• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH

TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR

MEGA WAHYU WULANDARI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

MEGA WAHYU WULANDARI. Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI.

Kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001 bertujuan agar pembangunan nasional yang terus tumbuh dan merata sehingga menurunkan tingkat pengangguran. Salah satu cara untuk menekan angka pengangguran adalah peningkatan investasi swasta dengan perbaikan tata kelola ekonomi daerah. Provinsi Jawa Timur mempunyai penduduk yang jumlahnya besar dan tingkat pengangguran terbuka mencapai 4% pada tahun 2013. Namun, masih ada ketimpangan antar kabupaten/kota. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis kondisi serta perkembangan TKED, menganalisis pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Variabel yang digunakan adalah sembilan sub indeks TKED, belanja modal dan investasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki skor TKED sepuluh besar skala nasional. Tiga sub indeks meningkat, satu menurun dan enam tidak berubah dari tahun 2007 ke tahun 2011. Dengan metode regresi berganda menghasilkan sub indeks program pengembangan usaha swasta tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran, sedangkan belanja modal, investasi dan delapan sub indeks TKED berpengaruh terhadap tingkat pengangguran.

Kata Kunci : Kabupaten/Kota Jawa Timur, Tingkat Pengangguran, TKED

ABSTRACT

MEGA WAHYU WULANDARI. Impact of Local Economic Governance on Unemployment Rate Across Districts/Cities in East Java Province. Supervised by WIWIEK RINDAYATI .

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH

TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Nama : Mega Wahyu Wulandari

NIM : H14100077

Disetujui oleh

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati M.Si. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Pemilihan tema dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 terkait penyelenggaraan otonomi daerah, sebagai kebijakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera, salah satunya dapat dilihat dari permasalahan pengangguran. Penelitian ini mengambil judul Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur.

Pada Kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak H. Moch. Kahfi dan Ibu Hj. Misiyati Sofya serta kakak, tante dan keponakan tercinta dari penulis, Dwi Kasminiwati, Sumardi, Itis, Dela Chyintia Dewi, Dena Bilqis Nurdini atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dengan sabar dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Penguji Dr. Sri Mulatsih M.Sc.Agr. selaku dosen penguji utama dan Salahuddin El Ayyubi, MA selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.

4. Komite Pamantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang bersedia memberikan data terkait penelitian.

5. Sahabat penulis dan teman-teman satu bimbingan yang memberikan bantuan, motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Seluruh keluarga Ilmu Ekonomi 47 terima kasih atas doa dan dukungannya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(9)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

METODE PENELITIAN 15

Jenis dan Sumber Data 15

Definisi Operasional 16

Metode Analisis Data 16

GAMBARAN UMUM 19

HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Kondisi TKED Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan Tahun

2011 24

Perkembangan TKED Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan

Tahun 2011 28

Pengaruh TKED Terhadap Tingkat Pengangguran 29

SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 41

(10)

DAFTAR TABEL

1 TPT Menurut Provinsi di Pulau Jawa 2009-2013 (%) 2 2 TPT Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Timur (%) 4 3 Indeks TKED Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan

tahun 2011 5

4 Jenis dan sumber Data 15

5 Selang nilai statistik DW dan keputusannya 19 6 Jumlah Pencari Kerja, Penempatan Kerja dan Permintaan Menurut

Jenis Kelamin 2011 - 2012 21

7 PDRB Jawa Timur Tahun 2007 – 2011 21

8 Perkembangan Proyek PMDN dan PMA di Jawa Timur Tahun

2006-2011 22

9 Uji Beda Sub Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah Tahun 2007 dan

Tahun 2011 29

10 Nilai Statistik Model Pengangguran Tahun 2007 30 11 Hasil Estimasi Keterkaitan TKED terhadap Pengangguran Tahun

2007 30

12 Nilai Statistik Model Pengangguran Tahun 2011 33 13 Hasil Estimasi Keterkaitan TKED terhadap Pengangguran Tahun

2011 34

DAFTAR GAMBAR

1 Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia Tahun 2001-2013 2 2 Faktor penggerak produktivitas perekonomian daerah 8

3 Diagram Ketenagakerjaan 9

4 Bagan Kerangka Pemikiran 14

5 Hasil Proyeksi Penduduk Jawa Timur 2000-2013 20 6 Realisasi Belanja Modal Provinsi Jawa Timur 23

7 Kondisi TKED tahun 2007 (Skor) 24

8 Kondisi TKED tahun 2011 (Skor) 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Skor sub-Indeks TKED Tahun 2007 41

2 Skor sub-Indeks TKED Tahun 2011 42

3 Kepadatan penduduk pertengahan tahun menurut Kabupaten/Kota 43 4 Uji Beda Sub indeks TKED Tahun 2007 ke Tahun 2011 44 5 Hasil Uji Multikolinearitas Model Tahun 2007 44 6 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Tahun 2007 44

7 Hasil Uji Kenormalan Model Tahun 2007 45

8 Hasil Uji Multikolinearitas Model Tahun 2011 45 9 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Tahun 2011 45

10 Hasil Uji Kenormalan Model Tahun 2011 46

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemerintahan suatu negara di berbagai belahan dunia memiliki tujuan yang sama yaitu menerapkan pembangunan nasional. Profesor Dudley Seers dalam Todaro dan Smith memberikan definisi baru mengenai pembangunan nasional yang tidak hanya dapat dilihat dari peningkatan pendapatan perkapita sebuah negara, tetapi juga dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam perwujudan upaya pembangunan ekonomi, Indonesia sebagai negara berkembang telah mencanangkan kebijakan otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari 2001. Pelaksanaan otonomi daerah mendapat dukungan pemerintah dengan dikeluarkannya Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tumbuhnya perhatian terhadap perencanaan pembangunan yang terprogram melalui otonomi daerah dikarenakan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity) (Kuncoro 2004).

Tujuan akhir dari seluruh kebijakan ekonomi Indonesia adalah menciptakan efisiensi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera dapat menunjukkan keberhasilan sebuah pemerintahan dalam mewujudkan upaya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan serta pemberantasan permasalahan yang dihadapi Negara Sedang Berkembang (NSB)

yang sering disebut “dampak merembes ke bawah” (trickle down effect) (Kuncoro

2010). Kesejahteraan yang dituntut masyarakat salah satunya ditentukan oleh dua kondisi mendasar. Pertama, mereka menginginkan agar biaya kebutuhan hidup tetap stabil, khususnya untuk kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan. Kedua, mereka menginginkan adanya pendapatan yang bisa diandalkan untuk menghidupi keluarganya secara layak serta penghasilan yang meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan kesejahteraan juga harus adil dan merata (Prasetiantono 2009).

(12)

2

data Badan Pusat Statistik Indonesia, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia menunjukkan tren penurunan setiap tahun.

Sumber : BPS Indonesia

Gambar 1 Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia Tahun 2001-2013 Dalam gambar grafik TPT menunjukkan penurunan dari Tahun 2005 yakni sebesar 10,75%. Pada tahun 2007 turun menjadi 9,43%, serta turun lagi pada 2011 menjadi 6,68%. Tahun 2013 tingkat pengangguran menjadi 6,09%. Sedangkan, jika dilihat berdasarkan propinsi, data BPS pada februari 2009, tingkat pengangguran terbesar berada di Pulau jawa yang cukup padat penduduk yaitu berjumlah sekitar 57,5%.

