• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Komunikasi Kelompok Dalam Mengembangkan Konsep Diri Anak Tunanetra Yang Bersekolah Di Sekolah Umum YAPENTRA Tanjung Morawa, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Komunikasi Kelompok Dalam Mengembangkan Konsep Diri Anak Tunanetra Yang Bersekolah Di Sekolah Umum YAPENTRA Tanjung Morawa, Medan"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Arifin, 1984, Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas, Bandung: Armico.

Bungin, Burhan, 2001. Metode Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga University Press.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : RajaGrafindo

Persada.

Kriyantono, Rahmat. 2007. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana.

Mikkelsen, Britha.1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya

Pemberdayaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Morrissan. 2010. Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia

Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

________________. 2005. Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada

University Press.

Rakhmat, Jalaludin. 2007. Psikologi komunikasi. Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya.

Senjaya, Sasa Djuarsa, dkk. 2007. Teori Komunikasi. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.

(2)

Usman, Husaini, dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial Jakarta : Bumi Aksara.

Walgito, Bimo. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: ANDI.

Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sumber lain :

diakses pada 14 Maret 2012

(3)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian

Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang

mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi adalah suatu

pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan suatu metode (Usman, 2009:

41).

Secara umum penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subjek penelitian misalnya,

perilaku, persepsi, motivasi, dll. Secara holistic dengan cara deskripsi dalam

bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah. Pendekatan kualitatif tersebut digunakan

apabila data-data yang dibutuhkan berupa informasi yang tidak perlu

dikuantitatifkan atau tidak perlu mengadakan perhitungan.

Dalam tataran teoritik, ada beberapa asumsi yang menjadi landasan dalam

penelitian kualitatif seperti yang dikemukakan Merriam (dalam Creswell,

1994:145). Asumsi-asumsi tersebut adalah :

1. Peneliti kualitatif lebih memiliki perhatian pada proses daripada hasil atau produk

(4)

3. Peneliti kualitatif merupakan instrumen utama dalam pengumpulan dan analisis data. Data diperoleh melalui instrumen manusia daripada inventarisasi, kuesioner, ataupun melalui mesin.

4. Penelitian kualitatif sangat berkaitan dengan fieldwork. Artinya, peneliti secara fisik terlibat langsung dengan orang, latar (setting), tempat, atau institusi untuk mengamati atau mencatat perilaku dengan latar alamiahnya. 5. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu peneliti tertarik pada proses,

makna, dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata atau gambar-gambar.

6. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif, yaitu peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesis, dan teori.

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, penelitian ini praktis berusaha untuk mengkaji

peristiwa kehidupan nyata yang dialami oleh subjek penelitian ini (anak tunanetra

yang bersekolah di sekolah umum) secara holistik dan bermakna. Penelitian ini

tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika data yang terkumpul

sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu

mencari sampling lainnya. Penelitian kualitatif lebih menekan pada persoalan

kedalaman (kasus) data bukan banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono, 2009:56).

Studi Kasus

Studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data

(sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan

menjelaskan secara komprehensif berbagi aspek individu, kelompok, suatu

program, organisasi atau peristiwa secara sistematis. Robert E.Stake menuliskan

dalam Handbook of Qualitative Research, Seceond Edition (Denzin, 2000:435)

bahwa studi kasus bukan suatu pilihan metodologi, tetapi suatu pilihan mengenai

(5)

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yaitu untuk mempelajari

secara insentif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi suatu sosial,

individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat (Usman, 2009:4). Peneliti

menggunakan metode studi kasus tersebut untuk memperoleh data yang

dibutuhkan tentang proses komunikasi kelompok dalam pembentukan konsep diri

anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum/integrasi.

Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap

objek penelitian di lokasi penelitian. Semua hasil penelitian dituangkan dalam

pembahasan. Hasil wawancara nantinya akan dianalisis dan dipilih jawaban yang

paling mendekati dan berkaitan dengan tujuan penelitian. Adapun tujuan studi

kasus adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai peristiwa-peristiwa

komunikasi yang nyata dalam berbagai konteks, serta pernyataan tentang

bagaimana dan mengapa hal-hal tertentu terjadi dalam sebuah situasi tertentu.

III.2 Objek Penelitian

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2010:12), objek adalah keseluruhan gejala

yang ada di sekitar kehidupan manusia. Objek dalam penelitian kualitatif menurut

Spradley disebut Social Situation yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat

(place), pelaku (actors) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis

(Sugiyono, 2007:49).

Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah proses komunikasi kelompok

dalam pengembangan konsep diri anak tunanetra yang bersekolah di sekolah

(6)

III.3 Subjek Penelitian

Narasumber atau informan adalah orang yang bisa memberikan

informasi-informasi utama yang dibutuhkan dalam penelitian (Moleong, 2006: 132).

Penentuan orang yang menjadi sumber data dilakukan secara purposive, yaitu

dipilh dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Cara penentuannya yaitu,

melalui keterangan orang yang berwenang dan melalui wawancara pendahuluan

(Sugiyono, 2007:52).

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah anak-anak tunanetra serta

kawan-kawan/orang normal dalam lingkup sosial. Informan yang ingin diteliti

sebagai berikut :

1. Anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum.

2. Orang normal (sebagai informan kunci) yang dianggap berpengaruh

dalam pembentukan konsep diri anak tunanetra.

3. Penelitian ini dilakukan di YAPENTRA dan Sekolah Umum (SMA

RK Serdang Murni L.Pakam, SMP N 2 L.Pakam, STT Abdi Sabda, Jln

(7)

YAPENTRA DAN PENDIDIKANNYA

Yayasan Pendidikan Tunanetra “SUMATERA” (YAPENTRA)

Sebagai lembaga pendidikan bagi anak-anak yang mengalami kebutaan dan

gangguan mata atau visual impairment, Yapentra telah berupaya menolong,

memberi advokasi, dan mendidik sejumlah anak tunanetra di Sumatera Utara.

Kepada mereka diberi ‘mata baru’ melalui ilmu, keterampilan dan iman, yang

diperolehnya di dalam terang Kristus, kembali ke masyarakat dan mampu

memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya.

Bahwa lembaga ini adalah kampus, bukan Panti Asuhan. Sebuah kampus yang

diasuh Yayasan GKPI yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa terutama bagi

anak tunanetra. Kampus ini adalah tempat persemaian pengajaran ilmu

pengetahuan, moral dan spiritual. Yapentra bukan penitipan anak atau Panti

Asuhan, karena itu orangtua, Gereja, masyarakat dan pemerintah harus memberi

perhatian yang seimbang bagi keberlangsungan hidup Yayasan ini.

Sebagai kampus yang berfungsi ganda, tempat pendidikan dan rumah tempat

tinggal, Yapentra telah memfasilitasi anak-anak dengan membangun empat unit

asrama berbasis rumah keluarga (familyhood of house). Masing-masing unit

terdiri atas empat kamar tidur, ruang belajar/tamu, dapur dan kamar mandi dua

unit, didiami enam belas orang anak, dan setiap rumah asrama dipimpin seorang

pengasuh sebagai kepala keluarga. Sasaran dari program rumah asrama ini adalah

untuk membina anak-anak merasa tinggal di rumah dan ditengah keluarga sendiri,

serta mendidik mereka untuk bertanggung jawab atas pemeliharaan rumahnya

(8)

Pendidikan di YAPENTRA

• Perekrutan Siswa/i

Pada umumnya siswa/i Yapentra didapatkan melalui program penyuluhan ke

desa-desa, tetapi ada juga satu dua orang yang diantar orangtua atau keluarga.

Dengan demikian, anak didik SLB-A Yapentra berasal dari pedesaan dan datang

dari keluarga tidak mampu, dan semua kebutuhan hidup siswa/i dibiayai dan

difasilitasi oleh Yapentra.

Sebelum masuk sekolah, hal pertama yang harus dilakukan adalah assessment

untuk dapat menilai data tentang jenis kebutuhan si anak. Anak terlebih dahulu

dibawa ke Rumah Sakit dan dokter mata untuk mengetahui kesehatan dan

keadaan matanya, sebab 99,6 persen siswa/i Yapentra mengalami kebutaan setelah

lahir. Kebutaan itu disebabkan penyakit campak, glaucoma, katarak dan kurang

vitamin.

Jenjang pendidikan di Yapentra sama dengan sekolah umum lainnya. Seorang

anak harus menjalani 6 tahun di SD, dan melanjut ke SMP, dan seterusnya. Usia

anak SLB-A Yapentra berbeda dengan usia anak di sekolah umum atau sebab usia

saat masuk ke SDLB-A Yapentra tergantung pada usia saat anak tersebut

dijemput atau masuk ke Yapentra. Bila ada anak yang usianya sudah

terlambat/tidak sesuai dengan usia anak SD, maka Yapentra memasukkan anak ke

(9)

• Kurikulum Pendidikan

SLB-A Yapentra di dalam menyelenggarakan pendidikan mengacu kepada

kurikulum pendidikan nasional Republik Indonesia. Perbedaannya dengan sekolah

umum hanya pada metode dan teknik penyampaian. Karena kehilangan visual,

maka buku-buku bacaan harus dicetak dalam huruf Braille. Adapun jumlah

siswa/i dalam satu kelas tidak lebih 5-8 orang, dengan metode pengajaran

konkritisasi yang bertujuan untuk mencegah si anak verbalisme. Teknik mengajar

yang dipakai adalah individual training (one by one). Tetapi jauh lebih penting

dari semua itu adalah kecerdasan emosional, yaitu sabar dan memiliki cinta kasih.

