• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Administratif

Secara geografis PBB Setu Babakan terletak pada 06 20 07 - 06 21 10 LS dan 106 49 30 - 106 49 50 BT. Secara administratif, PBB Setu Babakan memiliki luas 289 ha, terdiri dari dua kawasan utama, yaitu kawasan milik Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta (65 ha) yang akan dikembangkan, meliputi area lingkar Setu Babakan dengan lebar jalan yang dibatasi jalur pedestrian dan gorong-gorong, serta kawasan atas kepemilikan pribadi (224 ha), yaitu yang digunakan sebagai pemukiman, fasilitas publik, dan ruang terbuka hijau (Puslitbang Kepariwisataan, 2010).

Termasuk dalam wilayah Kotamadya Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah, PBB Setu Babakan berbatasan langsung dengan Kelurahan Lenteng Agung dan Kelurahan Jagakarsa, sebelah Selatan

Jl. Srengseng Sawah

Jl. Tanah Merah

Sumber : Fajriyah (2014) Gambar 5 Batas administratif

adalah Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, dan sebelah Barat yaitu Kelurahan Ciganjur dan Kelurahan Cipedak. Kawasan dibatasi oleh jalan-jalan penghubung :

Sebelah Utara : Jalan Mochamad Kahfi II sampai Jalan Desa Putra Sebelah Timur : Jalan Desa Putra (H.Pangkat) sampai Jalan Pratama Sebelah Selatan : Jalan Tanah Merah sampai Jalan Srengseng Sawah Sebelah Barat : Jalan Mochamad Kahfi II

Iklim

Menurut Badan Meteorologi Geofisika stasiun klimatologi pusat, Jakarta, tahun 2012, suhu udara rata-rata di kawasan PBB Setu Babakan yaitu 33.40 C dengan kisaran 31.40 C - 35.40 C. Curah hujan rata-rata 182.91 mm, dengan curah hujan terendah 7.30 mm dan tertinggi 430.70 mm. Sedangkan untuk kelembaban udara, berkisar 70% - 85%, dengan kelembaban udara rata-rata 79%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kawasan PBB Setu Babakan tergolong kriteria bulan basah (Fajriyah, 2014).

Tanah

Jenis tanah pada kawasan PBB Setu Babakan merupakan asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah, dengan bahan induk Tuf volkan intermedier. Secara umum, jenis dan sifat tanah di kawasan PBB Setu Babakan, sesuai dengan pertumbuhan tanaman tahunan. Sifat dan corak tanah di tapak dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sifat dan corak tanah di kawasan PBB Setu Babakan

No. Jenis tanah Sifat dan corak 1. Latosol Sifat

Kemasaman : masam hingga agak masam (pH H2O 6.0-7.5) Zat organik : kadar rendah hingga agak sedang (3-10%) di

lapisan, menurun ke bawah

Daya absorpsi : sedang (15-25 m.s.)

Unsur hara : sedang hingga rendah, semakin tua bahan induk atau semakin merah warnanya semakin rendah Permeabilitas : tinggi

2. Laterit

air tanah Sifat Kemasaman : masam hingga agak masam (pH H2O 4.5-6.0) Zat organik : rendah (1-4%), menurun ke bawah

Daya absorpsi : sedang (15-30 m.s.), semakin ke bawah meningkat

Unsur hara : buruk Permeabilitas : buruk Corak

Solum : dangkal

Horison : nyata dengan gley

Warna : merah hingga kelabu, chroma maksimum Tekstur : liat, liat maksimum

Struktur : remah di atas, semakin ke bawah pejal Konsistensi : gembur, semakin ke bawah teguh Hampir selalu jenuh jenuh air

Topografi

Kondisi topografi di kawasan PBB Setu Babakan tergolong kategori sedikit bergelombang dan agak rata. Kemiringan lereng mencapai 8-15% dengan ketinggian 25 m dpl. Permukiman di sebelah Barat terletak lebih tinggi dari permukaan jalan di sepanjang situ. Sedangkan jalan di sepanjang situ relatif datar (Fajriyah, 2014). Air tanah di tapak cukup baik, sehingga sebagian besar penduduk sekitar memanfaatkan sumber air tanah yang diperoleh dari sumur guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketinggian air tanah berada pada kisaran 3-6 m yang merata pada hampir seluruh daerah.

