• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

Anamnese berguna untuk mendapatkan informasi berdasarkan keluhan pasien. Anamnese yang dilakukan oleh klinisi pada kasus ini sudah mengarah kepada gejala klinis dan faktor pencetus terjadinya suatu penyakit. Namun bila klinisi sudah menduga kemungkinan penyakit ini adalah pemphigus vulgaris, seharusnya klinisi lebih mengarahkan lagi anamnese ke arah yang berhubungan dengan faktor pencetus terjadinya penyakit ini agar diagnosis dapat ditegakkan. Anamnese lain yang mungkin harus ditanya adalah berhubungan dengan stress emosi dan fisik, jenis makanan yang dapat menyebab pemphigus seperti bawang dan rempah. Selain itu perlu ditanya juga jenis obat antihipertensi yang digunakan karena obat angiotensin

converting enzyme inhibitors merupakan salah satu obat yang merangsang terjadinya

pemphigus vulgaris.

Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnese dan gambaran klinis. Pada kasus ini terdapat beberapa tanda klinis yang sangat mirip dengan gejala dari pemphigus vulgaris yaitu terdapat krusta dan eritematous di bibir bawah pada pemeriksaan ekstra oral sedangkan pada pemeriksaan intra oral terlihat deskuamasi pada bagian ginggiva serta terdapat sebiji bula yang masih utuh dan menunjukkan tanda Nikolsky. Ulser terbentuk apabila vesikel pecah dan dasar dari ulser tidak konkaf. Namun tanda klinis ini masih dapat didiagnosa bandingkan dengan bullous pemphigoid, dermatitis herpetiformis, erythema multiforme, dan lichen planus.

Stres fisik akibat terlalu letih walaupun oleh aktivitas yang menyenangkan dapat merangsang terjadinya pemphigus vulgaris.2 Penulis menduga faktor pencetus terjadinya pemphigus vulgaris pada pasien ini disebabkan penggunaan obat hipertensinya yaitu angiotensin converting enzyme inhibitors atau penghambat ACE25

ditambah keletihan akibat pekerjaan pasien sebagai guru olah raga. Kelompok ubat dari golongan penghambat ACE seperti kaptopril dan enalapril yang memiliki gugus thiol sering dikaitkan dengan terjadinya pemphigus vulgaris. Mekanisme terjadinya dapat diterangkan melalui beberapa hipotesis yaitu obat ini dapat mengganggu kerja enzim seperti keratinocyte transglutaminase yang akhirnya menyebabkan hilang

perlekatan antara sel. Mekanisme lain ialah dengan mengaktivasi enzim proteolitik seperti plasminogen aktivator, berikatan dengan DSG membentuk neoantigen yang akan merangsang respon imun serta berikatan dengan antigen pemphigus yang mengakibatkan terganggu fungsi normalnya dan kesemua hal ini akan menyebabkan terjadinya akantolisis

Bila obat hipertensi dari golongan angiotensin converting enzyme inhibitors

disini berperan sebagai pencetus maka dianjurkan supaya pasien menghubungi dokter penyakit dalamnya dan meminta untuk menukar dengan obat yang tidak termasuk dalam golongan obat yang mampu sebagai pencetus pemphigus vulgaris seperti golongan obat diuretik, α-blocker dan β-blocker. Penggantian juga dapat dilakukan dengan pemberian antihipertensi tambahan seperti vasodiladator langsung, adrenolitik sentral dan penghambat saraf adrenergik.25 Selain itu, pasien juga perlu banyak istirahat untuk mengurangi stres fisik.

