang,
sembari membawa mereka ke perbincangan yang sederhana, agar mereka tidak
merasa canggung atau takut. Peneliti lalu menyampaikan maksud dan tujuan
peneliti untuk mewawancarai mereka tentang komunikasi kelompok dalam
mengembangkan konsep diri pada anak yang mendapat pendidikan inklusi.
Timson yang pembawaannya riang dan proaktif langsung tersenyum senang dan
mengangguk mengerti, sedangkan Siska hanya terdiam, bukan karena dia tidak
mengerti, tetapi merasa masih canggung dengan orang yang baru dikenal.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, peneliti menemui anak
tunanetra yang bersekolah di integrasi lainnya yang memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh peneliti. Sekitar pukul 11.35 WIB setelah wawancara dengan
Timson dan Siska selesai, peneliti diajak ke perpustakaan oleh Timson untuk
menemui informan lainnya. Di dalam perpustakaan peneliti menemui cukup
banyak orang, dikarenakan anak-anak juga sudah libur, dan beberapa pekerja
Timson memperkenalkan peneliti pada pekerja perpustakaan dan
mengutarakan maksud peneliti datang ke perpustakaan. Peneliti pun menjelaskan
panjang lebar maksud dan tujuan datang ke YAPENTRA, dan telah
mewawancarai Timson dan Siska. Yang langkah selanjutnya adalah mencari
informan lain sesuai kriteria subjek penelitian. Mesran dan Robert adalah nama
informan selanjutnya, sesuai data yang telah diberi oleh pihak Yayasan kepada
peneliti, dengan sistem purposive sampling. Sembari menunggu informan lain
datang, peneliti pun berbincang dengan ketua perpustakaan, yaitu ibu Tarigan dan
menanyakan beberapa hal. Ketua perpustakaan sangat welcome dan menjelaskan
panjang lebar bagaimana sistem anak-anak integrasi belajar, bahkan menunjukkan
cara mereka bekerja membuat buku dengan tulisan Braille serta penggunaan
mesin pencetak buku tersebut.
Lama berbincang dan melihat-lihat hasil karya perpustakaan, ternyata bu
Tarigan lupa, bahwa ada satu orang anak integrasi dari tadi asik membaca buku di
pojok perpustakaan. Kami pun menghampiri anak laki-laki yang tengah membaca
buku Braille, dia bernama Lody Sitepu seorang lelaki yang sudah seumuran
dengan peneliti, bahkan lebih tua 2 tahun dan berintegrasi di STT Abdi Sabda
Binjai. Bu Tarigan mempersilahkan peneliti duduk di samping Lody, lalu pergi ke
meja kerjanya semula. Peneliti memperkenalkan diri seraya mengutarakan
maksud dan tujuan. Lody pun tersenyum simpul dan menutup buku yang
dibacanya tadi serta memperbaiki gaya duduknya yang tadi begitu santai menjadi
lebih sopan.
Selang beberapa menit peneliti mewawancarai Lody, datanglah Mesran
wawancara dengan Lody terlebih dahulu, seraya tersenyum pada Mesran dan
menyuruhnya menunggu sebentar. Peneliti memilih untuk mengetahui informasi
singkat tentang informan keempat, yaitu Mesran dan melakukan pendekatan
terlebih dahulu. Tidak lama berbincang dengan Mesran, seorang anak laki-laki
sebaya Mesran dan mengenakan baju olahraga sekolah datang menghampiri kami,
dia adalah Robert teman 1 asrama Mesran sekaligus teman satu angkatan yang
juga bersekolah di integrasi SMP N 2 Lubuk Pakam. Tetapi Robert buta total,
tidak seperti Mesran yang masih low vision. Hingga wawancara selesai pada
pukul 13.15 WIB, Mesran dan Robert pun langsung pamit keluar dari
perpustakaan dikarenakan jam makan siang sudah tiba.
Merasa kurang lengkap, peneliti melakukan penelitian lanjutan untuk
melengkapi informasi seputaran integrasi tersebut. Pada tanggal 25 april 2012
peneliti melakukan studi kepustakaan di YAPENTRA untuk mendapatkan
informasi lebih lengkap mengenai para informan begitu juga tentang Yayasan.
Petugas tata usaha memberikan beberapa data meliputi curicullum vitae para
informan, serta sebuah buku tentang YAPENTRA. Setelah studi kepustakaan
selesai peneliti pamit untuk melanjutkan penelitian ke sekolah para informan,
dimana ada pengawas integrasi yang menemani peneliti ke sekolah-sekolah. Di
integrasi, yang akan ditemui adalah mereka yang awas dan tentu berpengaruh
pada perkembangan konsep diri para informan, sesuai kriteria yang ditetapkan
oleh peneliti (sebagai informan tambahan).
Sekolah pertama yang dituju adalah SMPN 2 L.Pakam, yaitu sekolah
Mesran dan Robert. Pengawas integrasi menyatakan tujuan kami datang ke
berada di tempat karena sedang keluar kota, sama halnya dengan anak-anak yang
menjadi informan selanjutnya, mereka sedang libur untuk persiapan ujian
kenaikan kelas. Peneliti dan pengawas integrasipun melaju ke SMA RK Serdang
Murni L.Pakam, sekolah Timson dan Siska. Disana kami bertemu dengan Pak
Robinson Sitorus yang menangani bidang kurikulum. Pengawas integrasi
memperkenalkan sekaligus menyampaikan maksud peneliti pada pak Sitorus. Pak
Sitorus pun welcome dengan kedatangan kami dan mengantarkan peneliti ke wali
kelas Timson dan Siska ke ruang guru.