Tabel 1 TPT Menurut Provinsi di Pulau Jawa 2009-2013 (%)

Pengangguran 2009 2010 2011 2012 2013

DKI Jakarta 12,15 11,32 10,83 10,72 9,94

Jawa Barat 10,96 10,57 9,84 9,78 8,90

Banten 14,97 14,13 13,50 10,74 10,10

Jawa Tengah 7,33 6,86 6,07 5,88 5,57

DI Yogyakarta 6,00 6,02 5,47 4,09 3,80

Jawa Timur 5,08 4,91 4,18 4,13 4,00

Sumber : BPS 2014

TPT dari keenam provinsi di Pulau Jawa, diantaranya adalah Jawa Timur sebagai provinsi yang cukup besar jumlah penduduknya memiliki TPT yang rendah. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) telah menargetkan TPT mencapai 3% pada tahun 2015. Data sekunder jumlah pengangguran di Provinsi Jawa Timur berjumlah sekitar 804.400 jiwa atau 4% terhadap jumlah angkatan kerja pada tahun 2013.

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

T

P

T

(

%)

(13)

3 Kebijakan dari pemerintah Indonesia menunjukkan masih adanya ketimpangan dalam penyediaan lapangan kerja tiap Provinsi antar pulau. Menurut hasil riset Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pembangunan ekonomi nasional tidak terlepas dari kemampuan daerah menciptakan peluang penggerak sektor riil yang produktif. Pemerintah daerah yang sukses membenahi tata kelola ekonomi terbukti mampu mendorong kinerja perekonomian lokal yang signifikan. Terdapat dua bidang yang apabila ditangani dengan baik dapat mempercepat pembangunan ekonomi yaitu pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi, (Prasetiantono 2009). Indonesia sebagai negara berkembang, selain terus menggali sumber–sumber pendapatan daerah juga membutuhkan investasi sebagai tambahan dana bagi pelaksanaan pembangunan. Investasi yang dimaksudkan yaitu Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Undang–Undang Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari penyelenggaraan investasi baik investasi PMDN maupun PMA adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Investasi swasta merupakan penggerak perekonomian yang sangat penting. Berdasarkan The Global Competitiveness Report 2012-2013 The World Economic Forum, Indonesia menempati peringkat 38 dari 143 negara, meningkat dari peringkat 44 di tahun sebelumnya. Menurut publikasi KPPOD 2011, pada era otonomi daerah dimana kewenangan untuk menyederhanakan prosedur perizinan, menghapus peraturan dan pungutan yang mengganggu atau memberatkan dunia usaha, mendorong pengembangan usaha kecil, dan menyediakan infrastruktur yang baik sebagian besar sudah berada di tangan pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan aspek TKED dalam menciptakan iklim investasi. Dengan investasi swasta yang tumbuh, lapangan pekerjaan dapat berkembang dan pengangguran dapat dikurangi secara bekelanjutan. Peran pemerintah daerah dalam TKED yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang penting, penelitian ini menjelaskan pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Penelitian mengenai tata kelola ekonomi ini didasarkan pada penelitian TKED yang dilaksanakan dua kali di Jawa Timur oleh KPPOD pada tahun 2007 dan tahun 2011.

Perumusan Masalah

(14)

4

Tabel 2 TPT Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Timur (%)

Kab/Kota 2007 2011 Kab/Kota 2007 2011

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur

Dalam data menunjukkan upaya pengurangan tingkat pengangguran masih terlihat timpang diantara kabupaten dan kota. Seperti ditunjukkan di Kabupaten Pacitan, TPT hanya berkurang 0,2% dari 2,72% tahun 2007 menjadi 2,70% tahun 2011. Sedangkan Kota Madiun menunjukkan penurunan TPT hingga 10,3% dari tahun 2007 ke tahun 2011. Tetapi tidak hanya penurunan, di Kabupaten Sampang justru menunjukkan peningkatan TPT sebesar 1,93%. Kota Mojokerto dan Kabupaten Mojokerto yang berdekatan dalam satu wilayah, sudah menunjukkan adanya perbedaan pengurangan tingkat pengangguran. Ditunjukan di Kota Mojokerto angka TPT turun hingga 6,08% dan Kabupaten Mojokerto hanya berkurang 2,29%. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya dari pemerintah Jawa Timur masih perlu dioptimalkan agar pengurangan tingkat pengangguran tiap kabupaten dan kota bisa merata.

Pengangguran dalam permasalahan pencapaian kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari tata kelola pemerintah daerahnya. Dimana disajikan dalam data indeks TKED secara nasional dalam penelitian KPPOD yang berjumlah 243 kabupaten/kota tahun 2007 dan 245 kabupaten/kota tahun 2011 di Provinsi Jawa Timur ditunjukkan oleh Tabel 3.

(15)

5 malah dimiliki oleh kota Blitar dengan skor 80,5 tahun 2011. Padahal Kota Blitar memiliki TPT masih cukup tinggi pada nilai 4,2%. Sedangkan pada kota yang memiliki TPT rendah (Lumajang dan Pacitan), tingkat skor indeks TKED-nya juga tidak terlalu bagus.

Tabel 3 Indeks TKED Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan tahun 2011

Kab/Kota 2007 2011 Kab/Kota 2007 2011

Pacitan 67,3 60,4 Magetan 75,4 73,9

Ponorogo 66,9 65,9 Ngawi 69,9 72,5

Trenggalek 63,6 69,8 Bojonegoro 62,9 70,8

Tulungagung 68,2 73,0 Tuban 73,4 67,7

Blitar 66,9 72,9 Lamongan 64,0 73,0

Kediri 66,3 68,8 Gresik 63,6 67,3

Malang 62,8 56,3 Bangkalan 63,7 67,6

Lumajang 72,0 68,2 Sampang 56,7 70,1

Jember 64,3 65,4 Pamekasan 66,9 68,3

Banyuwangi 67,0 63,1 Sumenep 60,9 69,9

Bondowoso 70,6 70,3 Kota Kediri 71,1 72,7

Situbondo 70,9 61,5 Kota Blitar 76,0 80,5

Probolinggo 68,5 73,8 Kota Malang 62,3 63,8

Pasuruan 66,4 59,7 Kota Probolinggo 71,5 78,4

Sidoarjo 71,2 67,8 Kota Pasuruan 66,3 66,3

Mojokerto 66,2 70,7 Kota Mojokerto 67,7 70,4

Jombang 60,5 70,2 Kota Madiun 70,5 69,0

Nganjuk 67,5 72,3 Kota Surabaya 57,3 64,3

Madiun 72,0 65,5 Kota Batu 67,9 76,3

Sumber : KPPOD

Analisis sementara ditemukan kejanggalan yang tidak sesuai dengan kaidah ekonomi. Dimana semakin bagus TKED maka iklim investasi akan membaik, menambah lapangan pekerjaan dan pengangguran akan semakin menurun.

Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah kondisi dan perkembangan TKED Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur?

2. Bagaimanakah pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

(16)

6

2. Menganalisis pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur.

Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai salah satu media latih untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan penulis dalam mengamati dan menganalisa permasalahan yang dijumpai sesuai disiplin ilmu yang diperoleh.

2. Bagi para penentu kebijakan di pemerintah Provinsi Jawa Timur serta Pemerintah Daerah di Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dalam menambah pemahaman tentang aspek atau sub indeks dalam TKED yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran.

3. Bagi para pemangku peran masyarakat serta LSM, penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai alat advokasi kepada para pemimpin daerah untuk melakukan perbaikan TKED.

4. Sebagai bahan pustaka dan referensi bagi yang memerlukan serta sebagai bahan rujukan penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah berdasarkan penelitian pada survei TKED yang dilakukan oleh KPPOD. Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang disurvei dua kali pada tahun 2007 dan tahun 2011. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi di Indonesia. Pada tahun 2011, survei dilaksanakan di 245 kabupaten/kota di 19 provinsi di Indonesia. Cakupan penelitian ini adalah sebanyak 29 Kabupaten dan 9 kota di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data Cross section dengan unit analisis kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2007 dan tahun 2011.