Pembelajaran di sekolah mendapat bantuan IB Fundation, Jakarta. IB

Fundation salah satu lembaga yang bersedia membantu SLB-A yang memerlukan

alat-alat peraga untuk anak-anak tunanetra, mesin tik Braille, komputer hingga

menyelenggarakan pelatihan bagi instruktur yang akan menangani tunanetra.

• Orientasi dan Mobilitas (O&M) Dan Activity Daily Living (ADL)

Orientasi & Mobilitas dan Activity Daily Living adalah dua materi ajar

pendidikan yang harus dimiliki guru untuk diberikan kepada tunanetra. Dengan

kemampuan Orientasi & Mobilitas dan ADL, sang guru turut merasakan betapa

sulit dan sukarnya menjadi tunanetra. Hal ini dialami guru atau tenaga lainnya

melalui pelatihan Orientasi dan Mobilitas dengan menutup mata selama beberapa

waktu. Setelah mengalaminya dalam pelatihan, maka seorang guru diharapkan

menjadi designer kehidupan tunanetra. Orientasi dan Mobilitas memampukan

(10)

menguasai tempat dan ruangan lainnya, dan kemudian mampu bermobilisasi.

Keterampilan ini laksana mesin pencetak “mata baru” bagi tunanetra.

Kedua keterampilan ini penting sekali, merupakan tugas utama pendidikan di

Yapentra ditambah dengan pelajaran dan keterampilan lainnya. Anak-anak diajari

bertahap bagaimana dia harus beraktivitas mengurus diri sendiri seperti: mandi,

sikat gigi, membersihkan kamar mandi, menggosok, memasak, serta mampu

bersosialisasi dengan publik seperti bersalaman. Tujuan akhir dari layanan

Orientasi Mobilitas dan Activity Daily Living adalah seorang tunanetra dapat

terampil memasuki setiap lingkungan dengan selamat, mandiri, efektif dan baik.

Dalam mencapai tujuan untuk memandirikan tunanetra harus dipadankan

kemampuan Orientasi dan Mobilitas serta ilmu pengetahuan lainnya.

• Siswa/i Integrasi

Seorang tunanetra akan mampu berintegrasi dengan masyarakat apabila ia

terampil dalam Orientasi dan Mobilitas. Integrasi artinya menyatu menjadi satu

kesatuan. Integrasi akan bisa terjadi apabila tunanetra dapat mengambil haknya di

masyarakat dan memberikan kewajibannya kepada masyarakat. Dan sebaliknya,

masyarakat akan bisa berintegrasi dengan tunanetra apabila ia dapat memahami

dan menghargai tunanetra sebagai manusia yang punya hak dan kewajiban.

Tunanetra harus dapat hidup dan bersaing di tengah masyarakat awas. Pengakuan

masyarakat akan timbul apabila tunanetra mampu menampilkan dirinya dengan

baik.

Mengingat maksud dan tujuan Yapentra, maka Badan Pengurus dan Direktur

(11)

masyarakat luas. Salah satu langkah awal yang ditempuh adalah dengan mencari

sekolah di Lubuk Pakam yang bersedia menerima anak tunanetra bergabung

belajar dengan anak awas. Pekerjaan ini tidak mudah dan bahkan sampai sekarang

belum semua SMP dan SMU di Lubuk Pakam yang bersedia menerima siswa/i

tunanetra. Sekolah pertama yang bersedia menerima anak tunanetra adalah

Yayasan Perguruan Nusantara Lubuk Pakam, menerima satu orang siswa

tunanetra pertama. Lalu tahun berikut SMP Khatolik menerima 2 orang siswa

tunanetra, bahkan ada yang lulus testing ke SMP N 2. Selanjutnya kerja sama

dengan SMA Trisakti Lubuk Pakam dan SMA Khatolik Serdang Murni Lubuk

Pakam yang menjadi mitra Pendidikan Yapentra di sekolah sebagai tempat

anak-anak belajar. Bahkan sampai ke jenjang Universitas, yaitu UNIMED jurusan

Bahasa Jerman yang mana diikuti siswa Yapentra dengan lulus SPMB.

Untuk membantu siswa/i dan mahasiswa/i yang belajar di sekolah umum dan

Perguruan Tinggi, Yapentra membeli buku paket sekolah dan mencetaknya dalam

huruf Braille. Sementara untuk membantu mereka di sekolah, Yapentra

menyediakan guru, yang disebut guru integrasi (resource teacher). Guru integrasi

bertindak untuk membantu siswa/i tunanetra yang belajar di sekolah umum dalam

mengatasi kesulitannya dan mengkomunikasikan masalah ketunanetraan itu

(12)

III.4 Kajian Analisis

Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan dan bahan bahan lain

sehingga dapat dengan mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan

kepada orang lain. Analisis data adalah sangat penting, baik itu penelitian

kualitatif maupun penelitian kuantitatif.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki

lapangan, selama dilapangan dan setelah selesai di lapangan. Analisa data dalam

penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya

menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu

teori baru. Maksudnya adalah analisis data dalam penelitian kualitatif pada

hakikatnya adalah suatu proses, bahwa pelaksanannya sudah harus dimulai sejak

tahap pengumpulan data di lapangan untuk kemudian dilakukan secara intensif

setelah data terkumpul seluruhnya.

Menurut Miles & Huberman (2007:16), analisis data kualitatif adalah suatu

proses analisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan,

yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

III.5 Teknik Pengumpulan Data

Mengacu pada pendapat Lofland dan Lofland (1984), sumber data utama

dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data

tambahan seperti dokumen, dan lain-lain. Ada dua jenis data yang digunakan

(13)

1. Data primer

Data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian perorangan,

kelompok, dan organisasi. Untuk memperoleh data primer, maka pada penelitian

ini peneliti menggunakan metode studi kasus (case study). Untuk dapat

memenuhi metode studi kasus, peneliti juga melakukan pengamatan dan

pengumpulan data, termasuk (1) wawancara mendalam dan (2) observasi.

1) Wawancara

a) Pengertian Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan

terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2005:

186).

Wawancara mendalam secara umum adalah proses keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antar pewawancara

dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana

pewawancara terlibat dalam kehidupan sosial informan (Bungin, 2008: 18).

Wawancara bisa mengambil beberapa bentuk. Yang paling umum adalah

wawancara bertipe open-ended, di mana peneliti dapat bertanya kepada responden

tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai peristiwa

yang ada. Responden juga bisa mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap

peristiwa tertentu dan peneliti bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar

penelitian selanjutnya. Wawancara juga dapat dilakukan secara terfokus, di mana

(14)

untuk mendukun fakta-fakta tertentu yang sudah ditetapkan peneliti. Tipe

wawancara ketiga memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terstruktur,

sejalan dengan survei (Yin, 2003: 108-110 ).

Wawancara dapat menggunakan beberapa alat bantu atau perlengkapan

wawancara seperti tape recorder, pulpen, pensil, note, karet penghapus, stopmap

plastik, daftar pertanyaan, hardboard, surat tugas, surat izin dan daftar responden,

bahkan peta lokasi juga amat membantu. Perlengkapan-perlengkapan tersebut ada

yang secara langsung bermanfaat dalam wawancara seperti pulpen dan pensil,

tetapi ada juga yang hanya berguna apabila dibutuhkan. Teknik penggunaan

alat-alat bantu wawancara ini menjadi otoritas pewawancara, yang digunakan

berdasarkan kemampuan, pengalaman, dan kondisi yang ada (Bungin, 2007:

114-115).

b) Bentuk-Bentuk Pertanyaan Wawancara

Jika pewawancara hendak mempersiapkan suatu wawancara, ia perlu

membuat beberapa keputusan. Keputusan itu berkaitan dengan pertanyaan apa

yang perlu ditanyakan, bagaimana mengurutkannya, sejauh mana kekhususan

pertanyaan itu, berapa lama proses wawancara, dan bagaimana memformulasikan

pertanyaan itu (Moleong, 2005: 192). Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2005:

194-195) mengklasifikasikan beberapa pertanyaan yang akan diajukan dalam

(15)

a) Pertanyaan hipotesis atau pertanyaan bagaimana bila…

b) Pertanyaan yang mempersoalkan sesuatu yang ideal dan responden ditanya

agar memberikan respons tentang hipotesis alternatif mengenai masa lalu,

sekarang, atau yang akan datang;

c) Pertanyaan yang menanyakan dan menantang responden untuk merespons

dengan cara memberikan hipotesis alternatif atau penjelasan;

d) Pertanyaan interpretatif yang menyarankan kepada responden agar memberikan

interpretasinya tentang kejadian atau peristiwa;

e) Pertanyaan yang memberikan saran;

f) Pertanyaan tentang alasan mengapa yang mengarahkan agar responden

memberikan penjelasan tentang kejadian atau perasaan;

g) Pertanyaan tipe argumen yang berusaha mengajar responden untuk menyatakan

perasaan atau menunjukkan sikap yang, apabila pewawancara tidak berada di situ

tidak akan tampak;

h) Pertanyaan tentang sumber yang berusaha mengungkapkan sumber tambahan,

informasi asli, dan data atau dokumen tambahan;

i) Pertanyaan yang mengharapkan jawaban ya atau tidak, yaitu pertanyaan yang

berusaha menutupi intensitas perasaan atau kepercayaan tentang sesuatu

sedangkan pewawancaranya belum yakin;

j) Pertanyaan yang mengarahkan, dalam hal ini responden diminta untuk

(16)

2) Observasi

Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya

melalui hasil kerja pancaindera mata serta dibantu dengan pancaindera lainnya.

