• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

D. Pembahasan

Pembahasan ini merupakan penggabungan dari teori, hasil wawancara

dan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti. Peneliti akan membahas

bentuk-bentuk ketakutan terhadap kematian.

1. Ketakutan terhadap yang tidak diketahui (fear of the unknown)

Ketakutan terhadap yang tidak diketahui (fear of the unknown)

mengungkapkan mengenai sesuatu yang asing dan tidak dapat

ditanggulangi (dalam Turner & Helms, 1995: 650). Kesembuhan maupun

kematian menurut Mar adalah suatu misteri dan hal tersebut terserah

kepada kehendak Tuhan. Mar menghadapi keadaan ini dengan pasrah. Hal

ini sesuai dengan pendapat Koeswara yang menyatakan bahwa kematian

adalah puncak absurditas hidup manusia dan dengan kematian, manusia

yang berasal dari ketiadaan akan mengakhiri keberadaannya dengan

kembali ke ketiadaan yang mutlak (dalam Koeswara, 1987: 17). Kematian

dianggap suatu kenyataan yang menimpa manusia dengan tiba-tiba, tidak

bisa diharapkan, tidak bisa diperhitungkan dan selalu mengejutkan bahkan

bagi seseorang yang telah menantinya sebagai suatu hal yang sudah pasti

sehingga manusia tidak akan pernah bisa memahami dan mengontrolnya.

Pada El ketakutan ini muncul saat memikirkan penyakitnya yang diyakini

El tidak dapat disembuhkan. Hal ini terungkap dalam kalimat:

“Seperti saya mungkin dikasi penyakit gini ya nek sembuh mungkin apa

Tuhan memberi aku apa itu tidak tahu, pasti ada. Tapi ana rencana Tuhan

itu aku tidak tahu. Rencananya itu aku ndak tahu. Soalnya misterius. Na

sekarang adanya ya berdoa, meminta kesembuhan seperti dulu.”

“Dia tu dah angkat tangan. Dia dah punya keyakinan kalau penyakitnya

ga bisa sembuh makanya ndak agak mau operasi. Dia pernah bilang kalau

dua saudaranya kena penyakit yang sama kemudian dioperasi tapi

akhirnya meninggal. “

(SO2/w1/lb1/2-7)

Pada Pi bentuk ketakutan ini tidak muncul.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ketakutan terhadap yang

tidak diketahui (fear of the unknown) yang terkait dengan wanita dewasa

madya penderita kanker adalah kekhawatiran akan kondisi yang tidak

menentu, tidak terduga yang ditampilkan dengan lebih jelas dengan takut

operasi, takut mati dan keyakinan bahwa dirinya tidak dapat disembuhkan

yang kemudian dihadapi dengan berpasrah. Pada penderita kanker,

ketakutan ini dapat dikurangi dengan memberikan informasi-informasi,

nasehat dan saran yang dapat digunakan penderita. Informasi-informasi

tersebut dapat diberikan oleh paramedis, pasangan, anak-anak, maupun

teman-teman penderita (Taylor dalam Utami dan Hasanat, 1998).

2. Ketakutan terhadap penderitaan dan rasa sakit (fear of suffering and pain)

Ketakutan terhadap penderitaan dan rasa sakit (fear of suffering

and pain) mengungkapkan mengenai ketakutan yang tidak hanya terbatas

pada keadaan fisik melainkan juga mencakup ketakutan terhadap yang

tidak diketahui dan tidak dapat dikendalikan. (dalam Turner & Helms,

1995: 651). Ketiga subjek mengungkapkan kekhawatiran saat rasa sakit

menyerang dan saat merasa tidak kuat maka yang dilakukan Pi adalah

menangis. Mereka tidak tahu akan apa yang terjadi pada dirinya dan

merasa khawatir jika sakit yang dideritanya semakin parah.

