• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga Mei 2012. Kondisi laboratorium tempat dilakukan penelitian memiliki kisaran suhu antara 18-200C dan kelembaban udara mencapai 90%. Selama masa kultur, eksplan diletakkan pada rak dengan penyinaran selama 24 jam. Kondisi ini bertujuan agar eksplan dapat tumbuh secara optimal dengan tingkat kontaminasi yang minimum.

Pada pengamatan minggu pertama setelah kultur (1 MSK), persentase eksplan yang hidup adalah 100%. Saat kultur memasuki minggu kedua, gejala kontaminasi mulai terlihat pada beberapa botol. Kontaminasi yang terjadi disebabkan oleh cendawan dan bakteri.

Gambar 6. Gejala Kontaminasi Selama Masa Kultur : (A). Kontaminasi Cendawan, (B). Kontaminasi Bakteri

Eksplan yang terkontaminasi selanjutnya diselamatkan dengan cara disterilisasi pada larutan natrium hipoklorit 5% dan povidone iodine 10%, baru kemudian eksplan dipindahkan pada media lain yang komposisinya sama. Proses sterilisasi yang dilakukan seringkali menyebabkan kerusakan pada sel-sel eksplan sehingga kebanyakan eksplan yang telah terkontaminasi kemudian dicoba untuk diselamatkan memiliki daya hidup yang rendah, bahkan menjadi mati. Tingginya tingkat kontaminasi inilah yang menyebabkan proses pengolahan data dilakukan

dengan menggunakan program GLM (General Linear Manager). Hingga akhir masa pengamatan (9 MSK), persentase planlet yang hidup adalah 67.5%.

Pembahasan Umum

Krisan varietas Pitaloka merupakan salah satu varietas produksi Balithi yang memiliki potensi untuk dikembangkan di masyarakat. Petal bunganya yang berwarna ungu memiliki keindahan tersendiri dan jarang ditemukan di pasaran. Selama ini para petani krisan masih jarang menggunakan varietas keluaran Balithi dengan alasan masa vase life bunga potongnya yang relatif singkat. Pemilihan krisan varietas Pitaloka dalam penelitian ini diharapkan dapat memacu masyarakat untuk mulai mau menggunakan varietas yang dihasilkan oleh para pemulia dalam negeri.

Selama tahap kultur in vitro, penambahan ZPT IAA tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan planlet krisan varietas Pitaloka. Hal tersebut terlihat dari hasil pengamatan di mana hampir sebagian besar eksplan pada perlakuan kontrol (tanpa ZPT) menunjukkan respon pertumbuhan lebih baik dibanding eksplan yang diberi perlakuan IAA. Kandungan auksin endogen yang dimiliki tanaman krisan diduga sudah cukup tinggi sehingga penambahan auksin dari luar justru menghambat pertumbuhan tanaman. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian Syaifan (2010) di mana perlakuan kontrol (tanpa ZPT) mampu menghasilkan tunas tertinggi dan panjang ruas terpanjang.

Kemampuan tumbuh tanaman krisan pada media MS tanpa tambahan auksin dari luar dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi para produsen bibit krisan hasil kultur jaringan, di mana alokasi biaya untuk ZPT auksin dapat dikurangi sehingga biaya produksi bibit kultur jaringan krisan dapat ditekan sedemikian rupa. Dampaknya tentu saja akan terlihat pada harga jual bibit krisan kultur jaringan yang bisa dijual lebih murah sehingga bisa bersaing dengan bibit krisan yang diperbanyak secara vegetatif konvensional.

Selama tahap kultur in vitro, penambahan kinetin menunjukkan respon yang baik terhadap peubah jumlah tunas dan jumlah daun. Sitokinin memang diperlukan dalam merangsang pembentukan tunas lateral dengan menghilangkan

efek dominansi apikal (Arteca, 1996). Oleh karena itu penambahan sitokinin pada media perbanyakan krisan varietas Pitaloka secara in vitro masih diperlukan untuk merangsang produksi tunas dan daun yang lebih banyak.

Jumlah Tunas

Pada minggu pertama setelah kultur (1 MSK), persentase eksplan yang telah membentuk tunas sebanyak 32.08%. Satu eksplan rata-rata hanya menghasilkan satu tunas saja. Pada umur 2 MSK tunas yang terbentuk mulai membuka daunnya dan mulai memperlihatkan pertumbuhan yang cukup jelas. Pada akhir pengamatan (9 MSK) persentase eksplan yang membentuk tunas mencapai 89.58%. Eksplan yang tidak membentuk tunas umumnya berupa eksplan yang hanya mendapat perlakuan tunggal IAA tanpa kinetin, di mana eksplan tersebut membentuk kalus dan hanya mampu berakar saja.