TKED dinilai berdasarkan persepsi pelaku usaha terhadap TKED hasil studi KPPOD yang meliputi sembilan aspek utama yaitu akses lahan, perizinan usaha, interaksi pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, biaya transaksi, infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan peraturan daerah. Penelitian ini juga menganalisis faktor lain yang mempengaruhi pengangguran yakni investasi dan pengeluaran pemerintah bagian belanja modal.

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Ekonomi

Pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematik dan

berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai

(17)

7 Sedangkan (Todaro dan Smith 2006) mendefinisikan ilmu pembangunan ekonomi (development economi) selain memperhatikan masalah efisiensi alokasi sumber daya produktif yang langka (atau yang tidak terpakai) serta kesinambungan pertumbuhan dari waktu ke waktu, ilmu ekonomi pembangunan juga memberi perhatian pada mekanisme-mekanisme ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan, baik yang terkandung di sektor swasta maupun yang terdapat di sektor publik. Menurut Todaro (2006) terdapat tiga tujuan inti pembangunan, yaitu:

1. Kecukupan (sustainance)

Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok-seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan.

2. Memenuhi kebutuhan pokok

Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan,tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan.

3. Meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem)

Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan cara membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-negara lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Permasalahan dari pembangunan yang paling menonjol adalah kemiskinan, ketidakmerataan, lonjakan tingkat pengangguran, pertumbuhan penduduk yang terlampau cepat, terhentinya pembangunan di pedesaan, dan kerusakan lingkungan. Kuncoro dalam Karlinda menjelaskan proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata, namun memiliki perspektif yang luas. Dalam proses pembangunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik.

Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh percepatan pertumbuhan ekonomi tetapi lebih pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih utuh (Kuncoro 2010). Kesejahteraan masyarakat sendiri akan terwujud apabila tersedianya lapangan kerja yang cukup, sehingga dapat menekan jumlah pengangguran.

Otonomi Daerah

(18)

8

pemerintah adalah pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih luas,nyata dan bertanggung jawab dalam mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan, yang dituangkan dalam UU No. 18 Tahun 1997 menjadi UU No. 34 Tahun 2000. Inti dari UU ini adalah mengakomodir kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah.

Selain itu, otonomi daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001 juga memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk meningkatkan kinerja daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Prinsip otonomi bukanlah berdiri sendiri, melainkan merupakan subsistem dari sistem pemerintahan nasional. Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah ini meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, adanya peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan berdasarkan potensi dan keanekaragaman daerah.

Tata Kelola Ekonomi Daerah

Dixit dalam Sutarsono mendefinisikan tata kelola secara luas menyangkut interaksi-interaksi antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah. World Bank Institute mengukur tata kelola pemerintahan menggunakan enam sub indeks. Keenam sub indeks tersebut antara lain: (1) keterbukaan dan akuntabilitas, (2) stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme, (3) efektifitas pemerintahan, kualitas peraturan, (5) penegakan hukum, dan (6) kontrol terhadap korupsi. Sedangkan KPPOD mengukur tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia dari aspek tata kelola ekonomi. Unsur-unsur tata kelola daerah yang baik menurut persepsi pelaku usaha dirumuskan secara berbeda oleh KPPOD. Pemilihan 9 unsur ini didasarkan pada elemen-elemen yang merefleksikan tata kelola ekonomi daerah, bukan merupakan faktor anugrah (endowment), merupakan kewenangan dan kontrol kabupaten/kota, tetapi bukan sub indeks outcome/impact (KPPOD 2011).

Sumber: KPPOD 2007

(19)

9 Faktor penggerak produktivitas daerah yang terbentuk pada suatu daerah merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Pada Gambar 2 dapat dilihat kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Maka keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting (KPPOD 2007).

Pengangguran

Batasan (definisi) variabel ketenagakerjaan telah dibakukan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia sejak tahun 1976. Definisi yang dimaksud diantaranya adalah mengenai angkatan kerja, yaitu penduduk usia kerja yang bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan atau penduduk yang termasuk dalam pengangguran. Penduduk usia kerja yang dimaksud adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas.

Pengertian dari bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan yang lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus-menerus dalam seminggu yang lalu. Sedangkan yang dimaksud pengangguran meliputi penduduk yang sedang mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha, atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (discourage worker), atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (future start).

Sumber : Proyeksi Angkatan Kerja Indonesia 2003-2010, BPS

Gambar 3 Diagram Ketenagakerjaan

Investasi

Investasi sering disebut juga sebagai penanaman modal atau pembentukan modal. Penanaman modal dibagi dua diantaranya adalah Penanaman Modal Asing

USIA KERJA

ANGKATAN KERJA BUKAN ANGKATAN KERJA

(20)

10

(PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Keduanya dapat dijadikan satu menjadi Investasi. Investasi menghubungkan pasar uang dengan pasar barang, masa kini dan masa datang.

Baik perusahaan maupun rumah tangga membeli barang-barang investasi, perusahaan membeli barang-barang untuk menambah pesediaan modalnya dan mengganti modal setelah habis dipakai (Mankiw, 2006). Tujuan investasi ini adalah untuk meningkatkan kapasitas memproduksi suatu perekonomian. Investasi merupakan suatu unsur GDP (Gross Domestic Product) yang paling sering berubah. Ketika pengeluaran atas barang dan jasa turun selama resesi, sebagian besar dari penurunan itu berkaitan dengan anjloknya pengeluaran investasi.

Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah yang dimaksud adalah belanja daerah yang terdiri atas belanja tidak langsung (Indirect Expenditure) dan belanja Langsung (Direct Expenditure).

Belanja Langsung (Direct Expenditure) merupakan belanja yang dianggarkan karena terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah. Diantara belanja langsung dari pemerintah daerah yaitu belanja modal pemerintah (investasi pemerintah). Belanja Modal adalah pengeluaran yang digunakan untuk pembelian atau pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari satu tahun. Pembentukan aset tersebut meliputi pengadaan tanah, alat-alat berat, alat-alat angkutan, alat-alat bengkel, alat-alat pertanian, peralatan dan perlengkapan kantor, komputer, mebeulair, peralatan dapur, penghias ruangan, alat-alat studio, alat-alat komunikasi, alat-alat ukur, alat-alat kedokteran, alat-alat laboraturium, konstruksi jalan, jembatan, jaringan air, penerangan jalan, taman dan hutan kota, instalasi listrik dan telepon, bangunan, buku/kepustakaan, barang seni, pengadaan hewan/ternak dan tanaman, serta persenjataan atau keamanan (BPS 2012).

Pertumbuhan Ekonomi

Sukirno dalam Karlinda mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian serta kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Dalam Mankiw (2006) menjelaskan fungsi produksi dengan menggunakan teknik yang disebut perhitungan pertumbuhan yang membagi pertumbuhan output menjadi tiga sumber berbeda : kenaikan modal, kenaikan tenaga kerja, dan perkembangan teknologi. Model Solow yang mengaitkan modal total K dan tenaga kerja total L dengan output total Y jadi fungsi produksi itu adalah :

Y = F(K, L)

(21)

11 Teori Pengangguran (I, G)

Menurut Hukum Okun (Mankiw 2006), terdapat kaitan yang erat antara tingkat pengangguran dengan GDP (Gross Domestic Product) riil, dimana terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengangguran dengan GDP riil.

Menurut Satrio dalam Zulhanafi et al peningkatan investasi akan meningkatan kesempatan kerja sehingga tingkat pengangguran akan menurun. Untuk mengetahui dampak investasi langsung terhadap permintaan tenaga kerja digunakan koefisien tenaga kerja dan pengganda output untuk dapat mengetahui multiplier permintaan tenaga kerja.