Santrock (2002: 141) mengungkapkan bahwa status kesehatan

dewasa madya menjadi persoalan utama. Pada masa dewasa madya lebih

banyak waktu dihabiskan untuk mengkhawatirkan kesehatan dibandingkan

pada masa dewasa awal. Pengobatan yang tidak menghasilkan

kesembuhan membuat Mar merasa takut kondisi fisiknya menjadi semakin

buruk. Darah yang keluar dan perubahan pada payudara memperkuat

ketakutan ini. Pada Mar juga muncul kekhawatiran akan menjadi

pembicaraan orang lain dan dijauhi orang lain karena bau yang

ditimbulkan dari luka pada sakitnya. Pada El muncul rasa khawatir bila

dirinya terserang sakit yang lain dan tidak ingin obat lain akan

memperparah penyakitnya. Pada Pi muncul kekhawatiran bila pengobatan

yang dijalani akan menimbulkan sakit. Mar dan Pi juga tidak ingin

menjadi beban dalam keluarga. Mereka tidak ingin menyusahkan dan

merepotkan keluarganya. Selain itu El ingin meninggal tanpa merasakan

rasa sakit. Hal ini terungkap dari:

“Kayak papahe saya juga ndak keliatan sakit kok ndak adane. Saya juga

pengen kayak papa kok kalau ndak ada. Kayake enak banget, ndak

ngrasake apa-apa.”

(El/w2/lbr 1/ 10-14)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ketakutan terhadap

penderitaan dan rasa sakit (fear of suffering and pain) pada penderita

kanker muncul berupa ketakutan bila sakit yang dideritanya semakin

parah, khawatir jika diserang sakit, dan takut jika saat sakratul maut

dengan merasakan rasa sakit. Mereka juga khawatir merasakan sakit pada

bagian tubuh seperti pada payudara, perut dan pernafasan serta keluarnya

darah. Mereka juga mengawatirkan pengobatan dan obat lain akan

memperparah kondisinya. Hal itu diperkuat dengan ketidakinginan subjek

untuk merepotkan dan menyusahkan keluarganya.

3. Ketakutan akan kesepian atau kesendirian (fear of loneliness)

Ketakutan akan kesepian atau kesendirian (fear of loneliness)

timbul dari perasaan terisolasi dari dirinya sendiri dan orang lain berupa

penarikan diri dari pekerjaan dan aktivitas-aktivitas yang lain, tidak

mengetahui yang harus dikatakan ketika mendapatkan kunjungan dari

teman-teman (dalam Turner & Helms, 1995: 651). Usia dewasa madya

seharusnya menjadi masa untuk merintis hubungan sosial yang baik

dengan tetangga dan anggota masyarakat agar pada usia dewasa akhir

tidak mengalami kesulitan dan merasa terisolasi (dalam Hurlock, 1980,

364). Mar merasa khawatir dijauhi, ditolak dan diejek yang selama ini

dipandang dekat oleh subjek.

“Nek dong rasane lemes. Kaya wong dikucilke itu rasane lemes. Ndak

punya tenaga. Adanya ming tidur wae.”

(Mar/w2/lb6/34-37)

Pada El ketakutan ini muncul berupa kekhawatiran tidak diterima

orang lain, khawatir terisolasi dari orang lain dan merasa khawatir tidak

ada teman berkeluh kesah. Pi merasa tidak bisa menjenguk temannya yang

sakit, tidak bisa mengikuti pengajian, tidak bisa beraktivitas dan hanya

bisa berada di rumah saja.

Di dalam kesepian, seseorang tidak hanya mengalami keterputusan

dengan sesamanya tetapi juga tidak menemukan kepuasan dengan dirinya

sendiri (Sartre dalam Koeswara, 1987: 16). Hal ini ditunjukkan oleh Mar

yang merasa lemas saat memikirkannya dan juga kadang menyalahkan

dirinya sendiri sebagai penyebab dijauhi orang lain. Mar, El serta Pi

merasa senang saat dijenguk dan ditemani, hal ini terungkap dari kalimat:

“Ya, biasanya pada ke sini, setiap hari mesti ada yang ke sini, entah itu

temennya mbak Siti, temannya mas Edi atau tetangga. Kalau temannya ke

sini mesti memberi tahu untuk selalu membaca istigfar. Minta ampunan

kepada yang maha kuasa. Saya ya bisanya baca Al-Quran. Dulu kan saya

jualan dipasar. Teman–teman pasar kesini jenguk kenapa kok sudah lama

tidak jualan.”

(Pi/w2/lb2/2-9)

“Wah seneng. Teka ndak usah lima menit. Teka sedelot piye kowe kabare

apik. Udah saya seneng. Tapi ya jangan sampe ada suara sing sumbang.”