Gambar 7. Tunas yang terbentuk pada kultur in vitro krisan varietas Pitaloka perlakuan kinetin 0.5 mg/l pada 1 MSK

Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tunggal IAA tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 7-9 MSK. Perlakuan konsentrasi tunggal kinetin memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas pada 7-9 MSK. Interaksi antara IAA dan kinetin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas.

Tabel 1. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Tunas pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Umur (MSK) Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Interaksi IAA dan Kinetin KK (%) 7 tn ** tn 8.56 8 tn ** tn 9.10 9 tn ** tn 9.96

Keterangan : tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5%

** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur KK : Koefisien Keragaman

Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √ 5

Rata-rata jumlah tunas terbanyak diperoleh pada perlakuan kinetin 1 mg/l yaitu sebanyak 3.18 tunas. Rata-rata jumlah tunas terendah diperoleh pada perlakuan tanpa ZPT (kontrol). Terlihat bahwa pemberian kinetin mampu menstimulasi pembentukan tunas. Menurut Armini et al. (1992), pemberian sitokinin akan merangsang proliferasi tunas, di mana melalui pemberian sitokinin, bagian ketiak stek yang dorman atau hanya mampu menghasilkan satu tunas akan mampu menghasilkan lebih dari satu tunas.

Tabel 2. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Tunas pada Kultur

in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi Kinetin (mg/l) Umur (MSK) 7 8 9 0 0.91c 0.95c 0.98c 0.5 1.61bc 1.78b 2.13b

1.0 2.86a 3.05a 3.18a

1.5 1.78b 2.16b 2.44ab

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Analisis regresi pengaruh kinetin terhadap jumlah tunas pada 9 MSK menghasilkan persamaan y = -1.850 x2 + 3.853 x + 0.9015 (R2 = 0.949), seperti yang tersaji pada Gambar 8. Koefisien determinasi yang dihasilkan sebesar 0.949, artinya sebesar 94.9% keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi polinomial.

Konsent rasi Kinet in ( mg/ l) R a ta -R a ta J u m la h T u n a s 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 S 0.351063 R-Sq 94.9% R-Sq(adj) 84.8% Fitted Line Plot

Rata-Rata Jumlah Tunas = 0.9015 + 3.853 Konsentrasi Kinetin (mg/ l) - 1.850 Konsentrasi Kinetin (mg/ l)* * 2

Gambar 8. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Tunas Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka pada 9 MSK

Berdasarkan hasil uji lanjut terlihat bahwa pemberian kinetin hingga konsentrasi 1 mg/l (4.64 μM) memberikan respon yang maksimum terhadap jumlah tunas, sebaliknya penambahan konsentrasi kinetin hingga 1.5 mg/l (6.96 μM) menunjukkan penurunan jumlah tunas (lampiran 3). Hasil serupa juga terlihat pada penelitian Syaifan (2010) pada krisan varietas Puspita Asri dan Puspita Nusantara di mana pemberian BA hingga konsentrasi 6.73 μM mampu menghasilkan rata-rata jumlah tunas terbanyak, namun penambahan konsentrasi BA melebihi 6.73 μM justru menurunkan rata-rata jumlah tunas. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin pada konsentrasi optimum akan mampu memberikan respon yang maksimal terhadap pertumbuhan tanaman, namun peningkatan konsentrasi sitokinin melewati titik optimumnya justru akan menghambat pertumbuhan tanaman.

Jumlah Buku

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi tunggal IAA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah buku. Pemberian kinetin secara tunggal menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap pembentukan buku pada 7-9 MSK, sementara interaksi IAA dan kinetin memberikan respon nyata pada 7-9 MSK.