Keynes juga berpendapat bahwa dalam sistem pasar bebas penggunaan tenaga kerja penuh tidak selalu tercipta sehingga perlu dilakukan usaha dan kebijakan pemerintah untuk menciptakan penggunaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan ekonomi yang teguh. Salah bentuk campur tangan yang dapat dilakukan adalah dengan menjalankan kebijakan fiskal. Dalam hal ini Keynes mengisyaratkan kebijakan fiskal yang ekspansif melalui penambahan pengeluaran pemerintah (Government Expenditure).

Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C + I + G merupakan pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian tertutup. Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional. Y merupakan pendapatan nasional, C merupakan pengeluaran konsumsi, dan G merupakan Pengeluaran Pemerintah. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (Mankiw 2006)

Penelitian Terdahulu

Lean et al (2011) Meneliti dampak investasi asing dan investasi dalam negeri terhadap pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Menerapkan vektor koreksi kesalahan model (VECM) dengan data 1970-2008. Tujuannya adalah untuk menganalisis hubungan kausal jangka panjang antara investasi asing langsung, investasi domestik dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Kehadiran efek komplementer/substitusi antara investasi asing langsung dan investasi domestik juga diselidiki dengan menggunakan fungsi respon impuls dan analisis variance decomposition. Hasil menunjukkan kausalitas bilateral jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan investasi domestik. Tidak ada bukti kausalitas antara investasi asing langsung dan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, hasil menunjukkan jangka pendek crowding-in akibat antara investasi asing langsung dan investasi domestik.

(22)

12

Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas institusi daerah dan penyediaan infrastruktur baik jalan, air bersih, maupun listrik di Indonesia belum merata. Kualitas institusi dan penyediaan infrastruktur di kota lebih baik dibandingkan kabupaten dan kabupaten/kota di Jawa lebih baik dibandingkan kabupaten/kota di luar Jawa. Tata kelola pemerintahan daerah diindikasikan berpengaruh tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Hal ini menjawab mengapa hubungan secara agregat dan langsung penelitian sebelumnya tidak diketemukan hubungan yang signifikan. Adapun tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan pemerintah daerah yang tidak menyebabkan peningkatan biaya bagi pelaku usaha.

Karlinda (2012) menganalisis Keterkaitan PDRB per kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder tahun 2007. Hasil dari penelitian ini adalah berdasarkan analisis korelasi, variabel TKED yang memiliki hubungan signifikan dengan PDRB per kapita yang sejalan dengan teori adalah lama kepengurusan sertifikat tanah, persentase perusahaan yang memperoleh TDP, pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah, mengenai dukungan pemda, tingkat hambatan biaya, tentang kualitas dan lama perbaikan infrastruktur jalan. Variabel yang berhubungan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi adalah lama kepengurusan sertifikat tanah, persentase perusahaan yang memiliki TDP, persentase keberadaan forum komunikasi, Pemda melakukan konsultasi publik, Pemda mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha. Berdasarkan analisis regresi OLS, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita adalah IPM, belanja modal dan belanja pendidikan pemerintah, lama kepengurusan sertifikat tanah. IPM, belanja modal, belanja pendidikan berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita. Variabel lama pengurusan sertifikat tanah berpengaruh negatif terhadap PDRB per kapita. Hasil regresi OLS juga menunjukkan bahwa variabel belanja kesehatan, variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP dan kualitas infratruktur jalan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel IPM dan belanja pendidikan memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan.

(23)

13 McCulloch dan Malesky (2010) meneliti pengaruh TKED dengan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Pengukuran utama terhadap kinerja perekonomian adalah Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat daerah. Metode analisis yang digunakan adalah model regresi berganda dan model panel dengan menggunakan Indeks TKED tahun 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan pertumbuhan daerah lebih rumit dari pandangan sekilas. Secara mengejutkan penelitian ini mengemukakan bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara berbagai pengukuran tipikal tata kelola perekonomian daerah dengan kinerja pertumbuhan daerah. Hasil tersebut didorong oleh beberapa kemungkinan, yakni rendahnya kualitas data serta hasil penelitian tersebut ditutupi karena beberapa variabel struktural yang memengaruhi pertumbuhan, juga berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan daerah, tetapi tidak harus ke arah yang sama. Tata kelola pemerintahan daerah bisa saja dapat meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, namun untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, harus ditunjang oleh unsur PDB lainnya yaitu konsumsi dan pengeluaran pemerintah. Satu hal lagi yang juga penting, sebaik apapun tata kelola ekonomi yang akan meningkatkan investasi swasta di daerah, bila tanpa dukungan adanya sumber daya ekonomi yang cukup, hanya akan berdampak kecil pada pertumbuhan ekonomi daerah.

Istiandari (2009) menganalisis tentang Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia. Untuk melihat apakah ada perbedaan pengaruh Indeks TKED antara daerah Kabupaten dan Kota, maka dalam model yang dibangun juga menggunakan dummy daerah kabupaten-kota. Hasilnya dari tujuan yang pertama untuk melihat tingkat pelaksanaan TKED menggunakan analisis deskriptif yaitu kualitas TKED di Wilayah Jawa secara umum terbukti lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tujuan kedua adalah melihat TKED terhadap kesejahteraan. PDRB perkapita dan tingkat kemiskinan dijadikan variabel untuk mewakili tingkat kesejahteraan daerah, sementara indeks TKED dijadikan variabel penjelas disamping beberapa variabel lainnya yaitu PAD dan IPM. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa selain TKED, variabel IPM dan PAD yang berasal dari kekayaan alam daerah memiliki hubungan yang signifikan terhadap laju pertumbuhan PDRB per kapita. Dampak yang berasal dari kedua variabel endowment tersebut bersifat positif. Sementara dampak positif yang berasal dari variabel dummy yang berinteraksi dengan TKED mengindikasikan bahwa di wilayah kota, TKED lebih cepat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan PDRB. Adapun variabel-variabel penjelas lain selain indeks TKED yaitu IPM dan PAD yang berasal dari kekayaan alam daerah berdampak negatif terhadap persentase penduduk miskin. Hal ini sejalan dengan dampak positif yang ditimbulkan kedua variabel endowment ini terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional. Variabel dummy yang bersifat negatif pada hasil estimasi juga mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan proporsi penduduk miskin di wilayah kota dengan kabupaten dimana proporsi penduduk miskin di wilayah kota lebih rendah dibandingkan dengan wilayah kabupaten.

(24)

14

model persamaan dengan Dua Tahapan metode Least Squared (TSLS) dari kuartal pertama tahun 2000 - kuartal keempat tahun 2011. Penelitian menyimpulkan bahwa pendidikan dan kesehatan berpengaruh signifikan dan berpengaruh positif terhadap produktivitas di Indonesia. Produktivitas, pertumbuhan ekonomi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan upah memengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia secara signifikan. Produktivitas, pertumbuhan ekonomi, investasi, pengeluaran pemerintah, inflasi mempunyai pengaruh negatif. Sedangkan tingkat upah mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pengangguran. Namun, inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Gambar 4 Bagan Kerangka Pemikiran

Keberhasilan pembangunan ekonomi dalam sebuah negara dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu indikator kesejahteraan dalam sebuah negara adalah tingkat pengangguran yang semakin menurun. Kebijakan-kebijakan yang dicanangkan pemerintah ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Era otonomi daerah yang berjalan sejak tahun 2001 diharapkan mampu menciptakan kemandirian serta kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan dana pembangunan. Terdapat dua pihak yang

Pembangunan Ekonomi

Pengurangan Pengangguran

Faktor yang mempengaruhi

Tata Kelola Ekonomi Daerah :