Peneliti bertemu dengan Ibu Turnip selaku wali kelas Timson dan Siska
sekaligus guru pelajaran ekonomi. Peneliti langsung melakukan wawancara
dikarenakan beberapa menit lagi bu Turnip akan mengajar. Bu Turnip mengaku
senang dengan adanya anak tunanetra di integrasi, karena mereka mampu belajar
seperti orang awas pada umumnya, dan memiliki semangat yang tinggi, walaupun
mereka tidak mendapat peringkat di kelas. Setelah informasi dirasa lengkap,
peneliti menyudahi wawancara dengan wali kelas, dan mencari guru lain yang
dianggap memenuhi kriteria, yaitu guru matematika. Ibu Hutagalung selaku guru
matematika kebetulan ada di ruang guru juga dan memudahkan peneliti dalam
mewawancarainya, karena dia telah mendengar sekilas perbincangan peneliti
dengan bu Turnip. Wawancara terakhirpun peneliti lakukan dengan pak Sitorus,
dikarenakan kepala sekolah sedang tidak berada di tempat, guna melengkapi
informasi tentang integrasi dan SMA RK Serdang Murni yang menerima anak
IV.2 Hasil Pengamatan dan Wawancara
Berikut hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap
lima anak tunanetra sebagai subjek penelitian :
Informan I
Nama : Timson Aritonang
Tempat, Tgl. Lahir : Sileutu, 14 Agustus 1992
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak ke : 6 dari 8 bersaudara
Penyebab Kebutaan : Campak
Anak dari Ayah : Elman Aritonang
Ibu : Asnaria br Sinaga
Alamat Orangtua : Repa Sileutu Desa Sibaganding, Kecamatan Girsang
Simalungun
Agama : Kristen Protestan
Tgl.Masuk Yapentra : 21 Juli 1997
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 20 April pukul 11.20 dan
bertempat di ruang rapat YAPENTRA ditujukan untuk 2 orang anak integrasi,
yaitu Timson dan Siska. Wawancara pertama ditujukan untuk Timson karena dari
awal Timson yang kelihatan ceria dan welcome yang dapat membawa peneliti
untuk bisa masuk ke jiwa masing-masing informan lain.
Timson yang masuk lebih dulu ke Yayasan sebelum Siska tentu telah
Yayasan umur 5 tahun, yaitu tahun 1997 dan sekarang kelas 3 SMA dan baru
menyelesaikan Ujian Nasional. Kebutaan Timson disebabkan karena waktu kecil
dia mengalami penyakit campak dan kebutaannya tidak sedari lahir, melainkan
saat dia berusia 3 tahun. Dikarenakan orangtua yang sibuk bekerja dan kurang
memperhatikan, tanpa disadari Timson telah terkena campak yang berujung pada
kebutaan. Orangtua Timson menyadari telah melakukan kesalahan yang sangat
fatal sampai anaknya bisa seperti itu, dan pernah sampai hampir frustasi karena
sayang mereka yang berlebihan, tapi orangtua Timson pasrah karena biayapun
tidak memadai. Terlahir dari keluarga normal dan memiliki 7 saudara, hanya
Timsonlah yang mengalami kebutaan. Sampai pada akhirnya pihak Yayasan
datang ke kampung Timson dan mensosialisasikan tentang YAPENTRA.
Pertama-tama keluarga berat melepas Timson karena dulu masih sangat kecil, tapi
pihak Yayasan pun terus meyakinkan dan membawa beberapa anak tunanetra
sebagai bukti dan orangtua serta pihak keluarga pun setuju memasukkan Timson
ke YAPENTRA.
“Umur 5 tahun aku masuk YAPENTRA ini, besar-besar di sininya aku, jadi uda sangat ngertilah keadaan disini. Waktu kecil masih bisa melihatnya aku, umur 3 tahunlah kena sakit campak, karena orangtua pun sibuk kerja dan kurang perhatian. Waktu orangtua tau pun penyakitku ini gak bisa sembuh lagi sangat menyesal mereka, hampir frustasi pun, tapi ya mau gimana lagi ya pasrah aja lah mereka. Sebenarnya dulu keluarga berat kali melepas aku, karena masih membutuhkan orangtua aku, masih kecil kali dulu, tapi demi masa depan akunya itu, dan dulu juga ga percaya orangtua tentang sosialisasi YAPENTRA ini, sampai ada juga anak tunanetra di bawa ke kampung. Dari situlah orangtua percaya dan berani melepas aku merantaulah istilahnya, hahhaaa”.
Timson masuk ke integrasi sejak SMP, yaitu di SMPN 2 Lubuk Pakam.
Dari SDLB memang dia telah memiliki nilai yang bagus dan selalu berusaha
ke integrasi, yaitu 7,5. Timson memberi keterangan panjang lebar bagaimana
proses komunikasi kelompoknya/integrasi dalam pengembangan konsep dirinya.
Mulai dari dia berada di lingkungan orang awas, yang susah susah gampang,
terutama untuk mengenali teman satu persatu hanya lewat suara mereka, dan
sampai dia benar-benar bisa melewati semuanya karena keuletannya dalam
bergaul. Dan dia menegaskan ada beberapa faktor yang perlu di contoh juga untuk
anak-anak lain yang ingin merasakan integrasi, diantaranya mau belajar dan
bergaul (mendekatkan diri secara perlahan), menunjukkan bahwa kita mampu,
bisa lebih dari orang awas dalam hal akademik, bisa jadi tempat curhat bagi
mereka yang awas dan yang terpenting meyakinkan pihak Yayasan kalau kita
mampu di integrasi, dengan begitu pihak Yayasanpun akan memberi motivasi
sekaligus kepercayaan pada kita. Subjek terlihat bangga dan bersemangat sekali
menjawab ketika ditanya mengapa mau bersekolah di integrasi. Dia mengatakan
pasti ada senang dan susahnya berada di tengah orang awas.
Tumbuh kembang di YAPENTRA membuat Timson dapat melakukan
hal-hal yang biasa dilakukan orang awas pada umumnya dan membuat konsep dirinya
berkembang. Contohnya saja bersosialisasi dengan orang awas dan bahkan bisa
menyelesaikan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, yaitu SMA. Timson melalui
masa SMA di swasta, yaitu SMA RK Serdang Murni L. Pakam, jurusan IPS. Dan
menurut keterangannya sejauh ini memang belum ada anak tunanetra yang
menduduki bangku IPA dalam integrasi. Selama beberapa tahun telah merasakan
integrasi, tentu Timson merasakan hal-hal yang sangat membantu tumbuh
kembangnya, antara lain memiki teman yang lengkap, maksudnya orang awas
maupun tunanetra seperti dirinya, kemudian dapat lebih berbagi pengalaman pada
teman asrama yang tidak merasakan integrasi. Perkembangan konsep diri Timson
memang telah terbentuk dan bisa dikatakan mengarah pada perekembangan
positif, karena pergaulan dan cara berfikir yang telah terbentuk dari dia
berintegrasi, dapat membantunya dalam perkembangan konsep diri, bahkan dia
memiliki cita-cita ingin melanjut ke Perguruan Tinggi.
