• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Interprestasi dan hasil diskusi a. Karakteristik responden

Berdasarkan data demografi responden hasil penelitian dari 38 responden di Dusun IX Desa Bandar Setia diperoleh bahwa mayoritas responden berumur diantara 30-39 tahun dengan frekuensi 20 orang (52,6%), pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 20 orang (52,6%), berpendidikan SMP sebanyak 16 orang (42,1%), dan suku Jawa sebanyak 38 orang (100%).

b. Sosial budaya

Berdasarkan dari 11 pernyataan mengenai sosial budaya tentang pemberian makanan pendamping ASI pada bayi 0 – 6 bulan, didapat bahwa responden yang diperoleh bahwa mayoritas sosial budaya responden adalah positif sebanyak 29 orang (76,3%). Dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden masih menganggap masih kentalnya sosial budaya yang di anut oleh masyarakat setempat ataupun oleh orang terdahulunya dari responden penelitian.

Menurut Suparyanto (2013), sosial budaya adalah hal yang komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, norma, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan. Masyarakat kurang menyadari bahwa kurang mengetahui beberapa tradisi dan sosial budaya yang bertentangan dari segi kesehatan yang dimana hal ini tentunya berkaitan atau tidak terlepas dari suatu pendidikan.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuliarsi (2012) di Depok Jawa Barat bahwa sosial budaya tidak berpengaruh terhadap pemberian makanan pendamping ASI karena sebagian besar ibu (69,9%) dengan sosial budaya positif tetap memberikan ASI Eksklusif. Penelitian para ahli menjelaskan mengapa jumlah ibu yang menyusui bayinya cenderung menurun adalah karena semakin banyak ibu bekerja dan adanya anggapan bahwa menyusui adalah lambang keterbelakangan budaya dan alasan estetika. (Sjahnien (2008), dalam jurnal ilmiah kesehatan keperawatan (2015).

Pemberian MP ASI pada bayi merupakan hal yang sudah dilakukan secara bertahu-tahun lamanya dan secara turun temurun merupakan budaya di masyarakat Jawa. Karna dilihat dari penelitian ini 100% masyarakat suku Jawa yang melakukan pemberian MP ASI dini kemungkinan karena suku Jawa cenderung masyarakat itu mempunyai pemikiran bahwa anak yang diberikan ASI masih menangis berarti bayi ini masih lapar dan harus diberikan makanan, biasanya yang sering diberikan yaitu pisang atau nasi yang dilembutkan, memang pada kenyataannya setelah diberikan makanan tersebut bayi menjadi tenang dan tidur sehingga akhirnya masyarakat Jawa berpikir bahwa ini baik diberikan pada usia dibawah 6 bulan dan memang sampai sekarang masih ada yang melakukan mereka tahu ataupun tidak tahu tetap melakukan.

c. Pemberian makanan pendamping ASI pada bayi 0 - 6 bulan

Dari 11 pernyataan untuk mengetahui frekuensi mengenai pemberian makanan pendamping ASI pada bayi 0 – 6 bulan diperoleh

bahwa mayoritas responden memberikan makanan pendamping ASI sebelum waktunya sebanyak 28 orang (73,7%).

Dalam penelitian Suhardjo (2003), mayoritas responden adalah ibu rumah tangga namun responden memberikan makanan pendamping ASI pada saat bayi dibawah 6 bulan. Hal ini disebabkan karena ibu memiliki keyakinan yang dilatarbelakangi aspek budaya bahwa bayi akan rewel jika hanya diberikan ASI ekskusif selama 6 bulan sehingga ibu tersebut memutuskan memberikan makanan pendamping ASI kurang dari 6 bulan. Meskipun ibu rumah tangga memiliki banyak waktu dala m memberikan ASI, namun aspek budaya ini sangat kental sehingga ibu mulai mengenalkan makanan pendamping ASI sebelum usia 6 bulan faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini, seperti sosial budaya yang ada pada lingkungan setempat.