(Mar/w1/lb4/47-49)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ketakutan akan kesepian

atau kesendirian (fear of loneliness) pada penderita karena merasa dijauhi

dan ditolak oleh orang lain dan juga dilarang keluar rumah oleh suami

sehingga subjek merasa senang jika dijenguk, ditemani dan mempunyai

teman berkeluh kesah. Sebab tersebut juga memunculkan kekhawatiran

bila benar-benar dijauhi oleh orang lain, tidak diterima orang lain, dan

terisolasi dari orang lain. Perasaan terisolasi dari diri sendiri maupun dari

orang lain dapat berkurang dengan adanya empati dan kepedulian serta

adanya penghargaan pada penderita.

4. Ketakutan kehilangan keluarga dan teman-teman (fear of loss of family

and friends) dan ketakutan akan penderitaan (fear of sorrow)

Ketakutan kehilangan keluarga dan teman-teman yang dijadikan

satu dengan ketakutan akan penderitaan muncul saat subjek memikirkan

mengenai kehilangan keluarga, pekerjaan dan juga mengenai

rencana-rencana masa depannya.

Ketakutan akan kehilangan relasi-relasinya dengan orang-orang

yang penting baginya lebih besar daripada ketakutan akan kehilangan

hidupnya sendiri (Leahy, 1996: 126). Hal ini tampak pada Mar dan El

yang merasa khawatir tidak bisa berkumpul dengan keluarga. El juga

merasa takut bila dirinya akan dilupakan oleh keluarga yang diperlihatkan

dari membuat foto keluarga.

“Pokmen aku hidup ya, aku meh mbimbing anakku. Iseh kumpul mbek

suamiku ya kowe misih keluarga.”

(Mar/w1/lb8/25-27)

Erikson (dalam Santrock, 2002: 167) mengatakan bahwa usia

dewasa madya yang merasa tidak melakukan apa-apa bagi generasi

berikutnya dan tidak bisa meninggalkan warisan diri sendiri bagi generasi

berikutnya merupakan fase stagnasi. Fase ini muncul saat Mar merasa

bahwa anaknya masih membutuhkan bimbingan dalam bertindak dan

berpikir karena Mar menganggap bahwa anaknya masih kecil. Mar merasa

khawatir tidak dapat membimbing anak-anaknya. Hal ini juga terjadi pada

El. El merasa khawatir akan perawatan anaknya setelah dirinya meninggal

dan meminta suaminya mencari pengganti dirinya yang sayang kepada

anak-anaknya. Ketakutan ini muncul dalam bentuk takut bila suami pergi

jauh, sedangkan pada Pi muncul dari keinginan dapat melihat

anak-anaknya sukses sebelum meninggal.

“Baik tetep baik. Dia tu pengen semuanya baik buat keluarganya. Terus

ingin selalu lekat dengan mereka, dari anak maupun suami.”

(SO2/w1/lb1/29-31)

Usia dewasa madya digambarkan sebagai generational overload

(beban generasi yang terlalu berat). Tugas pada usia ini adalah

membimbing secara finansial anak-anaknya dan juga menghidupi orang

tuanya yang sudah lanjut usia. Tekanan silmultan dari anak maupun orang

tua dapat mengkontribusi stress pada usia ini (Santrock, 2002: 166).

Pekerjaan dan pendapatan Mar dirasakan menurun karena ada pelanggan

yang tidak mau dilayani olehnya dan tidak mau membeli di tokonya lagi.

Pendapatan keluarga juga ikut menurun karena digunakan untuk

membiayai pengobatan dirinya. Hal ini memunculkan kekhawatiran bila

hutang tidak dapat dilunasi dan kekhawatiran bila tidak bisa membantu

perekonomian keluarga.

Hal ini tercermin dari ungkapan:

“Wong selama waktu dia ndak kerja ya wis makan we nyaut sana sini.

Kita ndak cari. Sekarang dia kerja untuk nutupi sing kemarin itu. Itu aja

masih belum cukup, masih ada tiga empat orang sing belum ketemu gitu.

Walaupun orang itu menyadari ya, wong kita itu ya sudah ditolong apa ra

mikir, he e to.”(Mar/w1/lb6/43-49)

Mar masih mempunyai keinginan untuk menyatukan

keponakan-keponakannya yang berselisih dan kawatir keinginannya tidak dapat

terwujud. Pi juga masih mempunyai keinginan untuk naik haji bersama

anaknya setelah rencana untuk naik haji bersama suaminya tertunda

setelah dirinya sakit. Hal ini muncul dari kalimat:

“Ya, apa pesan dulu kakak saya sebelum meninggal itu punya pesan,

anak-anakku tolong jadikan satu. Itu aku belum terlaksana.”

