• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi TKED Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan Tahun 2011

KPPOD telah mensurvei kondisi tata kelola ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur dua kali yaitu pada tahun 2007 dan tahun 2011. Dalam penilaian kondisi tata kelola ekonomi tersebut KPPOD menggunakan sembilan sub indeks terhadap 29 kabupaten dan 9 kota di Provinsi Jawa Timur. Sembilan sub indeks tersebut yaitu akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan usaha. peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas Bupati/Walikota, interaksi Pemda dan pelaku usaha, progam pengembangan usaha swasta, keamanan dan penyelesaian konflik. Skor tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota ditunjukkan dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2. Grafik berdasarkan skor tertinggi dan terendah masing-masing sub indeks ditunjukkan dalam Gambar 9 dan Gambar 10.

TKED Tahun 2007

Sumber : KPPOD. 2007

Gambar 7 Kondisi TKED tahun 2007 (Skor) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 S it u b o n d o K o ta S u ra b ay a Tu b an S amp an g K o ta B li ta r M al an g S it u b o n d o B o n d o w o so Tu lu n g ag u n g Tr en g g al ek B o jo n eg o ro K o ta P asu ru an G re si k M ag et an Jo mb an g M ag et an Su me n ep K o ta P ro b o li n g g o Su me n ep K o ta B li ta r K ed ir i P ame k asan Jo mb an g AL IFR PU PD BT KI IPP PPUS KPK

25 TKED Tahun 2011

Sumber : KPPOD. 2011

Gambar 8 Kondisi TKED tahun 2011 (Skor)

Berdasarkan data KPPOD pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur yang menempati peringkat satu akses terhadap lahan pada tahun 2007 adalah Kabupaten Situbondo (skor 93,9). Peningkatan akses lahan pada tahun 2011 ditunjukkan oleh Kabupaten Magetan dengan peringkat pertama (skor 93,5). Sedangkan peringkat terbawah akses terhadap lahan tetap ditunjukan oleh Kota Surabaya pada tahun 2007 (skor 39,7) dan pada tahun 2011 (skor 48,6). Kota Surabaya memiliki akses lahan rendah dikarenakan tingkat kesulitan untuk mendapatkan tanah peruntukan lahan di kabupaten lebih rendah dari pada di kota. Kesulitan tersebut ditunjukkan karena kepadatan penduduk di kota lebih besar dibandingkan di kabupaten. Kota Surabaya kepadatan penduduknya mencapai 8.400 orang/km2 di tahun 2011, sebagaimana ditunjukkan lampiran 3. Menurut hasil survei KPPOD tahun 2011, pengurusan sertifikat tanah rata-rata di Jawa Timur adalah 11 minggu di tahun 2011 yang membaik dari tahun 2007 yaitu 15 minggu. Berbeda dengan lama kepengurusan di kota Surabaya mencapai 17 minggu tahun 2011. Meskipun sudah membaik dibandingkan tahun 2007 yang lama kepengurusan mencapai 36 minggu. Kota Surabaya masih di peringkat terlama dalam pengurusan sertifikat tanah dibandingkan kabupaten dan kota lain di Jawa Timur.

Menurut persepsi pelaku usaha, infrastruktur merupakan aspek TKED yang terpenting dan memiliki bobot tertinggi yaitu 38%. Pada tahun 2007 infrastuktur daerah yang menempati peringkat satu adalah Kabupaten Tuban (skor 89). Namun, peningkatan infrastruktur pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kota Blitar dengan peringkat pertama (skor 94) dan diikuti Kabupaten Tuban (skor 91,1). Sedangkan peringkat terbawah infrastuktur daerah ditunjukan oleh Kabupaten Sampang pada tahun 2007 (skor 57,2) dan pada tahun 2011 ditempati oleh Kabupaten Pacitan (skor 66,1).