Tabel 3. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Buku pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Umur (MSK) Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Interaksi IAA dan Kinetin KK (%) 7 tn ** * 17.63 8 tn ** * 18.84 9 tn ** * 20.01

Keterangan : tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur KK : Koefisien Keragaman

Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √ 5

Tabel 4. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Buku pada Kultur

in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi Kinetin (mg/l) Umur (MSK) 7 8 9 0 4.32b 5.36b 5.75b 0.5 4.00b 5.04b 6.15b

1.0 6.98a 8.27a 10.59a

1.5 3.25b 4.22b 5.13b

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Buku (node) merupakan titik tempat tumbuhnya daun dan tunas lateral. Kinetin memiliki peran dalam proses pembentukan tunas samping dan jaringan mesofil daun (Wareing dan Philips, 1970). Oleh karena itu penambahan kinetin hingga konsentrasi 1 mg/l meningkatkan rata-rata jumlah buku, namun penambahan kinetin hingga konsentrasi 1.5 mg/l justru menunjukkan respon penurunan rata-rata jumlah buku.

Penambahan IAA secara tunggal memang memperlihatkan pengaruh yang tidak nyata, namun interaksi antara IAA dengan kinetin tetap diperlukan dalam pembentukan buku pada tanaman krisan. Hal tersebut terlihat dari rata-rata jumlah buku terbanyak yang diperoleh pada perlakuan kombinasi IAA 1 mg/l dan kinetin 1 mg/l yaitu sebanyak 14.14 buku. Menurut Wareing dan Philips (1970), IAA akan berperan dalam proses pembentukan lapisan pencegah absisi antara bagian ujung

daun yang berhubungan dengan bagian buku tempat melekatnya daun tersebut. Lapisan tersebutlah yang mencegah agar daun tanaman tidak gugur sebelum waktunya.

Tabel 5. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Buku pada Kultur

in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Umur (MSK) 7 8 9 0 0 6.50abc 7.83abc 8.28bc 0.5 4.00bc 4.78bc 5.61bc 1.0 5.38abc 6.19abc 7.00bc 1.5 2.17c 3.33c 3.75c 0.5 0 2.88bc 3.81bc 3.94c 0.5 5.43abc 7.14abc 8.86abc 1.0 6.79ab 8.64ab 11.14ab 1.5 2.70bc 3.00c 3.00c

1.0

0 2.70bc 3.40c 4.10c 0.5 2.57bc 3.29c 4.14c 1.0 9.00a 10.29a 14.14a 1.5 5.10abc 6.50abc 8.90abc

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Jumlah Daun

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IAA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun per eksplan. Perlakuan konsentrasi kinetin memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 7-9 MSK, sementara interaksi IAA dan kinetin berpengaruh sangat nyata pada 7 MSK dan berpengaruh nyata pada 8 MSK, sementara pada 9 MSK interaksi tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata.

Tabel 6. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Daun pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Umur (MSK) Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Interaksi IAA dan Kinetin KK (%) 7 tn ** ** 21.78 8 tn ** * 22.15 9 tn ** tn 23.29

Keterangan : tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5%

** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur KK : Koefisien Keragaman

Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √ 5

Tabel 7. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Daun pada Kultur

in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi Kinetin (mg/l) Umur (MSK) 7 8 9 0 6.39b 7.23b 8.63b 0.5 6.85b 8.59b 11.17b 1.0 11.86a 13.98a 16.77a 1.5 5.44b 7.94b 10.06b

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Konsentrasi kinetin 1 mg/l (4.64 μM ) memberikan respon rata-rata jumlah daun per eksplan terbanyak yaitu 16.77 daun, sementara itu penambahan kinetin hingga konsentrasi 1.5 mg/l (6.96 μM) justru menurunkan kemampuan eksplan dalam membentuk daun. Hal serupa diperoleh pada penelitian Chairunnisa (2004) pada perbanyakan krisan pot varietas Surf, di mana pemberian kinetin sebanyak 1 mg/l (4.64 μM) memberikan hasil rata-rata jumlah daun tertinggi, namun peningkatan konsentrasi kinetin hingga 2 mg/l (9.29 μM) justru menurunkan rata- rata jumlah daun. Syaifan (2010) juga memperoleh hasil yang sama pada perbanyakan krisan varietas Puspita Asri dan Puspita Nusantara, di mana pemberian BA pada konsentrasi 4.44 μM memberikan hasil maksimal terhadap jumlah daun, namun peningkatan BA hingga konsentrasi 6.66 dan 8.88 μM, justru menurunkan rata-rata jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin pada konsentrasi optimum akan mampu memberikan respon yang

maksimal terhadap pertumbuhan tanaman, namun peningkatan konsentrasi sitokinin melewati titik optimumnya justru akan menghambat pertumbuhan tanaman.