Selain hal yang dapat membantu tumbuh kembangnya, yaitu memiliki
teman yang lengkap dan cara berfikir yang luas, Timson juga telah melewati
susah-susahnya belajar di integrasi, bahkan dalam melakukan proses komunikasi.
Dimana dia kadang-kadang bingung berbicara dengan kawan-kawannya, bisa jadi
kawannya tersebut sudah pergi entah kemana saat dia berbicara, karena dia tidak
melihatnya. Begitu juga dalam hal belajar, pelajaran yang di ajarkan guru sering
tidak sepenuhnya dimengerti oleh Timson, walaupun sebenarnya anak-anak
tunanetra yang berintegrsai dibekali tape recorder, tapi tetap hambatan itu pasti
muncul. Dan hambatan itu sering muncul pada pelajaran Akuntansi dan
Matematika. Tapi pihak sekolah mengadakan les tambahan untuk kelas tiga yang
akan menghadapi Ujian Akhir Nasional, yaitu Akuntansi dan Bahasa Inggris.
“Biasanya hambatan yang ku alami dalam hal komunikasi itu, paling susah kalo ngomong sama mereka, bisa jadi kawan bicara kita sudah pergi ntah kemana, kita ngomong kok gag di jawab-jawab, ntah-ntah uda pigi mereka gak dengerin kita lagi, nah itu salah satu kendala juga kalo di integrasi ini. Tapi aku uda biasa dengan hal itu. Terus masalah belajar juga. Dalam hal belajar biasa yang gak ngerti mau nanyak sama kawan sebangku, tapi sering gak puas, karena di jawabnya pun semampu dia aja, setelah pulang tanya lagi dengan pengawas asrama, kalo gak puas juga langsung tanya ke gurulah. Terus aku juga ada ikut les inggris dan ekonomi. Kalo di bilang susah, ya tentu susah bagi kami yang tunanetra, tapi harus bisalah, jadi harus lebih aktif baik dalam les maupun di kelas. Kalo hambatan mata pelajaran di akuntansi, jurnal masih gampang, posting ke buku besar yang sulit karena ada tabel-tabel gitu. Matematika juga, yang daerah-daerah arsiran, dalam bidang menggambarlah yang sulit, aduhh…”.
Berhubung Timson dan Siska baru saja melewati Ujian Nasional, peneliti
menanyakan sekilas tentang proses Ujian mereka. Timson mengatakan sedikit
lega telah bisa melewatinya, walaupun tidak lega sepenuhnya, karena masih harus
menunggu pengumuman. Tapi yang pasti dia telah berusaha sebaik mungkin,
yang telah dicapainya selama berintegrasi dapat mengantarkannya ke jenjang yang
lebih tinggi, yaitu Perguruan Tinggi Negeri.
“Aduhh, kalau ditanya bagaimana ujian kemarin, ya begitulah, hhaa. Aku pun gak tau gimana hasilnya, tapi yang pasti aku uda mengerjakan bagianku dan selebihnya ku serahkan aja sama Tuhan. Sistem ujian kami sama dengan yang lain, hanya saja ada petugas khusus/pengawas integrasi yang melingkari jawaban kami, trus kami milih jawabannya dengan lisan, karena soalnya telah di Braillekan oleh petugas yang mengerti, beberapa hari sebelum ujian dimulai dan dipastikan soal itu tidak bocor, hhe. Terus kalo mau lanjut kuliah aku pengennya sih nyoba dulu ke Perguruan tinggi Negeri, mau ngambil Sastra di Unimed, mudah-mudahan aku bisa, hhe, Amin..”
Kesimpulan Kasus
Dalam menjalin komunikasi kelompok dengan orang awas, Timson tidak
dapat mengandalkan seluruh indranya. Timson harus berkomunikasi tanpa
menggunakan kedua matanya sebagai penangkap pesan. Hal tersebut dikarenakan
kondisi Timson sebagai penyandang tunanetra. Ketunanetraan Timson disebabkan
karena waktu kecil dia mengalami penyakit campak dan kebutaannya tidak sedari
lahir, melainkan saat dia berusia 3 tahun. Dikarenakan orangtua yang sibuk
bekerja dan kurang memperhatikan, tanpa disadari Timson telah terkena campak
yang berujung pada kebutaan.
Integrasi membuat perkembangan konsep diri Timson menjadi baik dan
positif. Baik dalam bergaul maupun cara berfikirnya yang dewasa. Itu terlihat dari
cara menjawabnya yang welcome dan jawaban yang benar-benar masuk akal dan
tidak di buat-buat. Karena kepribadiannya yang luwes mampu membawanya
bersosialisasi dengan mudah dan memiliki banyak teman, dan dia menanamkan
beberapa faktor positif dari dirinya sendiri yang harus benar-benar bisa di jalankan
hal bergaul. Dari situlah terlihat bahwa proses komunikasinya selama di integrasi
berhasil mengembangkan konsep dirinya. Timson yang telah melewati masa
integrasi selama beberapa tahun, mengaku cukup senang dan bangga sebagai anak
tunanetra yang bisa melewati integrasi dengan baik. Walaupun ada hal yang
mendukung dan menghambat perkembangan konsep dirinya, tapi ia menjadikan
semua itu sebagai motivasi untuk terus belajar dan bangkit.