Jadi dapat dikatakan metode observasi adalah metode pengumpulan data yang

digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan

penginderaan (Bungin, 2007: 115).

Beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif

(studi kasus) adalah observasi partisipasi, observasi tidak berstruktur, dan

observasi kelompok tidak berstruktur.

a) Observasi Partisipasi

Observasi partisipasi adalah suatu observasi khusus di mana peneliti tidak

hanya mennjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil peran dalam

situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti

(Yin, 2003: 113-114).

b) Observasi Tidak Berstruktur

Observasi ini dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi

ini, pengamat harus mampu secara pribadi mengembangkan daya

pengamatannya dalam mengamati suatu objek. Yang terpenting dalam

observasi tidak berstruktur adalah pengamat harus menguasai ilmu tentang

objek secara umum dari apa yang hendak diamati, hal mana yang

membedakannya dengan observasi partisipasi, yaitu pengamat tidak perlu

memahami secara teoritis terlebih dahulu objek penelitian (Bungin, 2007:

(17)

c) Observasi Kelompok

Observasi ini dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa

objek sekaligus.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data kedua setelah sumber data primer.

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari data tertulis, seperti sumber

buku, arsip, dan dokumen resmi yang dapat dijadikan acuan peneliti dalam

melakukan penelitian, seperti Penelitian Kepustakaan (Library Research).

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan literature dan berbagai bacaan

yang dianggap relevan dan mendukung penelitian. Studi kepustakaan dalam

penelitian ini dilakukan melalui buku-buku, jurnal dan internet yang berkaitan

dengan masalah penelitian.

Waktu Penelitian dilaksanakan pada April 2012. Pengambilan data ke

YAPENTRA dikakukan pada April 2012, wawancara pertama pada hari Kamis,

2012.

III.6. Teknik Analisis Data

Data dalam metode kualitatif mencerminkan interpretasi yang mendalam dan

menyeluruh atas fenomena tertentu (kasus). Data dikelompokkan dalam

kelas-kelas, tidak menurut angka-angka (Mikkelsen, 1993:318). Sumber data pada

penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menggunakan data

(18)

Dalam analisis kualitatif, peneliti tidak hanya mengandalkan kemampuan diri

dalam mengupas objek penelitian melalui alat-alat ukur yang layak, tetapi lebih

dari itu: kemampuan panca indera, feeling, intuisi, serta kepekaan peneliti

terhadap lingkungan dimana objek penelitian berlangsung (berada) adalah lebih

menentukan keberhasilan analisis tersebut.

Metode analisis induktif memungkinkan peneliti mengidentifikasi berbagai

realitas di lapangan, membuat interaksi dengan informan dan peneliti lebih

eksplisit, tampak dan mudah dilakukan, serta memungkinkan pengidentifikasian

aspek yang saling mempengaruhi.

Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen, 1982 (dalam Moleong,

2006:32) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensintesikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting

dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada

orang lain. Tahapan analisis data secara umum (Moleong, 2005: 281-287) adalah

sebagai berikut:

1) Menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja. Sejak menganalisis

data di lapangan, peneliti sudah mulai menentukan tema dan hipotesis

kerja. Pada analisis yang dilakukan secara lebih intensif, tema dan

hipotesis kerja lebih diperkaya, diperdalam, dan lebih ditelaah lagi dengan

menggabungkan data dari sumber-sumber lain. Ada beberapa petunjuk

dalam menemukan tema dan hipotesis kerja yaitu: (a) Bacalah dengan

(19)

pembicaraan tertentu agar tidak tumpang tindih ketika ada judul yang

sama kembali muncul; (c) Susunlah menurut kerangka klasifikasi/tipologi;

(d) Bacalah kepustakaan yang ada dengan masalah dan latar penelitian

(membandingkan hasil penemuan dengan kepustakaan profesional).

2) Menganalisis berdasarkan hipotesis kerja. Sesudah memformulasikan

hipotesis kerja, peneliti mengalihkan pekerjaan analisisnya dengan

mencari dan menemukan apakah hipotesis kerja itu didukung oleh data

dan apakah hal itu benar. Apabila peneliti telah menemukan seperangkat

hipotesis kerja dasar, maka selanjutnya adalah menyusun kode tersendiri

atas dasar hipotesis kerja dasar tersebut. Data yang telah tersusun

dikelompokkan berdasarkan hipotesis kerja dasar tersebut. Pekerjaan

demikian memerlukan ketekunan, ketelitian, dan perhatian khusus serta

(20)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. 1 Deskripsi Subjek Penelitian

Penelitian tentang proses komunikasi kelompok anak tunanetra dalam

mengembangkan konsep diri ini, membutuhkan 3 atau lebih anak tunanetra yang

bersekolah di sekolah umum (integrasi) serta orang awas yang dianggap

berpengaruh pada pengembangan konsep diri mereka dan berdomisili di

YAPENTRA, Tanjung Morawa, Medan. Penelitian dilakukan melalui wawancara

mendalam kepada masing-masing informan secara berkala hingga mendapatkan

informasi yang sesuai dengan kebutuhan peneliti.

Peneliti melakukan pra penelitian untuk mendapatkan informasi tentang

YAPENTRA, sehingga integrasi/inklusilah yang diangkat dari YAPENTRA itu

sendiri sebagai judul dari penelitian. Penelitian I yang dilakukan pada 19 April

2012 bertempat di Yayasan Pendidikan Tunanetra Km 21,5 Tanjung Morawa dan

dapat dikatakan sedikit mengecewakan. Betapa tidak, peneliti pergi pagi-pagi dari

Medan berharap dapat segera melakukan penelitian, ternyata setibanya disana

Kepala Yayasan dan bagian tata usaha sedang tidak berada di tempat, ditambah

lagi anak-anak yang sedang melaksanakan ujian. Jadi hanya seorang ibu yang

menyambut peneliti dan mengatakan tinggalkan saja nomer yang bisa dihubungi,

kalau mereka sudah pulang dari luar kota akan segera dihubungi.

Hari kedua penelitian dapat dikatakan lancar, karena pada saat itu

kebetulan anak-anak yang akan diwawancarai sedang berada di Yayasan dan

(21)

dipertemukan dengan Kepala Sekolah, yaitu Bapak Hutasoit, dimana Bapak itulah

yang menjelaskan sekilas tentang Integrasi di YAPENTRA. Wawancara

dilakukan pada tanggal 20 April sekitar pukul 10.30 WIB di ruang Kepala

Sekolah. Sampai pada akhir wawancara yang mengarah ke perbincangan santai,

tibalah 2 orang anak Yayasan yang berintegrasi di SMA RK Serdang Murni,

Lubuk Pakam, dan kebetulan baru selesai mengikuti Ujian Akhir Nasional. Bapak

Hutasoit pun memperkenalkan peneliti pada 2 orang anak itu, yang bernama

Timson dan Siska. Dan langsung menyuruh kami berbincang di ruang rapat.

Setelah berada diruang rapat, peneliti pun memperkenalkan diri ulang,

sembari membawa mereka ke perbincangan yang sederhana, agar mereka tidak

merasa canggung atau takut. Peneliti lalu menyampaikan maksud dan tujuan

peneliti untuk mewawancarai mereka tentang komunikasi kelompok dalam

mengembangkan konsep diri pada anak yang mendapat pendidikan inklusi.

Timson yang pembawaannya riang dan proaktif langsung tersenyum senang dan

mengangguk mengerti, sedangkan Siska hanya terdiam, bukan karena dia tidak

mengerti, tetapi merasa masih canggung dengan orang yang baru dikenal.

Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, peneliti menemui anak

tunanetra yang bersekolah di integrasi lainnya yang memenuhi kriteria yang

ditetapkan oleh peneliti. Sekitar pukul 11.35 WIB setelah wawancara dengan

Timson dan Siska selesai, peneliti diajak ke perpustakaan oleh Timson untuk

menemui informan lainnya. Di dalam perpustakaan peneliti menemui cukup

banyak orang, dikarenakan anak-anak juga sudah libur, dan beberapa pekerja

(22)

Timson memperkenalkan peneliti pada pekerja perpustakaan dan

mengutarakan maksud peneliti datang ke perpustakaan. Peneliti pun menjelaskan

panjang lebar maksud dan tujuan datang ke YAPENTRA, dan telah

mewawancarai Timson dan Siska. Yang langkah selanjutnya adalah mencari

informan lain sesuai kriteria subjek penelitian. Mesran dan Robert adalah nama

informan selanjutnya, sesuai data yang telah diberi oleh pihak Yayasan kepada

peneliti, dengan sistem purposive sampling. Sembari menunggu informan lain

datang, peneliti pun berbincang dengan ketua perpustakaan, yaitu ibu Tarigan dan

menanyakan beberapa hal. Ketua perpustakaan sangat welcome dan menjelaskan

panjang lebar bagaimana sistem anak-anak integrasi belajar, bahkan menunjukkan

cara mereka bekerja membuat buku dengan tulisan Braille serta penggunaan

mesin pencetak buku tersebut.

