• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan Penelitian

Data karakteristik pasien yang diperoleh meliputi jenis kelamin, usia, keparahan sepsis, lama perawatan, jumlah obat yang diterima selama perawatan dan jumlah antibiotik yang diterima selama perawatan. Data jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah antara pasien laki-laki dan perempuan hampir seimbang, yaitu 53,8% laki-laki dan 46,2% perempuan. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian cohort yang dilakukan oleh Brun-Buisson (1995), Danai dan Martin (2005) dan Engel et al (2006) yang melaporkan bahwa sepsis lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Laki-laki beresiko

44

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menderita sepsis 30% lebih besar dibanding dengan perempuan (Danai dan Martin, 2005). Perbedaan ini kemungkinan karena jumlah sampel yang sedikit dan juga karena tidak semua pasien sepsis di RUMKITAL Dr. Mintohardjo diteliti. Hanya pasien sepsis yang menerima meropenem saja yang termasuk kriteria inklusi dalam penelitian ini.

Data usia pasien menunjukkan bahwa kelompok usia pasien terbanyak adalah lansia awal (46-55 tahun) sebesar 30,8%. Jika usia semua pasien dirata-ratakan maka didapatkan usia 46,5 tahun. Menurut Danai dan Martin (2005) rerata usia pasien sepsis adalah 55-65 tahun. Dibandingkan dengan penelitian tersebut, rerata usia pasien sepsis pada penelitian ini lebih muda. Hal ini kemungkinan dikarenakan karena jumlah sampel yang sedikit dan adanya perbedaan ruang lingkup dan waktu penelitian. Kemungkinan lain perbedaan ini berkaitan dengan tipe rumah sakit. Engel et al (2006) melaporkan bahwa pada rumah sakit besar, pasien sepsis cenderung berusia lebih muda. RUMKITAL Dr. Mintohardjo merupakan rumah sakit tipe B dengan jumlah tempat tidur 256 buah termasuk rumah sakit besar, sehingga kemungkinan pasien sepsis cenderung berusia lebih muda.

Data jenis keparahan sepsis menunjukkan sebesar 19 pasien (73,1%) mengalami sepsis, 3 pasien (11,5% ) mengalami sepsis berat dan 4 pasien (15,4%) mengalami syok septik. Salah satu isu penting dalam terapi sepsis adalah apakah keparahan sepsis berpengaruh pada pemilihan antibiotik. Tidak ada penelitian

randomized controlled trial (RCT) yang sudah dilakukan mengenai hal ini. Hal yang sudah jelas adalah pada pasien yang mengalami syok septik, terapi dengan antibiotik yang tidak efektif tidak dapat diterima. Konsekuensinya, rejimen antibiotik untuk pasien syok septik harus efektif melawan bakteri patogen yang dicurigai. Tetapi tidak ada bukti berapa level resistensi antibiotik yang masih bisa diterima untuk terapi pasien sepsis (SWAB, 2010). Karena itu, evaluasi ketepatan antibiotik dalam penelitian ini akan mengacu pada terapi secara umum tanpa memandang keparahan pasien.

Data jenis terapi meropenem pasien yang didapat dari rekam medis dan laporan rekapitulasi hasil kultur menunjukkan bahwa mayoritas pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris yaitu sebesar 24 pasien (92.3%). Banyaknya