Akses Lahan

Perizinan Usaha

Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha

Program Pengembangan Usaha Swasta

Kapasitas dan Integrasi Kapala Daerah

Biaya Transaksi

Infrastruktur Daerah

Peraturan di Daerah

Keamanan dan Penyelesaian Konflik

Faktor lain :

(Belanja Modal, Investasi)

Pengaruh TKED Terhadap Tingkat Pengangguran

(25)

15 secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha dalam rangka penciptaan investasi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kewenangan yang sudah diserahkan pada daerah seharusnya mampu secara optimal mengelola potensi daerah masing-masing yang dapat diwujudkan melalui tata kelola ekonomi yang baik. Adanya investasi diyakini mampu menggerakan perekonomian di suatu daerah sehingga mendorong pembangunan ekonomi, penyerapan tenaga kerja yang memadai dan menurunkan tingkat pengangguran. Penelitian ini melihat pengaruh variabel-variabel TKED yang berhubungan secara signifikan terhadap tingkat pengangguran serta faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi tingkat pengangguran. Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan saran implementasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu dapat dirumuskan beberapa hipotesis sebagai berikut :

1. Fungsi produksi yang menghubungkan pertumbuhan ekonomi (Y) dengan jumlah modal (K) dan jumlah tenaga kerja (L) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mengartikan pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi penyerapan tenaga kerja yang meningkat dan dapat menekan tingkat pengangguran. 2. Teori Keynes menyebutkan pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh

investasi dan belanja modal. Maka, investasi dan belanja modal diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.

3. Kesembilan sub indeks TKED yang merefleksikan kualitas investasi di daerah diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data Tabel 4 Jenis dan sumber Data

No Variabel Sumber Data Satuan

1. Tingkat Pengangguran

Terbuka (TPT)

BPS Jawa Timur 2007 dan 2011 persen

2. Investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal Rupiah

3. Belanja Modal BPS Indonesia Rupiah

4. Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah

KPPOD (Tata Kelola Ekonomi Daerah) 2007 dan 2011

Skor

(26)

16

Jawa Timur, Belanja Modal (BM) diperoleh dari BPS Indonesia, dan data realisasi investasi diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan BPS. Data sekunder lain yang masih terkait dalam penelitin ini diperoleh dari artikel, jurnal, skripsi dan tesis dari perpustakaaan IPB, internet dan lembaga lainnya.

Definisi Operasional

Operasional data merupakan variabel–variabel pendukung yang digunakan dalam analisis. Variabel–variabel operasional tersebut akan didefinisikan sebagai berikut.

1. TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) adalah presentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.

2. Pengangguran adalah penduduk yang sedang mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha, atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, atau sudah mendapat pekerjaan tetapi belum memulai kerja.

3. Investasi adalah adalah pengeluaran yang dilakukan pemerintah untuk melakukan investasi, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama dengan pihak swasta. Pengeluaran rutin tidak termasuk dalam perhitungan ini. 4. Belanja modal pemerintah adalah belanja pemerintah dalam APBD yang

digunakan untuk pembelian/pembentukan aset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebi dari setahun. Seperti gedung, jalan (infrastruktur) dan aset tetap lainnya.

5. Tata kelola ekonomi daerah yang merupakan upaya untuk meningkatkan iklim investasi, berhubungan secara signifikan dan sejalan dengan teori.

Metode Analisis Data Analisis Deskriptif

Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan hasilnya disajikan dalam bentuk yang lebih sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Analisis deskriptif ini mengkaji secara eksploratif mengenai gambaran tentang kondisi dan perkembangan TKED. Gambaran dilihat dari bantuan tabel maupun grafik.

Uji Beda TKED Tahun 2007 dan Tahun 2011

(27)

17 dahulu untuk menormalkan distribusinya (Sugiarto 2002). Uji ini dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan :

̅̅̅ : Rata- rata populasi tahun 2007

̅̅̅ : Rata-rata populasi tahun 2011 S : Standar deviasi

Model Analisis Regresi Berganda

Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk menganalisis keterkaitan hubungan yang signifikan antara sembilan TKED dengan tingkat pengangguran kabupaten dan kota Provinsi Jawa Timur. Estimasi koefisien regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Salah satu regresi dalam OLS adalah regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel tak bebas) yang merupakan akibat. Analisis linear berganda berfokus pada ketergantungan satu variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel penjelas (variabel bebas).

Model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap pengangguran kabupaten dan kota Provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut:

PGRi = α0i + α1lnIi + α2lnBMi + α4lnALi + α5lnIFRi + α6lnPUi + α7lnPDi + α8lnBTi + α9lnKIi + α10lnIPPi + α11lnPPUSi + α12lnKPKi + i

Keterangan :

PGRi : Tingkat Pengangguran (%) I : Variabel Investasi (juta rupiah) BM : Variabel Belanja Modal (juta rupiah)

AL : Variabel Akses Lahan (skor dari 1-100 KPPOD) IFR : Variabel Infrastruktur (skor dari 1-100 KPPOD) PU : Variabel Perizinan Usaha (skor dari 1-100 KPPOD)

PD : Variabel Kualitas Peraturan Daerah (skor dari 1-100 KPPOD) BT : Variabel Biaya Transaksi (skor dari 1-100 KPPOD)

KI : Variabel Kapasitas dan Integrasi (skor dari 1-100 KPPOD) IPP : Variabel Interaksi Pemda dan PU (skor dari 1-100 KPPOD)

PPUS :Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta (skor dari 1-100 KPPOD) KPK : Variabel Keamanan dan Penyelesaian Konflik (skor dari 1-100 KPPOD)

εi : Error term pada model

(28)

18

Uji Pelanggaran Asumsi

1. Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi OLS dalam bentuk varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi OLS yang tidak bernilai konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varian minimum (efisien). Menurut (Gujarati 1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut:

a. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien.

b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien.

c. Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji ARCH (Auto Regression Conditional Heteroskedasticity), yang dilakukan pertama kali pada uji ini adalah mendapatkan residual (ut) dari regresi OLS, lalu regresikan nilai absolut dari ut (|ut|) terhadap variabel bebas yang diperkirakan mempunyai hubungan yang erat. Uji ini menggunakan nilai probabilitas dari |ut|, jika hasil regresi siginifikan berarti terdapat masalah heteroskedastisitas.

Hipotesis :

H0 : ρ = 0

H1 : ρ ≠ 0

Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah sebagai berikut:

1. Probability |ut| < α, maka tolak H0 2. Probability |ut| > α, maka terima H0 Keterangan:

|ut| : Residual (galat)

Jika H0 ditolak maka terjadi heteroskedastisitas dalam model, sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Solusi dari masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki galat dengan varians yang konstan.

2. Multikolinearitas

(29)

19 (Coefficient Correlation Matrix). Jika model mengandung masalah multikolinieritas ada 2 pilihan yang dapat kita lakukan yaitu membiarkan model tetap mengandung multikolinieritas atau akan memperbaiki model. Jika pilihan pertama, maka dapat dikatakan bahwa model yang mengandung masalah multikolinieritas tetap menghasilkan estimator yang BLUE karena masalah estimator yang BLUE tidak memerlukan asumsi tidak adanya korelasi antar variabel independen. Multikolinieritas hanya menyebabkan kesulitan dalam memperoleh estimator dengan standard eror yang kecil. Masalah multikolinieritas juga timbul karena hanya memiliki jumlah observasi yang sedikit. Adapun cara kedua yaitu melakukan perbaikan model dengan cara :

a. Menghilangkan variabel independen b. Transformasi variabel

c. Penambahan data

3. Autokorelasi

Autokorelasi adalah adanya korelasi antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Autokorelasi pada umumnya lebih sering terjadi pada data deret waktu (time series) walaupun dapat terjadi pada data cross section. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Ada tidaknya autokorelasi dapat diketahuidengan membandingkan nilai Durbin-Watson (DW) statistik dengan DW-tabel. Kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5 Selang nilai statistik DW dan keputusannya

Nilai DW Keputusan

4-dL < DW < 4 Tolak H0; ada autokorelasi negatif 4-dU < DW < 4-dL Tidak tentu, coba uji yang lain dU < DW < 4-dU Terima H0

dL < DW < dU Tidak tentu, coba uji yang lain 0 < DW < dL Tolak H0; ada autokorelasi positif

Sumber : Juanda, 2009

GAMBARAN UMUM

Letak Geografis

Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa yang beribukota Surabaya. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa dan Samudera Hindia (Pulau Sempu dan Nusa Barung). Secara umum, wilayah Jawa Timur terbagi menjadi dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan, hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, dan wilayah kepulauan yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa Timur.