Hal yang menghambat proses integrasinya dikarenakan proses belajar
mengajar yang kurang dimengerti, lalu di awal integrasi berupa komunikasi yang
dia rasa sulit untuk berbicara karena tidak dapat melihat. Tapi, dia tidak
menjadikannya sebagai sebuah masalah besar. Sampai pada jawaban akhir yang
dia ingin melanjut ke perguruan tinggi, merupakan mimpinya, dan dia akan tetap
berusaha agar bisa ke perguruan tinggi negeri. Tanpa disadari, jawaban akhir itu
menjadi bukti bahwa Timson merasa nyaman berada di integrasi.
Informan II
Nama : Roma Siska Tampubolon
Tpt, Tgl Lahir : Riau, 27 Nopember 1990
Tgl. Masuk : 03 Nopember 2005
Gereja : HKBP
Wawancara dengan informan kedua dilakukan bersamaan dengan
informan I, yaitu di ruang rapat YAPENTRA. Siska yang pemalu, pendiam dan
kelihatan masih canggung sedikit menyulitkan peneliti untuk bertanya banyak
padanya. Dia hanya menjawab satu dua kata dari apa yang ditanyakan peneliti
orangtuanya sangat menyayanginya. Subjek mengalami kebutaan dikarenakan
penyakit campak sama seperti Timson, ketika dia berumur 2 tahun. Pada tahun
1999, Siska pernah masuk ke Panti Karya Hepata HKBP Laguboti dan 31 Oktober
2005 kembali ke orangtua, lalu 3 November orangtuanya memasukkannya ke
YAPENTRA.
Saat ini subjek berumur 21 tahun, dan baru saja menyelesaikan Ujian
Akhirnya di SMA RK Serdang Murni L.Pakam sama dengan Informan pertama.
Ketika peneliti menanyakan bagaimana proses komunikasi yang dirasakannya saat
berintegrasi, subjek hanya tersenyum dan menjawab singkat. Dia mengatakan
sedikit berbeda dengan Timson yang pintar bergaul. Dikarenakan dia masuk ke
YAPENTRA setelah berumur 15 tahun, tidak seperti Timson yang dari kecil
sudah mengerti dan mengenal dunia luas, walau dulu dia juga berada di Panti
Asuhan. Tetapi dia merasa ada perbedaan, dimana dia berintegrasipun tidak
seperti Timson yang dimulai dari SMP, tetapi dia baru saja merasakannya saat
SMA.
“Ya, buta sejak kecil, umur 2 tahun. Dulu pernah juga tinggal di Panti, tapi orangtua merasa perkembanganku sangat lambat, akhirnya dipindahkan ke YAPENTRA. Masuk ke sini udah umur 15 tahun, jadi sebenarnya baru beberapa tahunlah aku disini. Dulu SMP aku di SMPLB, tapi karena nilaiku mencukupi untuk masuk ke SMA, maka Yayasan memperbolehkan ke integrasi, dengan bertemankan Timson aku masuk ke SMA RK Serdang Murni L.Pakam. Sehari-hari ya sama dia ajalah aku, gag berani kemana-mana dan temanku di sekolah pun dia terus dan untungnya kami sekelas walaupun tidak sebangku”.
Merasakan berintegrasipun menambah kepercayaan diri pada subjek kedua
ini, dia mengaku walaupun satu tahun bersekolah temannya dulu hanya Timson,
tapi ketika naik ke kelas dua dan pembagian jurusan, orang awas pun sudah ada
kelas baik padanya dan mau membantunya belajar. Sampai dia dapat menyalurkan
hobi menyanyinya ketika pelajaran kesenian, dikarenakan motivasi dari teman
sebangkunya tersebut, yang bernama Nursalam Sinaga. Teman sebangkunya
itulah yang kerap kali memberinya dukungan dan dua tahun juga menjadi teman
sebangku tetapnya. Walaupun ketika bertemu dengan orang awas lain atau yang
baru di kenalnya, dia tetap sungkan untuk berbicara.
“Kurasakan juga susahnya bicara sama orang normal ini, makanya selama setahun sama Timson aja aku bekawan, tapi lama kelamaan gak enak juga kurasa bekawan sama dia aja, gak berkembang, apalagi dia cowok, aku juga butuh teman cewek yang bisa diajak curhat. Untungnya wali kelas memberi kawan sebangku yang baik, dan kasih aku motivasi untuk belajar nyanyi, dari situ aku PD, kenapa gak dicoba, orang normal aja kasih aku dukungan. Tapi masih malu juga aku sama orang normal yang baru ku kenal”.
Ditanyai mengenai hambatan yang dirasakan selama berintegrasi, jawaban
Siska hampir mirip dengan informan pertama. Mengalami kesulitan dalam proses
belajar, terutama saat ujian. Siska yang baru saja merasakan integrasi saat duduk
di SMA, pertama-tama tidak mengerti bagaimana sistem ujian di integrasi, dia
merasa bodoh ketika ujian pertama, mereka yang tunanetra di ajak ke
perpustakaan, lalu menggunakan mesin tik untuk menjawabnya. Itu terjadi
pertama kali saat ujian bulanan lalu berlanjut ke ujian semester dan ujian kenaikan
kelas. Tapi lama-kelamaan dia terbiasa dengan kondisi seperti itu dan bisa
menyelesaikan studinya di SMA tersebut.
Wawancara yang singkat itu peneliti tutup dengan pertanyaan yang sama
dengan Timson, yaitu perasaan telah mengikuti ujian akhir nasional. Dan lagi-lagi
jawaban Siska singkat dan dibarengi dengan senyuman. Dia mengatakan sama
halnya dengan Timson. Tinggal menunggu hasilnya dan terus berDoa.
Kesimpulan Kasus
Anak pertama dari empat bersaudara ini mempunyai hobby menyanyi dan
orangtuanya sangat menyayanginya. Subjek mengalami kebutaan dikarenakan
penyakit campak, sejak umur 2 tahun. Dalam menjalin proses komunikasi
kelompok, Siska mengalami kesulitan yang berarti. Meskipun telah lama
menyandang status tunanetra, Siska masih membutuhkan mata sebagai penangkap
pesan yang penting dalam sebuah komunikasi apapun terlebih komunikasi
kelompok. Namun, hal ini segera disadari Siska bahwa ia adalah seorang
tunanetra yang tidak dapat mengandalkan kedua matanya sebagai penangkap
pesan.