terapi empiris dikarenakan banyak uji kultur yang dilakukan memberikan hasil negatif. Adapun pasien yang menerima meropenem sebagai terapi definitif sesuai hasil kultur hanya 2 pasien (7.7%). Dari 26 rejimen meropenem yang termasuk kriteria inklusi, tidak semuanya didukung oleh data kultur mikrobiologi. Sebanyak 6 pasien tidak melakukan uji kultur mikrobiologi. Adapun 20 pasien lain yang melakukan hasil uji kultur mikrobiologi, memberikan hasil 9 kultur positif dan 11 kultur negatif. Kebanyakan uji kultur tersebut dilakukan setelah meropenem mulai diberikan sehingga penggunaan meropenem dianggap sebagai terapi empiris. Jikapun uji kultur dilakukan sebelum pemberian meropenem, hasil uji kultur tersebut adalah negatif (tidak ada kuman yang tumbuh). Sekitar 50% hasil kultur dari pasien sepsis adalah negatif (Phua et al, 2013). Ada beberapa kemungkinan penyebab hasil negatif tersebut. Pertama, sensitivitas uji kultur mikrobiologi yang rendah. Alasan yang bisa dikemukakan antara lain adalah adanya paparan antibiotik sebelum dilakukan uji kultur mikrobiologi, kesalahan sampling, volume darah yang tidak mencukupi untuk uji kultur mikrobiologi, kondisi pemindahan sampel yang tidak baik, dan bakteri yang memiliki pertumbuhan sangat lambat atau sangat cepat (Phua et al, 2013). Kedua, kemungkinan pasien yang memiliki hasil kultur negatif tidak menderita sepsis karena bakteri. Sekitar 5% kasus sepsis di ICU disebabkan oleh fungi (Phua et al, 2013). Dalam penelitian ini, hasil kultur negatif diduga karena paparan antibiotik sebelum dilakukan uji kultur mikrobiologi menyebabkan level bakteri dalam spesimen uji menurun sehingga tidak terdeteksi. Kemungkinan lain adalah pasien tidak menderita sepsis karena bakteri. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dipastikan karena tidak dilakukan pemeriksaan untuk memastikan adanya penyebab lain seperti virus dan jamur. Sebagai konsekuensi dari ketidaktepatan waktu uji kultur mikrobiologi dan hasil negatif uji kultur mikrobiologi, maka meropenem dianggap sebagai terapi empiris. Hanya 2 rejimen dari 26 rejimen yang dianggap sebagai terapi definitif karena pemberian meropenem dilakukan setelah hasil kultur didapatkan.

Jenis sepsis yang dialami pasien dibedakan menjadi sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas dan sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai (SWAB, 2010). Penelusuran jenis sepsis dari rekam medis menunjukkan bahwa nosocomial sepsis

46

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Banyaknya kejadian yang diidentifikasi sebagai nosocomial sepsis dikarenakan tidak ada lokasi infeksi yang dicurigai, dan juga karena hasil kultur negatif. Adapun sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai yang paling banyak ditemukan adalah hospital acquired pneumonia sepsis yaitu sebanyak 7 pasien (27%). Pneumonia merupakan penyakit infeksi di saluran pernapasan. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Engel et al (2007) yang menunjukkan bahwa saluran pernapasan merupakan sumber infeksi sepsis yang paling banyak. Jenis sepsis yang lain yang ditemukan pada pasien adalah Community acquired sepsis, Intraabdominal sepsis (2 pasien, 8%), Community acquired pneumonia sepsis (1 pasien, 4%), dan Urosepsis (1 pasien, 4%).

Data komorbiditas pasien dikategorikan berdasarkan Charlson Comobidity Index menggunakan kode International Classification of Disease (ICD-9) (Deyo

et al, 1992). Data yang didapatkan dari rekam medis menunjukkan bahwa

cerebrovascular disease menjadi komorbiditas yang paling banyak dialami pasien yaitu sebesar 29%. Komorbiditas lain yang ditemukan antara lain renal disease

(23%), congestive heart failure (12%), diabetes with chronic complication (6%), diabetes (23%) dan peripheral vascular disease (6%). Apabila digabungkan antara diabetes dan diabetes with chronic complication didapatkan hasil persentase sebesar 29% sehingga sama besar dengan cerebrovascular disease.