(Mar/w2/lb1/10-14)

“Ya dulu punya keinginan sama bapak kalau naik haji bersama. Hanya

mau ibadah, karena kesananya nabung dulu, jadi tidak terlalu berat

banget. Tapi kemudian saya sakit seperti ini. Ya udah saya bicara sama

bapak kalau bapak saja yang berangkat sendirian. Karena niatnya sudah

lama yang mau ibadah. Saya bilang kalau saya sudah sembuh saya mau

beribadah bareng sama anak-anak saja.”

(Pi/w1/lb2/12-20)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ketakutan kehilangan

keluarga dan teman-teman (fear of loss of family and friends) dan

ketakutan akan penderitaan (fear of sorrow) pada penderita kanker adalah

khawatir tidak bisa membimbing anak, mengenai perawatan anak dan

berkumpul dengan keluarga, khawatir dilupakan oleh keluarga, khawatir

hutang tidak dapat dilunasi, dan masih merasa kawatir rencana yang telah

disusun tidak dapat terwujud seperti menyatukan keluarga dan naik haji.

Bentuk ketakutan ini dapat semakin memperburuk keadaan fisik penderita.

Pada keadaan ini, penderita membutuhkan dukungan sosial yang dapat

digunakan untuk mengurangi ketakutan ini. Dukungan sosial yang dapat

dilakukan adalah dengan memberikan informasi dan pilihan-pilihan

alternatif yang dapat membantu penderita dalam mengambil keputusan

(Smet dan Taylor dalam Utami dan Hasanat, 1998). Orang-orang terdekat

seperti teman-teman dan tetangga juga dapat memberikan dukungan

materi berupa barang-barang dan finansial. Dukungan ini dapat

mengurangi kekhawatiran akan keadaan finansial yang menurun karena

biaya pengobatan penderita kanker.

5. Ketakutan kehilangan identitas diri (fear of loss of identity)

Ketakutan kehilangan identitas diri (fear of loss of identity)

terjadi karena pasien yang sekarat mulai kehilangan kontak sosial,

keluarga dan teman-teman, struktur dan fungsi tubuh, kontrol diri dan

kesadaran total. Kontak dengan sosial menunjukkan siapa diri kita, kontak

dengan keluarga menunjukkan seperti apa kita telah menjadi, dan kontak

dengan tubuh dan jiwa menunjukkan diri kita sendiri. Proses sekarat secara

otomatis akan mengancam banyak segi dari identitas diri seseorang (dalam

Turner & Helms, 1995: 651).

Ketakutan ini muncul pada ketiga subjek disebabkan karena

merasa peran dirinya dalam rumah tangga berubah. Perubahan peran

bukanlah masalah yang mudah, terutama setelah seseorang telah

memainkan peran tertentu selama periode yang relatif lama dan telah

memperoleh kepuasan dari peran tersebut (Hurlock, 1980: 339). Mar

merasa sudah tidak bisa lagi memenuhi perannya sebagai ibu dan istri

seperti melakukan hubungan intim dengan suami. Situasi ini adalah

penyesuaian yang paling sulit dilakukan oleh wanita pada usia ini

(Hurlock, 1980: 331). Mar juga tidak melakukan aktivitas memasak,

berjualan, berbelanja, maupun menyuci. Peran El sebagai ibu berubah

karena peran tersebut digantikan oleh pembantu. El juga merasa khawatir

peran sebagai istri akan digantikan orang lain saat kondisi tubuhnya

semakin lemah. Kondisi fisik yang mudah lelah menyebabkan Pi tidak

diijinkan untuk bersih-bersih, memasak atau dengan kata lain tidak dapat

melakukan peran sebagai ibu dan suami.

“Ha nek sekarang istri ya itu ya ndak bisa. Seandainya mau berhubungan

kan ini ga boleh terangsang. Jadi ya berhenti. Sebagai suami istri

berhenti.”

(Mar/w3/lb2/18-22)

“Saya itu tidak dibolehkan kalau mau ngapa-ngapain. Kemarin mau

bersih-bersih aja sama mbak Siti tidak dibolehkan, sudahlah ibu itu

istirahat aja, ibu itu kata dokter harus istirahatkan, tidak boleh terlalu

capek. Biar aku yang bersih-bersih.”