Hidrologi

Sumber mata air PBB Setu Babakan yaitu Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Kondisi setu tergolong baik, alami, jernih, cukup bersih, dan sebagian area ditumbuhi tanaman air. Setu Babakan memiliki sistem hidrologi terbuka, dengan adanyainlet dan outletair pada setu. Terdapat empat inlet situ, yaitu Situ Mangga Bolong, Kali Baru, Kali Tengah dan Situ ISTN (Institut Sains dan Teknologi), sedangkanoutletnya yaitu menuju sungai Ciliwung (Rambe, 2006). Tata Guna Lahan

Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan merupakan bagian dari wilayah kelurahan Srengseng Sawah. Berdasarkan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang dan RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota) Tahun 2005, Kelurahan Srengseng Sawah diperuntukan sebagai Daerah Resapan Air, pemanfaatan tanah di Kelurahan Srengseng Sawah ditetapkan peruntukannya oleh Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta. Pola penggunaan lahan dibedakan menjadi dua, yaitu kawasan tidak terbangun ± 39.06% (pemakaman (RTH), pertanian, setu/irigasi) dan kawasan terbangun ± 60.93% (permukiman, fasilitas umum, jalan raya/ lingkungan) (Tabel 4).

Tabel 4 Luas kelurahan menurut peruntukan

Tidak Terbangun Terbangun

Jenis penggunaan Luas (ha) (%) Jenis penggunaan Luas (ha) (%) Pemakaman (RTH) 4.74 0.70 Permukiman 366.10 54.26 Pertanian 61.00 9.04 Fasilitas umum 28.00 4.15 Setu/Irigasi 196.21 29.08 Jalanraya/lingkungan 17.00 2.52 Lain-lain 1.63 0.24

Jumlah 263.58 39.06 Jumlah 411.10 60.93 Sumber : (Kelurahan Srengseng Sawah, 2013)

Menurut Moechtaret al. (2012), PBB Setu Babakan dahulunya merupakan suatu kawasan yang masih banyak memiliki rawa dengan sedikit penduduk yang bermukim. Kedua danau (Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong) awalnya merupakan satu kesatuan, artinya keduanya menyatu dan aliran danau tersebut mengairi persawahan dan permukiman mereka dibawahnya (Gambar 6a). Akibat penjajahan oleh Belanda, bendungan danau tersebut terpecah menjadi dua bagian. Ruang untuk areal persawahan dan rawa sebenarnya masih ada pada tahun 1960 hingga 1970-an (Gambar 6b), namun akibat jumlah penduduk yang meningkat, berimbas pada kebutuhan lahan untuk mendirikan tempat tinggal dan beraktivitas,

sehingga membawa pengaruh pada perubahan pola tata guna lahan kawasan di PBB Setu Babakan. Pada akhirnya, rawa dan areal persawahan di sekitar danau sudah tidak ada lagi (Gambar 6c).

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No.3 Tahun 2005, PBB Setu Babakan ditetapkan sebagai kawasan pengembangan budaya Betawi. Memiliki luas 289 ha (65 ha milik Pemda DKI Jakarta), ruang/area terbangun di kawasan ini sebesar 61,17% dan 38,83% belum terbangun (termasuk badan air). Penggunaan lahan dalam usaha pemanfaatan dan pengembangan diarahkan kepada pengembangan wisata budaya, air, dan agro yang berpedoman kepada Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Kependudukan

Wilayah Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan, terbagi kedalam 19 RW dan 156 RT. Jumlah penduduk pada bulan Juli 2013 sebanyak 59.948, dengan kepadatan penduduk 6.757 jiwa/km2. Untuk PBB Setu Babakan, yang terdiri dari 4 RW, yaitu RW 06, RW 07, RW 08 dan RW 09, jumlah penduduk mencapai 21.619 jiwa (Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah penduduk di kawasan PBB Setu Babakan tahun 2013