Martin (2009) melaporkan bahwa dari 12.000 pasien sepsis yang diteliti, komorbiditas yang paling banyak ditemukan adalah diabetes. Pasien diabetes memiliki beberapa kondisi kerusakan imun seperi penurunan cell-mediated immunity dan fagositosis. Diabetes meningkatkan kecenderungan individu terhadap kejadian infeksi serius dalam aliran darah dan resiko disfungsi organ berkaitan dengan sepsis (Iskander et al, 2013). Komorbiditas yang meningkatkan resiko kematian pada pasien sepsis antara lain kondisi supresi imun, kanker, HIV/AIDS, gagal hati dan ketergantungan terhadap alkohol (Iskander et al, 2013)

Data keparahan sepsis pasien yang didapat dari rekam medis menunjukkan bahwa mayoritas pasien mengalami sepsis yaitu sebanyak 19 pasien (73,1%) diikuti syok septik 4 pasien (15,4%) dan sepsis berat 3 orang (11,3%). Lama perawatan pasien berkisar antara 5-72 hari dengan rerata 20 hari. Angka ini berbeda dengan Danai dan Martin (2005) yang melaporkan rerata 12 hari.

Jumlah obat yang diterima pasien selama perawatan paling banyak pada kategori 10-20 obat. Rerata jumlah obat yang diterima per pasien adalah 13 obat. Menurut Ernie dan Hafiz (2007), pemberian obat dengan jumlah berlebihan atau lebih dari 4 jenis obat dikenal dengan polifarmasi. Berdasarkan hal ini, pola penggunaan obat pada pasien sepsis dapat dikatakan polifarmasi. Polifarmasi sering menimbulkan interaksi obat, baik yang bersifat meningkatkan maupun meniadakan efek obat. Interaksi obat yang ditimbulkan dapat menyebabkan efek samping obat atau efek yang tidak diinginkan (Pillians, 2006).

Jumlah antibiotik yang diterima pasien selama perawatan terbanyak pada 3-4 antibiotik. Rerata jumlah antibiotik yang diterima pasien adalah 3 antibiotik.

4.2.2. Peta Resistensi Mikroorganisme

Antibiotik yang digunakan dalam pembuatan peta resistensi mikroorganisme dapat dikelompokkan berdasarkan struktur kimianya, antara lain: a. Golongan β-laktam, antara lain golongan penisilin: ampisilin, amoksisilin

sulfat, dan penisilin-tazobactam; golongan sefalosporin generasi 2: sefrozil; golongan sefalosporin generasi 3: seftriakson, seftazidim, sefotaksim, sefoperazon dan seftizoksim; dan golongan karbapenem: meropenem dan imipenem

b. Golongan aminoglikosida, antara lain: gentamisin, amikasin sulfat, kanamisin, dan netilmisin

c. Golongan kuinolon, antara lain fluoroquinolon generasi 2: siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan kuinolon sintetik yaitu asam nalidiksat

d. Golongan glikopetida, yaitu vankomisin e. Golongan makrolida, yaitu eritromisin

f. Golongan lain-lain, yaitu tetrasiklin, kloramfenikol, fosfomisin dan linkomisin

Antibiotik tersebut digunakan untuk uji resistensi bakteri sesuai dengan spektrum antibakteri masing-masing, dimana terdapat beberapa antibiotik yang aktif pada bakteri gram negatif saja dan tidak efektif terhadap bakteri gram positif maupun sebaliknya.

48

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Spesimen yang paling banyak digunakan adalah darah, sebanyak 185 spesimen (40,30%). Dari 185 spesimen hanya 25 spesimen (13,51%) memberikan hasil positif, sedangkan 160 spesimen (86,49%) memberikan hasil steril atau tidak terdapat pertumbuhan kuman. Bakteri yang ditemukan di darah menunjukkan bahwa infeksi bakteri telah bersifat sistemik dan menyebar ke organ lain atau bakteremia (Naber, 2009). Spesimen yang paling banyak memberikan hasil positif adalah sputum, dimana dari 52 spesimen sputum semuanya memberikan hasil positif (100%).