Infrastruktur daerah yang dilihat dari beberapa aspek tanggapan Pemda terhadap lama perbaikan kerusakan jalan, lampu penerangan jalan, air PDAM,

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 M ag et an K o ta S u ra b ay a K o ta B li ta r P ac it an K o ta P ro b o li n g g o M al an g S amp an g Ko ta Ke d iri Tr en g g al ek P asu ru an K o ta P ro b o li n g g o P asu ru an K o ta P ro b o li n g g o M al an g Lu maj an g S it o b o n d o La mo n g an M al an g AL IFR PU PD BT KI IPP PPUS KPK

26

listrik PLN dan telepon. Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Sampang dengan skor terendah dikarenakan kepadatan penduduknya merupakan terkecil dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Timur (381 orang/km2 dan 717 orang/km2) dengan masing-masing lama perbaikan infrastrukturnya (41 hari dan 100 hari). Berdasarkan data KPPOD, kabupaten/kota dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung lebih baik tanggapan Pemda terhadap infrastrukturnya. Kabupaten Tuban dan Kota Blitar dengan kepadatan penduduk masing-masing 569 orang/km2 dan 3.983 orang/km2 berada di peringkat teratas untuk sub-indeks infrastruktur daerah tahun 2007 dan tahun 2011. Meskipun Kabupaten Tuban kepadatan penduduknya masih ada yang lebih tinggi, namun kabupaten tersebut merupakan jalur pantai utara yang menjadi jalur yang sering menjadi pilihan perjalanan dari Jawa Barat menuju Jawa Timur dan Pulau Bali. Jadi, lama perbaikan kedua kabupaten cenderung lebih cepat yaitu 4 hari.

Lima izin dasar yang wajib dimiliki pelaku usaha, tahapan terkahirnya adalah pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Pada tahun 2007 perizinan usaha yang menempati peringkat satu adalah Kota Blitar (skor 84.6). Namun, peningkatan perizinan usaha pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kota Probolinggo dengan peringkat pertama (skor 82,5). Sedangkan peringkat terbawah perizinan usaha tetap ditunjukan oleh Kabupaten Malang pada tahun 2007 (skor 46) dan pada tahun 2011 (skor 49,5).

Persepsi pelaku usaha di Kota Blitar tahun 2011 tingkat kesulitan memperoleh TDP lebih susah dari tahun 2007 yang setuju kemudahan mencapai 100%. Namun, tahun 2011 sudah tidak menempati peringkat pertama. Peningkatan sub indeks perizinan usaha ditunjukkan Kota Probolinggo yang mengindikasikan waktu kepengurusan TDP yang lebih cepat dibandingkan tahun 2007, lebih mudahnya perolehan TDP mencapai 100%. Kabupaten Malang yang dari tahun 2007 dan tahun 2011 menempati peringkat terbawah, berdasarkan data KPPOD waktu untuk kepengurusan TDP hingga 37 hari yang berbeda dengan wilayah terdekatnya yakni Kota Batu yang hanya memerlukan waktu 11 hari. Sementara standar yang ditetapkan Kementrian Perdagangan hanya tiga hari saja dalam pengurusan TDP (KPPOD 2011).

Peraturan daerah yang dikaji adalah peraturan yang mengkaji keputusan bupati/walikota yang terkait dengan aktivitas perekonomian daerah. Pada tahun 2007 Peraturan di Daerah yang menempati peringkat satu adalah lima Kabupaten dan satu Kota (skor 100). Diantaranya Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Bojonegoro, dan Kota Pasuruan. Namun, peningkatan Peraturan di Daerah pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kabupaten Sampang dengan peringkat pertama (skor 95.1). Sedangkan peringkat terbawah Peraturan di Daerah ditunjukan oleh Kabupaten Gresik pada tahun 2007 (skor 1,1) dan pada tahun 2011 ditempati Kota Kediri (skor 65,1). Keempat kabupaten dan satu kota yang menempati peringkat teratas tahun 2007 mengalami penurunan, karena peringkat tertinggi di tahun 2011 di tempati Kabupaten Sampang. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Sampang sudah menerapkan penyeseuaian perubahan-perubahan peraturan di tingkat pusat pada tahun 2011 setelah diterbitkan UU No. 28/2009 tentang PDRD yang mewajibkan penyesuaian mulai Januari 2010. Sedangkan Kota Kediri yang menurun di tahun 2011 dikarenakan belum melaksanakan penyesuaian dengan peraturan pusat secara penuh sehingga terjadi ketidakjelasan prosedur, standar