RW Laki-laki WNIWanita Jumlah Laki-laki WNAWanita Jumlah Jumlah 06 2.256 2.174 4.430 - - - 4.430 07 2.620 2.545 5.165 - - - 5.165 08 2.801 2.742 5.543 - - - 5.543 09 3.329 3.152 6.481 - - - 6.481 Jumlah 11.006 10.613 21.619 - - - 21.619 Sumber : (Kelurahan Srengseng Sawah, 2013)

Gambar 6 Perubahan pola tata guna lahan PBB Setu Babakan

(a) Keterangan : (b) (c) Danau Kuburan Permukiman Rawa Sawah

Mata pencaharian penduduk di Kelurahan Srengseng Sawah, termasuk PBB Setu Babakan sangat beragam meliputi berbagai profesi seperti karyawan, pensiunan, pedagang, tani, buruh, jasa, pengangguran, dan lainnya. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian disajikan pada Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian

Jenis mata pencaharian Jumlah (jiwa) Karyawan Pegawai Negeri 1.618 TNI 2.933 Swasta 7.864 Pensiunan 926 Pedagang 3.353 Tani 1.999 Pertukangan 463 Pemulung 178 Buruh 1.625 Jasa 465 Pengangguram 359

Ibu Rumah Tangga 13.236 Usia sekolah/pelajar 16.994

Balita 2.836

Jumlah 55.445

Sumber : (Kelurahan Srengseng Sawah, 2013)

Kondisi Fisik Struktur Fisik Pekarangan

Ukuran Pekarangan

Setiap rumah sampel pada lokasi penelitian, memiliki bentuk dan ukuran/luas pekarangan yang berbeda-beda (Lampiran 1). Bentuk pekarangan pada setiap ukuran yang umumnya mewakili sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Menurut Arifin (1998), terdapat empat tipe ukuran pekarangan, yaitu pekarangan sempit dengan luas kurang dari 120 m2, pekarangan sedang dengan luas 120 m2 - 400 m2, pekarangan besar dengan luas 400 m2 - 1.000 m2, dan pekarangan sangat besar dengan luas lebih dari 1.000 m2. Luas keseluruhan dan rataan dari semua sampel pekarangan beserta klasifikasi berdasarkan ukurannya disajikan pada Tabel 8.

Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa sebagian besar pekarangan yang ada di lokasi penelitian berukuran sempit dan sedang. Berbeda dengan keadaan sebelumnya, dahulu masyarakat Betawi terkenal memiliki tanah yang cukup luas hingga sekian hektar dan ditumbuhi pohon buah-buahan yang memberikan hasil panen yang melimpah (Wardiningsih, 2005). Orang Betawi merupakan suku asli Jakarta, pemilik lahan yang luas dan subur. Lahan-lahan ini yang kemudian akan diwariskan kepada generasi berikutnya, dibagi sebagai warisan untuk anak-anak mereka. Lahan juga dipandang sebagai sumber penghasilan di PBB Setu Babakan, baik untuk disewakan ataupun dijual kepada pendatang. Saat ini banyak tempat tinggal baru yang sedang dibangun pada kawasan tersebut tanpa memperhitungkan konsekuensinya untuk masa depan.

Sehingga kondisi kawasan sudah terbilang cukup padat oleh areal terbangun, yang menyebabkan pekarangan, serta luas kebun menjadi semakin sempit dan berkurang.

Tabel 7 Bentuk pekarangan pada lokasi penelitian

Pekarangan Depan Samping KananZona PekaranganSamping Kiri Belakang Sempit

Sedang

Besar

Sangat Besar

Tabel 8 Luas pekarangan seluruh sampel pekarangan dan rataannya (m2)

RW 06 RW 07 RW 08 RW 09 Rata-rata 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Sempit 66,9 136 119 99 111 109 92,2 117 118 83,6 97,8 106 104,8 Sedang 127 218 360 250 140 379 208 297 341 160 165 177 235,5 Besar 423 651 - 469 472 - 405 405 884 404 439 679 523,5 Sangat Besar 3.238 - - - - - 1.010 1.543 1.752 - - - 1.886

Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (LPPBB) mencatat dari waktu ke waktu luas pekarangan di PBB Setu Babakan berkurang. Pada tahun 2009, berdasarkan catatan LPPBB, dari 5.000 keluarga hanya 250 keluarga atau lima persen warga PBB Setu Babakan yang mempunyai pekarangan ideal Betawi. Menurut Anggota Komite Tata Kehidupan dan Budaya LPPBB, Indra Sutisna pekarangan ideal kampung Betawi adalah pekarangan yang berisi pohon buah-buahan, tanaman obat-obatan, semak, dan perdu. Pekarangan itu tidak berpagar kayu, tembok, atau besi, melainkan tanaman jenis teh-tehan (Acalypha macrophylla) atau mangkok-mangkokan (Nothopanax scutellarium).