Bakteri yang paling banyak ditemukan dari spesimen yang diuji adalah bakteri kelompok Coliform dan Eschericia coli yaitu pada 37 kultur spesimen (21,90%) ditemukan bakteri Coliform dan pada 34 kultur spesimen (20,11%) ditemukan bakteri Eschericia coli. Hasil ini tidak berbeda dengan pengamatan peta resistensi mikroorganisme di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2012 yang dilakukan Fathni (2009). Coliform merupakan bakteri gram negatif batang yang terdiri dari beberapa jenis bakteri, salah satunya Eschericia coli. Bakteri

Eschericia coli dalam uji resistensi ini dipisahkan karena dapat dibedakan dari bakteri lainnya yang termasuk kelompok Coliform. Bakteri yang banyak ditemukan setelah Eschericia coli adalah Staphylococcus aureus yaitu sebanyak 24 kultur spesimen (14,20%). Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang tidak selalu patogen namun dapat menyebabkan berbagai penyakit infeksi, mulai dari infeksi kulit hingga bakteremia (Fathni, 2012). Banyaknya bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo menunjukkan bahwa resiko sepsis tergolong tinggi. Eschericia coli

merupakan bakteri gram negatif yang paling banyak diisolasi dari pasien sepsis, sedangkan Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang paling banyak diisolasi dari pasien sepsis (DiPiro, 2008).

Data peta resistensi bakteri terhadap antibiotik memperlihatkan bahwa kebanyakan bakteri, baik gram positif maupun negatif sudah resisten terhadap kebanyak antibiotik yang digunakan dalam uji resistensi. Kelompok bakteri

Coliform yang paling banyak ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr. Mintohardjo sudah resisten terhadap 17 jenis antibiotik dari 20 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi Coliform. Coliform masih sensitif kepada antibiotik

amikasin sulfat, siprofloksasin dan fosfomisin. Eschericia coli yang merupakan bakteri gram negatif yang banyak ditemukan pada pasien sepsis sudah resisten terhadap 16 jenis antibiotik dari 20 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi

Eschericia coli. Eschericia coli masih sensitif terhadap antibiotik amikasin sulfat, fosfomisin, imipenem, dan meropenem. Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan pada pasien sepsis sudah resisten terhadap 16 jenis antibiotik dari 19 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi

Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus masih sensitif terhadap amikasin, fosfomisin, dan imipenem.

Meropenem sebagai antibiotik berspektrum luas dapat bekerja pada bakteri gram positif dan gram negatif. Data peta resistensi menunjukkan bahwa meropenem sudah tidak efektif untuk melawan bakteri gram positif yang ditemukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yaitu Staphylococcus aureus (60% resisten) dan Streptococcus sp (58% resisten). Pada kelompok bakteri gram negatif, meropenem sudah resisten terhadap Pseudomonas sp (53% resisten),

Alkaligenes faecalis (60% resisten), Coliform (53% resisten). Meropenem masih efektif terhadap Eschericia coli (12% resisten), Proteus sp (40% resisten) dan

Aerobacter sp (33% resisten). Dibandingkan dengan meropenem, beberapa antibiotik yang lebih efektif antara lain amikasin, imipenem dan fosfomisin. Amikasin masih efektif terhadap Streptococcus sp (20% resisten), Pseudomonas sp (23% resisten), Coliform (46% resisten), Eschericia coli (12% resisten),

Proteus sp (27% resisten) dan Aerobacter sp (50% resisten). Imipenem masih efektif terhadap Staphylococcus aureus (20% resisten), Streptococcus sp (37% resisten), Pseudomonas sp (27% resisten), Eschericia coli (24% resisten), dan

Aerobacter sp (50% resisten). Data laporan peta resistensi bakteri dapat dlihat di lampiran 4.

Ditinjau dari data yang diperoleh, tingkat resistensi berbagai bakteri yang ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr. Mintohardjo sudah sangat tinggi. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, uji kultur mikrobiologi dilakukan apabila pasien menerima antibiotik empiris namun tak kunjung sembuh. Selain itu, hasil uji kultur mikrobiologi baru bisa diperoleh setelah kurang lebih 6 hari, sehingga penggunaan antibiotik empiris pun semakin panjang. Penggunaan antibiotik