27 waktu dan tarif kepengurusan dalam perda perizinan. Berbeda dengan sub-indeks lainnya, kualitas peraturan daerah tidak dinilai berdasarkan kuisioner atau persepsi pelaku usaha. Namun, dinilai secara objektif dari aspek yuridis, substansi dan prinsip.

Pada tahun 2007 biaya transaksi yang menempati peringkat satu adalah Kabupaten Magetan (skor 93). Namun, peningkatan biaya transaksi pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kabupaten Trenggalek dengan peringkat pertama (skor 92,4). Peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Jombang pada tahun 2007 (skor 55,8) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Pasuruan (skor 62,8).

Kabupaten Jombang di tahun 2007 menurut persepsi tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan mencapai 26% dan persepsi tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda rata-rata mencapai 1.637.916 rupiah. Sedangkan Kabupaten Pasuruan yang menduduki tingkat terbawah tahun 2011, persepsi tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan mencapai 15% dan persepsi tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda rata-rata mencapai 15.000.000 rupiah. Jauh berbeda dengan Kabupaten Trenggalek yang menempati peringkat teratas di tahun 2011 persepsi tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda hanya mencapai 483.000 rupiah.

Kapasitas dan integritas bupati/walikota yang merupakan kepercayaan dengan pemahaman bupati/walikota mengenai birokrasi dunia usaha di tahun 2007 menempati peringkat satu adalah Kabupaten Magetan (skor 95,2). Namun, peningkatan Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kota Probolinggo dengan peringkat pertama (skor 81,3) diikuti Kota Blitar (skor 71,1). Sedangkan peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Sumenep pada tahun 2007 (skor 31,4) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Pasuruan (skor 21,9).

Kota Probolinggo yang tahun 2007 menempati peringkat kedua menjadi peringkat pertama di tahun 2011 dan Kota Blitar juga meningkat menjadi peringkat kedua tahun 2011. Mengindikasikan di daerah tersebut mengalami perbaikan dalam pemahaman birokrasi dunia usaha, ketegasan terhadap korupsi dan professionalitas bupati/walikotanya.

Pada tahun 2007 interaksi Pemda dan pelaku usaha yang menempati peringkat satu adalah Kota Probolinggo (skor 70,2). Namun, peningkatan interaksi Pemda dan pelaku usaha pada tahun 2011 masih ditunjukan oleh Kota Probolinggo dengan peringkat pertama (skor 80,1) diikuti Kota Blitar (skor 73,6). Sedangkan peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Sumenep pada tahun 2007 (skor 30,6) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Malang (skor 32,2).

Data KPPOD menunjukkan interaksi pemda dengan pelaku usaha yang ditunjukkan dengan adanya forum komunikasi di Kota Probolinggo pada tahun 2007 dan tahun 2011 masing-masing adalah 52,3% dan 69,6% tersedia. Sedangkan di Kabupaten Sumenep pada tahun 2007 dan Kabupaten Malang pada tahun 2011 forum komunikasi (27,9% dan 13%) tersedia.

Pada tahun 2007 progam pengembangan usaha swasta yang menempati peringkat satu adalah Kota Blitar (skor 66). Peningkatan progam pengembangan usaha swasta pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kabupaten Lumajang dengan peringkat pertama (skor 78,4). Peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Kediri pada tahun 2007 (skor 15) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Situbondo (skor 12,8).

28

Tingkat kesadaran akan kehadiran program pengembangan usaha hanya 22% diketahui oleh pelaku usaha di Kabupaten Situbondo pada tahun 2011. Sedangkan di Kabupaten Lumajang tingkat kesadaran program pengembangan usaha 100% diketahui oleh pelaku usaha di tahun 2011.