Pada kasus ini klinisi melakukan pemeriksaan biopsi ulang karena meragukan hasil yang didapat pada pemeriksaan pertama. Hasil berbeda yang didapati dari dua pemeriksaan ini biopsi mungkin merupakan kesalahan intepretasi dimana pada pemeriksaan pertama gambaran mikroskopiknya berupa pembesaran inti pleomorfik kromatin kasar dan gambaran inilah yang menyebabkan kesimpulan yang diambil adalah keratinizing skuamous sel karsinoma sedangkan pada pemeriksaan biopsi kedua dinyatakan walaupun memang terjadi pembesaran inti pada beberapa sel namun masih berada dalam batas normal dan tidak konfirmatif untuk malignansi. Ini menolak pendapat pertama dan menegakkan diagnosa proses inflamasi dimana pada kedua pemeriksaan biopsi terdapat proses inflamasi sedangkan pada pemeriksaan pertama tampak massa keratin dengan latar belakang smear sel-sel radang limfosit sedangkan pada pemeriksaan kedua didapati sediaan terdiri dari infiltrasi berat sel-sel radang dan terdapat banyak makrofag. Kehadiran sel radang hanya memberikan gambaran terjadinya proses inflamasi namun untuk menegakkan diagnosis pemphigus vulgaris, seharusnya pada pemeriksaan mikroskopik, harus disertakan laporan bahwa terdapat perpisahan antara sel akibat kehadiran sel radang atau terlihatnya sel Tzanck / akantolisis untuk menegakkan diagnosa pemphigus vulgaris. Selain itu, untuk menegakkan dengan pasti diagnosa pemphigus vulgaris, perlu dilakukan pemeriksaan direct immunofluorescence dari hasil biopsi dimana adanya autoantibodi

dapat dilihat dengan gambaran khusus yaitu corak yang menyerupai renda atau

chicken-wire pattern dari penumpukan yang mengelilingi setiap epitel sel.19 Penulis

biopsi sebelumnya memberikan hasil yang berbeda untuk memastikan pemeriksaan biopsi yang mana yang benar.

Selain itu dilakukan juga pemeriksaan IgG dan hematologi lengkap di PRAMITA Lab. Pemeriksaan IgG menunjukkan kadar IgG tinggi namun masih dalam batas normal. Kadar IgG yang tinggi sesuai dengan gambaran pemphigus vulgaris namun tidak dapat dipastikan IgG ini normal atau IgG yang patogen karena tidak dilakukan pemeriksaan indirect immunofluorescence dimana pada pemeriksaan

ini, serum pasien akan dicampur dengan jaringan kontrol untuk mengidentifikasi kehadiran dan konsentrasi antibodi sirkulasi.18 Peningkatan IgG dalam darah juga mungkin dapat dikaitkan dengan penggunaan susu tinggi IgG oleh pasien dan ini mungkin dapat menimbulkan hasil pemeriksaan yang false positive. Klinisi

melakukan pemeriksaan hematologi lengkap untuk melihat kelainan dalam darah terutama eosinophil untuk mengetahui apakah diagnosis dokter kulit benar yaitu pasien mengalami alergi. Penulis setuju dengan tindakan ini karena hasil dari pemeriksaan darah lengkap yang normal ini dapat mengeliminasikan kemungkinan beberapa penyakit yang memiliki tanda kelainan pada pemeriksaan darah lengkap contohnya alergi yang mungkin dapat didiagnosa bandingkan karena gambaran klinis yang mirip pada kasus ini.

Penegakan diagnosis pada kasus ini dilakukan berdasarkan pertimbangan, pada anamnese terdapat beberapa faktor pada pasien yang dapat mencetus terjadinya pemphigus vulgaris, gambaran klinis yang sangat mirip dengan gejala pemphigus vulgaris namun hasil pemeriksaan biopsi yang tidak menyertakan kehadiran sel Tzank menyebabkan hasil dari pemeriksaan ini tidak mendukung.

Perawatan dengan kortikosteroid merupakan perawatan yang paling sering dan populer untuk pemphigus vulgaris yang bertujuan mengurangi inflamasi dengan cara menekan sistem kekebalan tubuh. Pemberian Prednison 5 mg merupakan perawatan yang tepat dan dapat mengendalikan gejala pada pasien ini namun pemberian dosis tidak sesuai dengan perawatan standard untuk pemphigus vulgaris. Pengobatan awal dengan Prednison 5 mg 3x2 menyebabkan total dosis perhari menjadi 30 mg dan dosis ini agak rendah dibandingkan dengan dosis yang seharusnya diberikan. Dosis ini dianggap rendah terutama karena klinisi tidak menggunakan terapi adjuvan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi yaitu 60-180 mg perhari diindikasikan untuk kasus pemphigus vulgaris.