Analisis regresi pengaruh kinetin terhadap jumlah daun pada 9 MSK menghasilkan persamaan y = -9.240 x2 + 15.83 x + 7.871 (R2 = 0.689), seperti yang tersaji pada Gambar 9. Koefisien determinasi yang dihasilkan sebesar (0.689), artinya sebesar 68.9 % keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi polinomial.

Konsent rasi Kinet in ( mg/ l)

R a ta -R a ta J u m la h D a u n 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 S 3.43907 R-Sq 68.9% R-Sq(adj) 6.7% Fitted Line Plot

Rata-Rata Jumlah Daun = 7.871 + 15.83 Konsentrasi Kinetin (mg/ l) - 9.240 Konsentrasi Kinetin (mg/ l)* * 2

Gambar 9. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Daun Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka pada 9 MSK

Pembentukan daun diawali dengan inisiasi primordia daun yang diikuti dengan proses pembelahan sel, pembesaran sel, dan diferensiasi (Wareing dan Philips, 1970). Menurut Arteca (1996), kehadiran sitokinin akan berperan dalam proses pembelahan dan pembesaran sel, yang pada akhirnya akan mengarah pada pembentukan organ. Wareing dan Philips (1970) menyatakan bahwa tanaman

horseradish (Amoracea lapathifolia) yang dipotong akarnya mengalami kegagalan dalam pembentukan jaringan mesofil daun, karena akar yang menjadi tempat sintesis sitokinin tidak lagi ada. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran sitokinin dalam petumbuhan daun terutama berperan dalam proses pembentukan jaringan mesofil.

peran dalam pertumbuhan daun terutama dalam hal pembentukan tulang daun dan pembuluh angkut daun. Pada kasus tanaman horseradish yang dibuang akarnya, meskipun tanaman gagal membentuk jaringan mesofil daun, namun tanaman tetap mampu membentuk pembuluh angkut pada daun karena pucuk sebagai sumber auksin masih ada. Menurut Salisbury dan Ross (1995), secara terpisah auksin dan sitokinin memang memiliki fungsi yang antagonis, namun dalam kenyataannya untuk menghasilkan suatu respon fisiologis tertentu diperlukan interaksi kerja di antara keduanya. Daun yang terbentuk berwarna hijau, menandakan bahwa pemberian kinetin mampu merangsang perkembangan kloroplas, yang akan berperan dalam pembentukan klorofil (Arteca, 1996).

Jumlah Akar

Pembentukan akar pada eksplan juga telah terjadi pada 1 MSK dengan persentase eksplan yang berakar sebanyak 26.25%. Akar yang terbentuk merupakan jenis akar adventif karena berasal dari jaringan yang tidak memiliki

proexisting meristem akar (Salisbury dan Ross, 1995). Pada akhir pengamatan terdapat 89.58% eksplan yang mampu membentuk akar. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian IAA secara tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah akar yang terbentuk. Konsentrasi tunggal kinetin memperlihatkan pengaruh nyata pada 7 dan 9 MSK serta pengaruh sangat nyata pada 8 MSK. Interaksi IAA dan kinetin memberikan pengaruh nyata pada 7 dan 8 MSK serta pengaruh sangat nyata pada 9 MSK.

Gambar 10. Akar yang terbentuk pada kultur in vitro krisan varietas Pitaloka perlakuan IAA 1 mg/l pada 1 MSK

Tabel 8. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Umur (MSK) Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Interaksi IAA dan Kinetin KK (%) 7 tn * * 15.63 8 tn ** * 15.95 9 tn * ** 16.83

Keterangan : tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5%

** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur KK : Koefisien Keragaman

Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √ 5

Tabel 10. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Akar pada Kultur

in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi Kinetin

(mg/l)

Umur (MSK)

7 8 9

0 6.50a 7.46a 7.94a

0.5 4.35b 4.96bc 5.72ab 1.0 4.82ab 5.66ab 6.93a

1.5 2.97b 3.36c 4.06b

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Tabel 9. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Umur (MSK) 7 8 9 0

0 9.40a 10.5a 11.5a

0.5 4.44bc 5.11b 5.72bcd 1.0 3.69bc 4.50b 5.50bcd 1.5 2.00c 2.67b 3.08cd 0.5 0 3.94bc 4.68b 4.69bcd 0.5 5.29bc 5.64b 6.93bcd 1.0 5.07bc 6.00b 7.43bc 1.5 2.50bc 2.70b 2.70d 1 0 4.80bc 5.80b 6.00bcd 0.5 3.29bc 4.07b 4.50bcd 1.0 5.86b 6.64b 8.07ab 1.5 4.14bc 4.43b 5.86bcd

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%.