50

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam jangka waktu panjang diduga menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Strategi yang bisa dilakukan untuk mengontrol resistensi antibiotik antara lain melakukan pengawasan resistensi, mengontrol higienitas untuk membatasi penyebaran strain tunggal dan membatasi penggunaan antibiotik termasuk merotasi atau cycling penggunaan antibiotik (Weinstein, 2001). Cycling adalah penggantian golongan antibiotik (atau antibiotik tertentu dari sebuah golongan) dengan golongan antibiotik lain (atau antibiotik lain dari kelas tersebut) yang menunjukkan spektrum aktivitas yang sesuai (Brown dan Nathwani, 2004). Strategi lain yang bisa dilakukan adalah stop order policy. Secara sederhana, stop order policy menyaratkan penulis resep untuk menentukan durasi setiap antibiotik yang diresepkan, baik untuk terapi atau profilaksis. Tujuan dari stop order policy adalah untuk membatasi durasi penggunaan antibiotik yang diperpanjang untuk terapi dan profilaksis (Brown, 2005).

4.2.3. Evaluasi Antibiotik Meropenem

Pada penelitian ini, pedoman yang digunakan untuk menganalisis antara lain International Guideline for Management Severe Sepsis and Septic Shock:

2012, Peta Kuman RUMKITAL Dr. Mintohardjo dan literatur terkait lainnya. Aspek individu setiap pasien dan profil resistensi bakteri di lingkungan rumah sakit juga berperan dalam pemilihan obat yang tepat (Bugano et al, 2008). Karena itu, dalam menganalisis kerasionalan meropenem pada penelitian ini bersifat individualistik antar pasien tergantung pada penyebab sepsis dan kondisi pasien. Rekapitulasi data pasien dan rekapitulasi hasil evaluasi pasien dapat dilihat pada lampiran 2 dan lampiran 3. Evaluasi dilakukan menggunakan alur Gyssens yang dimulai dari kelengkapan data (kategori VI) dan berlanjut ke parameter-parameter evaluasi lain hingga terakhir adalah rasional (kategori 0).

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 15% regimen penggunaan meropenem adalah rasional (kategori 0) dan sebanyak 85% regimen penggunaan meropenem tidak tepat (kategori I-V). Hasil ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Rosita (2013) yang melakukan evaluasi penggunaan meropenem di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang dengan penggunaan rasional

sebesar 7,1% dan tidak rasional 92,9%. Perbedaan ini diperkirakan terjadi karena perbedaan ruang lingkup, waktu, tempat dan metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode retrospektif, sedangkan penelitian Rosita (2013) dilakukan secara prospektif. Penelitian secara prospektif memberikan kesempatan peneliti untuk mengkonfirmasi jika ditemukan masalah penggunaan antibiotika dengan penulis resep sebelum membuat penilaian, karena sumber acuan yang berbeda dapat menyebabkan penilaian yang berbeda (Pamela, 2011).

Ketidakrasionalan rejimen penggunaan meropenem pada penelitian ini sebesar 85%. Sebanyak 19 rejimen yang termasuk tidak rasional diperinci menjadi 34 hasil evaluasi, meliputi kategori IIA (dosis tidak tepat) sebesar 9%, kategori IIB (interval tidak tepat) sebesar 24%, kategori IIIA (pemberian terlalu lama) sebesar 6%, kategori IVA (ada alternatif yang lebih efektif) sebesar 49%, kategori IVD (spektrum alternatif lebih sempit) sebesar 3% dan kategori VI (data tidak lengkap) sebesar 9%. Rekapitulasi hasil evaluasi dapat dilihat pada lampiran 3.

Pada hasil penelitian ini tidak terdapat hasil evaluasi kategori IVB (alternatif lebih tidak toksik), IVC (alternatif lebih murah) dan kategori IIC (rute tidak tepat). Ketiadaan hasil evaluasi kategori IVB dikarenakan meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008). Selain itu potensi interaksi obat meropenem tidak terlalu banyak. Meropenem dilaporkan berinteraksi secara spesifik hanya dengan probenesid dan asam valproat (Baldwin, 2008). Berdasarkan penelusuran data rekam medis, tidak satupun obat yang diberikan kepada pasien berinteraksi dengan meropenem sehingga tidak ada toksisitas yang mungkin terjadi.