Lama berbincang dan melihat-lihat hasil karya perpustakaan, ternyata bu

Tarigan lupa, bahwa ada satu orang anak integrasi dari tadi asik membaca buku di

pojok perpustakaan. Kami pun menghampiri anak laki-laki yang tengah membaca

buku Braille, dia bernama Lody Sitepu seorang lelaki yang sudah seumuran

dengan peneliti, bahkan lebih tua 2 tahun dan berintegrasi di STT Abdi Sabda

Binjai. Bu Tarigan mempersilahkan peneliti duduk di samping Lody, lalu pergi ke

meja kerjanya semula. Peneliti memperkenalkan diri seraya mengutarakan

maksud dan tujuan. Lody pun tersenyum simpul dan menutup buku yang

dibacanya tadi serta memperbaiki gaya duduknya yang tadi begitu santai menjadi

lebih sopan.

Selang beberapa menit peneliti mewawancarai Lody, datanglah Mesran

(23)

wawancara dengan Lody terlebih dahulu, seraya tersenyum pada Mesran dan

menyuruhnya menunggu sebentar. Peneliti memilih untuk mengetahui informasi

singkat tentang informan keempat, yaitu Mesran dan melakukan pendekatan

terlebih dahulu. Tidak lama berbincang dengan Mesran, seorang anak laki-laki

sebaya Mesran dan mengenakan baju olahraga sekolah datang menghampiri kami,

dia adalah Robert teman 1 asrama Mesran sekaligus teman satu angkatan yang

juga bersekolah di integrasi SMP N 2 Lubuk Pakam. Tetapi Robert buta total,

tidak seperti Mesran yang masih low vision. Hingga wawancara selesai pada

pukul 13.15 WIB, Mesran dan Robert pun langsung pamit keluar dari

perpustakaan dikarenakan jam makan siang sudah tiba.

Merasa kurang lengkap, peneliti melakukan penelitian lanjutan untuk

melengkapi informasi seputaran integrasi tersebut. Pada tanggal 25 april 2012

peneliti melakukan studi kepustakaan di YAPENTRA untuk mendapatkan

informasi lebih lengkap mengenai para informan begitu juga tentang Yayasan.

Petugas tata usaha memberikan beberapa data meliputi curicullum vitae para

informan, serta sebuah buku tentang YAPENTRA. Setelah studi kepustakaan

selesai peneliti pamit untuk melanjutkan penelitian ke sekolah para informan,

dimana ada pengawas integrasi yang menemani peneliti ke sekolah-sekolah. Di

integrasi, yang akan ditemui adalah mereka yang awas dan tentu berpengaruh

pada perkembangan konsep diri para informan, sesuai kriteria yang ditetapkan

oleh peneliti (sebagai informan tambahan).

Sekolah pertama yang dituju adalah SMPN 2 L.Pakam, yaitu sekolah

Mesran dan Robert. Pengawas integrasi menyatakan tujuan kami datang ke

(24)

berada di tempat karena sedang keluar kota, sama halnya dengan anak-anak yang

menjadi informan selanjutnya, mereka sedang libur untuk persiapan ujian

kenaikan kelas. Peneliti dan pengawas integrasipun melaju ke SMA RK Serdang

Murni L.Pakam, sekolah Timson dan Siska. Disana kami bertemu dengan Pak

Robinson Sitorus yang menangani bidang kurikulum. Pengawas integrasi

memperkenalkan sekaligus menyampaikan maksud peneliti pada pak Sitorus. Pak

Sitorus pun welcome dengan kedatangan kami dan mengantarkan peneliti ke wali

kelas Timson dan Siska ke ruang guru.

Peneliti bertemu dengan Ibu Turnip selaku wali kelas Timson dan Siska

sekaligus guru pelajaran ekonomi. Peneliti langsung melakukan wawancara

dikarenakan beberapa menit lagi bu Turnip akan mengajar. Bu Turnip mengaku

senang dengan adanya anak tunanetra di integrasi, karena mereka mampu belajar

seperti orang awas pada umumnya, dan memiliki semangat yang tinggi, walaupun

mereka tidak mendapat peringkat di kelas. Setelah informasi dirasa lengkap,

peneliti menyudahi wawancara dengan wali kelas, dan mencari guru lain yang

dianggap memenuhi kriteria, yaitu guru matematika. Ibu Hutagalung selaku guru

matematika kebetulan ada di ruang guru juga dan memudahkan peneliti dalam

mewawancarainya, karena dia telah mendengar sekilas perbincangan peneliti

dengan bu Turnip. Wawancara terakhirpun peneliti lakukan dengan pak Sitorus,

dikarenakan kepala sekolah sedang tidak berada di tempat, guna melengkapi

informasi tentang integrasi dan SMA RK Serdang Murni yang menerima anak

(25)

IV.2 Hasil Pengamatan dan Wawancara

Berikut hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap

lima anak tunanetra sebagai subjek penelitian :

Informan I

Nama : Timson Aritonang

Tempat, Tgl. Lahir : Sileutu, 14 Agustus 1992

Jenis Kelamin : Laki-laki

Anak ke : 6 dari 8 bersaudara

Penyebab Kebutaan : Campak

Anak dari Ayah : Elman Aritonang

Ibu : Asnaria br Sinaga

Alamat Orangtua : Repa Sileutu Desa Sibaganding, Kecamatan Girsang

Simalungun

Agama : Kristen Protestan

Tgl.Masuk Yapentra : 21 Juli 1997

Wawancara yang dilakukan pada tanggal 20 April pukul 11.20 dan

bertempat di ruang rapat YAPENTRA ditujukan untuk 2 orang anak integrasi,

yaitu Timson dan Siska. Wawancara pertama ditujukan untuk Timson karena dari

awal Timson yang kelihatan ceria dan welcome yang dapat membawa peneliti

untuk bisa masuk ke jiwa masing-masing informan lain.

Timson yang masuk lebih dulu ke Yayasan sebelum Siska tentu telah

(26)

Yayasan umur 5 tahun, yaitu tahun 1997 dan sekarang kelas 3 SMA dan baru

menyelesaikan Ujian Nasional. Kebutaan Timson disebabkan karena waktu kecil

dia mengalami penyakit campak dan kebutaannya tidak sedari lahir, melainkan

saat dia berusia 3 tahun. Dikarenakan orangtua yang sibuk bekerja dan kurang

memperhatikan, tanpa disadari Timson telah terkena campak yang berujung pada

kebutaan. Orangtua Timson menyadari telah melakukan kesalahan yang sangat

fatal sampai anaknya bisa seperti itu, dan pernah sampai hampir frustasi karena

sayang mereka yang berlebihan, tapi orangtua Timson pasrah karena biayapun

tidak memadai. Terlahir dari keluarga normal dan memiliki 7 saudara, hanya

Timsonlah yang mengalami kebutaan. Sampai pada akhirnya pihak Yayasan

datang ke kampung Timson dan mensosialisasikan tentang YAPENTRA.

Pertama-tama keluarga berat melepas Timson karena dulu masih sangat kecil, tapi

pihak Yayasan pun terus meyakinkan dan membawa beberapa anak tunanetra

sebagai bukti dan orangtua serta pihak keluarga pun setuju memasukkan Timson

ke YAPENTRA.

“Umur 5 tahun aku masuk YAPENTRA ini, besar-besar di sininya aku, jadi uda sangat ngertilah keadaan disini. Waktu kecil masih bisa melihatnya aku, umur 3 tahunlah kena sakit campak, karena orangtua pun sibuk kerja dan kurang perhatian. Waktu orangtua tau pun penyakitku ini gak bisa sembuh lagi sangat menyesal mereka, hampir frustasi pun, tapi ya mau gimana lagi ya pasrah aja lah mereka. Sebenarnya dulu keluarga berat kali melepas aku, karena masih membutuhkan orangtua aku, masih kecil kali dulu, tapi demi masa depan akunya itu, dan dulu juga ga percaya orangtua tentang sosialisasi YAPENTRA ini, sampai ada juga anak tunanetra di bawa ke kampung. Dari situlah orangtua percaya dan berani melepas aku merantaulah istilahnya, hahhaaa”.

Timson masuk ke integrasi sejak SMP, yaitu di SMPN 2 Lubuk Pakam.

Dari SDLB memang dia telah memiliki nilai yang bagus dan selalu berusaha

(27)

ke integrasi, yaitu 7,5. Timson memberi keterangan panjang lebar bagaimana

proses komunikasi kelompoknya/integrasi dalam pengembangan konsep dirinya.

Mulai dari dia berada di lingkungan orang awas, yang susah susah gampang,

terutama untuk mengenali teman satu persatu hanya lewat suara mereka, dan

sampai dia benar-benar bisa melewati semuanya karena keuletannya dalam

bergaul. Dan dia menegaskan ada beberapa faktor yang perlu di contoh juga untuk

anak-anak lain yang ingin merasakan integrasi, diantaranya mau belajar dan

bergaul (mendekatkan diri secara perlahan), menunjukkan bahwa kita mampu,

bisa lebih dari orang awas dalam hal akademik, bisa jadi tempat curhat bagi

mereka yang awas dan yang terpenting meyakinkan pihak Yayasan kalau kita

mampu di integrasi, dengan begitu pihak Yayasanpun akan memberi motivasi

sekaligus kepercayaan pada kita. Subjek terlihat bangga dan bersemangat sekali

menjawab ketika ditanya mengapa mau bersekolah di integrasi. Dia mengatakan

pasti ada senang dan susahnya berada di tengah orang awas.