(Pi/w2/lb2/19-24)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ketakutan ini muncul

karena merasa khawatir bila peran sebagai ibu dan istri yang berubah

seperti tidak dapat berhubungan intim dengan suami, tidak dapat

memasak, menyuci dan peran tersebut digantikan oleh orang lain.

Ketakutan ini bisa dikurangi dengan dukungan sosial berupa empati dan

kepedulian yang diberikan orang lain maupun saran-saran dan nasehat

sehingga penderita dapat membatasi masalahnya dan juga mencoba

mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya (Smet dan Taylor

dalam Utami dan Hasanat, 1998).

6. Ketakutan terhadap kemunduran (fear of regression)

Ketakutan terhadap kemunduran mengungkapkan mengenai

ketakutan terhadap insting-insting internal dalam diri individu yang

mendorong untuk mundur dari dunia luar ke suatu dunia fantasi yang

primer (dalam Turner & Helms, 1995: 651). Ketakutan terhadap

kemunduran tidak muncul pada ketiga subjek. Mar, El dan Pi tidak

menyerah pada kondisi yang ada dan masih mempunyai orientasi untuk

hidup dengan alasan yang berbeda-beda. Mar dan El tetap ingin

merealisasikan perannya sebagai ibu dan istri, sedangkan Pi ingin

merealisasikan cita-cita untuk naik haji.

7. Ketakutan kehilangan kontrol diri (fear of loss of self control)

Ketakutan kehilangan kontrol diri (fear of loss of self control)

terjadi karena penyakit menyebabkan tubuh menjadi semakin lemah

sehingga pasien menjadi tidak mampu mengontrol diri sendiri. Pada

umumnya terjadi penurunan tenaga, vitalitas dan daya tangkap.

Kebanyakan pasien akan berpikir secara lebih lamban, kurang akurat, dan

menjadi takut akan semakin menurunnya fungsi-fungsi mental (dalam

Turner & Helms, 1995: 651).

Usia dewasa madya ditandai dengan menurunnya kesegaran fisik

secara umum dan memburuknya kesehatan yang berlangsung secara cepat

(Hurlock, 1980: 328). Masalah kesehatan utama pada masa ini salah

satunya adalah kanker dan sering timbul untuk pertama kali dalam masa

dewasa madya ini (Santrock, 2002: 141). Ketakutan ini muncul karena

fungsi tubuh penderita yang menurun. Pada usia dewasa madya ini

membutuhkan penyesuaian diri pada perubahan keberfungsian fisik

(Santrock, 2002: 141), terlebih jika dalam kondisi sakit. Hal ini muncul

dalam diri Mar karena subjek merasa tidak bisa mengontrol kondisi

emosinya sehingga bisa mempengaruhi kondisi fisiknya. Mar merasa

khawatir akan keadaan dirinya dan melakukan pencegahan dengan tidak

mau memikirkan hal-hal yang membuat kondisinya tidak stabil. Mar juga

merasa khawatir keadaan dirinya menjadi tidak stabil, mudah lelah, dan

semakin kurus dari hari ke hari. Mar takut menghadapi perubahan itu.

Pada El muncul kekhawatiran akan emosi yang tidak stabil tidak

berpengaruh terhadap fisiknya dan merasa kondisi tubuhnya tidak stabil.

Pada Pi muncul kekhawatiran kelelahan setelah beraktivitas.

“Nek gini dong-dong ya ndak mesti. Dong ini enak awakku soale rada

ngaso njuk pikiranne rada santai gitu tu. Ming nek pikiranne ndak santai

penyakit ini terasa berat. Rasane les-lesan ndak punya tenaga. Kemarin

dua hari yang lalu itu ndak punya tenaga. Adane mek tidur aja. Ini ni rada

dua hari ini rada jenggelek sehat.”(Mar/w2/lb1/23-30)

“Iya, soalnya kalau kecapean terus rasanya disini ini terasa seperti nyeri

panas, mual gitu. Jadi saya ya menjaga sendiri supaya tidak kecapean.”

(Pi/w1/lb1/2-4)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ketakutan kehilangan

kontrol diri muncul dalam kekawatiran bila ketidakstabilan kondisi emosi

dapat mempengaruhi kondisi fisik dan ketiga subjek merasa khawatir jika

keadaan tubuhnya tidak stabil dengan adanya penurunan vitalitas dan

penurunan berat badan.