Integrasi yang baru tiga tahun dirasakannya mengubah hidupnya,
dikarenakan teman sebangkunya yang baik, yang mampu membawa Siska bergaul
dengan orang awas dan sekaligus dapat membantunya menemukan jati dirinya.
Teman sebangkunya memberi dia dukungan lewat hobinya waktu pelajaran
kesenian. Dari situ Siska mulai senang dan mau berteman dengan orang awas.
Itulah faktor yang mendukung komunikasi kelompok Siska dalam pengembangan
konsep dirinya saat bersekolah di sekolah umum. Yaitu motivasi dari teman
terbentuk seiring berjalannya waktu, yang tadinya dia takut dan enggan berteman
selain dengan Timson.
Selain faktor pendukung di atas, ada juga faktor penghambat yang
dirasakan oleh subjek kedua ini, yaitu saat ujian. Pertama kali susah memulai
untuk mengerti bagaimana sistem ujian di integrasi karena di SMPLB Siska ujian
seperti biasa yang memakai regret atau braille. Tiba masuk ke integrasi
menggunakan mesin tik dan ke perpustakaan yang sekali-kali berbentuk lisan dan
perlahan dia terbiasa dengan kondisi seperti itu. Dan tidak menjadikannya sebagai
penghambat besar.
Informan III
Nama : Lody Sitepu
Tpt, Tgl Lahir : Gurukinayan, 04 Juni 1982
Tgl. Masuk : 19 Juli 1993
Gereja : GBKP
Lody Sitepu merupakan informan ketiga yang ditemui di perpustakaan
Yayasan. Pria kelahiran Kaban Jahe 1982 ini, merupakan tamatan SMA RK
Serdang Murni juga, sama seperti informan pertama dan kedua. Dia menanyakan
lebih dulu tujuan dan maksud peneliti datang ke Yayasan dan penelitipun
menjelaskannya secara rinci. Tidak disangka, ternyata Lody pun bernasib sama
dengan peneliti, yaitu sedang dalam tahap pengerjaan skripsi dan beberapa bulan
lagi mudah-mudahan gelarnya sudah didapatnya. Lody yang sudah berumur 29
tahun akan menamatkan perkuliahannya dari STT Abdi Sabda, Binjai, beberapa
sangat beruntung masuk ke YAPENTRA, karena disitulah dia tumbuh dan
berkembang sampai seperti sekarang ini dan orangtuanya juga bangga padanya.
Lody mengalami kebutaan sejak lahir, yang tidak diketahui sebab
pastinya. Terlahir dari keluarga sederhana dan merupakan anak ketiga dari lima
bersaudara yang kesemuanya normal (awas) menyebabkan Lody minder dan
merasa tidak dibutuhkan di dunia. Dia bercerita dulunya orangtua tidak memiliki
cukup biaya untuk memeriksakannya ke Dokter. Lalu orangtua membawanya ke
orang pintar di kampungnya dan tidak menghasilkan apa-apa. Mulai dari situ dia
berpikiran bahwa penyakitnya itu merupakan sebuah kutukan yang entah
darimana datangnya. Sampai pada akhirnya kakeknya (bapak ibunya)
menyuruhnya masuk ke YAPENTRA dan kakeknya jugalah yang
mengantarkannya ke Yayasan. “Mata Baru” itulah sebutan Lody untuk
YAPENTRA.
“Dulu aku seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa, tidak bisa melihat terang indahnya dunia, wajah orangtuaku, bahkan wajahku sendiri pun belum pernah ku lihat. Bukan aku tidak memiliki pikiran untuk bertahan hidup, bahkan aku mau bangkit dari keterpurukan ini, tapi kenapa hanya aku yang buta, dan tidak diketahui penyebabnya, lalu apa gunanya aku masih ada di dunia dan hanya bisa merepotkan orang lain. Aku sempat berpikiran apakah ini sebuah kutukan bagi keluargaku dan aku yang terkena imbasnya, ohh, kalau ingat dulu itu sedih rasanya. Dan beruntung kakek datang ke rumah dan mengajakku ke Yayasan ini. Dan alhasil ya seperti sekarang ini merupakan sebuah “Mata Baru” bagiku. Walau dalam makna konotasi, tapi mata baru inilah yang sangat sangat aku syukuri. Dan akupun selalu bersyukur untuk setiap hal yang boleh terjadi dalam hidupku sampai sekarang ini.”
Integrasi bukanlah sebuah impian bagi Lody, melihat latar belakang
kehidupnya yang dulu. Baginya, masuk ke Yayasan dan bertemu dengan
orang-orang yang sependeritaan sekaligus menyayangi tanpa pamrih, sudah cukup dan
kebutaannya, menyebabkan dia tidak gampang untuk bergaul terlebih setelah
masuk ke integrasi. Dia takut dipermainkan atau ada orang jahat yang
mengganggunya, karena ketunanetraannya. Jadi ketika pertama kali menginjakkan
kaki di integrasi Lody hanya diam terpaku dan tidak berani memulai percakapan
dengan siapapun. Datang pagi, belajar dan istirahat hanya di dalam ruang kelas,
lalu siang pulang, itulah yang menjadi kebiasaan Lody ketika pertama kali
berintegrasi. Dia beranggapan bahwa orang awas hanya bisa memanfaatkan orang
sepertinya dan pasti memilih-milih teman. Karena kekhawatirannya tersebut, dia
berupaya untuk bisa melakukan semuanya dengan sendiri. Dan ternyata dia sadar
bahwa itu tidak mungkin, karena dia telah berintegrasi dan mau tidak mau harus
bersosialisasi.