(28)

Tumbuh kembang di YAPENTRA membuat Timson dapat melakukan

hal-hal yang biasa dilakukan orang awas pada umumnya dan membuat konsep dirinya

berkembang. Contohnya saja bersosialisasi dengan orang awas dan bahkan bisa

menyelesaikan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, yaitu SMA. Timson melalui

masa SMA di swasta, yaitu SMA RK Serdang Murni L. Pakam, jurusan IPS. Dan

menurut keterangannya sejauh ini memang belum ada anak tunanetra yang

menduduki bangku IPA dalam integrasi. Selama beberapa tahun telah merasakan

integrasi, tentu Timson merasakan hal-hal yang sangat membantu tumbuh

kembangnya, antara lain memiki teman yang lengkap, maksudnya orang awas

maupun tunanetra seperti dirinya, kemudian dapat lebih berbagi pengalaman pada

teman asrama yang tidak merasakan integrasi. Perkembangan konsep diri Timson

memang telah terbentuk dan bisa dikatakan mengarah pada perekembangan

positif, karena pergaulan dan cara berfikir yang telah terbentuk dari dia

berintegrasi, dapat membantunya dalam perkembangan konsep diri, bahkan dia

memiliki cita-cita ingin melanjut ke Perguruan Tinggi.

(29)

Selain hal yang dapat membantu tumbuh kembangnya, yaitu memiliki

teman yang lengkap dan cara berfikir yang luas, Timson juga telah melewati

susah-susahnya belajar di integrasi, bahkan dalam melakukan proses komunikasi.

Dimana dia kadang-kadang bingung berbicara dengan kawan-kawannya, bisa jadi

kawannya tersebut sudah pergi entah kemana saat dia berbicara, karena dia tidak

melihatnya. Begitu juga dalam hal belajar, pelajaran yang di ajarkan guru sering

tidak sepenuhnya dimengerti oleh Timson, walaupun sebenarnya anak-anak

tunanetra yang berintegrsai dibekali tape recorder, tapi tetap hambatan itu pasti

muncul. Dan hambatan itu sering muncul pada pelajaran Akuntansi dan

Matematika. Tapi pihak sekolah mengadakan les tambahan untuk kelas tiga yang

akan menghadapi Ujian Akhir Nasional, yaitu Akuntansi dan Bahasa Inggris.

“Biasanya hambatan yang ku alami dalam hal komunikasi itu, paling susah kalo ngomong sama mereka, bisa jadi kawan bicara kita sudah pergi ntah kemana, kita ngomong kok gag di jawab-jawab, ntah-ntah uda pigi mereka gak dengerin kita lagi, nah itu salah satu kendala juga kalo di integrasi ini. Tapi aku uda biasa dengan hal itu. Terus masalah belajar juga. Dalam hal belajar biasa yang gak ngerti mau nanyak sama kawan sebangku, tapi sering gak puas, karena di jawabnya pun semampu dia aja, setelah pulang tanya lagi dengan pengawas asrama, kalo gak puas juga langsung tanya ke gurulah. Terus aku juga ada ikut les inggris dan ekonomi. Kalo di bilang susah, ya tentu susah bagi kami yang tunanetra, tapi harus bisalah, jadi harus lebih aktif baik dalam les maupun di kelas. Kalo hambatan mata pelajaran di akuntansi, jurnal masih gampang, posting ke buku besar yang sulit karena ada tabel-tabel gitu. Matematika juga, yang daerah-daerah arsiran, dalam bidang menggambarlah yang sulit, aduhh…”.

Berhubung Timson dan Siska baru saja melewati Ujian Nasional, peneliti

menanyakan sekilas tentang proses Ujian mereka. Timson mengatakan sedikit

lega telah bisa melewatinya, walaupun tidak lega sepenuhnya, karena masih harus

menunggu pengumuman. Tapi yang pasti dia telah berusaha sebaik mungkin,

(30)

yang telah dicapainya selama berintegrasi dapat mengantarkannya ke jenjang yang

lebih tinggi, yaitu Perguruan Tinggi Negeri.

“Aduhh, kalau ditanya bagaimana ujian kemarin, ya begitulah, hhaa. Aku pun gak tau gimana hasilnya, tapi yang pasti aku uda mengerjakan bagianku dan selebihnya ku serahkan aja sama Tuhan. Sistem ujian kami sama dengan yang lain, hanya saja ada petugas khusus/pengawas integrasi yang melingkari jawaban kami, trus kami milih jawabannya dengan lisan, karena soalnya telah di Braillekan oleh petugas yang mengerti, beberapa hari sebelum ujian dimulai dan dipastikan soal itu tidak bocor, hhe. Terus kalo mau lanjut kuliah aku pengennya sih nyoba dulu ke Perguruan tinggi Negeri, mau ngambil Sastra di Unimed, mudah-mudahan aku bisa, hhe, Amin..”

Kesimpulan Kasus

Dalam menjalin komunikasi kelompok dengan orang awas, Timson tidak

dapat mengandalkan seluruh indranya. Timson harus berkomunikasi tanpa

menggunakan kedua matanya sebagai penangkap pesan. Hal tersebut dikarenakan

kondisi Timson sebagai penyandang tunanetra. Ketunanetraan Timson disebabkan

karena waktu kecil dia mengalami penyakit campak dan kebutaannya tidak sedari

lahir, melainkan saat dia berusia 3 tahun. Dikarenakan orangtua yang sibuk

bekerja dan kurang memperhatikan, tanpa disadari Timson telah terkena campak

yang berujung pada kebutaan.

Integrasi membuat perkembangan konsep diri Timson menjadi baik dan

positif. Baik dalam bergaul maupun cara berfikirnya yang dewasa. Itu terlihat dari

cara menjawabnya yang welcome dan jawaban yang benar-benar masuk akal dan

tidak di buat-buat. Karena kepribadiannya yang luwes mampu membawanya

bersosialisasi dengan mudah dan memiliki banyak teman, dan dia menanamkan

beberapa faktor positif dari dirinya sendiri yang harus benar-benar bisa di jalankan

(31)

hal bergaul. Dari situlah terlihat bahwa proses komunikasinya selama di integrasi

berhasil mengembangkan konsep dirinya. Timson yang telah melewati masa

integrasi selama beberapa tahun, mengaku cukup senang dan bangga sebagai anak

tunanetra yang bisa melewati integrasi dengan baik. Walaupun ada hal yang

mendukung dan menghambat perkembangan konsep dirinya, tapi ia menjadikan

semua itu sebagai motivasi untuk terus belajar dan bangkit.

Hal yang menghambat proses integrasinya dikarenakan proses belajar

mengajar yang kurang dimengerti, lalu di awal integrasi berupa komunikasi yang

dia rasa sulit untuk berbicara karena tidak dapat melihat. Tapi, dia tidak

menjadikannya sebagai sebuah masalah besar. Sampai pada jawaban akhir yang

dia ingin melanjut ke perguruan tinggi, merupakan mimpinya, dan dia akan tetap

berusaha agar bisa ke perguruan tinggi negeri. Tanpa disadari, jawaban akhir itu

menjadi bukti bahwa Timson merasa nyaman berada di integrasi.

Informan II

Nama : Roma Siska Tampubolon

Tpt, Tgl Lahir : Riau, 27 Nopember 1990

Tgl. Masuk : 03 Nopember 2005

Gereja : HKBP

Wawancara dengan informan kedua dilakukan bersamaan dengan

informan I, yaitu di ruang rapat YAPENTRA. Siska yang pemalu, pendiam dan

kelihatan masih canggung sedikit menyulitkan peneliti untuk bertanya banyak

padanya. Dia hanya menjawab satu dua kata dari apa yang ditanyakan peneliti

(32)

orangtuanya sangat menyayanginya. Subjek mengalami kebutaan dikarenakan

penyakit campak sama seperti Timson, ketika dia berumur 2 tahun. Pada tahun

1999, Siska pernah masuk ke Panti Karya Hepata HKBP Laguboti dan 31 Oktober

2005 kembali ke orangtua, lalu 3 November orangtuanya memasukkannya ke

YAPENTRA.

Saat ini subjek berumur 21 tahun, dan baru saja menyelesaikan Ujian

Akhirnya di SMA RK Serdang Murni L.Pakam sama dengan Informan pertama.

Ketika peneliti menanyakan bagaimana proses komunikasi yang dirasakannya saat

berintegrasi, subjek hanya tersenyum dan menjawab singkat. Dia mengatakan

sedikit berbeda dengan Timson yang pintar bergaul. Dikarenakan dia masuk ke

YAPENTRA setelah berumur 15 tahun, tidak seperti Timson yang dari kecil

sudah mengerti dan mengenal dunia luas, walau dulu dia juga berada di Panti

Asuhan. Tetapi dia merasa ada perbedaan, dimana dia berintegrasipun tidak

seperti Timson yang dimulai dari SMP, tetapi dia baru saja merasakannya saat

SMA.

“Ya, buta sejak kecil, umur 2 tahun. Dulu pernah juga tinggal di Panti, tapi orangtua merasa perkembanganku sangat lambat, akhirnya dipindahkan ke YAPENTRA. Masuk ke sini udah umur 15 tahun, jadi sebenarnya baru beberapa tahunlah aku disini. Dulu SMP aku di SMPLB, tapi karena nilaiku mencukupi untuk masuk ke SMA, maka Yayasan memperbolehkan ke integrasi, dengan bertemankan Timson aku masuk ke SMA RK Serdang Murni L.Pakam. Sehari-hari ya sama dia ajalah aku, gag berani kemana-mana dan temanku di sekolah pun dia terus dan untungnya kami sekelas walaupun tidak sebangku”.