Pada tahun 2007 keamanan dan penyelesaian konflik yang menempati peringkat satu adalah Kabupaten Pamekasan (skor 96,7) dan diikuti oleh Kabupaten Trenggalek (skor 83,1). Namun, peningkatan keamanan dan penyelesaian konflik pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kabupaten Lamongan dengan peringkat pertama (skor 87,5) dan diikuti Kabupaten Pacitan (skor 84,4). Sedangkan peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Jombang pada tahun 2007 (skor 48,3) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Malang (skor 39,1).

Kabupaten Jombang dan Malang masing-masing menempati peringkat bawah di tahun 2007 dan tahun 2011 pada keamanan dan penyelesaian konflik. Berbeda apabila dibandingkan dengan Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Lamongan yang menunjukkan persepsi pengusaha terhadap penanganan tingkat kriminalitas di daerahnya sudah berjalan dengan baik dicerminkan dengan 100 % menyatakan setuju penanganan baik di Kabupaten Pamekasan dan 96% menyatakan setuju penanganan polisi terhadap kriminalitas baik di Kabupaten Lamongan.

Berdasarkan indeks TKED peringkat tertinggi ditempati oleh Kota Blitar tidak hanya di Jawa Timur tetapi juga se Indonesia di tahun 2007 dan dipertahankan hingga tahun 2011. Berdasarkan analisis, Kota Blitar sudah dapat menunjukkan bahwa perizinan usaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dan pelaku usaha, dan program pengembangan usaha swasta selalu berada di peringkat pertama ataupun kedua.

Perkembangan TKED Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan Tahun 2011

Perkembangan TKED dari tahun 2007 ke tahun 2011, setelah dilakukan uji beda menunjukkan adanya perbedaan dari sembilan sub indeks tata kelola. Perbedaan yang terlihat tidak hanya peningkatan, tetapi juga penurunan maupun tidak adanya perubahan.

Dari Sembilan sub indeks tata kelola ekonomi di Jawa Timur terdapat lima sub indeks yang menunjukkan hasil tidak signifikan. Diantaranya adalah sub indeks akses terhadap lahan, sub indeks peraturan daerah, sub indeks interaksi Pemda dan pelaku usaha, sub indeks program pengembangan usaha swasta, dan sub indeks keamanan dan penyelesaian konflik. Tidak signifikan menjelaskan bahwa tidak adanya perubahan yang nyata dari kelima sub indeks pada tahun 2007 ke tahun 2011. Seperti sub indeks akses lahan yang cenderung tetap dapat diindikasikan lahan untuk usaha yang memang dibatasi oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan Tabel 10, sub indeks yang menunjukkan hasil signifikan adalah sub indeks infrastruktur daerah, sub indeks perizinan usaha, sub indeks biaya transaksi dan sub indeks kapasitas dan integritas bupati/walikota. Dari keempat sub indeks memperlihatkan adanya perubahan dari tahun 2007 ke tahun 2011, yang menunjukkan adanya peningkatan rata-rata skornya adalah sub indeks infrastruktur daerah pada tahun 2007 (77,8658) dan (83,1711) pada tahun 2011, sub indeks perizinan usaha dari (63,9921) menjadi (67,7000), dan sub indeks

29 biaya transaksi dari (74,8000) menjadi (80,3947). Sedangkan perubahan dari tahun 2007 ke tahun 2011 yang menunjukkan penurunan rata-rata skornya adalah sub indeks kapasitas dan integritas bupati/walikota dengan rata-rata (57,6447) di tahun 2007 menjadi (51,8816) di tahun 2011.

Peningkatan menunjukkan adanya perbaikan dari tahun 2007 ke tahun 2011 yaitu lama perbaikan infrastruktur yang semakin cepat, perizinan usaha yang makin mudah dan efisien serta biaya transaksi yang tidak memberatkan pelaku usaha. Sedangkan penurunan kapasitas dan integritas bupati/walikota dapat disebabkan oleh profesionalisme birokrat yang semakin menurun.