Tabel tersebut juga menginformasikan bahwa RW 08 sebagai embrio dari terbentuknya PBB Setu Babakan, wilayah dengan mayoritas penduduk asli (Betawi) merupakan satu-satunya RW yang memiliki klasifikasi pekarangan ukuran yang masih lengkap, yaitu terdapat ukuran pekarangan sempit, pekarangan sedang, pekarangan besar, dan pekarangan sangat besar. Secara keseluruhan pekarangan yang dijadikan sampel memiliki rata-rata ukuran pekarangan yaitu pekarangan sempit seluas 104,8 m2, pekarangan sedang seluas 235,5 m2, pekarangan besar seluas 523,5 m2, dan pekarangan sangat besar seluas 1.886 m2. Pola Pekarangan

Secara umum pola pekarangan di kawasan PBB Setu Babakan terbagi menjadi dua, yaitu pola pekarangan di tepi jalan (luar) dan pola pekarangan pada bagian dalam. Pola pekarangan yang berada di tepi jalan utama terdiri atas rumah-rumah yang menghadap dan berjajar sepanjang jalan. Sedangkan pola pekarangan bagian dalam pada umumnya terdiri dari rumah-rumah bergerombol dan saling berdesakkan menghadap kebun/ruang terbuka. Pola pekarangan bagian dalam dipengaruhi oleh sistem pewarisan yang ada pada budaya Betawi. Sistem pewarisan tersebut menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan pekarangan atau pembangunan rumah tinggal baru bagi keturunannya, yang umumnya rumah-rumah mengelilingi ruang terbuka.

Menurut Harun et.al (1999), fragmentasi adalah penambahan jumlah kepemilikan lahan tetapi dengan luas pemilikan yang semakin sempit karena adanya pewarisan atau karena jual beli sebagian lahan (Gambar 8). Proses ini menyebabkan semakin tidak jelasnya orientasi dan pola tata letak perkampungan Betawi.

(a) (b)

Gambar 8 Fragmentasi lahan (a) sebelum pewarisan, (b) setelah pewarisan

(a) (b)

Berdasarkan fungsinya, pekarangan terdiri dari tiga zona, yaitu pekarangan depan, pekarangan samping (kanan dan kiri), dan pekarangan belakang (Arifin et al., 1998). Dahulu dalam membangun rumah beserta pekarangan, orang Betawi percaya kepada perhitungan yang berporos kepada alam gaib. Perhitungan dilakukan oleh seorang kiai berdasarkan ilmu falak. Dia akan menghitung tempat pembangunan, arah, dan waktu dimulainya pembangunan, dengan naga bulan atau arah mata angin, yaitu bilir (rajab, rowah, puasa); bludik (sri mulud, jumadil awal, jumadil akhir); bekulon (syawal, apit haji); betan (sura, sapar, mulud). Namun kini rumah dan pekarangan budaya Betawi lebih ditentukan oleh alasan praktis seperti aksesibilitas serta tergantung pada kebutuhan pemilik rumah. Sehingga zonasi pekarangan budaya Betawi aslinya dibuat lengkap, yang terdiri dari pekarangan depan, samping kanan, samping kiri, dan belakang.

