• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkembangnya industri pengolahan ikan tuna tongkol dan cakalang (TTC) di Indonesia mengakibatkan tingginya permintaan bahan baku TTC. Kondisi demikian dapat dilihat dari tingginya permintaan ikan TTC dalam bentuk beku yang pada umumnya dipasarkan ke sentra pengolahan di Bali, Surabaya, dan Jakarta. Produksi TTC segar juga berkembang di daerah pengamatan/sentra perikanan dikarenakan pola konsumsi masyarakat Indonesia Bagian Timur lebih cenderung mengkonsumsi ikan dalam bentuk segar. Pengembangan industri perikanan di Indonesia dari hasil kajian sangat dipengaruhi oleh peran aktif perantai pasok (supply chainers) seperti nelayan, pengolah ikan, pedagang eceran, pedagang besar/pengumpul, dan eksportir.

Mengacu kepada diagram input-output, kebutuhan pelaku usaha perikanan berkaitan dengan input usaha, faktor lingkungan dan output yang dihasilkan oleh usaha yang dijalankannya. Kebutuhan berupa teknologi, pemodalan, dan perbekalan dapat dikendalikan oleh pelaku usaha perikanan, sehingga mereka hanya membutuhkan dukungan kebijakan dan rasa aman dalam menjalankan usahanya. Sedangkan kebutuhan dalam bentuk input tidak terkendali seperti stock sumberdaya ikan dan kondisi sosial politik, pelaku usaha perikanan sangat membutuhkan dukungan dari Pemerintah. Menurut Hasanuddin (2012) dan Nuitja (1998), Pemerintah dapat melakukan pengendalian dan perlindungan pada kegiatan perikanan dalam bentuk pengembangan program-program pelestarian stock sumberdaya ikan, informasi fishing ground potensial, pengamanan pada sentra-sentra bisnis, serta kondusifitas kegiatan perpolitikan. Lebih jauh, perikanan TTC di Indonesia saat ini sudah berkembang dengan baik dengan tujuan utama pasar lokal di daerah Pulau Jawa. Sementara untuk ekspor didominasi oleh pasar Eropa dan Jepang.

Dalam rangka pengembangan produksi dan pemasaran TTC beku di daerah sentra produksi, masing-masing nelayan, eksporti, dan konsumen memberikan dukungan yang kuat (pc=0,603 – 0,675). Produksi dan pemasaran tuna kaleng dan sashimi mendapat dukungan kuat dari nelayan, pedagang besar/pengumpul, dan eksportir. Secara khusus untuk tuna kaleng mendapat dukungan sangat kuat dari konsumen (pc = 0,845). Pengolah berperan sangat kuat dalam produksi tongkol pindang di daerah potensi prrduksinya (Ternate dan Ambon), sedangkan pedagang eceran mendukung kuat dalam pemasarannya (pc = 0,551).

Terpilihnya Ternate dan Sorong sebagai daerah potensi produksi ikan TTC segar cukup realistis karena kedua daerah ini berkembang pesat kegiatan penangkapan TTC-nya, sementara tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairannya (Laut Halmahera dan Laut Arafura) masih kecil. Peluang pemanfaatan ini mendukung territorial waters fishing strategies dari KKP, yaitu mengharapkan daerah basis perikanan Indonesia Timur dapat memproduksi ikan TTC 800 ribu hingga 900 ribu ton per tahun (KKP, 2010). Untuk pemasarannya, dititikberatkan pada pemenuhan industri/usaha olahan TTC yang terpusat di Bitung. Dari tujuh jenis produk ikan TTC yang diidentifikasi, lima diantaranya potensial dikembangkan di Bitung (LQ > 1).

Kawasan Timur Indonesia merupakan basis atau sentra industri pengembangan ikan TTC seperti tuna loin, ikan kayu, tuna kaleng, sashimi, dan

TTC beku untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan sebagai bahan baku atau kecukupan konsumsi masyarakat lokal dan ekspor. Dari hasil penelitian, setiap deaerah memiliki karakteristik masing-masing terkait dengan rencana pengembangan dari model yang telah berkembang saat ini.