Pada keadaan ini, penderita kanker menghadapi kondisi fisik dan

psikologis yang memburuk. Penderita membutuhkan dukungan sosial

untuk menghadapi situasi tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan

pelayanan dalam bentuk perawatan yang diberikan oleh orang-orang

terdekat seperti keluarga maupun dokter yang menangani penderita

tersebut.

8. Ketakutan kehilangan tubuh (fear of loss of body)

Ketakutan kehilangan tubuh terjadi karena tubuh mewakili

sebagian dari konsep diri sehingga penyakit dapat mempengaruhi baik

secara fisik dan psikologis. Reaksi pasien yang justru dapat melemahkan

kondisi-kondisinya antara lain adalah perasaan malu, perasaan yang tidak

adekuat dan menurunnya kepercayaan diri (dalam Turner & Helms, 1995:

651). Mar merasa malu dan rendah diri karena bau yang ditimbulkan dari

sakitnya sehingga Mar tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. El juga

merasa malu karena payudaranya tidak sama besar. Ketakutan yang

muncul pada Mar dan El ini dapat mempengaruhi evaluasi diri mereka

sendiri. Evaluasi tersebut mempengaruhi konsep diri yang juga terbangun

dari interaksi sosial dan persepsi (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003).

Penampilan seseorang memegang peranan yang sangat penting

terutama dalam penilaian sosial. Hal tersebut terjadi sejak usia remaja dan

berlanjut sampai tua. Hal ini membuat usia dewasa madya memberontak

karena penampilan mereka menurun (dalam Hurlock, 1980: 326).

Ketakutan kehilangan tubuh pada Mar muncul berupa kekhawatiran akan

ditolak orang lain, menjadi pusat perhatian saat keluar rumah karena bau

yang ditimbulkan dari sakitnya dan anggapan bahwa penyakitnya menular.

Pada El muncul berupa kekhawatiran bila orang lain tahu dirinya sakit dan

merasa malu dengan perubahan pada fisiknya. El melakukan usaha agar

orang lain tidak tahu akan perubahan fisik pada dirinya dengan baju yang

modis dan payudara yang diganjal kain. El juga tidak ingin dianggap

sebagai orang sakit. Pada subjek Mar dan El, hal ini mempengaruhi

kepercayaan diri mereka dan mereka menjadi rendah diri. Pada Pi bentuk

ketakutan ini tidak muncul. Hal ini diungkap oleh teman EL.

“Dia tu dengan orang lain ga nunjukkan kalau dirinya sakit. Sebenarnya

tu dia malu kalau orang lain tahu buah dadanya itu besar satu. Jadi yang

satu diganjel spon. Kan gedhe cilik sakjane. Terus pake baju-baju yang

modis biar perhatian orang tu ga ke sakitnya tapi ke model bajunya.”

(SO2/w1/lb3/2-8)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketakutan ini

muncul berupa kekhawatiran akan ditolak orang lain karena bau yang

ditimbulkan dari luka pada payudaranya dan merasa khawatir orang lain

tahu bahwa fisiknya tidak sempurna karena payudara yang tidak sama

besar dan mencoba menutupi kekurangannya dengan berpakaian yang

modis dan mengganjal payudaranya. Hal ini memunculkan

ketidakpercayaan diri dan rendah diri pada subjek. Rendah diri merupakan

salah satu simptom depresi (Holmes dalam Utami dan Hasanat, 1998)

yang dapat berpengaruh pada konsep diri. Hal ini bisa dilawan dan subjek

dapat bertahan dengan dukungan sosial yang diberikan orang lain dalam

bentuk perhatian, kepedulian dan empati.

Pembahasan mengenai bentuk-bentuk ketakutan terhadap kematian pada

penderita kanker dewasa madya dapat lebih dipersingkat dengan skema yang

akan ditampilkan. Skema ini akan menampilkan alur terjadinya bentuk-bentuk

ketakutan terhadap kematian pada ketiga subjek penderita kanker dewasa

madya yang sudah diwawancarai. Skema tersebut hanya merupakan gambaran

umum mengenai sebab dominan akan terjadinya ketakutan terhadap kematian

yang ditunjukkan dengan garis lurus dan sebab yang dapat mempengaruhi

secara tidak langsung terjadinya ketakutan terhadap kematian yang

ditunjukkan dengan garis berwarna putus-putus.

Keterangan:

Garis : menunjukkan sebab dominan

Garis : menunjukkan sebab yang tidak dominan tetapi bisa

mempengaruhi munculnya ketakutan

Dokumen terkait