Dengan luas wilayah daratan sebesar 47.130,15 Km2 dan lautan seluas 110.764,28 Km2. Wilayahnya terbentang antara 111°0′ BT – 114° 4′ BT dan 7°

(30)

20

Jawa Timur terbagi dalam 38 pemerintahan tingkat II yaitu 29 kabupaten dan 9 kotamadya. Masing-masing daerah tersebut dibagi ke dalam wilayah kecamatan dan desa atau kelurahan yang terdiri dari 615 kecamatan dan 8.413 desa atau kelurahan. Dengan batas wilayah sebagai berikut :

- Sisi Utara : Laut Jawa

- Sisi Selatan : Samudra Indonesia

- Sisi Timur : Selat Bali atau Provinsi Bali - Sisi Barat : Privinsi Jawa Tengah

Kondisi Demografi Provinsi Jawa Timur

Kota Surabaya mempunyai jumlah penduduk yang paling besar, yaitu 2.781.047 jiwa, diikuti Kabupaten Malang 2.459.982 jiwa dan Kabupaten Jember 2.345.851 jiwa. Kepadatan penduduk Jawa Timur tahun 2011 adalah 786 jiwa setiap 1 km2. Kepadatan penduduk di kota, umumnya lebih tinggi dibanding dengan kepadatan penduduk di kabupaten. Kota Surabaya mempunyai kepadatan penduduk tertinggi yaitu 8.400 jiwa/km2.

Sumber : BPS, 2014

Gambar 5 Hasil Proyeksi Penduduk Jawa Timur 2000-2013

Keadaan Tenaga Kerja

Keadaan tenaga kerja di Provinsi Jawa Timur dapat dilihat dari tabel 6. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2007 sebesar 16.531.850 jiwa dan mengalami jumlah penurunan angkatan kerja pada tahun 2011 menjadi sebesar 11 908.500 jiwa. Sedangkan jumlah pencari kerja pada tahun 2011 sebesar 778.468 jiwa. Jumlah ini naik apabila dibandingkan dari tahun 2010 jumlah pencari kerja sebesar 489.530 jiwa. Yang sudah ditempatkan sebanyak 327.489 jiwa. Sehingga yang belum ditempatkan/belum terserap di pasar kerja sebesar 247.079 jiwa. (BPS, 2014) Pemegang ijin bekerja bagi Warga Negara Asing (WNA) mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebesar 1.380 jiwa dan pada tahun 2011 sebesar 1.417 jiwa.

(31)

21 Sidoarjo, Kab. Malang dan Kota Surabaya. Jumlah penempatan tenaga kerja terbanyak di Kab Kediri, Kab. Magetan dan Kota Surabaya.

Tabel 6 Jumlah Pencari Kerja, Penempatan Kerja dan Permintaan Menurut Jenis Kelamin 2011 - 2012

Uraian Laki-laki Perempuan Jumlah

2011 2012 2011 2012 2011 2012

01. Pencari Kerja 466,99 524,381 311,478 290,84 778,468 815,221

02. Penempatan 133,324 277,318 194,165 197,671 327,489 474,989

03. Penghapusan Pencari Kerja 105,378 157,314 98,522 87,252 203,9 244,566

04. Belum Ditempatkan 228,288 89,749 18,791 5,917 247,079 95,666

05. Permintaan Lowongan 217,138 400,172 296,899 410,317 514,037 810,489

06. Dipenuhi 133,324 277,318 194,165 197,671 327,489 474,989

07. Penghapusan Lowongan 66,662 120,052 97,083 164,127 163,745 284,179

08. Sisa Lowongan 17,152 2,802 5,652 48,519 22,804 51,321

Sumber : Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur

Kondisi Perekonomian Jawa Timur Evaluasi perekonomian dapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 7 PDRB Jawa Timur Tahun 2007 – 2011

8. Keuangan. Persewaan dan Jasa Perusahaan

4,70 4,79 4,79 4,90 4.93

9. Jasa-Jasa 8,78 8,77 8,77 8,68 8.55

PDRB Jawa Timur 100.00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : BPS Jawa Timur. 2012

(32)

22

menunjukan kecenderungan semakin menurun. yaitu dari 18,86% pada tahun 2007 menurun menjadi 17,63% pada tahun 2011. Pada periode yangs sama peranan sektor sekunder juga cenderung menurun yaitu dari 34,27% pada tahun 2007 menjadi 33,24 % pasda tahun 2011. Sebaliknya peranan sektor tersier lima tahun terkahir menunjukkan perkembangan smakin meningkat yaitu dari 46,87% tahun 2007 meningkat menjadi 49,13% tahun 2011. Dilihat dari sektor yang paling dominan adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 30,00%.

Investasi

Peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari jumlah investasi yang ada pada suatu wilayah. Kenaikan investasi tersebut yang akan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto. Pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur tidak terlepas dari keberhasilan meningkatnya jumlah investasi swasta dan banyaknya proyek yang disetujui. Investasi swasta dapat berupa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA).

Tabel 8 Perkembangan Proyek PMDN dan PMA di Jawa Timur Tahun 2006-2011

Tahun Jumlah

Sumber : Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur

Terlihat dalam tabel bahwa pertumbuhan investasi PMA dan PMDN terus mengalami petumbuhan dari tahun 2006 hingga tahun 2011. PMDN pada tahun 2006 tercatat proyek yang disetujui 31 proyek dengan nilai menjadi 112 proyek di tahun 2011. Sedangkan proyek PMA yang disetujui tahun 2006 sebanyak 81 proyek menjadi 174 proyek tahun 2011. Namun, jumlah proyek hanya terkonsentrasi di beberapa kabupaten/kota dan belum menunjukkan pemerataan.

(33)

23 penurunan di beberapa letak proyek di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Peningkatan ditunjukkan oleh Kabupaten Sampang terdapat 1 proyek tahun 2011 dan 63 proyek di tahun 2012. Diikuti oleh Kota Blitar tidak ada proyek di tahun 2011 menjadi 2 proyek di tahun 2012. Penurunan jumlah proyek terdapat di Kabupaten Pacitan dari 2 proyek menjadi tidak ada proyek di tahun 2012.

Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah bagian belanja modal di Provinsi Jawa Timur mengalami kenaikan rata-rata dari tahun 2007 ke tahun 2011. Pada tahun 2007 rata-rata realisasi belanja modal mencapai 142.503 juta rupiah menjadi 156.801 juta rupiah di tahun 2011.