Tabel 9 Uji Beda Sub Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah Tahun 2007 dan Tahun 2011 Variabel Rata-Rata Tahun 2007 Rata-Rata Tahun 2011 P-value Akses Lahan 78,0368 77,1053 0,650 Infrastruktur 77,8658 83,1711 0,000*** Perizinan Usaha 63,9921 67,7000 0,053* Peraturan Daerah 86,7868 83,1342 0,308 Biaya Transaksi 74,8000 80,3947 0,002***

Kapasitas dan Integritas 57,6447 51,8816 0,033**

Interaksi Pemda dan PU 54,8316 53,4368 0,517

Program Pengambangan Usaha

Swasta 36,7447 36,0316 0,809

Keamanan dan Penyelesaian

Konflik 67,2026 67,5474 0,889

Keterangan :

*) : Signifikan pada 10 % **) : Signifikan pada 5 % ***) : Signifikan pada 1 %

Pengaruh TKED Terhadap Tingkat Pengangguran Pada Tahun 2007

Pengujian asumsi kesesuaian model untuk menggambarkan adanya pengaruh TKED dengan pengangguran di Provinsi Jawa Timur. Pengujian asumsi dilakukan untuk memastikan bahwa model yang dipilih telah memenuhi asumsi yang telah ditentukan, antara lain :

30

Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson (DW) sebesar 1,747439 dengan dL 0,8536 dan dU sebesar 2,2647. maka nilai statistik Durbin Watson berada pada daerah tidak terdapat pelanggaran autokorelasi.

Tabel 10 Nilai Statistik Model Pengangguran Tahun 2007

Weighted Statistics

R-squared 0,995212 Mean dependent var 6,400552

Adjusted R-squared 0,993187 S,D, dependent var 23,75964 S.E. of regression 0,068765 Akaike info criterion -2,264160 Sum squared resid 0,122944 Schwarz criterion -1,747028 Log likelihood 55,01904 Hannan-Quinn criter, -2,080168 F-statistic 491,3429 Durbin-Watson stat 1,747439 Prob(F-statistic) 0,000000

b. Multikolinearitas

Masalah multikolinearitas, dari lampiran 5 dapat dilihat bahwa ada coefficient matrix yang lebih besar dari rule of thumbs namun lebih kecil dari koefisien determinasi model dapat ditarik kesimpulan bahwa model tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas.

c. Heteroskedastisitas

Masalah heteroskedastisitas ini diatasi dengan menggunakan metode Weighted Least Square (WLS). Hasil pada lampiran 6 menunjukkan prob-F 0,4006 > taraf nyata 5% sehingga tidak ada masalah heteroskedastisitas.

Nilai koefisien determinasi (R2) mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat dapat diterangkan oleh variabel bebas. Model dari persamaan dalam penelitian ini memiliki R2 sebesar 0,995212 yang berarti model mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 99,52 %.

Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model yang sesuai mengenai pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran diperoleh hasil estimasi sebagai berikut :

Tabel 11 Hasil Estimasi Keterkaitan TKED terhadap Pengangguran Tahun 2007

Variabel Koefisien Prob.

Ln Investasi -0,014114 0,4468 Ln Belanja Modal -0,567637 0,0141** Ln Akses Lahan -3,819808 0,0014** Ln Infrastruktur -2,327463 0,0000*** Ln Perizinan Usaha -3,323553 0,0013** Ln Peraturan Daerah 0,359813 0,0001** Ln Biaya Transaksi 2,341087 0,0817*

Ln Kapasitas dan Iintegritas -9,333303 0,0000***

Ln Interaksi Pemda dan PU 10,95776 0,0000***

Ln Program Pengembangan Usaha Swasta -0,244816 0,5594 Ln Keamanan dan Penyelesaian Konflik -1,614176 0,0115**

Koefisien 40,29982 0,0000

Keterangan :

*) : Signifikan pada 10 % **) : Signifikan pada 5 % ***) : Signifikan pada 1 %

31 Pengujian kesesuaian model untuk menggambarkan pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran dengan menambahkan sembilan variabel TKED, investasi dan belanja modal.