Kuantitas suplai optimum perikanan TTC di Indonesia sangat dipengaruhi oleh total biaya persediaan. Dari data tersebut dapat dilakukan model pengembangan perikanan TTC dengan tujuan akhir terjadinya peningkatan manfaat dari setiap pelaku usaha dengan tetap memperhatikan aspek keekonomian. Kuantitas suplai optimum tuna loin (Q*) adalah 26.667 kg/pesanan baik di Bitung maupun Ambon, didapatkan bila frekuensi pesanan masing-masing sekitar 9 kali/tahun. Pada frekuensi pesanan 9 kali/tahun ini, total biaya persediaan tahunan untuk tuna loin menjadi minimum, yaitu Rp 117.242.000,- di Bitung dan Rp 112.742.000,- di Ambon. Dalam pengembangan industri perikanan TTC, dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap produk memiliki kuantitas suplai optimum yang berbeda. Kondisi demikian mengharuskan pelaku usaha atau perantai pasok dapat memahami dengan pasti agar usaha yang dikembangkan dapat bermanfaat dengan baik dan memberikan keuntungan yang positif. Jumlah pesanan dan frekuensi pemesanan produk TTC yang akan dikembangkan harus mendapat perhatian karena kuantitas tersebut sangat mempengaruhi terhadap tingkat keuntungan/manfaat dari usaha yang dijalankannya.

Hasil analisis terhadap kondisi internal dan eksternal usaha pengembangan industri perikanan di daerah pengamatan menunjukkan bahwa factor internal menjadi kekuatan yang sangat dominan dalam pengelolaan usaha perikanan TTC. Kondisi tersebut dapat diketahui dari dukungan infrastruktur dan ketersediaan SDM perikanan yang cukup tinggi. Disamping itu ketersediaan sumber air tawar yang berlimpah di setiap daerah pengamatan menjadikan daerah tersebut memiliki kekuatan yang tinggi dalam pengelolaannya. Sementara kelemahan yang dimiliki pada umumnya di setiap sentra perikanan TTC pelaku usahanya memiliki tingkat pengetahuan yang terbatas tentang regulasi, permodalan, standard dan kualitas peralatan produksi, sering terjadinya konflik diantara pelaku usaha, dan rendahnya pembinaan terhadap nelayan TTC. Sementara factor eksternal yang positif dan menjadikan peluang dalam model pengembangan rantai suplai perikanan TTC di Indonesia adalah potensi pasar TTC yang masih sangat terbuka baik untuk konsumsi lokal maupun kebutuhan mengisi pasar ekspor. Disamping itu, peluang yang berkembang saat ini adalah semakin tingginya peran Pemerintah Daerah dalam mempromosikan daerahnya dengan dukungan riset dan pengembangan, dan kondisi sosial politik di daerah yang semakin kondusif. Peluang terakhir yang menjadi kunci model pengembangan rantai suplai perikanan TTC adalah dengan terjadinya kerjasama yang lebih agresif dari lembaga keuangan bank dan bukan bank dalam memberikan penguatan modal kepada pelaku usaha perikanan TTC. Sementara ancaman yang dihadapi dalam pengembangan model perikanan TTC tersebut umumnya terjadi yang diakibatkan dari monopoli pemasaran produk TTC, perizinan yang masih terkendala, masih maraknya praktek IUU fishing, pencemaran lingkungan di setiap sentra perikanan, dan sering terjadinya konflik kepentingan yang bernuansa politik.

Dari keempat daerah penelitian, posisi pengelolaan usaha perikanan TTC di daerah potensi (Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong) sangat ditentukan oleh

kondisi internal dan eksternal yang terjadi saat ini. Posisi pengelolaan ini memberi petunjuk tentang layak tidaknya usaha perikanan tangkap di daerah potensi untuk dikembangkan lebih lanjut terutama dari aspek rantai pengelolaannya. Model pengembangan rantai suplai hanya akan terjadi bila usaha perikanan TCC saat ini mengalami pertumbuhan atau tidak terjadi penciutan dan likuidasi. Terkait dengan ini, maka penilaian terhadap faktor internal (kelebihan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang disampaikan pada bagian sebelumnya akan menghasilkan suatu peta nilai yang memberi gambaran terhadap posisi pengelolaan usaha perikanan TTC saat ini.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pengelolaan usaha perikanan TTC pada keempat lokasi masih berada pada posisi pertumbuhan atau stabilitas yang baik untuk dikembangkan. Disamping itu, dalam membangun rantai suplai yang baik pada produk perikanan TTC perlu memperhatikan aspek kuantitas optimum dan selalu menjaga ketersediaan produk pada setiap rantai suplainya. Kondisi demikian dikarenakan jaminan ketersediaan bahan baku bagi industri lanjutannya sangat penting agar usaha dapat berkelanjutan dan kinerjanya dapat menghasilkan keluaran yang telah ditetapkan. Sementara pada bidang usaha pemasaran, suplai optimum produk diharapkan mampu memberikan jaminan terhadap ketersediaan produk di pasar pada setiap saat, mampu mengurangi biaya pengiriman/pemasaran dengan harga produk yang lebih bersaing dengan harga produk lainnya. Dari beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kuantitas suplai produk ikan segar memberikan dampak terhadap pendapatan pelaku usaha seperti nelayan, biaya yang dikeluarkan oleh pengolah untuk biaya pemesanan, pedagang eceran, pedagang besar/pengumpul, dan eksportir. Lebih jauh kuantitas suplai optimum tersebut juga berpengaruh terhadap pelaku usaha skala kecil atau rumah tangga dimana mereka sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar dengan tingkat posisi tawar yang sangat lemah. Untuk permasalahan tersebut, Pemerintah memiliki peran yang cukup strategis dalam memberikan jaminan berusaha dengan memberikan perhatian khusus kepada kelompok usaha tersebut melalui kebijakannya. Kebijakan tersebut sangat berpengaruh terhadap posisi tawar mereka di dalam rantai pemasaran produk TTC.