Adapun ketiadaan hasil evaluasi berupa kategori IVC karena semua pasien dalam penelitian ini merupakan pasien BPJS yang tidak menanggung biaya pengobatan secara pribadi. Hal ini mengacu pada Pamela (2011), dimana apabila harga antibiotik yang diterima termasuk mahal dan ada alternatif lebih murah tetapi tidak ditanggung oleh jaminan kesehatan yang diikuti pasien, maka antibiotik tersebut termasuk dalam kategori IVC. Sedangkan apabila harga antibiotik termasuk mahal dan ada alternatif lebih murah tetapi ditanggung jaminan kesehatan, maka antibiotik tersebut tidak termasuk dalam kategori IVC.

52

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Meskipun biaya pengobatan tidak ditanggung secara pribadi, tetapi ada baiknya dilakukan penggantian antibiotik dari meropenem yang hanya tersedia dalam bentuk sediaan parenteral menjadi antibiotik lain dalam bentuk sediaan oral apabila memungkinkan. Beberapa kriteria berikut dapat dijadikan acuan untuk penggantian dari antibiotik parenteral ke antibiotik oral (Arnold F, 2004):

a. Tidak ada indikasi terapi intravena, misalnya meningitis, endokarditis, dan neutropenia

b. Tidak ada indikasi klinis mengenai saluran obat yang abnormal di saluran cerna, misalnya diare

c. Pasien tidak demam paling tidak selama 8 jam d. Tanda dan gejala klinis infeksi membaik e. Jumlah sel darah putih normal

Berdasarkan hasil evaluasi, semua pasien menerima meropenem dengan cara/rute pemberian yang sudah tepat. Ada dua cara pemberian antibiotik meropenem yang dilakukan kepada pasien, yaitu injeksi bolus intravena dan drip (infus) dalam NaCl 0,9%. Meropenem yang direkonstitusi dengan NaCl stabil dalam selama 10 jam dalam ruangan yang terkontrol suhunya antara 15-25 ◦C dan 48 jam dalam suhu 4 ◦C (Baldwin, 2008). Meropenem merupakan time dependent antibiotic, dimana aktivitas antibakterinya berhubungan dengan waktu konsentrasi terjaga di atas MIC (minimum inhibitory concentration) selama interval dosis. Untuk time dependent antibiotic, infus kontinu dilaporkan dapat mengoptimalisasi pencapaian target farmakodinamik di dalam plasma (Roberts, et al, 2009). Roberts et al (2009) melakukan randozimed trial terhadap pasien untuk menerima meropenem secaa IV bolus dan infus kontinu dengan dosis yang sama yaitu 1 gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infus kontinu dapat menjaga konsentrasi meropenem dalam plasma dan jaringan subkutan jauh lebih tinggi daripada IV bolus.

a. Kategori VI (Data Rekam Medis Tidak Lengkap)

Berdasarkan alur Gyssens, evaluasi penggunaan antibiotik pertama kali ditinjau dari kelengkapan data penggunaan antibiotik tersebut. Apabila data penggunaan antibiotik tidak lengkap maka analisis berhenti pada kategori VI.

Suatu rekam medis yang masuk pada kategori VI memiliki kelengkapan form sebagaimana tertuang dalam PERMENKES RI NOMOR 269/MENKES/PER/III/2008, tetapi tidak memiliki kelengkapan data yang dibutuhkan untuk evaluasi antibiotik. Kelengkapan yang dimaksud dalam hal ini adalah pencatatan penggunaan antibiotik meliputi rejimen dosis, interval, rute dan waktu pemberian. Hasil penelitian menunjukkan dari 26 data rekam medis yang akan dievaluasi, sebanyak 3 rekam medis (9%) tidak memiliki data rekam medis yang lengkap. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan Gyssens (2001) yang menyebutkan 10% regimen terapi tidak dapat dievaluasi karena data yang tidak mencukupi. Ketiga rekam medis yang termasuk kategori VI ini (nomor 16, 21,22) tidak memiliki pencatatan waktu pemberian obat yang lengkap. Ketiga rekam medis yang termasuk kategori VI tidak dapat dievaluasi lebih lanjut sehingga tersisa 23 data yang bisa dievaluasi lebih lanjut.