Merasakan berintegrasipun menambah kepercayaan diri pada subjek kedua

ini, dia mengaku walaupun satu tahun bersekolah temannya dulu hanya Timson,

tapi ketika naik ke kelas dua dan pembagian jurusan, orang awas pun sudah ada

(33)

kelas baik padanya dan mau membantunya belajar. Sampai dia dapat menyalurkan

hobi menyanyinya ketika pelajaran kesenian, dikarenakan motivasi dari teman

sebangkunya tersebut, yang bernama Nursalam Sinaga. Teman sebangkunya

itulah yang kerap kali memberinya dukungan dan dua tahun juga menjadi teman

sebangku tetapnya. Walaupun ketika bertemu dengan orang awas lain atau yang

baru di kenalnya, dia tetap sungkan untuk berbicara.

“Kurasakan juga susahnya bicara sama orang normal ini, makanya selama setahun sama Timson aja aku bekawan, tapi lama kelamaan gak enak juga kurasa bekawan sama dia aja, gak berkembang, apalagi dia cowok, aku juga butuh teman cewek yang bisa diajak curhat. Untungnya wali kelas memberi kawan sebangku yang baik, dan kasih aku motivasi untuk belajar nyanyi, dari situ aku PD, kenapa gak dicoba, orang normal aja kasih aku dukungan. Tapi masih malu juga aku sama orang normal yang baru ku kenal”.

Ditanyai mengenai hambatan yang dirasakan selama berintegrasi, jawaban

Siska hampir mirip dengan informan pertama. Mengalami kesulitan dalam proses

belajar, terutama saat ujian. Siska yang baru saja merasakan integrasi saat duduk

di SMA, pertama-tama tidak mengerti bagaimana sistem ujian di integrasi, dia

merasa bodoh ketika ujian pertama, mereka yang tunanetra di ajak ke

perpustakaan, lalu menggunakan mesin tik untuk menjawabnya. Itu terjadi

pertama kali saat ujian bulanan lalu berlanjut ke ujian semester dan ujian kenaikan

kelas. Tapi lama-kelamaan dia terbiasa dengan kondisi seperti itu dan bisa

menyelesaikan studinya di SMA tersebut.

(34)

Wawancara yang singkat itu peneliti tutup dengan pertanyaan yang sama

dengan Timson, yaitu perasaan telah mengikuti ujian akhir nasional. Dan lagi-lagi

jawaban Siska singkat dan dibarengi dengan senyuman. Dia mengatakan sama

halnya dengan Timson. Tinggal menunggu hasilnya dan terus berDoa.

Kesimpulan Kasus

Anak pertama dari empat bersaudara ini mempunyai hobby menyanyi dan

orangtuanya sangat menyayanginya. Subjek mengalami kebutaan dikarenakan

penyakit campak, sejak umur 2 tahun. Dalam menjalin proses komunikasi

kelompok, Siska mengalami kesulitan yang berarti. Meskipun telah lama

menyandang status tunanetra, Siska masih membutuhkan mata sebagai penangkap

pesan yang penting dalam sebuah komunikasi apapun terlebih komunikasi

kelompok. Namun, hal ini segera disadari Siska bahwa ia adalah seorang

tunanetra yang tidak dapat mengandalkan kedua matanya sebagai penangkap

pesan.

Integrasi yang baru tiga tahun dirasakannya mengubah hidupnya,

dikarenakan teman sebangkunya yang baik, yang mampu membawa Siska bergaul

dengan orang awas dan sekaligus dapat membantunya menemukan jati dirinya.

Teman sebangkunya memberi dia dukungan lewat hobinya waktu pelajaran

kesenian. Dari situ Siska mulai senang dan mau berteman dengan orang awas.

Itulah faktor yang mendukung komunikasi kelompok Siska dalam pengembangan

konsep dirinya saat bersekolah di sekolah umum. Yaitu motivasi dari teman

(35)

terbentuk seiring berjalannya waktu, yang tadinya dia takut dan enggan berteman

selain dengan Timson.

Selain faktor pendukung di atas, ada juga faktor penghambat yang

dirasakan oleh subjek kedua ini, yaitu saat ujian. Pertama kali susah memulai

untuk mengerti bagaimana sistem ujian di integrasi karena di SMPLB Siska ujian

seperti biasa yang memakai regret atau braille. Tiba masuk ke integrasi

menggunakan mesin tik dan ke perpustakaan yang sekali-kali berbentuk lisan dan

perlahan dia terbiasa dengan kondisi seperti itu. Dan tidak menjadikannya sebagai

penghambat besar.

Informan III

Nama : Lody Sitepu

Tpt, Tgl Lahir : Gurukinayan, 04 Juni 1982

Tgl. Masuk : 19 Juli 1993

Gereja : GBKP

Lody Sitepu merupakan informan ketiga yang ditemui di perpustakaan

Yayasan. Pria kelahiran Kaban Jahe 1982 ini, merupakan tamatan SMA RK

Serdang Murni juga, sama seperti informan pertama dan kedua. Dia menanyakan

lebih dulu tujuan dan maksud peneliti datang ke Yayasan dan penelitipun

menjelaskannya secara rinci. Tidak disangka, ternyata Lody pun bernasib sama

dengan peneliti, yaitu sedang dalam tahap pengerjaan skripsi dan beberapa bulan

lagi mudah-mudahan gelarnya sudah didapatnya. Lody yang sudah berumur 29

tahun akan menamatkan perkuliahannya dari STT Abdi Sabda, Binjai, beberapa

(36)

sangat beruntung masuk ke YAPENTRA, karena disitulah dia tumbuh dan

berkembang sampai seperti sekarang ini dan orangtuanya juga bangga padanya.

Lody mengalami kebutaan sejak lahir, yang tidak diketahui sebab

pastinya. Terlahir dari keluarga sederhana dan merupakan anak ketiga dari lima

bersaudara yang kesemuanya normal (awas) menyebabkan Lody minder dan

merasa tidak dibutuhkan di dunia. Dia bercerita dulunya orangtua tidak memiliki

cukup biaya untuk memeriksakannya ke Dokter. Lalu orangtua membawanya ke

orang pintar di kampungnya dan tidak menghasilkan apa-apa. Mulai dari situ dia

berpikiran bahwa penyakitnya itu merupakan sebuah kutukan yang entah

darimana datangnya. Sampai pada akhirnya kakeknya (bapak ibunya)

menyuruhnya masuk ke YAPENTRA dan kakeknya jugalah yang

mengantarkannya ke Yayasan. “Mata Baru” itulah sebutan Lody untuk

YAPENTRA.

“Dulu aku seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa, tidak bisa melihat terang indahnya dunia, wajah orangtuaku, bahkan wajahku sendiri pun belum pernah ku lihat. Bukan aku tidak memiliki pikiran untuk bertahan hidup, bahkan aku mau bangkit dari keterpurukan ini, tapi kenapa hanya aku yang buta, dan tidak diketahui penyebabnya, lalu apa gunanya aku masih ada di dunia dan hanya bisa merepotkan orang lain. Aku sempat berpikiran apakah ini sebuah kutukan bagi keluargaku dan aku yang terkena imbasnya, ohh, kalau ingat dulu itu sedih rasanya. Dan beruntung kakek datang ke rumah dan mengajakku ke Yayasan ini. Dan alhasil ya seperti sekarang ini merupakan sebuah “Mata Baru” bagiku. Walau dalam makna konotasi, tapi mata baru inilah yang sangat sangat aku syukuri. Dan akupun selalu bersyukur untuk setiap hal yang boleh terjadi dalam hidupku sampai sekarang ini.”

Integrasi bukanlah sebuah impian bagi Lody, melihat latar belakang

kehidupnya yang dulu. Baginya, masuk ke Yayasan dan bertemu dengan

orang-orang yang sependeritaan sekaligus menyayangi tanpa pamrih, sudah cukup dan

(37)

kebutaannya, menyebabkan dia tidak gampang untuk bergaul terlebih setelah

masuk ke integrasi. Dia takut dipermainkan atau ada orang jahat yang

mengganggunya, karena ketunanetraannya. Jadi ketika pertama kali menginjakkan

kaki di integrasi Lody hanya diam terpaku dan tidak berani memulai percakapan

dengan siapapun. Datang pagi, belajar dan istirahat hanya di dalam ruang kelas,

lalu siang pulang, itulah yang menjadi kebiasaan Lody ketika pertama kali

berintegrasi. Dia beranggapan bahwa orang awas hanya bisa memanfaatkan orang

sepertinya dan pasti memilih-milih teman. Karena kekhawatirannya tersebut, dia

berupaya untuk bisa melakukan semuanya dengan sendiri. Dan ternyata dia sadar

bahwa itu tidak mungkin, karena dia telah berintegrasi dan mau tidak mau harus

bersosialisasi.

Lama kelamaan Lodypun mendapat kawan dan mulai bisa berbaur dengan

yang lain. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertinggal dari orang

awas. Dan mempertahankan komitmennya, kalau tunanetra itu berhak bersekolah

di umum, dan memiliki persamaan dalam pendidikan. Karena pondasi komitmen

yang kuat itulah Lody bangkit dan bahkan kawannya yang orang awaspun sering

meminta bantuan padanya dalam pelajaran. Karena begitu Lody dipercayai

mampu mengemban tanggung jawab yang lebih tinggi, maksudnya dapat

melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

(38)

sekolah umum adalah karena saya berhak belajar di sekolah umum dan sekolah memang diciptakan untuk semua kalangan dan tidak ada prioritasnya menurut saya. Saya punya hak yang sama dalam pendidikan sama seperti anak-anak yang normal.”