Sementara untuk skala industri, kuantitas suplai optimum sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya biaya yang dikeluarkan dalam proses produksinya. Dalam rangka meminimalisir kegagalan pada setiap rantai suplainya, diperlukan upaya pengembangan jaringan pemasaran yang mampu memberikan jaminan terhadap ketersediaan bahan baku dan harga yang tidak berfluktuasi sangat tinggi. Kondisi demikian diperlukan mengingat pasar sangat memerlukan jaminan suplai dan harga dalam jangka waktu tertentu.

Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa model rantai suplai perikanan TTC di Indonesia dibentuk oleh kelompok nelayan, pengolah, pedagang eceran, pedagang besar/pengumpul, eksportir, dan konsumen. Interaksi setiap rantai menunjukkan positif. Kondisi demikian dapat menjelaskan bahwa setiap rantai memiliki peran yang cukup aktif dalam membentuk rantai pengelolaan perikanan TTC di daerah penelitian. Disamping itu, interaksi positif tersebut juga memberikan dampak positif terhadap tingkat keuntungan pada masing-masing pelaku usaha. Dengan sebaran tingkat keuntungan yang positif tersebut, menunjukkan bahwa setiap perantai pasok perikanan TTC berkontribusi sesuai dengan bidang usaha yang digelutinya. Dari tabel 19 menunjukkan bahwa nilai

pada setiap perantai pasok memberikan manfaat atau keuntungan yang simetris sesuai dengan tingkat resiko yang dimilikinya.

Analisis SEM menunjukkan bahwa interaksi langsung dengan konsumen yang terjadi hanya pada kegiatan usaha pedagang eceran P<0,05. Kondisi demikian menjadikan pedagang eceran sebagai pembentuk harga yang dikeluarkan oleh konsumen. Bertolak belakang dengan pedagang eceran, interaksi negative terindikasi pada kegiatan pengolahan dengan konsumen. Kondisi tersebut perlu disikapi dengan bijaksana karena dapat mengakibatkan terancamnya kegiatan rantai pemasaran produk olahan TTC di daerah pengembangan. Hasil analisis SEM menunjukkan juga pola interaksi nelayan dengan kuantitas suplai optimum produk TTC, harga jual yang ditawarkan nelayan, dan tingkat peran nelayan. Sementara pada level pengolah, kuantitas optimum produk TTC olahan (X21), harga jual yang ditawarkan pengolah (X22), dan tingkat peran pengolah ikan (X23) juga memperkuat posisinya dalam rantai suplai perikanan TTC, namun tidak ada yang pengaruhnya nyata/signifikan (P ketiganya > 0,05). Untuk pedagang eceran (PE), pedagang besar/pengumpul (PB), dan eksportir (EKS), posisinya dalam rantai suplai perikanan TTC juga diperkuat oleh kuantitas suplai optimum produk ikan TTC, harga jual yang ditawarkan, dan tingkat peran yang diberikan oleh ketiganya. Dari tiga faktor internal tersebut, dua diantaranya (harga jual yang ditawarkan dan tingkat peran yang diberikan) berpengaruh signifikan bagi penguatan posisi ketiganya dan sekaligus semakin menjamin kelangsungan rantai suplai perikanan TTC di sentra/wilayah basis pengembangannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pelibatan kelompok nelayan, kelompok pedagang, dan jaminan keleluasaan interaksi pedagang eceran dengan konsumen dalam penentuan harga jual memberikan dampak yang sangat signifikan dalam model pengembangan rantai pasok perikanan TTC di Indonesia. Strategi tersebut sangat mendesak untuk dilakukan agar manfaat dari pengembangan perikanan TTC di Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan pelaku usaha. Sementara strategi pengaturan stock produk TTC pada setiap tahapan rantai pasok sangat dibutuhkan untuk meminimalisir kelangkaan TTC pada setiap tingkatan rantai pasok.

Dokumen terkait