Sumber : BPS Indonesia

Gambar 6 Realisasi Belanja Modal Provinsi Jawa Timur Tata Kelola Ekonomi Daerah

Studi TKED bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah dari beberapa kabupaten/kota seluruh Indonesia. Penelitian yang dilakukan KPPOD dan The Asia Fondation dari awal dilaksanakan otonomi daerah tahun 2001 adalah “ Daya Tarik Investasi Daerah” dan berubah menjadi TKED sejak tahun 2007 hingga tahun 2011. Sub indeks yang digunakan terfokus pada berbagai aspek TKED. Penelitian ini menilai dari pandangan pelaku usaha mengenai keadaan investasi daerah. Kriteria yang digunakan dalam studi TKED 2007 dan 2011 meliputi Sembilan sub indeks yang sebagian besar merupakan kewenangan Pemda kabupaten/kota. Variabel yang dikelompokkan dalam Sembilan aspek sebagai berikut : (1) Akses lahan; (2) Infrastruktur daerah; (3) Perizinan usaha; (4) Peraturan daerah; (5) Biaya transaksi; (6) Kapasitas dan integritas bupati/walikota; (7) Interaksi Pemda dan pelaku usaha; (8) Program pengembangan usaha swasta; (9) Keamanan dan penyelesaian konflik.

Sembilan sub indeks TKED ini memiliki tiga karakteristik. Pertama, merupakan sub indeks yang terkait dengan kebijakan daerah dan kelembagaan untuk implementasinya. Jadi faktor anugerah (endowment) tidak termasuk dalam

(34)

24

kriteria ini. Karakteristik kedua, sub indeks ini merupakan kewenangan Pemda kabupaten/kota. Sedangkan karakteristik ketiga adalah sub indeks yang sifatnya operasional/praktis yang langsung berkaitan dengan aktivitas suatu usaha.

Tujuan survei TKED ini adalah reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerah, dan menciptakan iklim investasi antar kabupaten/kota yang sehat. Manfaat yang dapat dipetik untuk Pemerintah Daerah adalah sebagai alat pemantauan kinerja kabupaten/kota, dan juga berguna dalam menentukan prioritas fasilitas dan dukungan bagi kabupaten/kota dalam memperbaiki kinerjanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi TKED Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan Tahun 2011

KPPOD telah mensurvei kondisi tata kelola ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur dua kali yaitu pada tahun 2007 dan tahun 2011. Dalam penilaian kondisi tata kelola ekonomi tersebut KPPOD menggunakan sembilan sub indeks terhadap 29 kabupaten dan 9 kota di Provinsi Jawa Timur. Sembilan sub indeks tersebut yaitu akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan usaha. peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas Bupati/Walikota, interaksi Pemda dan pelaku usaha, progam pengembangan usaha swasta, keamanan dan penyelesaian konflik. Skor tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota ditunjukkan dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2. Grafik berdasarkan skor tertinggi dan terendah masing-masing sub indeks ditunjukkan dalam Gambar 9 dan Gambar 10.

TKED Tahun 2007

Sumber : KPPOD. 2007

(35)

25 TKED Tahun 2011

Sumber : KPPOD. 2011

Gambar 8 Kondisi TKED tahun 2011 (Skor)

Berdasarkan data KPPOD pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur yang menempati peringkat satu akses terhadap lahan pada tahun 2007 adalah Kabupaten Situbondo (skor 93,9). Peningkatan akses lahan pada tahun 2011 ditunjukkan oleh Kabupaten Magetan dengan peringkat pertama (skor 93,5). Sedangkan peringkat terbawah akses terhadap lahan tetap ditunjukan oleh Kota Surabaya pada tahun 2007 (skor 39,7) dan pada tahun 2011 (skor 48,6). Kota Surabaya memiliki akses lahan rendah dikarenakan tingkat kesulitan untuk mendapatkan tanah peruntukan lahan di kabupaten lebih rendah dari pada di kota. Kesulitan tersebut ditunjukkan karena kepadatan penduduk di kota lebih besar dibandingkan di kabupaten. Kota Surabaya kepadatan penduduknya mencapai 8.400 orang/km2 di tahun 2011, sebagaimana ditunjukkan lampiran 3. Menurut hasil survei KPPOD tahun 2011, pengurusan sertifikat tanah rata-rata di Jawa Timur adalah 11 minggu di tahun 2011 yang membaik dari tahun 2007 yaitu 15 minggu. Berbeda dengan lama kepengurusan di kota Surabaya mencapai 17 minggu tahun 2011. Meskipun sudah membaik dibandingkan tahun 2007 yang lama kepengurusan mencapai 36 minggu. Kota Surabaya masih di peringkat terlama dalam pengurusan sertifikat tanah dibandingkan kabupaten dan kota lain di Jawa Timur.

Menurut persepsi pelaku usaha, infrastruktur merupakan aspek TKED yang terpenting dan memiliki bobot tertinggi yaitu 38%. Pada tahun 2007 infrastuktur daerah yang menempati peringkat satu adalah Kabupaten Tuban (skor 89). Namun, peningkatan infrastruktur pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kota Blitar dengan peringkat pertama (skor 94) dan diikuti Kabupaten Tuban (skor 91,1). Sedangkan peringkat terbawah infrastuktur daerah ditunjukan oleh Kabupaten Sampang pada tahun 2007 (skor 57,2) dan pada tahun 2011 ditempati oleh Kabupaten Pacitan (skor 66,1).

Infrastruktur daerah yang dilihat dari beberapa aspek tanggapan Pemda terhadap lama perbaikan kerusakan jalan, lampu penerangan jalan, air PDAM,

(36)

26

listrik PLN dan telepon. Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Sampang dengan skor terendah dikarenakan kepadatan penduduknya merupakan terkecil dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Timur (381 orang/km2 dan 717 orang/km2) dengan masing-masing lama perbaikan infrastrukturnya (41 hari dan 100 hari). Berdasarkan data KPPOD, kabupaten/kota dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung lebih baik tanggapan Pemda terhadap infrastrukturnya. Kabupaten Tuban dan Kota Blitar dengan kepadatan penduduk masing-masing 569 orang/km2 dan 3.983 orang/km2 berada di peringkat teratas untuk sub-indeks infrastruktur daerah tahun 2007 dan tahun 2011. Meskipun Kabupaten Tuban kepadatan penduduknya masih ada yang lebih tinggi, namun kabupaten tersebut merupakan jalur pantai utara yang menjadi jalur yang sering menjadi pilihan perjalanan dari Jawa Barat menuju Jawa Timur dan Pulau Bali. Jadi, lama perbaikan kedua kabupaten cenderung lebih cepat yaitu 4 hari.

Lima izin dasar yang wajib dimiliki pelaku usaha, tahapan terkahirnya adalah pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Pada tahun 2007 perizinan usaha yang menempati peringkat satu adalah Kota Blitar (skor 84.6). Namun, peningkatan perizinan usaha pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kota Probolinggo dengan peringkat pertama (skor 82,5). Sedangkan peringkat terbawah perizinan usaha tetap ditunjukan oleh Kabupaten Malang pada tahun 2007 (skor 46) dan pada tahun 2011 (skor 49,5).

Persepsi pelaku usaha di Kota Blitar tahun 2011 tingkat kesulitan memperoleh TDP lebih susah dari tahun 2007 yang setuju kemudahan mencapai 100%. Namun, tahun 2011 sudah tidak menempati peringkat pertama. Peningkatan sub indeks perizinan usaha ditunjukkan Kota Probolinggo yang mengindikasikan waktu kepengurusan TDP yang lebih cepat dibandingkan tahun 2007, lebih mudahnya perolehan TDP mencapai 100%. Kabupaten Malang yang dari tahun 2007 dan tahun 2011 menempati peringkat terbawah, berdasarkan data KPPOD waktu untuk kepengurusan TDP hingga 37 hari yang berbeda dengan wilayah terdekatnya yakni Kota Batu yang hanya memerlukan waktu 11 hari. Sementara standar yang ditetapkan Kementrian Perdagangan hanya tiga hari saja dalam pengurusan TDP (KPPOD 2011).

