• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

5.2 Pembahasan Penelitian

5.2.1. Kualitas Hidup Penderita Tb Paru

Penelitian tentang kualitas hidup pada penderita tuberkulosis paru sangat penting dilakukan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh penyakit tuberkulosis paru terhadap kualitas hidup. Hal ini bisa juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk membuat implementasi pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di masyarakat.

Perubahan akibat penyakit dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan manusia dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita. Hasil penelitian yang ditunjukkan pada table 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (65,3%) memiliki kuliatas hidup yang buruk. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jiliandari, Kustanto dan Hidayati (2014) di Puskesmas Perak Timur Surabaya, hasil penelitiannya menunjukkan sebanyak 20% pasien mempunyai kualitas hidup baik, 47% mempunyai kualitas hidup sedang dan 33% pasien mempunyai kualitas hidup buruk. Hal ini membuktikan bahwa rendahnya kualitas hidup penderita tuberkulosis paru. Guo, Marra, dan Marra (2009) menyatakan bahwa tuberkulosis paru mempunyai dampak yang besar dan menyeluruh terhadap kualitas hidup penderitanya.

44

Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah usia. Rochmayanti (2011) dalam Tambunan (2014) menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia maka kualitas hidup akan menurun, hal ini terjadi akibat penurunan fungsi fisiologis yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia dan penurunan fungsi fisiologis ini menyebabkan seseorang mengalami hambatan dalam setiap upaya untuk meningkatkan gaya hidup dan meningkatkan kualitas kesehatan yang berhubungan dengan kehidupan pasien. Teori tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Pada penelitian ini rata-rata responden berada pada usia produktif yaitu rentang usia 17-45 tahun yaitu sebanyak 61,2%.

Kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan, berdasarkan perbedaan jenis kelamin menunjukkan bahwa pada pasien tuberkulosis paru laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih buruk dari pada perempuan. Hal ini dikarenakan kebiasaan merokok pada laki-laki. Perbedaan kebiasaan dalam mencari pertolongan medis yang menyebabkan deteksi yang buruk terhadap kejadian penyakit dikalangan wanita, stigma buruk yang ditempelkan terhadap wanita yang terdiagnosis positif tuberkulosis paru menyebabkan banyak wanita yang akhirnya enggan mencari pengobatan, jadi mereka tidak mencari pertolongan medis sampai penyakitnya menjadi berat (Waisbord, dalam Tambunan, 2014). Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (73,5%).

Tambunan (2014) mengemukakan bahwa orang yang menikah atau tinggal bersama pasangannya akan mempunyai kualitas hidup yang baik. Responden yang

45

menikah dan tinggal bersama keluarga mempunyai keteraturan dalam menjalani pengobatannya. Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam memperhatikan pengobatan anggota keluarganya. Keluarga harus memberi dukungan agar penderita dapat menyelesaikan pengobatannya sampai sembuh. Peran keluarga yang baik merupakan motivasi atau dukungan yang ampuh dalam mendorong pasien untuk berobat teratur sesuai anjuran. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar penderita tuberkulosis paru sudah menikah yaitu sebanyak 73,5%.

Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis. Zahran (2005) dalam Tambunan (2014) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah dan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya, perilaku kesehatan yang mendukung kualitas hidup sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Individu dengan pendidikan sekolah menengah kebawah mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk bila dibandingkan dengan individu yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dan berpengetahuan. Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian pada tabel 5.1 ditemukan bahwa sebagian besar responden tergolong dalam tingkat pendidikan sekolah menengah atas sebanyak 69,4%.

46

Selain faktor usia, jenis kelamin, status perkawinan dan pendidikan. Status pekerjaan juga berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien tuberkulosis paru. Tambunan (2014) yang di kutip dari Elisabeth, et al (2005) menyatakan bahwa status pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien, pekerjaan berhubungan dengan aktualisasi diri seseorang dan mendorong seseorang lebih bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas. Namun responden yang bekerja kemungkinan besar mempunyai kegiatan yang lebih padat dan mengalami stres yang lebih tinggi terhadap pekerjaannya, sehingga dapat mempengaruhi efikasi diri dan kualitas hidup seseorang. Pada penelitian ini status pekerjaan responden sebagian besar adalah wiraswasta yaitu sebanyak 49,0%.

Panjaitan (2011) dalam Tambunan (2014) menyebutkan bahwa penderita tuberkulosis paru pada umumnya adalah masyarakat yang tergolong miskin. Peneliti mengemukakan kemiskinan secara langsung menjadi faktor risiko menderita tuberkulosis paru dan cenderung akan menurunkan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru, karena hal ini dapat memperberat kondisi pasien. Penyakit tuberkulosis paru seringkali dihubungkan dengan kemiskinan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Sebagian besar kasus Tuberkulosis paru terjadi pada masyarakat miskin. Orang yang tidak bekerja mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah serta mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah bila dibandingkan dengan orang yang mempunyai pekerjaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang terdapat pada table 5.1 bahwa pengasilan per bulan rata-rata responden adalah dibawah 1.000.000 yaitu sebanyak 36,7%. Hal ini juga

47

berkaitan dengan banyak juga respnden yang tidak memiliki pekerjaan, masih dalam tahap pendidikan dan hanya sebagai ibu rumah tangga saja.