Lody punya semangat belajar yang tinggi. Dia mampu menghadapi segala

macam tantangan dan rintangan. Hinaan dan cemoohanpun menjadi energi

baginya untuk mencapai kesuksesan dan prestasi. Baginya, ketika seorang siswa

tunanetra sudah memutuskan untuk mengikuti pendidikan integrasi, siswa tersebut

juga harus berani mempertanggungjawabkan apa yang telah didapatnya dari

masyarakat, yaitu dengan berani bekerja di tempat umum dan tanpa dicari pun,

teman-teman awas akan datang dan menghargainya.

Lody mendapatkan pengalaman yang berharga, yaitu pengalaman berjuang

meraih kesetaraan dan bahkan bisa memotivasi orang lain untuk maju. Itu terbukti

saat dia memasuki masa PKL (praktek kerja lapangan), pada semester tujuh

perkuliahannya. Dia melakukan praktek di sebuah Gereja di Sembahe, yang

awalnya Gereja tersebut menolak kehadirannya, karena alasan tunanetra terlalu

merepotkan jemaat dan majelis sekitar. Namun Lodi tidak putus asa, dia

melakukan pendekatan ke beberapa jemaat dan Pendeta. Setelah melalui

perjalanan yang sulit dan panjang, akhirnya Lodi diterima PKL di Gereja tersebut.

Situasi tersebut semakin mematangkan konsep diri Lodi dan itu merupakan

pengalaman yang berharga baginya, bahwa menjadi seorang pelayan tunanetra

harus mengahadapi dan meyakinkan para jemaat dengan kualitas yang tidak kalah

dengan orang-orang awas. Selain pengalaman berharga dan sahabat, Lody juga

memperoleh uang dari pelayanannya. Itu sangat membantu Lody dalam

menyelesaikan perkuliahannya, walaupun biaya ditanggung oleh Yayasan, karena

(39)

“Sekilas aku mau share kenapa aku memilih jurusan Theologia. Itu dikarenakan pertanyaan yang dari dulu selalu menghantuiku, hahaa, yaa, kembali ke masa laluku yang ingin kupecahkan ‘kenapa aku terlahir buta’. Aku pikir aku harus lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, disamping pemikiranku yang masih dangkal pada waktu itu. Karena aku gak mau ada orang yang berpikiran sepertiku, ‘bahwa kebutaan itu merupakan kutukan dari Tuhan’. Dan apapun itu semua berasal dari padaNya, jadi jangan pernah menyalahkanNya. Usahaku untuk lebih mendalami keimanan dalam kekristenan tidak sia-sia, karena pengalaman ditolak dan dianggap sepele sewaktu PKL mampu kulalui dan kutunjukkan bahwa aku mampu disandingkan dengan orang awas, malah aku merasa aku lebih dari mereka yang awas, bayangkan saja kawan-kawan kuliahku si STT sering meminta tolong dalam hal belajar padaku dan sebagai imbalannya aku sering balik meminta tolong pada mereka dalam hal pergerakan, maksudnya minta tolong mereka anter aku ke stasiun kalau mau pulang ke Yayasan atau minta tolong membelikan sesuatu. Itulah yang kurasakan selama berintegrasi, saling membutuhkan dan harus benar-benar mengerti arti bersosialisasi.”

Banyak siswa tunanetra yang belajar di sekolah umum, tapi ketika kuliah,

mereka tetap saja memilih jurusan alternatif seperti jurusan Pendidikan Luar

Biasa (PLB), karena kuliah di jurusan PLB mudah dan cepat lulus. Di samping itu

mereka ingin setelah lulus bisa mengajar di SLB. Atau ada juga yang kuliah di

jurusan umum, tapi mereka tidak mau mencari peluang kerja di tempat umum.

Tetap saja mereka ingin mengajar di SLB atau di panti-panti tunanetra. Tetapi

berbeda dengan Lody, dia menekankan disiplin ilmu yang diperolehnya selama

berintegrasi dengan adik-adik Yayasan kalau dia pulang ke YAPENTRA. Dan

saat ini dia sedang fokus ke skripsinya dan waktunya banyak dihabiskan di

perpustakaan (kalau dia pulang ke Yayasan) dan berkonsultasi dengan dosen

pembimbing. Lody juga memiliki cita- cita yang tinggi, selain ingin menjadi

Pendeta, dia juga berniat melamar di Departemen Agama.

(40)

terhadap tubuh sebagai Bait Allah’. Puji Tuhan hampir menyelesaikan S1, beberapa bulan lagilah. Impian terakhirku ingin mengabdi pada Gereja dengan menjadi Pendeta, biar gak sia-sia ilmu yang ku dapat, biar bisa bermanfaat untuk semua orang dan bisa jadi motivasi untuk anak tunanetra lain. Yang paling tinggi cita-citaku mungkin mau jadi pegawai negeri lah, hhee, di sebuah Departemen Agama. Terus biar bisa buat keluargaku bangga dan menghidupi mereka. Apa hasilnya tunanetra mengikuti pendidikan integrasi kalau dia tidak berani mempertanggungjawabkan apa yang didapatnya pada masyarakat? Apa gunanya belajar di sekolah umum kalau pada akhirnya kembali lagi ke habitatnya?”.

Kesimpulan Kasus

Subjek ketiga sedang dalam tahap pengerjaan skripsi. Lody yang sudah

berumur 29 tahun akan menamatkan perkuliahannya dari STT Abdi Sabda, Binjai,

beberapa bulan mendatang. Subjek masuk ke Yayasan pada tahun 1993 dan

mengaku sangat beruntung masuk ke YAPENTRA, karena disitulah dia tumbuh

dan berkembang sampai seperti sekarang ini dan orangtuanya juga bangga

padanya. Lody mengalami kebutaan sejak lahir, yang tidak diketahui sebab

pastinya. Dia berpikiran bahwa penyakitnya itu merupakan sebuah kutukan yang

entah darimana datangnya. Sampai pada akhirnya kakeknya (bapak ibunya)

menyuruhnya masuk ke YAPENTRA dan kakeknya jugalah yang

mengantarkannya ke Yayasan. “Mata Baru” itulah sebutan Lody untuk

YAPENTRA.

Pertama kali menginjakkan kaki di integrasi Lody hanya diam terpaku dan

tidak berani memulai percakapan dengan siapapun. Lama kelamaan Lodypun

mendapat kawan dan mulai bisa berbaur dengan yang lain. Dia berusaha

(41)

mempertahankan komitmennya, kalau tunanetra itu berhak bersekolah di umum,

dan memiliki persamaan dalam pendidikan.

Faktor yang mendukung komunikasi kelompok Lody dalam

pengembangan konsep dirinya tampak saat Lody bangkit dari keterpurukan yang

dia ditolak saat akan mendaftar PKL dan bahkan kawannya yang orang awaspun

sering meminta bantuan padanya dalam pelajaran. Karena begitu Lody dipercayai

mampu mengemban tanggung jawab yang lebih tinggi, maksudnya dapat

melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Lody yang masih dibayangbayangi oleh latar belakang kebutaannya,

menyebabkan dia tidak gampang untuk bergaul terlebih setelah masuk ke

integrasi. Dia takut dipermainkan atau ada orang jahat yang mengganggunya,

karena ketunanetraannya. Dia beranggapan bahwa orang awas hanya bisa

memanfaatkan orang sepertinya dan pasti memilih-milih teman. Itu merupakan

faktor penghambat komunikasi kelompok dalam pengembangan konsep dirinya

saat masuk ke integrasi. Faktor penghambat dan faktor pendukung itu dijadikan

Lody sebagai pengalaman yang tak ternilai harganya dan cita-cita yang tinggi

semakin mematangkan Lody dalam pengembangan konsep dirinya.

Informan IV

Nama : Mesran Sanjaidut Sinaga

Tempat, Tgl. Lahir : Parapat, 05 Desember 1997

Jenis Kelamin : Laki-laki

Anak Ke : 5 dari 5 bersaudara

(42)

Ibu : br. Bakara

Tgl.Masuk Yapentra : 17 Juli 2004

Wawancara yang dilakukan pada 20 April 2012 pukul 13.00 WIB dan

bertempat di perpustakaan YAPENTRA berjalan dengan baik, karena Mesran bisa

diajak mengobrol sama seperti Timson dan Lody, dan mendapat kemudahan juga

bagi peneliti dikarenakan Mesran low vision, jadi dengan samar-samar

penglihatannya dia tersenyum dan terasa begitu welcome. Mesran anak yang

pintar dan periang, dia mampu bermain musik tradisional Batak, bermain drum

dan sangat pintar bergaul. Dia bercita-cita memiliki orangtua angkat yang bisa

menolong dia bersekolah. Mesran memiliki 3 (tiga) saudara yang tunanetra juga,

ketiganya masuk di YAPENTRA dan dua saudaranya telah menamatkan sekolah.

Mereka tidak buta total, masih mempunyai sisa penglihatan (low vision).

Marini dan Kipri Sinaga adalah saudara Mesran yang disekolahkan di

YAPENTRA juga. Ketiga anak dari pasangan Marlen Sinaga dan Marlina Bakara

ini, mengetahui YAPENTRA berawal dari bulan Juni 1998 saat rombongan

Tunanetra bertemu dengan ibu mereka di kampung di Parapat. Kemudian para

guru mengusulkan untuk memeriksa ketiga anak tersebut ke dokter mata. Hasil

pemeriksaan Dokter menyimpulkan bahwa, retina ketiga anak mengalami

gangguan turunan dari orangtuanya. Dokter menyarankan bahwa pada siang hari

mata tidak dapat melihat sinar panas dan akan lebih jelas pada malam hari.