b. Kategori IVA (Alternatif Lebih Efektif)

Alur Gyssens selanjutnya adalah apakah antibiotik tersebut diindikasikan. Untuk mengevaluasi hal ini bisa ditinjau dari hasil diagnosis dan data laboratorium pasien. Berdasarkan data rekam medis, semua pasien terdiagnosis sepsis dan mengalami peningkatan leukosit sehingga diindikasikan untuk menerima antibiotik. Alur selanjutnya adalah apakah ada alternatif yang lebih efektif. Untuk menganalisis hal ini, diperlukan informasi mengenai penyebab sepsis pada pasien dan pola resistensi bakteri di rumah sakit. Bakteri adalah mikroorganisme penyebab sepsis paling umum (Phua et al, 2013), sehingga diperlukan uji kultur mikrobiologi untuk mengetahui bakteri apa yang menyebabkan sepsis. Surviving Sepsis Campaign juga merekomendasikan uji kultur mikrobiologi terhadap darah pasien sebelum memulai terapi antibiotik.

Seperti yang telah dibahas pada bagian karakteristik pasien, hanya 2 rejimen dari 26 rejimen yang bersifat terapi definitif. Kedua rejimen tersebut adalah kasus 9 dan 18. Pada kasus 9, diketahui hasil uji kultur urin pasien positif

Alkaligenes faecalis. Berdasarkan peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, tingkat resistensi Alkaligenes faecalis terhadap meropenem sebesar 60% sehingga bisa dikatakan meropenem sudah tidak efektif lagi. Terdapat

54

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

alternatif yang lebih efektif dibandingkan meropenem terhadap Alkaligenes faecalis yaitu fosfomisin dan siprofloksasin dengan tingkat resistensi berurutan sebesar 40% dan 47%. Dengan adanya alternatif yang lebih efektif ini maka rejimen penggunaan meropenem pada kasus 9 dianggap termasuk kategori IVA.

Luciana et al (2015) menyatakan bahwa antibiotik untuk mengobati sepsis tergantung dari lokasi infeksi. Stichting Werkgroep Antibioticabeleid (SWAB), sebuah badan yang mengurus kebijakan antibiotik di Belanda membagi terapi antibiotik empiris sepsis menjadi dua yaitu terapi untuk sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas dan terapi untuk sepsis dengan adanya lokasi infeksi yang dicurigai (SWAB, 2010). Contoh kasus untuk sepsis dengan adanya infeksi lokasi yang dicurigai adalah intraabdominal sepsis (kasus 1). Diketahui pasien didiagnosis peritonitis, yaitu suatu kondisi respon inflamasi akut lapisan peritonium dimana kondisi tersebut memungkinkan terjadinya abses peritonium yang memudahkan bakteri untuk menginfeksi. Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends

(SMART) pada tahun 2004 melaporkan bahwa Eschericia coli merupakan bakteri yang banyak diisolasi dari intraabdomen 5731 pasien (Rossi et al, 2006).. Secara umum, meropenem dan amikasin dianggap agen yang paling aktif melawan

Eschericia coli (Bugano et al, 2008). Mengacu pada peta resistensi bakteri di RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem masih efektif melawan

Eschericia coli dengan resistensi hanya sebesar 12%. Dengan demikian maka rejimen meropenem pada kasus 1 tidak termasuk kategori IVA.

Contoh kasus untuk nosocomial sepsis adalah kasus 12. Dengan hasil kultur negatif dan tidak terdapat penyakit infeksi yang menyertai, maka analisis keefektifan mengacu pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014. Berdasarkan peta resistensi, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang lebih efektif antara lain amikasin dan imipenem yang masih efektif terhadap enam bakteri. Menurut Gilbert et al (2010), pembatasan

Dokumen terkait