Hasil penelitian yang saya lakukan bahwasannya responden sosial budayanya yang memberikan makanan pendamping ASI pada bayi 0 – 6 bulan bermayoritas suku Jawa, responden menganggap bahwa makanan pendamping ASI sangat dibutuhkan bagi bayinya, alasannya takut bayi akan kelaparan jika diberikan ASI saja, agar bayi cepat gemuk dan tidak rewel. Meskipun mayoritas pekerjaan responden sebagai ibu rumah tangga, responden tetap memberikan makanan pendamping ASI pada bayinya, padahal pekerjaan sebagai ibu rumah tangga seharusnya mempunyai peluang untuk memberikan bayinya ASI ekslusif. Hal ini dipengaruhi oleh kepercayaan/keyakinan suatu desa yang menganggap tindakan memberikan makanan pendamping ASI pada bayi sebulum usia 6 bulan itu benar.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mubin, M.F & Puji, A (2008) dari analisis korelasi daat disimpulkan ada hubungan sosial budaya (tradisi) dengan pemberian makanan pendamping ASI, yang artinya masyarakat tau usia berapa dan kapan MP ASI diberikan kepada bayinya. Hal ini disebabkan karena sosial budaya (tradisi) daerah setempat baik. Pemberian makanan tambahan sudah menjadi tradisi yang sangat kuat di kalangan masyarakat, yang didasariatas pertimbangan ibu -ibu tentang kebutuhan makanan anak. Menurut Wiryo (2007) di daerah pedesaan kebanyakan masyarakat terbiasa memberikan nasi atau pisang sebagai makanan tambahan kepada bayi.

Williams, L & Wilkins (2006) dalam jurnal Setiawan (2009), pemberian makanan pendamping ASI dini sama saja dengan membuka gerbang masuknya berbagai jenis kuman penyakit. Hasil riset menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan makanan pendamping ASI sebelum usia 6 bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk pilek, dan panas dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI ekslusif.

d. Hubungan sosial budaya dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi 0 – 6 bulan

Berdasarkan perhitungan uji statistik terhadap 38 responden, dapat digambarkan hasil yang diperoleh dengan nilai chi square sebesar 0,001 yang berarti ada hubungan sosial budaya dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi 0 – 6 bulan.

Hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Daulat Ginting, dkk (2012), bahwa hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0,001 maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh secara bermakna antara

sosial budaya dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi usia <6 bulan. Hasil analisis ini juga sesuai dengan hasil penelitian Safrina di Kota Langsa dan hasil penelitian Asdani Padang di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah, yang menyatakan bahwa ada pengaruh sosial budaya terhadap pemberian MP-ASI dini pada bayi usia <6 bulan. 2. Keterbatasan penelitian

Pada penelitian ini, peneliti merasakan masih banyak keterbatasan yang dihadapi dalam melaksanakan penelitian, hingga penyajian hasil. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini antara lain meliputi : keterbatasan waktu untuk mengganti soal pernyataan yang tidak valid, keterbatasan waktu untuk memantau satu per satu responden dalam pengisian kuesioner, pengungkapan ide serta pendapat yang kurang tepat, penggunaan data, teknik pengolahan data, serta analisa data yang kurang sempurna.

3. Implikasi terhadap pelayanan kebidanan dan penelitian kebidanan a. Untuk asuhan kebidanan

Penelitian ini memberikan informasi kepada pelayanan kebidanan dalam memberikan penjelasan tentang pemberian makanan pendamping ASI pada bayi sehingga tidak ada lagi ibu-ibu yang memberikan MP ASI terlalu dini/ usia kurang dari 6 bulan pada bayinya

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi tambahan bagi pengembang ilmu kebidanan khususnya tentang makanan pendamping ASI pada bayi agar dapat menerapkan kapan dan usia berapa bayi baru bisa diberikan MP ASI.

Dokumen terkait