(37)

27 waktu dan tarif kepengurusan dalam perda perizinan. Berbeda dengan sub-indeks lainnya, kualitas peraturan daerah tidak dinilai berdasarkan kuisioner atau persepsi pelaku usaha. Namun, dinilai secara objektif dari aspek yuridis, substansi dan prinsip.

Pada tahun 2007 biaya transaksi yang menempati peringkat satu adalah Kabupaten Magetan (skor 93). Namun, peningkatan biaya transaksi pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kabupaten Trenggalek dengan peringkat pertama (skor 92,4). Peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Jombang pada tahun 2007 (skor 55,8) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Pasuruan (skor 62,8).

Kabupaten Jombang di tahun 2007 menurut persepsi tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan mencapai 26% dan persepsi tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda rata-rata mencapai 1.637.916 rupiah. Sedangkan Kabupaten Pasuruan yang menduduki tingkat terbawah tahun 2011, persepsi tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan mencapai 15% dan persepsi tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda rata-rata mencapai 15.000.000 rupiah. Jauh berbeda dengan Kabupaten Trenggalek yang menempati peringkat teratas di tahun 2011 persepsi tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda hanya mencapai 483.000 rupiah.

Kapasitas dan integritas bupati/walikota yang merupakan kepercayaan dengan pemahaman bupati/walikota mengenai birokrasi dunia usaha di tahun 2007 menempati peringkat satu adalah Kabupaten Magetan (skor 95,2). Namun, peningkatan Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kota Probolinggo dengan peringkat pertama (skor 81,3) diikuti Kota Blitar (skor 71,1). Sedangkan peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Sumenep pada tahun 2007 (skor 31,4) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Pasuruan (skor 21,9).

Kota Probolinggo yang tahun 2007 menempati peringkat kedua menjadi peringkat pertama di tahun 2011 dan Kota Blitar juga meningkat menjadi peringkat kedua tahun 2011. Mengindikasikan di daerah tersebut mengalami perbaikan dalam pemahaman birokrasi dunia usaha, ketegasan terhadap korupsi dan professionalitas bupati/walikotanya.

Pada tahun 2007 interaksi Pemda dan pelaku usaha yang menempati peringkat satu adalah Kota Probolinggo (skor 70,2). Namun, peningkatan interaksi Pemda dan pelaku usaha pada tahun 2011 masih ditunjukan oleh Kota Probolinggo dengan peringkat pertama (skor 80,1) diikuti Kota Blitar (skor 73,6). Sedangkan peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Sumenep pada tahun 2007 (skor 30,6) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Malang (skor 32,2).

Data KPPOD menunjukkan interaksi pemda dengan pelaku usaha yang ditunjukkan dengan adanya forum komunikasi di Kota Probolinggo pada tahun 2007 dan tahun 2011 masing-masing adalah 52,3% dan 69,6% tersedia. Sedangkan di Kabupaten Sumenep pada tahun 2007 dan Kabupaten Malang pada tahun 2011 forum komunikasi (27,9% dan 13%) tersedia.

(38)

28

Tingkat kesadaran akan kehadiran program pengembangan usaha hanya 22% diketahui oleh pelaku usaha di Kabupaten Situbondo pada tahun 2011. Sedangkan di Kabupaten Lumajang tingkat kesadaran program pengembangan usaha 100% diketahui oleh pelaku usaha di tahun 2011.

Pada tahun 2007 keamanan dan penyelesaian konflik yang menempati peringkat satu adalah Kabupaten Pamekasan (skor 96,7) dan diikuti oleh Kabupaten Trenggalek (skor 83,1). Namun, peningkatan keamanan dan penyelesaian konflik pada tahun 2011 ditunjukan oleh Kabupaten Lamongan dengan peringkat pertama (skor 87,5) dan diikuti Kabupaten Pacitan (skor 84,4). Sedangkan peringkat terbawah ditunjukan oleh Kabupaten Jombang pada tahun 2007 (skor 48,3) dan pada tahun 2011 ditempati Kabupaten Malang (skor 39,1).

Kabupaten Jombang dan Malang masing-masing menempati peringkat bawah di tahun 2007 dan tahun 2011 pada keamanan dan penyelesaian konflik. Berbeda apabila dibandingkan dengan Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Lamongan yang menunjukkan persepsi pengusaha terhadap penanganan tingkat kriminalitas di daerahnya sudah berjalan dengan baik dicerminkan dengan 100 % menyatakan setuju penanganan baik di Kabupaten Pamekasan dan 96% menyatakan setuju penanganan polisi terhadap kriminalitas baik di Kabupaten Lamongan.

Berdasarkan indeks TKED peringkat tertinggi ditempati oleh Kota Blitar tidak hanya di Jawa Timur tetapi juga se Indonesia di tahun 2007 dan dipertahankan hingga tahun 2011. Berdasarkan analisis, Kota Blitar sudah dapat menunjukkan bahwa perizinan usaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dan pelaku usaha, dan program pengembangan usaha swasta selalu berada di peringkat pertama ataupun kedua.

Perkembangan TKED Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan Tahun 2011

Perkembangan TKED dari tahun 2007 ke tahun 2011, setelah dilakukan uji beda menunjukkan adanya perbedaan dari sembilan sub indeks tata kelola. Perbedaan yang terlihat tidak hanya peningkatan, tetapi juga penurunan maupun tidak adanya perubahan.

Dari Sembilan sub indeks tata kelola ekonomi di Jawa Timur terdapat lima sub indeks yang menunjukkan hasil tidak signifikan. Diantaranya adalah sub indeks akses terhadap lahan, sub indeks peraturan daerah, sub indeks interaksi Pemda dan pelaku usaha, sub indeks program pengembangan usaha swasta, dan sub indeks keamanan dan penyelesaian konflik. Tidak signifikan menjelaskan bahwa tidak adanya perubahan yang nyata dari kelima sub indeks pada tahun 2007 ke tahun 2011. Seperti sub indeks akses lahan yang cenderung tetap dapat diindikasikan lahan untuk usaha yang memang dibatasi oleh pemerintah daerah.

Gambar

Tabel 1 TPT Menurut Provinsi di Pulau Jawa 2009-2013 (%)
Tabel 2 TPT Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Timur (%)
Tabel 3 Indeks TKED Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 dan tahun 2011
Gambar 2 Faktor penggerak produktivitas perekonomian daerah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu penyebab penyalahgunaan obat adalah kurangnya pengetahuan.Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa kelas XI terhadap

PENUNJUKAN PERSONIL KELOMPOK KERJA PADA BAGIAN PENGADAAN BARANG DAN JASA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE TAHUN ANGGARAN 2017. SUSUNAN KEANGGOTAAN PERSONIL

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data menunjukan bahwa tingkat kemampuan fisik atlet Sepak Takraw UKM Unsyiah Tahun 2016 dengan hasil persentase yaitu lari 30

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan pemungutan, tingkat efektivitas beserta faktor-faktor saja yang dapat menentukan efektivitas, dan kontribusi pajak hotel

Tata Laksana (SOP, Koordinasi, dll) SDM 3. Jaringan air minum hanya berada di Kota Kalabahi dan sekitarnya dengan kapasitas produksi PDAM yang sangat terbatas. Jaringan

Dari hasil survai yang dilakukan selama 7 hari dengan waktu pengamatan 12 jam/hari diperoleh volume parkir mobil maksimum 346 kendaraan dan 262 kendaraan untuk

dan juga adanya peningkatan jumlah perkawinan dari tahun ketahun, proses pemeriksaan sebelum dan sesudah SIMKAH cenderung sama hanya saja berbeda pada waktu yang

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi dewan direksi asing berpengaruh negatif dan masa jabatan dewan direksi tidak memiliki pengaruh terhadap pengungkapan