Pekarangan merupakan bagian dari lanskap Betawi, sebagai sarana orang Betawi berelasi dengan alam dan sesama. Menurut Anggota Komite Tata Kehidupan dan Budaya LPPBB, Indra Sutisna, pekarangan adalah lahan bermain anak-anak, pemberi hidup, dan lahan resapan air. Pada pekarangan budaya Betawi yang cukup luas, selain didirikan rumah tinggal, umumnya juga dibangun fungsi-fungsi lain yaitu fasilitas lapangan bermain dan olahraga seperti lapangan bulu tangkis, dan lainnya pada zonasi samping. Tujuannya untuk memfasilitasi masyarakat Betawi yang senang berkumpul, sesuai sifat orang Betawi yang mudah bergaul dan terbuka. Tidak hanya digunakan oleh keluarga yang tinggal di rumah, fasilitas tersebut dapat juga digunakan oleh orang yang berada disekitar rumah. Jika dikuatkan dengan kepercayaan orang Betawi, Orang mati itu tidak sama dengan kedebong pisang. Maknanya, ruh seseorang tetap hadir di lungkungan rumah keluarga tempat ia pernah hidup. Oleh karena itu, orang Betawi mengutamakan mengubur jenazah keluarganya di pekarangan rumahnya sendiri. Sedangkan untuk aktivitas/kegiatan sosial budaya lainnya, yaitu acara atau hajatan besar seperti pernikahan, nujuh bulan, sunatan/khitanan, akekah (qiqah), dilakukan pada zonasi depan sebagaipublic area. Tenda/tatarupdipasang didepan teras/pasebanuntuk melindungi dari terik matahari ataupun hujan. Selain itu juga dibuat panggung pertunjukkan untuk meramaikan acara/hajatan tersebut.

Tabel 9 menginformasikan bahwa pada lokasi penelitian setiap rumah memiliki pekarangan depan, namun untuk keberadaan pekarangan samping kanan, pekarangan samping kiri, dan pekarangan belakang sulit ditemui sekaligus pada semua sampel pekarangan. Hanya beberapa sampel rumah yang masih memiliki pekarangan dengan zonasi lengkap, dimana sebagian besar terletak di RW 08. Pada ukuran sempit, terdapat tiga rumah dengan pekarangan yang memiliki zonasi lengkap, yaitu pekarangan 3 di RW 06, pekarangan 1 di RW 08, dan pekarangan 2 di RW 09. Pada ukuran sedang, di masing-masing RW juga masih dapat ditemui pekarangan dengan zonasi lengkap, yaitu pekarangan 1 dan 3 di RW 06, pekarangan 2 dan 3 di RW 07, pekarangan 1 dan 2 di RW 08, serta pekarangan 3 di RW 09. Seperti sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidak semua RW memiliki ukuran pekarangan besar dan sangat besar. Dari ukuran besar yang ada, hanya dua pekarangan yang tidak memiliki zonasi lengkap, yaitu pekarangan 1 di RW 06 dan pekarangan 1 di RW 09. Sementara pada ukuran sangat besar yang ada, semua pekarangan memiliki zonasi lengkap. Oleh karena itu, dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa semakin besar ukuran suatu pekarangan maka peluang ditemukan zonasi pekarangan yang lengkap juga semakin besar. Seperti pada pekarangan budaya

Betawi dahulunya, selain karena alasan untuk kemudahan aksesibilitas, zonasi pekarangan yang lengkap mudah ditemukan pada setiap rumah karena rata-rata pekarangan yang dimiliki masyarakat memiliki ukuran yang luas.

Tabel 9 Intensitas ditemuinya zonasi pada setiap sampel pekarangan

Ukuran Pekarangan Zonasi RW 06 RW 07 RW 08 RW 09 Inten sitas 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Sempit Dpn 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,00 Ski 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0,83 Skn 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0,75 Blk 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 0 0,50 Sedang Dpn 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,00 Ski 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,00 Skn 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0,67 Blk 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0,91 Besar Dpn 1 1 - 1 1 - 1 1 1 1 1 1 0,83 Ski 1 1 - 1 1 - 1 1 1 0 1 1 0,75 Skn 1 1 - 1 1 - 1 1 1 0 1 1 0,75 Blk 0 1 - 1 1 - 1 1 1 1 1 1 0,75 Sangat Besar SkiDpn 11 -- -- -- -- -- 11 11 11 -- -- -- 0,330,33 Skn 1 - - - - - 1 1 1 - - - 0,33 Blk 1 - - - - - 1 1 1 - - - 0,33 Keterangan:

a. Ukuran pekarangan : Sempit (<120 m2), sedang (120-400 m2), besar (400-1000 m2), dan sangat besar (>1000 m2)

b. Zonasi Depan (Dpn), Samping kiri (Ski), Samping kanan (Skn), dan Belakang (Blk)