Rata-rata jumlah akar terbanyak pada penelitian ini diperoleh pada perlakuan media MS tanpa ZPT (kontrol) yaitu sebanyak 11.5 akar. Hal tersebut diduga karena tanaman krisan telah memiliki kandungan auksin endogen yang cukup tinggi. Tingginya kandungan auksin endogen terlihat pada kemampuan stek buku tunggal krisan yang mampu tumbuh dengan baik di media MS tanpa tambahan zat pengatur tumbuh. Menurut Armini et al. (1992), seringkali sekelompok sel dalam suatu eksplan mampu memproduksi auksin endogen yang cukup untuk aktivitas sel itu sendiri. Hasil serupa terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Hoesen (2007) pada kultur in vitro keladi tikus (Tymphonium trilobatum). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan yang diberikan perlakuan tunggal NAA 0.5 mg/l tidak menunjukkan respon yang optimal dalam pembentukan akar, karena menurut Hoesen (2007) auksin endogen telah memberikan peran dalam proses fisiologis eksplan tersebut sehingga penambahan auksin dari luar tidaklah lagi diperlukan.

Panjang Akar

Peubah panjang akar hanya diamati pada 9 MSK, karena untuk pengamatan panjang akar, eksplan perlu dikeluarkan dari dalam botol. Bila pengamatan ini dilakukan selama masa kultur, dikhawatirkan tingkat kontaminasi akan sangat tinggi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi tunggal IAA tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar, konsentrasi tunggal kinetin berpengaruh nyata terhadap panjang akar, dan interaksi IAA dengan kinetin berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar pada 9 MSK.

Tabel 11. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Panjang Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Umur (MSK) Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Interaksi IAA dan Kinetin KK (%) 9 tn * ** 12.99%

Keterangan : tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5%

** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur KK : Koefisien Keragaman

Tabel 12. Pengaruh Konsentrasi IAA dan Konsentrasi Kinetin terhadap Panjang Akar Perlakuan Umur (MSK) 9 Kinetin (mg/l) ...cm... 0 7.63a 0.5 6.24a 1.0 6.18a 1.5 4.36b

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Rata-rata panjang akar terpanjang diperoleh pada perlakuan tanpa ZPT (kontrol) yaitu 9.73 cm, sementara rata-rata panjang akar terpendek diperoleh pada perlakuan tunggal kinetin 1.5 mg/l yaitu 2.53 cm. Hal ini diduga karena kandungan auksin endogen tanaman krisan cukup tinggi, sehingga tanaman mampu membentuk akar tanpa bantuan ZPT dari luar. Leopold (1964) menyatakan bahwa auksin memberikan dua respon yang berbeda terhadap pertumbuhan organ, yaitu auksin akan bersifat memacu pertumbuhan pada konsentrasi rendah dan justru akan menghambat pertumbuhan pada konsentrasi tinggi, seperti terlihat pada perkembangan batang, kuncup, dan akar. Menurut Leopold (1964), efek auksin terhadap penghambatan pertumbuhan akar sangatlah tinggi, sedangkan kemampuan auksin dalam memacu pertumbuhan akar sangatlah kecil, hanya sekitar 10 hingga 30 persen saja, dan terbatas pada kasus tertentu. Srivastava (2001) menyatakan bahwa konsentrasi auksin yang optimum bagi pertumbuhan akar sangatlah rendah yaitu di bawah 10-9 M (1.75 x 10-4 mg/l). Kandungan auksin di dalam jaringan tanaman melebihi konsentrasi tersebut justru akan menghambat pertumbuhan akar (Srivastava, 2001).

Tabel 13. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Panjang Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Umur (MSK) 9 ...cm... 0 9.73a 0 0.5 4.40bcd 1 5.91bc 1.5 2.53d 0 5.28bcd 0.5 0.5 7.49ab 1 5.78bcd 1.5 2.69cd 0 7.58ab 1.0 0.5 7.23ab 1 7.01ab 1.5 7.59ab

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Pembentukan Kalus

Selama masa pengamatan, terdapat respon pembentukan kalus pada beberapa eksplan. Pembentukan kalus pada kultur in vitro akan terjadi akibat perimbangan konsentrasi auksin dan sitokinin pada tingkatan tertentu (Dodds dan Roberts, 1995). Kalus mulai terbentuk pada 2 MSK dan terus berlanjut hingga minggu berikutnya. Eksplan yang membentuk kalus beberapa di antaranya mampu membentuk akar dan tunas, namun ada pula yang masih berbentuk kalus hingga akhir masa pengamatan. Kalus yang terbentuk umumnya mempunyai struktur kompak dan berwarna hijau.