Berdasarkan uji-t pada model diperoleh bahwa sembilan variabel memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran dan dua variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran (Investasi dan Program Pengembangan Usaha Swasta). Variabel investasi dan program pengembangan usaha swasta belum cukup terbukti mempunyai pengaruh terhadap tingkat pengangguran di tahun 2007.

Variabel belanja modal berpengaruh signifikan menurunkan tingkat pengangguran, dengan nilai elastisitas sebesar 0,568. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal sebesar 1% dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0,568 %. Semakin tinggi belanja modal maka akan semakin banyak tenaga kerja yang diserap, asumsi cateris paribus. Tingginya realisasi belanja modal dimana menurut BPS Indonesia belanja modal yang digunakan untuk pembangunan aset tetap berwujud dengan nilai manfaat lebih dari setahun. Aset lebih dari setahun diantaranya adalah kontruksi jalan, jembatan dan jaringan air. Dengan adanya pembangunan baru, maka akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Adanya lapangan kerja tersebut yang akan menurunkan tingkat pengangguran.

Variabel akses lahan memiliki nilai elastisitas sebesar 3,819. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin baik akses terhadap lahan sebesar 1% dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 3,819%. Semakin baik akses lahan akan mendorong perusahaan berkembang dan menyerap tenaga kerja, asumsi cateris paribus. Penilaian untuk akses lahan yang baik terdiri dari beberapa aspek yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah, persepsi tentang kemudahan perolehan lahan, persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda, frekuensi kasus konflik kerjasama atas penggunaan tanah, dan persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha. Semakin cepat waktu pengurusan status tanah, semakin mudah, tidak ada penggusuran, konflik dan masalah lahan usaha akan mendorong investor untuk menginvestasikan atau membangun perusahaan di Jawa Timur. Banyaknya perusahaan akan menyerap tenaga kerja yang terbukti akan menurunkan tingkat pengangguran.

Variabel infrastruktur memiliki nilai elastisitas sebesar 2,327. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin baik infrastruktur sebesar 1% dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 2,327%. Semakin cepat perbaikan infrastruktur daerah akan menurunkan tingkat pengangguran asumsi cateris paribus. Penilaian untuk infrastruktur yang baik meliputi, lama perbaikan jalan, lampu penerangan jalan, air PDAM, listrik PLN, dan telepon. Semakin cepat tanggapan dalam perbaikan infrastruktur yang mengalami kerusakan, akan membuat mobilitas perusahaan yang membutuhkan jalan ataupun dalam berproduksi membutuhkan kelima bagian infrastruktur yang baik akan berproduksi dalam targetnya. Tidak menutup kemungkinan output yang dihasilkan perusahaan akan bertambah. Bertambahnya output dibutuhkan input diantaranya adalah jumlah tenaga kerja yang akan efektif menurunkan tingkat pengangguran.

Variabel perizinan usaha memiliki nilai elastisitas sebesar 3,324. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perizinan membaik sebesar 1% dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 3,324%. Semakin mudah perizinan usaha akan

32

menurunkan tingkat pengangguran asumsi cateris paribus. Banyaknya perusahaan yang memiliki TDP mengartikan mudahnya perolehan TDP dan persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN, efisien dan bebas pungli adalah kecil. Semakin mudah dan efisien dalam pengurusan perizinan akan menarik investor untuk mendirikan usaha yang akan berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan dapat megurangi tingkat pengangguran.