Kualitas hidup yang menurun pada pasien tuberkulosis dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan dan berdampak negatif terhadap kelangsungan pengobatan sehingga menyebabkan pengobatan menjadi terputus atau tidak tuntas (drop out) (Ratnasari, 2012). Faktor paling dominan yang mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberkulosis paru adalah faktor lama pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan yang lebih lama dapat menyebabkan semakin baiknya kualitas hidup pasien (Jannah, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita tuberkulosis paru yang menjadi responden penelitian menderita TB paru selama 3 bulan (30,6%), hal ini menunjukkan bahwa proses pengobatan masih pada tahap awal pengobatan.

5.2.2. Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Domain Kualitas Hidup.

Kualitas hidup penderita Tuberkulosi paru pada penelitian ini dibahsa berdasarkan empat domain kualitas hidup menurut WHOQOL-BREF, yaitu domain fisik, domain psikologikal, domain hubungan sosial, dan domain lingkungan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, berdasarkan kategori baik dan buruk, domain fisik menunjukkan perbandingan yang signifikan dibandingkan domain kualitas hidup yang lain. Sebanyak 75,5% penderita tuberkulosis paru berada pada kategori buruk dan 24,5% pada kategorik baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Masood, S. A., Muhammad, W, Muhammad, A., (2012) yang

48

menyatakan bahwa domain fisik merupakan domain yang berada pada kondisi paling buruk pada penderita tuberkulosis paru. Sekitar 74,2% penderita tuberkulosis paru sering merasakan nyeri pada tubuhnya.

Djojodibroto (2009) menjelaskan bahwa penyakit tuberkulosis paru sangat mempengaruhi fungsi fisik penderitanya. Penderita akan sering merasa demam, malaise yang terjadi dalam jangka panjang. Selain itu penderita tuberkulosis paru akan mengalami batuk kering ataupun batuk produktif. Hal ini juga menyebabkan sesak napas pada penderitanya, serta adanya rasa nyeri pada dada yang disebabkan oleh infeksi kuman tuberkulosis tersebut.

Domain psikologis juga menunjukkan perbandingan yang berarti antara kategori baik dan kategori buruk. Penderita tuberkulosis paru yang memiliki kategori baik hanya 26,5% sedangkan sebanyak 73,5% menunjukkan kategori buruk. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masood, Muhammad dan Muhammad (2012) yang menyatakan bahwa pada umumnya penderita tuberkulosis paru hidup dengan depresi dan merasakan ancaman kematian yang cukup tinggi.

International Union Againts Tuberculosis and Lung Desease (dalam Jannah 2015) menyatakan bahwa pasien ketika didiagnosa tuberkulosis paru akan timbul ketakutan dalam dirinya, biasanya berupa ketakutan akan pengobatan, kematian, efek samping obat, menularkan penyakit ke orang lain, perasaan rendah diri, serta selalu mengisolasi diri karena malu dengan keadaan sekitarnya, bahkan ada dari pasien tuberculosis paru yang berpikir untuk bunuh diri.

49

Domain hubungan sosial menunjukkan sebanyak 51% penderita tuberkulosis paru berada pada kategori baik dan 49% diantara nya berada pada kategori buruk. Rata-rata penderita tuberkulosis paru memperoleh kepuasan dengan hubungan pribadinya, hubungan seksualnya serta mendapatkan kepuasan dengan dukungan yang diberikan oleh orang sekitarnya. Terok, M. P., Bawotong, J., Untu, F. M., menyatakan bahwa semakin tinggi dukungan yang diperoleh oleh penderita tuberkulosis paru maka semakin tinggi pula kualitas hidup penderitanya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2012) yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita tuberkulosis paru.

Ratnasari (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hubungan sosial berupa dukungan sosial yang didapat penderita tuberkulosis dari orang-orang di sekitar pendrita dapat mempengaruhi perilaku penderita tuberkulosis paru, seperti penurunan rasa cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita tuberkulosis paru tersebut. Selain itu, dukungan dari pihak keluarga ataupun orang-orang sekitar juga dapat meningkatkan kepatuhan penderita tuberkulosis paru dalam proses pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita tuberkulosis paru.

Hampir sama dengan domain hubungan sosial, Domain lingkungan menunjukkan perbedaan yang tidak begitu signifikan antara kategori baik dan kategori buruk. Sebanyak 55,2% penderita berada pada kategori baik dan 44,9% berada pada kategori buruk. Sebagian besar penderita tuberkulosis paru merasa

50

puas dengan kondisi lingkungan mereka. Lima, dkk (2004) dalam Lombu (2015) menyatakan bahwa domain lingkungan berhubungan dengan kebebasan, keamanan fisik, akses ke lingkungan sosial, akses pelayanan kesehatan serta transportasi. Domain lingkungan akan rendah nilainya apabila penderita tuberkulosis paru tidak memiliki orang lain yang dapat memberikan dukungan pada mereka selama masa penyakit atau pengobatannya.

51

Dokumen terkait