Lama kelamaan Lodypun mendapat kawan dan mulai bisa berbaur dengan
yang lain. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertinggal dari orang
awas. Dan mempertahankan komitmennya, kalau tunanetra itu berhak bersekolah
di umum, dan memiliki persamaan dalam pendidikan. Karena pondasi komitmen
yang kuat itulah Lody bangkit dan bahkan kawannya yang orang awaspun sering
meminta bantuan padanya dalam pelajaran. Karena begitu Lody dipercayai
mampu mengemban tanggung jawab yang lebih tinggi, maksudnya dapat
melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
sekolah umum adalah karena saya berhak belajar di sekolah umum dan sekolah memang diciptakan untuk semua kalangan dan tidak ada prioritasnya menurut saya. Saya punya hak yang sama dalam pendidikan sama seperti anak-anak yang normal.”
Lody punya semangat belajar yang tinggi. Dia mampu menghadapi segala
macam tantangan dan rintangan. Hinaan dan cemoohanpun menjadi energi
baginya untuk mencapai kesuksesan dan prestasi. Baginya, ketika seorang siswa
tunanetra sudah memutuskan untuk mengikuti pendidikan integrasi, siswa tersebut
juga harus berani mempertanggungjawabkan apa yang telah didapatnya dari
masyarakat, yaitu dengan berani bekerja di tempat umum dan tanpa dicari pun,
teman-teman awas akan datang dan menghargainya.
Lody mendapatkan pengalaman yang berharga, yaitu pengalaman berjuang
meraih kesetaraan dan bahkan bisa memotivasi orang lain untuk maju. Itu terbukti
saat dia memasuki masa PKL (praktek kerja lapangan), pada semester tujuh
perkuliahannya. Dia melakukan praktek di sebuah Gereja di Sembahe, yang
awalnya Gereja tersebut menolak kehadirannya, karena alasan tunanetra terlalu
merepotkan jemaat dan majelis sekitar. Namun Lodi tidak putus asa, dia
melakukan pendekatan ke beberapa jemaat dan Pendeta. Setelah melalui
perjalanan yang sulit dan panjang, akhirnya Lodi diterima PKL di Gereja tersebut.
Situasi tersebut semakin mematangkan konsep diri Lodi dan itu merupakan
pengalaman yang berharga baginya, bahwa menjadi seorang pelayan tunanetra
harus mengahadapi dan meyakinkan para jemaat dengan kualitas yang tidak kalah
dengan orang-orang awas. Selain pengalaman berharga dan sahabat, Lody juga
memperoleh uang dari pelayanannya. Itu sangat membantu Lody dalam
menyelesaikan perkuliahannya, walaupun biaya ditanggung oleh Yayasan, karena
“Sekilas aku mau share kenapa aku memilih jurusan Theologia. Itu dikarenakan pertanyaan yang dari dulu selalu menghantuiku, hahaa, yaa, kembali ke masa laluku yang ingin kupecahkan ‘kenapa aku terlahir buta’. Aku pikir aku harus lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, disamping pemikiranku yang masih dangkal pada waktu itu. Karena aku gak mau ada orang yang berpikiran sepertiku, ‘bahwa kebutaan itu merupakan kutukan dari Tuhan’. Dan apapun itu semua berasal dari padaNya, jadi jangan pernah menyalahkanNya. Usahaku untuk lebih mendalami keimanan dalam kekristenan tidak sia-sia, karena pengalaman ditolak dan dianggap sepele sewaktu PKL mampu kulalui dan kutunjukkan bahwa aku mampu disandingkan dengan orang awas, malah aku merasa aku lebih dari mereka yang awas, bayangkan saja kawan-kawan kuliahku si STT sering meminta tolong dalam hal belajar padaku dan sebagai imbalannya aku sering balik meminta tolong pada mereka dalam hal pergerakan, maksudnya minta tolong mereka anter aku ke stasiun kalau mau pulang ke Yayasan atau minta tolong membelikan sesuatu. Itulah yang kurasakan selama berintegrasi, saling membutuhkan dan harus benar-benar mengerti arti bersosialisasi.”
Banyak siswa tunanetra yang belajar di sekolah umum, tapi ketika kuliah,
mereka tetap saja memilih jurusan alternatif seperti jurusan Pendidikan Luar
Biasa (PLB), karena kuliah di jurusan PLB mudah dan cepat lulus. Di samping itu
mereka ingin setelah lulus bisa mengajar di SLB. Atau ada juga yang kuliah di
jurusan umum, tapi mereka tidak mau mencari peluang kerja di tempat umum.
Tetap saja mereka ingin mengajar di SLB atau di panti-panti tunanetra. Tetapi
berbeda dengan Lody, dia menekankan disiplin ilmu yang diperolehnya selama
berintegrasi dengan adik-adik Yayasan kalau dia pulang ke YAPENTRA. Dan
saat ini dia sedang fokus ke skripsinya dan waktunya banyak dihabiskan di
perpustakaan (kalau dia pulang ke Yayasan) dan berkonsultasi dengan dosen
pembimbing. Lody juga memiliki cita- cita yang tinggi, selain ingin menjadi
Pendeta, dia juga berniat melamar di Departemen Agama.
terhadap tubuh sebagai Bait Allah’. Puji Tuhan hampir menyelesaikan S1, beberapa bulan lagilah. Impian terakhirku ingin mengabdi pada Gereja dengan menjadi Pendeta, biar gak sia-sia ilmu yang ku dapat, biar bisa bermanfaat untuk semua orang dan bisa jadi motivasi untuk anak tunanetra lain. Yang paling tinggi cita-citaku mungkin mau jadi pegawai negeri lah, hhee, di sebuah Departemen Agama. Terus biar bisa buat keluargaku bangga dan menghidupi mereka. Apa hasilnya tunanetra mengikuti pendidikan integrasi kalau dia tidak berani mempertanggungjawabkan apa yang didapatnya pada masyarakat? Apa gunanya belajar di sekolah umum kalau pada akhirnya kembali lagi ke habitatnya?”.