Tabel 14. Persentase Eksplan Membentuk Kalus dari Tiap Perlakuan pada Kultur

in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Persentase Eksplan Berkalus (%) 0 0 0 0.5 40 1.0 10 1.5 40 0.5 0 25 0.5 35 1.0 45 1.5 65 1.0 0 35 0.5 65 1.0 35 1.5 55

Berdasarkan Tabel 14. terlihat bahwa persentase eksplan membentuk kalus paling banyak terdapat pada perlakuan IAA 0.5 mg/l + kinetin 1.5 mg/l dan IAA 1.0 mg/l + kinetin 0.5 mg/l. Diduga pada konsentrasi tersebut, kedua ZPT berada dalam perimbangan untuk membentuk kalus. Penelitian yang dilakukan Khairunisa (2009) terhadap kultur in vitro binahong (Anredera cordifolia), memperoleh hasil bahwa perlakuan tunggal BAP, kinetin, dan Thidiazuron pada selang antara 0.50 - 2.0 mg/l mampu menginduksi kalus pada eksplan yang berasal dari ruas batang. Menurut Sitorus et al. (2011) pemberian IBA 0.5 mg/l dan BAP 0.4 mg/l mampu merangsang pembentukan kalus pada tanaman binahong.

Besarnya persentase eksplan yang membentuk kalus juga didukung oleh jenis eksplan yang digunakan yakni stek buku tunggal di mana bagian ujung atas dan ujung bawah eksplan membentuk luka bekas pemotongan buku. Menurut Dodds dan Roberts (1995), kalus dapat terbentuk akibat adanya perlukaan pada suatu jaringan tumbuhan. Selanjutnya sel-sel pada jaringan yang terluka itu menurut Sitorus et al. (2011) memperbaiki diri dengan jalan membentangkan dinding sel dan menyerap banyak air hingga sel membengkak. Proses selanjutnya ialah sel membelah secara cepat hingga menghasilkan massa sel yang belum berdiferensiasi yang disebut kalus.

Gambar 11. (A). Kalus Berakar yang Terbentuk pada Perlakuan IAA 0.5 mg/l dan (B). Kalus Bertunas yang Terbentuk pada Perlakuan Kinetin 1.5 mg/l

Tinggi Planlet

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tunggal IAA tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi planlet pada 7-9 MSK. Perlakuan konsentrasi tunggal kinetin berpengaruh nyata terhadap tinggi planlet pada 7-9 MSK, sedangkan interaksi IAA dengan kinetin memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi planlet pada 7-9 MSK.

Tabel 15. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Umur (MSK) Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Interaksi IAA dan Kinetin KK (%) 7 tn * ** 8.14 8 tn * ** 9.36 9 tn * ** 10.66

Keterangan : tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur KK : Koefisien Keragaman

Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √ 5

B A

Tabel 16. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi Kinetin

(mg/l)

Umur (MSK)

7 8 9

0 3.83a 4.54a 5.32a

0.5 2.52b 3.16bc 4.15ab 1.0 3.04ab 3.87ab 4.92a

1.5 2.19b 2.61c 3.19b

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Data dalam satuan cm

Tabel 17. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka

Konsentrasi IAA (mg/l) Konsentrasi Kinetin (mg/l) Umur (MSK) 7 8 9 ………cm………. 0

0 5.92a 6.95a 8.12a 0.5 2.69b 3.41b 4.36bc 1.0 2.90b 3.56b 4.38bc 1.5 1.69b 2.13b 2.42c 0.5 0 2.29b 2.71b 3.24bc 0.5 2.79b 3.48b 4.72bc 1.0 3.07b 4.05b 5.29b 1.5 1.96b 2.13b 2.31c 1.0 0 2.55b 3.12b 3.62bc 0.5 2.04b 2.51b 3.31bc 1.0 3.16b 4.05b 5.18b 1.5 3.02b 3.67b 5.00b

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

Dokumen terkait