Terapi adjuvan berguna untuk mengurangi efek samping dari kortikosteroid. Terapi adjuvan konvensional ini termasuk berbagai agen immunosupresif seperti

azathioprine, mycophenolate mofetil, methotrexate, cyclophosphamide, chlorambucil,

cyclopsorine..22 Klinisi tidak menggunakan terapi adjuvan dalam merawat kasus ini.

Penulis berpendapat terapi adjuvan perlu diberikan terutama apabila dosis kortikosteroid yang digunakan rendah untuk membantu meningkatkan efek terapi kortikosteroid. Dalam sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 48 pasien

pemphigus vulgaris, 31% pasien dari kelompok yang hanya menggunakan 40-100mg/hari prednison meninggal akibat komplikasi penyakit dan 50% pasien dari

kelompok yang menggunakan lebih dari 100mg/hari prednison juga meninggal akibat efek samping perawatan itu sendiri. Kematian tidak dilaporkan pada kelompok yang menggunakan 40 mg prednison selang sehari(alternate-day regimen) dan

kasus ini berperan untuk mengurangi efek samping kortikosteroid serta membantu kerja kortikosteroid sehingga gejala penyakit dapat dikontrol.26

Pada kasus ini pemberian obat oles (yang mengandung antibiotik Kemicitine 1 gr, antialergi Avil 0,25 gr, Lanolin 2,5 gr, Vaseline ad 25 gr) pada lesi ulser yang masih aktif di dalam mulut membantu mengurangi gejala. Obat kumur yaitu Tanflex (benzydamine HCl 1,5mg) yang memiliki efek anastesi lokal, antiinflamasi, antimikrobial telah mengurangi krusta yang terdapat pada bibir

Edukasi yang diberikan oleh klinisi untuk kasus ini adalah supaya menyeimbangkan nutrisi makanan dan melakukan olahraga yang seimbang. Pasien juga diminta untuk mengurangi makan daging, mengurangi susu IgG dan memperbanyakkan memakan buah-buahan dan sayur serta dirujuk ke bagian periodontal untuk diskeling. Pasien perlu diberi edukasi dalam usaha mengurangi efek samping perawatan yaitu penggunaan kortikosteroid yaitu dengan melakukan olahraga rutin untuk membantu masalah otot dan sakit sendi, untuk mempertahankan kekuatan otot dan mengurangi risiko osteoporosis.2,24 Selain itu pemberian gizi yang kaya dengan kalsium seperti susu, keju dan yogurt serta pemberian vitamin D dan suplemen kalsium juga dapat mengurangi osteoporosis. Untuk mengelakkan pertambahan berat badan akibat kortikosteroid, pasien dapat mempertahankan berat badan dengan mengkonsumsi diet tinggi protein dan rendah karbohidrat dan lemak. Untuk lesi aktif di dalam mulut yang sakit, pasien dapat mengkonsumsi makanan dalam bentuk cairan dan jika perlu diisap menggunakan pipet atau menggunaan obat kumur anastetik sebelum makan.2 Pasien memiliki kebersihan mulut yang tidak baik maka perlu diberi edukasi supaya penyikatan gigi dilakukan dengan menggunakan

43

sikat gigi lembut untuk anak-anak dan pasta gigi untuk gigi sensitif menghindari rasa nyeri akibat pasta gigi yang mempunyai rasa yang keras. Lima belas menit sebelum menyikat gigi, kumur-kumur dengan obat kumur yang mengandungi anastesi berguna untuk mengurangkan rasa nyeri ketika menyikat gigi.2 Hanya satu arahan kinisi yang kurang sesuai yaitu tidak ada literatur yang menyatakan hubungan penggunaan protein pada jumlah yang besar dengan terjadinya pemphigus vulgaris bahkan untuk mengurangi efek samping dari perawatan pemhigus vulgaris, pasien dianjurkan untuk diet tinggi protein.

Dokumen terkait