Kesimpulan Kasus
Subjek ketiga sedang dalam tahap pengerjaan skripsi. Lody yang sudah
berumur 29 tahun akan menamatkan perkuliahannya dari STT Abdi Sabda, Binjai,
beberapa bulan mendatang. Subjek masuk ke Yayasan pada tahun 1993 dan
mengaku sangat beruntung masuk ke YAPENTRA, karena disitulah dia tumbuh
dan berkembang sampai seperti sekarang ini dan orangtuanya juga bangga
padanya. Lody mengalami kebutaan sejak lahir, yang tidak diketahui sebab
pastinya. Dia berpikiran bahwa penyakitnya itu merupakan sebuah kutukan yang
entah darimana datangnya. Sampai pada akhirnya kakeknya (bapak ibunya)
menyuruhnya masuk ke YAPENTRA dan kakeknya jugalah yang
mengantarkannya ke Yayasan. “Mata Baru” itulah sebutan Lody untuk
YAPENTRA.
Pertama kali menginjakkan kaki di integrasi Lody hanya diam terpaku dan
tidak berani memulai percakapan dengan siapapun. Lama kelamaan Lodypun
mendapat kawan dan mulai bisa berbaur dengan yang lain. Dia berusaha
mempertahankan komitmennya, kalau tunanetra itu berhak bersekolah di umum,
dan memiliki persamaan dalam pendidikan.
Faktor yang mendukung komunikasi kelompok Lody dalam
pengembangan konsep dirinya tampak saat Lody bangkit dari keterpurukan yang
dia ditolak saat akan mendaftar PKL dan bahkan kawannya yang orang awaspun
sering meminta bantuan padanya dalam pelajaran. Karena begitu Lody dipercayai
mampu mengemban tanggung jawab yang lebih tinggi, maksudnya dapat
melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Lody yang masih dibayangbayangi oleh latar belakang kebutaannya,
menyebabkan dia tidak gampang untuk bergaul terlebih setelah masuk ke
integrasi. Dia takut dipermainkan atau ada orang jahat yang mengganggunya,
karena ketunanetraannya. Dia beranggapan bahwa orang awas hanya bisa
memanfaatkan orang sepertinya dan pasti memilih-milih teman. Itu merupakan
faktor penghambat komunikasi kelompok dalam pengembangan konsep dirinya
saat masuk ke integrasi. Faktor penghambat dan faktor pendukung itu dijadikan
Lody sebagai pengalaman yang tak ternilai harganya dan cita-cita yang tinggi
semakin mematangkan Lody dalam pengembangan konsep dirinya.
Informan IV
Nama : Mesran Sanjaidut Sinaga
Tempat, Tgl. Lahir : Parapat, 05 Desember 1997
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak Ke : 5 dari 5 bersaudara
Ibu : br. Bakara
Tgl.Masuk Yapentra : 17 Juli 2004
Wawancara yang dilakukan pada 20 April 2012 pukul 13.00 WIB dan
bertempat di perpustakaan YAPENTRA berjalan dengan baik, karena Mesran bisa
diajak mengobrol sama seperti Timson dan Lody, dan mendapat kemudahan juga
bagi peneliti dikarenakan Mesran low vision, jadi dengan samar-samar
penglihatannya dia tersenyum dan terasa begitu welcome. Mesran anak yang
pintar dan periang, dia mampu bermain musik tradisional Batak, bermain drum
dan sangat pintar bergaul. Dia bercita-cita memiliki orangtua angkat yang bisa
menolong dia bersekolah. Mesran memiliki 3 (tiga) saudara yang tunanetra juga,
ketiganya masuk di YAPENTRA dan dua saudaranya telah menamatkan sekolah.
Mereka tidak buta total, masih mempunyai sisa penglihatan (low vision).
Marini dan Kipri Sinaga adalah saudara Mesran yang disekolahkan di
YAPENTRA juga. Ketiga anak dari pasangan Marlen Sinaga dan Marlina Bakara
ini, mengetahui YAPENTRA berawal dari bulan Juni 1998 saat rombongan
Tunanetra bertemu dengan ibu mereka di kampung di Parapat. Kemudian para
guru mengusulkan untuk memeriksa ketiga anak tersebut ke dokter mata. Hasil
pemeriksaan Dokter menyimpulkan bahwa, retina ketiga anak mengalami
gangguan turunan dari orangtuanya. Dokter menyarankan bahwa pada siang hari
mata tidak dapat melihat sinar panas dan akan lebih jelas pada malam hari.
Mesran yang saat itu masih berusia 3 bulan disarankan menunggu lebih besar
untuk dibawa ke YAPENTRA. Kemudian pada 17 Juli 2004 Mesran diantar
Sekarang Mesran bersekolah di SMPN 2 L.Pakam bersama dengan satu
anak tunanetra lain yaitu Robert Simbolon, seorang totally blind. Karena
keahliannya dalam bidang musik dan olahraga, Mesran bercita-cita ingin naik
pesawat gratis melalui prestasi olahraganya hingga keluar negeri. Mesran juga
merasa beruntung karena jika dia bisa mempertahankan nilainya di atas 7,5 dan
berkelakuan baik, sudah pasti dia bisa melanjut ke SMA. Integrasi bagi Mesran
adalah salah satu wadah untuk mengembangkan bakatnya, sama seperti Siska
(informan kedua). Mesran sangat suka dengan pelajaran olahraga dan kesenian,
karena disitu dia bisa menunjukkan keahliannya serta melatih bakatnya tersebut.
“Abang sma kakakku dulu disini juga kak, tapi udah keluar mereka. Sama kayak aku, masih bisa liat dikit-dikit, mungkin keturunan kami ini. Masuk ke sekolah umum ya karena kemauan sendirilah, terus mau cari pengalaman. Apalagi aku suka main musik sama olahraga kak, jadi ku pikir kalau di sekolah umum bisa lebih berkembang aku. Terus mana tau nanti ada orang normal yang mau ngangkat aku jadi anaknya kakk, hhee”. Mesran mengaku di integrasi, guru olahraga sekaligus pembimbing
integrasi dari asrama, mendukung bakat lari Mesran, karena sebagai guru olahraga
dia selalu menyemangati dan memberi masukan-masukan positif bagi Mesran.
Dia juga menyarankan untuk Mesran mengikuti les musik dan olahraga untuk
terus melatih bakatnya tersebut.