Mesran yang saat itu masih berusia 3 bulan disarankan menunggu lebih besar

untuk dibawa ke YAPENTRA. Kemudian pada 17 Juli 2004 Mesran diantar

(43)

Sekarang Mesran bersekolah di SMPN 2 L.Pakam bersama dengan satu

anak tunanetra lain yaitu Robert Simbolon, seorang totally blind. Karena

keahliannya dalam bidang musik dan olahraga, Mesran bercita-cita ingin naik

pesawat gratis melalui prestasi olahraganya hingga keluar negeri. Mesran juga

merasa beruntung karena jika dia bisa mempertahankan nilainya di atas 7,5 dan

berkelakuan baik, sudah pasti dia bisa melanjut ke SMA. Integrasi bagi Mesran

adalah salah satu wadah untuk mengembangkan bakatnya, sama seperti Siska

(informan kedua). Mesran sangat suka dengan pelajaran olahraga dan kesenian,

karena disitu dia bisa menunjukkan keahliannya serta melatih bakatnya tersebut.

“Abang sma kakakku dulu disini juga kak, tapi udah keluar mereka. Sama kayak aku, masih bisa liat dikit-dikit, mungkin keturunan kami ini. Masuk ke sekolah umum ya karena kemauan sendirilah, terus mau cari pengalaman. Apalagi aku suka main musik sama olahraga kak, jadi ku pikir kalau di sekolah umum bisa lebih berkembang aku. Terus mana tau nanti ada orang normal yang mau ngangkat aku jadi anaknya kakk, hhee”. Mesran mengaku di integrasi, guru olahraga sekaligus pembimbing

integrasi dari asrama, mendukung bakat lari Mesran, karena sebagai guru olahraga

dia selalu menyemangati dan memberi masukan-masukan positif bagi Mesran.

Dia juga menyarankan untuk Mesran mengikuti les musik dan olahraga untuk

terus melatih bakatnya tersebut.

Cita-cita Mesran yang ingin memiliki orangtua angkat selalu

menyemangati dia untuk lebih giat dan rajin belajar. Disamping itu, dia juga harus

bisa mempertahankan nilainya agar bisa masuk ke SMA. Ketika ditanyai mana

yang lebih enak berteman dengan teman di integrasi atau asrama, Mesran

tersenyum, menurutnya sama-sama menyenangkan, karena dulu juga waktu SD

(44)

dikatakan jadi memilih-milih teman ketika sudah sekolah di umum. Walaupun

teman satu angkatannya yang sekolah di integrasi hanya satu orang, yaitu Robert,

tapi mereka cukup kompak. Low vision yang diderita Mesran dapat membantu

mereka untuk berjalan dari sekolah ke tepi jalan raya untuk mendapatkan

pengangkutan umum saat pulang sekolah. Mesran yang selalu menuntun Robert

dengan setia.

“Guru olahraga juga baik, nyaranin untuk ikut les aku kak, biar tetap mantap bakatku ini, hhe. Kawan-kawan sama-sama enak, karena bisa saling melengkapi, dan aku gak mau di bilang sombong karena udah di sekolah umum. Terus kalau pelajaran yang susah biasanya nanyak sama kawan sebangku, ‘kek mana caranya?’ minta ajarin sama dia, mau kok dia bantu. Sebangkuku orang normal, guru yang nentuin pas masuk pertama kali. Ujian kami yang tunanetra ke perpus pake mesin ketik. Ada guru yang ngawasin. Kalau pergi sekolah naik bus kami rame-rame, digilir ngantarnya, trus kalau pulang masing-masing naik angkutan umum, sama si Robert lah aku terus sama pulang pergi, karena cuma kami dua yang di SMPN itu”.

Kesimpulan Kasus

Informan keempat merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara dan masih

memiliki sedikit penglihatan (low vision). Mesran anak yang pintar, dia mampu

bermain musik tradisional Batak, bermain drum dan sangat pintar bergaul. Dia

bercita-cita memiliki orangtua angkat yang bisa menolong dia bersekolah. Mesran

yang duduk di kelas 2 SMPN 2 Lubuk Pakam mengaku senang bisa berintegrasi.

Karena dengan begitu dia bisa mengembangkan bakatnya. Keterbatasan

melihatnya yang low vision dapat memberi sedikit kemudahan baginya.

Contohnya saja dalam hal bergaul dengan Robert, satu angkatannya sekaligus satu

asrama. Di sekolah, mereka beda lokal, tapi karena merasa sepenanggungan dan

(45)

lokal Robert yang memang tidak begitu jauh dari lokalnya, dan mengajak Robert

untuk keluar lalu menuntun Robert berjalan.

Mesran cukup dewasa dalam pemikiran, terlihat dari jawabannya yang

ingin tetap sekolah di umum (melanjut ke SMA) dan serius untuk menekuni

bidang olahraga dan musik yang akan mewujudkan mimpinya untuk naik pesawat

gratis. Kedewasaan berpikir Mesran tentu dibentuk karena dia berintegrasi dan

memiliki keahlian dalam bidang musik, karena menurut penelitian, musik dapat

melatih otak kiri untuk berimajinasi dan berkreasi.

Guru dan teman-temannya yang baik di integrasi membuatnya betah dan

merupakan faktor pendukung proses komunikasi kelompoknya dalam

pengembangan konsep dirinya saat berintegrasi. Walaupun Mesran low vision,

tapi terkadang, Mesran mengalami kesulitan dalam menjalani interaksi sosial

dengan teman-teman sekolahnya, tapi dia tidak menjadikan itu masalah, karena

memang dari awal masuk ke YAPENTRA mereka telah dibekali ilmu mobilitas.

Informan V

Nama : Robert Dedi S Simbolon

Tpt, Tgl Lahir : Laeambat, 27 Mei 1997

Tgl. Masuk : 01 April 2002

Gereja : GKPI

Wawancara pada informan terakhir dilakukan di perpustakaan juga,

(46)

satu asrama Mesran dan seorang totally blind. Robert yang berumur 14 tahun

kelahiran Sidikalang ini mengalami kebutaan yang disebabkan karena campak

ketika dia berumur 2,5 tahun. Subjek masuk ke YAPENTRA dijemput oleh pihak

Yayasan saat berumur 5 tahun, dan dia sekarang telah duduk di kelas 2 SMP.

Bersama dengan Mesran, Robert bersekolah di SMPN 2 L.Pakam dan akan

menghadapi ujian kenaikan kelas.

Masuk ke YAPENTRA membuat Robert disiplin dan mampu mengerjakan

hal-hal umum, minimal untuk keperluannya sehari-hari. YAPENTRA memang

mengajarkan mereka untuk bisa mengurus diri sendiri, kalau dianggap sudah

mampu dan biasanya yang sudah duduk di bangku SMP wajib dapat mengurus

diri sendiri. Mereka diberikan guru khusus ketika di asrama, istilahnya pengawas

asrama, jadi setiap unit ada yang membimbing. Satu asrama terdiri dari beberapa

orang dan mereka mengerjakan atau mempelajari semuanya di dalam asrama.

Robert menjelaskan sedikit tentang kegiatan mereka di asrama tersebut. Mulai

dari mereka bangun pagi, pekerjaan yang dapat dilakukan sampai mereka kembali

tidur lagi. Dan kemandirian mereka di asrama membuat mereka disiplin dan tidak

kalah dengan orang awas.

“Bangun pagi seperti biasa mandi dulu, terus ada di kasih renungan. Pergi ke ruang makan lalu berangkat sekolah. Setelah pulang dari sekolah ada les musik dan keterampilan, lalu makan siang, terus tidur. Bangun tidur sore kerja cuci gosok kalo ada yang mau di cuci, biasanya gabung-gabung sama kawan, siapa yang nyuci nitip, trs gosok juga gitu, tapi ganti-gantian. Terus malam, jam-jam 9 belajar di asrama masing-masing”.

Merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dan hanya dia yang

mengalami kebutaan, tidak menyebabkan Robert minder atau putus asa. Dia tetap

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya Multi E-Commerce yang dibangun menggunakan Framework Codeigniter ini dapat membantu pengrajin atau penjual kerajinan gerabah untuk memperluas pemasaran

Dalam beberapa kasus, menjadi social entrepreneur dalam konteks ini mengabdi sebagai volunteer atau amil lembaga zakat belumlah menjadi pilihan utama sebagian

Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dikelas, tidak hanya tergantung dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik

Sumber itu asli atau salinan dan sudah dirubah (Ismaun, 2005, hlm. Kritik internal atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber terhadap aspek dari dalam

Ukuran yang telah ditetapkan untuk purse seine bertali kerut dengan alat bantu penangkapan ikan (rumpon atau cahaya) dan ikan target tongkol atau cakalang memiliki panjang

Dosis konsentrasi insektisida Decis yang akan digunakan untuk perlakuan pada uji toksisitas sangat toksis terhadap ikan nila merah galur Cangkringan, maka dari data

Untuk menghitung kadar dalam cuplikan digunakan metode komparatif, untuk itu diperlukan cuplikan standar yang mengandung unsur yang akan ditentukan, yang jumlah dan komposisi

Abstrak—Sistem penerima konvensional pada sistem komunikasi DS-CDMA, terjadi degradasi kinerja akibat perbedaan daya dengan sinyal penginterferensi yang tinggi (Near-