Variabel peraturan daerah yang memiliki nilai elastisitas sebesar 0,359. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin baik peraturan daerah terkait dunia usaha sebesar 1% dapat meningkatkan tingkat pengangguran sebesar 0,359%. Semakin baik peraturan daerah dapat meningkatkan tingkat pengangguran asumsi cateris paribus. Peraturan di daerah yang dikaji mencakup peraturan daerah dari bupati/walikota terkait aktivitas perekonomian daerah khusus bidang usaha yang seharusnya dapat meningkatkan aktivitas investasi yang dapat menurunkan pengangguran, malah terjadi sebaliknya. Hal tersebut dapat diindikasi karena beberapa daerah tidak melakukan penyesuaian-penyesuaian peraturan di tingkat pusat. Sehingga meskipun peraturan baik, apabila tidak direalisasikan secara benar dalam masyarakat, maka perusahaan akan tetap dalam kondisi awal dan tidak ada perkembangan usaha yang akan menurunkan tingkat pengangguran.

Variabel biaya transaksi memiliki nilai elastisitas sebesar 2,341. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ringannya biaya transaksi yang meningkat 1% akan meningkatkan tingkat pengangguran sebesar 2,341%. Biaya Transaksi yang semakin sedikit dapat meningkatkan tingkat pengangguran asumsi cateris paribus. Seharusnya rendahnya tingkat hambatan pajak, retribusi daerah, pembayaran donasi terhadap Pemda, pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi, dan hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan akan memudahkan sebuah perusahaan untuk terus beroperasi dan berkembang. Sehingga dengan semakin pesatnya perusahaan berkembang maka tingkat pengangguran akan turun. Namun di Jawa Timur dengan rendahnya biaya transaksi ternyata pengangguran semakin meningkat. Karena ketika dilihat dari sisi lain rendahnya biaya transaksi belum tentu mempercepat proses penyelesaian administrasi dibandingkan dengan adanya biaya transaksi tinggi yang menyebabkan perusahaan lebih lama untuk berkembang. Sehingga tingkat produksi akan terhambat dan berpengaruh terhadap rendahnya penyerapan tenaga kerja.

Variabel kapasitas dan integritas bupati/walikota memiliki nilai elastisitas sebesar 9,333. Nilai tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya kapasitas dan integritas bupati/walikota sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 9,333%. Kapasitas dan integritas bupati/walikota yang baik akan menurunkan tingkat pengangguran asumsi cateris paribus. Semakin meningkatnya tingkat pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha, profesionalisme birokrat daerah, ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya, kewibawaan kepala daerah, hambatan kapasitas dan integritas bupati/walikota terhadap dunia usaha akan mendorong munculnya perusahaan baru dan meningkatkan perkembangan perusahaan yang sudah ada. Sehingga penyerapan tenaga kerja semakin besar dan pengangguran akan turun.

Variabel interaksi Pemda dan pelaku usaha memiliki nilai elastisitas sebesar 10,958. Nilai tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya interaksi Pemda dan pelaku usaha sebesar 1% akan meningkatkan tingkat pengangguran sebesar 10,958 %. Interaksi Pemda dan pelaku usaha yang ada akan meningkatkan tingkat

33 pengangguran asumsi cateris paribus. Hal tersebut diindikasi, meski pun keberadaan forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha sudah ada, tetapi belum tepat sasaran. Forum komunikasi belum dapat mengatasi permasalahan usaha yang dihadapi pelaku usaha. Sehingga pertumbuhan perusahaan akan stagnan, penyerapan tenaga kerja semakin kecil, dan pengangguran akan meningkat.

Variabel keamanan dan penyelesaian konflik memiliki nilai elastisitas sebesar 1,614. Nilai tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya keamanan dan penyelesaian konflik sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 1,614%. Semakin aman dan bagusnya penyelesaian konflik akan menurunkan tingkat pengangguran asumsi cateris paribus. Kualitas penanganan masalah kriminal dan penanganan masalah demonstrasi oleh polisi yang semakin akan membuat perusahaan lebih aman dalam menjalankan aktifitas usaha. Keamanan masalah konflik dalam suatu daerah dapat mendorong munculnya perusahaan baru yang akan menyerap tenaga kerja lebih banyak dan menurunkan tingkat

Dokumen terkait