Cita-cita Mesran yang ingin memiliki orangtua angkat selalu
menyemangati dia untuk lebih giat dan rajin belajar. Disamping itu, dia juga harus
bisa mempertahankan nilainya agar bisa masuk ke SMA. Ketika ditanyai mana
yang lebih enak berteman dengan teman di integrasi atau asrama, Mesran
tersenyum, menurutnya sama-sama menyenangkan, karena dulu juga waktu SD
dikatakan jadi memilih-milih teman ketika sudah sekolah di umum. Walaupun
teman satu angkatannya yang sekolah di integrasi hanya satu orang, yaitu Robert,
tapi mereka cukup kompak. Low vision yang diderita Mesran dapat membantu
mereka untuk berjalan dari sekolah ke tepi jalan raya untuk mendapatkan
pengangkutan umum saat pulang sekolah. Mesran yang selalu menuntun Robert
dengan setia.
“Guru olahraga juga baik, nyaranin untuk ikut les aku kak, biar tetap mantap bakatku ini, hhe. Kawan-kawan sama-sama enak, karena bisa saling melengkapi, dan aku gak mau di bilang sombong karena udah di sekolah umum. Terus kalau pelajaran yang susah biasanya nanyak sama kawan sebangku, ‘kek mana caranya?’ minta ajarin sama dia, mau kok dia bantu. Sebangkuku orang normal, guru yang nentuin pas masuk pertama kali. Ujian kami yang tunanetra ke perpus pake mesin ketik. Ada guru yang ngawasin. Kalau pergi sekolah naik bus kami rame-rame, digilir ngantarnya, trus kalau pulang masing-masing naik angkutan umum, sama si Robert lah aku terus sama pulang pergi, karena cuma kami dua yang di SMPN itu”.
Kesimpulan Kasus
Informan keempat merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara dan masih
memiliki sedikit penglihatan (low vision). Mesran anak yang pintar, dia mampu
bermain musik tradisional Batak, bermain drum dan sangat pintar bergaul. Dia
bercita-cita memiliki orangtua angkat yang bisa menolong dia bersekolah. Mesran
yang duduk di kelas 2 SMPN 2 Lubuk Pakam mengaku senang bisa berintegrasi.
Karena dengan begitu dia bisa mengembangkan bakatnya. Keterbatasan
melihatnya yang low vision dapat memberi sedikit kemudahan baginya.
Contohnya saja dalam hal bergaul dengan Robert, satu angkatannya sekaligus satu
asrama. Di sekolah, mereka beda lokal, tapi karena merasa sepenanggungan dan
lokal Robert yang memang tidak begitu jauh dari lokalnya, dan mengajak Robert
untuk keluar lalu menuntun Robert berjalan.
Mesran cukup dewasa dalam pemikiran, terlihat dari jawabannya yang
ingin tetap sekolah di umum (melanjut ke SMA) dan serius untuk menekuni
bidang olahraga dan musik yang akan mewujudkan mimpinya untuk naik pesawat
gratis. Kedewasaan berpikir Mesran tentu dibentuk karena dia berintegrasi dan
memiliki keahlian dalam bidang musik, karena menurut penelitian, musik dapat
melatih otak kiri untuk berimajinasi dan berkreasi.
Guru dan teman-temannya yang baik di integrasi membuatnya betah dan
merupakan faktor pendukung proses komunikasi kelompoknya dalam
pengembangan konsep dirinya saat berintegrasi. Walaupun Mesran low vision,
tapi terkadang, Mesran mengalami kesulitan dalam menjalani interaksi sosial
dengan teman-teman sekolahnya, tapi dia tidak menjadikan itu masalah, karena
memang dari awal masuk ke YAPENTRA mereka telah dibekali ilmu mobilitas.
Informan V
Nama : Robert Dedi S Simbolon
Tpt, Tgl Lahir : Laeambat, 27 Mei 1997
Tgl. Masuk : 01 April 2002
Gereja : GKPI
Wawancara pada informan terakhir dilakukan di perpustakaan juga,
satu asrama Mesran dan seorang totally blind. Robert yang berumur 14 tahun
kelahiran Sidikalang ini mengalami kebutaan yang disebabkan karena campak
ketika dia berumur 2,5 tahun. Subjek masuk ke YAPENTRA dijemput oleh pihak
Yayasan saat berumur 5 tahun, dan dia sekarang telah duduk di kelas 2 SMP.
Bersama dengan Mesran, Robert bersekolah di SMPN 2 L.Pakam dan akan
menghadapi ujian kenaikan kelas.
Masuk ke YAPENTRA membuat Robert disiplin dan mampu mengerjakan
hal-hal umum, minimal untuk keperluannya sehari-hari. YAPENTRA memang
mengajarkan mereka untuk bisa mengurus diri sendiri, kalau dianggap sudah
mampu dan biasanya yang sudah duduk di bangku SMP wajib dapat mengurus
diri sendiri. Mereka diberikan guru khusus ketika di asrama, istilahnya pengawas
asrama, jadi setiap unit ada yang membimbing. Satu asrama terdiri dari beberapa
orang dan mereka mengerjakan atau mempelajari semuanya di dalam asrama.
Robert menjelaskan sedikit tentang kegiatan mereka di asrama tersebut. Mulai
dari mereka bangun pagi, pekerjaan yang dapat dilakukan sampai mereka kembali
tidur lagi. Dan kemandirian mereka di asrama membuat mereka disiplin dan tidak
kalah dengan orang awas.
“Bangun pagi seperti biasa mandi dulu, terus ada di kasih renungan. Pergi ke ruang makan lalu berangkat sekolah. Setelah pulang dari sekolah ada les musik dan keterampilan, lalu makan siang, terus tidur. Bangun tidur sore kerja cuci gosok kalo ada yang mau di cuci, biasanya gabung-gabung sama kawan, siapa yang nyuci nitip, trs gosok juga gitu, tapi ganti-gantian. Terus malam, jam-jam 9 belajar di asrama masing-masing”.
Merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dan hanya dia yang
mengalami kebutaan, tidak menyebabkan Robert minder atau putus asa. Dia tetap