Arsitektur Rumah Betawi

Menurut Rizal (2013), pada arsitektur Betawi terdapat sistem pengetahuan lokal (local knowledge system) yang berakar pada kearifan lokal (local wisdom) dan pranata ilmiah (scientific institution) sebagai penunjang. Rumah tradisional Betawi umumnya mengadopsi dan banyak mendapat sentuhan dari kebudayaan luar, seperti Cina, Belanda, Portugis, atau Arab. Hal ini kemudian disesuaikan dengan iklim dan kebudayaan dari daerah sekitar Betawi (baca : Jakarta) dan Jawa. Sebelum kebudayaan luar masuk, rumah Betawi hampir sama dengan rumah tradisional lainnya yaitu menggunakan material bambu sebagai dinding dan tanah sebagai lantainya. Mengenai denahnya tidak jauh berbeda dengan bangunan modern yang ada kini, dimana terdapat area publik, area semi publik, dan area pribadi.

Sumber : www.jakarta.go.id

Periodisasi orang Betawi dalam membangun rumah terlihat pada material/bahan-bahan yang tersedia, yang juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi-sosial masyarakat. Dimulai dari dinding kayu dan bambu untuk rumah masyarakat biasa yang penghasilan rendah, dinding sebagian batu untuk rumah masyarakat menengah, serta dinding berbahan gabungan kayu dan batu untuk masyarakat yang sudah lebih maju, seperti tokoh masyarakat setempat. Namun kini berdasarkan keragamannya, arsitektur bangunan yang terdapat di lokasi penelitian, dibedakan menjadi tiga, yaitu arsitektur Betawi, arsitektur bercirikan hanya pada bagian atas, dan arsitektur modern (Gambar 10) yang seluruhnya sudah menggunakan dinding dengan bahan batu. Secara lebih lengkap bentuk-bentuk arsitektur rumah pada lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 2.

Rumah-rumah berarsitektur Betawi yang ada di kawasan PBB Setu Babakan selain merupakan bentuk inisiatif dari pemilik rumah dengan dana pribadi, juga merupakan program dari Pemerintah Kotamadya Jakarta Selatan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk tetap mempertahankan kelestarikan ciri khas budaya Betawi, yaitu dengan menganggarkan bantuan sebesar dua miliar untuk membangun tiga ratus rumah bernuansa Betawi. Bantuan anggaran tersebut diberikan pada warga yang tidak mampu membangun rumah khas Betawi. Selain bantuan pemerintah, perusahaan Antam melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) juga pernah melakukan program Bedah Rumah Berdesain Adat Betawi. Program ini bertujuan untuk menyediakan hunian yang aman, sehat, dan layak bagi masyarakat kurang mampu di daerah Jakarta dengan tetap melestarikan budaya setempat. Dengan bantuan dana sebesar lima ratus juta rupiah, program bedah rumah telah selesai dilakukan kepada sepuluh rumah terpilih. Pemilihan rumah-rumah tersebut selain diperuntukkan untuk masyarakat yang kurang mampu, kriteria lainnya yaitu pemilik rumah harus merupakan orang Betawi asli ataupun sesepuh Betawi di kawasan PBB Setu Babakan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa arsitektur bangunan/rumah di kawasan PBB Setu Babakan yang masih tradisional masih dapat ditemui dalam bentuk dan ukuran yang seadanya saja, tidak utuh. Beberapa rumah hanya menghadirkan nuansa Betawi dengan menggunakan elemen dekoratif berupa lisplang gigi balang pada bagian atas/atap rumah, langkan yang diletakkan pada bagian bawah berfungsi sebagai pagar teras, penggunaan jenis pintu dan jendela pada rumah Betawi, yaitu jendelakrepyak, sejenis pintu yang di tutup dengan kisi-kisi miring sehingga memudahkan aliran udara untuk keluar masuk, serta penggunaan ragam hias (Gambar 11).

(b)

(a) (c)

Gambar 10 Keragaman bangunan rumah : (a) berarsitektur Betawi , (b) arsitektur bercirikan hanya pada bagian atas , dan (c) berarsitektur modern

Sementara untuk elemen furnitur, rumah Betawi banyak mengadopsi dari bentuk kolonial Belanda. Hal ini terlihat dari bentuk dan materialnya, yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan kursi Betawi yang diletakkan di beranda/teras, pun dengan furnitur lainnya. Dari keempat RW, RW 08 merupakan wilayah yang paling banyak memiliki rumah dengan ragam hias Betawi dibandingkan wilayah lainnya. Hal tersebut dikarenakan RW 08 merupakan zona inti dari kawasan PBB Setu Babakan, sehingga kesan Betawi berusaha diangkat melalui bangunan-bangunan yang bernuansa khas budaya Betawi, baik bangunan-bangunan kantor pengelola, fasilitas seperti masjid, ataupun rumah-rumah warganya.

Namun menurut Rizal (2013), rumah untuk orang Betawi bukan sekadar wadah fisik, tidak pula melulu ihwal bentuk atap, struktur, atau massa bangunan saja, tetapi lebih-lebih suatu konsep ruang. Sedangkan konsep ruang itu berkaitan erat dengan kekhasan dan perilaku orang Betawi yang berpandangan bahwa alam menguasai manusia dan manusia integral dengan alam. Maka, ruang dalam arsitektur Betawi sebenarnya berperan untuk memenuhi fungsi-fungsi manusia dalam alam serta tunduk pada hukum-hukumnya. Tak heran jika setiap individu Betawi mempunyai berbagai kewajiban terhadap alam. Simbol ukiran yang disebutbebulandi atas pintu masuk rumah Betawi menegaskan arti penting siklus alam yang harus diperhatikan oleh manusia jika tidak ingin bahla atau celaka. Sebaliknya, jika manusia selaras dengan alam maka akan mendapatkan keuntungan berganda. Sehingga ruang terbuka di dalam konsep arsitektur Betawi menjadi subjek yang memiliki identitas sendiri, bukan hanya sebagai pendukung dari objek rumah ditengahnya. Rumah adalah aset yang dikelilingi aset-aset lain yang bahkan jauh lebih berharga daripada rumah itu sendiri secara material maupun kultural. Kebun pribadi misalnya, mendominasi halaman rumah karena pepohonan buah-buahan dan obat-obatan adalah aset paling berharga yang mengandung nilai material sekaligus spiritual. Betapa tipis batas ruang dalam dengan ruang luar dalam arsitektur Betawi.

Berdasarkan Lemtek FTUI dan Dinas Tata Kota DKI (2001), pola tata ruang dalam rumah Betawi pada dasarnya terbagi tiga yaitu bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang. Tidak adanya referensi tentang pola ruang luar yang merupakan ekspansi dari ruang dalam, maka ruang dalam dijadikan basis untuk penataan bentang alam kawasan PBB Setu Babakan :

1. bagian depan, yang sering disebut serambi depan karena bersifat terbuka. Di bagian ini seringkali terdapat tanaman hias untuk menyambut tamu atau orang luar. Tanaman yang terdapat di bagian depan cenderung memiliki batang

Gambar 11 Beberapa detail arsitektur Betawi : (a) lisplanggigi balang, (b) pagar teraslangkan, dan (c) jendelakrepyak

(b)

tanaman yang pendek seperti kacapiring, kembang sepatu, kenanga, lidah buaya, dan lainnya;

2. bagian tengah, yang merupakan bagian pokok dari rumah Betawi. Tanaman yang sering ditemukan di samping rumah adalah jenis tanaman buah-buahan seperti belimbing, rambutan, sawo, jambu, dan yang lainnya;

3. bagian belakang, disebut ruang belakang. Ruangan ini sering disebut rumah dapur karena digunakan untuk memasak. Hal ini mempengaruhi jenis tanaman yang ditanam memiliki hubungan dengan masak-memasak seperti tanaman bumbu dapur dan sayuran. Contohnya seperti tanaman melinjo, daun katuk, lengkuas, jahe, daun suji, dan lainnya. Untuk elemen non tanaman seperti jamban dan sumur juga ditemukan di bagian belakang karena lebih dekat dengan rumah dapur.

Elemen Pekarangan

Dokumen terkait