• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Tanaman Krisan

Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev. sinonim Chrysanthemum morifolium Ramat.) merupakan tanaman hias berbentuk perdu yang telah dibudidayakan di Cina sejak 2000 tahun lalu (Boodley, 1998). Pada tahun 797 M bunga krisan dijadikan simbol kekaisaran Jepang dengan julukan Queen of the East (National Chrysanthemum Society, 2003). Selain sebagai tanaman hias, krisan juga dikenal sebagai salah satu tanaman obat dalam literatur pengobatan tradisional Cina. Akarnya dapat digunakan sebagai penghilang sakit kepala, tunas muda dan mahkota bunganya dapat dimakan sebagai salad, dan daunnya digunakan sebagai minuman untuk kesehatan (National Chrysanthemum Society, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Pin et al. (1999) pada Chrysanthemum morifolium, menunjukkan bahwa ekstrak bunga krisan jenis tersebut memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi. Penelitian Zhu et al. (2005) menunjukkan bahwa minyak esensial yang terdapat pada bunga Chrysanthemum indicum memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan 15 macam mikroorganisme.

Pada tahun 1795 tanaman krisan dibawa ke daratan Eropa (Hadi, 2008). Ahli botani Swedia yang dikenal pula sebagai Bapak Taksonomi, Carolus Linnaeus, memberikan nama Chrysanthemum sebagai genus tanaman ini yang merupakan perpaduan dari kata Yunani chrysos yang berarti emas dan anthemon

yang bermakna bunga (National Chrysanthemum Society, 2003). Sejak saat itulah nama Chrysanthemum digunakan secara luas untuk menyebut genus tanaman ini. Selanjutnya pada tahun 1843 Robert Fortune membawa ke Inggris salah satu jenis krisan yang menjadi tetua krisan jenis spray dan pompon; dan pada tahun 1889 Elmer D. Smith di Amerika Serikat mulai melakukan persilangan untuk menghasilkan varietas baru krisan untuk diperjualbelikan (Kofranek, 1992).

Di Amerika Serikat sendiri, tanaman krisan menjadi sedemikian terkenal, bahkan menurut Boodley (1998) krisan merupakan tanaman pot penghasil dollar

popularitas krisan terutama karena tanaman ini memiliki bentuk dan warna petal bunga yang beraneka ragam mulai dari kuning keemasan, merah, merah muda, ungu, dan putih. Dalam sistem klasifikasi terbaru, beberapa anggota genus Chrysanthemum berganti nama menjadi Dendranthema. Berikut merupakan klasifikasi krisan: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Dendranthema

Spesies : Dendranthema grandiflora Tzvelev.

Krisan memiliki bentuk bunga yang beragam. Oleh karena itu pengelompokkan krisan seringkali dilakukan berdasarkan bentuk bunganya. National Chrysanthemum Society dalam Crockett (1972) membuat klasifikasi sebagai berikut :

1. Tipe Pompon, memiliki diameter bunga antara 3-5 cm. Berbunga sepanjang musim gugur. Bunga berbentuk seperti bola, bagian piringan bunganya ada yang berwarna kuning, berupa cincin petal tunggal maupun ganda.

2. Tipe Button, memiliki diameter bunga kurang dari 3 cm, memiliki petal yang memeluk piringan bunga begitu erat sehingga nampak seperti pernah dipangkas. Berbunga pada musim gugur.

3. Tipe Decorative, memiliki diameter bunga antara 5-10 cm. Berbunga pada akhir musim panas hingga akhir musim gugur. Bentuknya menyerupai tipe pompon namun bagian tepi bunga lebih panjang.

4. Tipe Single, memiliki petal tunggal dengan piringan bunga berbentuk datar.

Gambar 1. Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Pompon, (B). Tipe Button, (C). Tipe Decorative, (D) Tipe Single (Sumber : Gambar A, B, C berasal dari www. mums.org, Gambar D berasal dari www.cyrosellaflower.wordpress.com

Selain keempat tipe tersebut, masih terdapat tipe lain menurut Crockett (1972) yang kurang umum direkomendasikan karena waktu mekarnya yang terlambat yaitu pada akhir musim gugur atau awal musim dingin sehingga memerlukan perlindungan di rumah kaca, antara lain :

1. Tipe Spoon, memiliki diameter bunga antara 7-12 cm, memiliki tabung petal dengan ujung tiap petal mengembang mejadi bagian yang berbentuk seperti sendok. Warna pada bagian ujung petalnya lebih cerah dibanding bagian petal lainnya.

2. Tipe Quill, mirip dengan tipe spoon namun bagian ujung petalnya tertutup. 3. Tipe Anemone, memiliki bagian dasar piringan bunga yang berbentuk

seperti bantalan.

4. Tipe Spider, memiliki petal yang unik dan panjang serta melengkung ke atas.

B A

D C

Gambar 2. Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Spoon, (B). Tipe Quill, (C). Tipe Anemone, (D). Tipe Spider. (Sumber :www.mums.org )

Syarat Tumbuh Tanaman Krisan

Krisan merupakan tanaman yang berasal dari daerah subtropis sehingga memerlukan lingkungan yang cukup sejuk untuk dapat tumbuh dengan baik.Di daerah subtropis menurut Crockett (1977), krisan dapat tumbuh dengan baik pada suhu siang di bawah 200C sedangkan pada malam hari antara 4-100C. Menurut BBPP Lembang (1999), suhu untuk pertumbuhan krisan pada siang hari di daerah tropis adalah 20-280 C dan pada malam hari sekitar 15-200C, dengan kelembapan udara 90-95% pada awal pertumbuhan dan kelembapan udara 70-80% setelah tanaman cukup dewasa. Di Indonesia krisan dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 600-1200 mdpl.

Menurut Boodley (1998), media untuk penanaman krisan dapat berupa campuran tanah lempung, Sphagnum peat moss, dan perlite dengan perbandingan 1:1:1. Campuran media tersebut memiliki drainase dan aerasi yang baik sehingga

C

B A

tidak terlalu berat dan dapat disterilisasi dengan mudah (Boodley, 1998). Penanaman dilakukan dengan kerapatan 64 tanaman/m2 pada musim hujan dan 72-80 tanaman/m2 pada musim kemarau (BBPP Lembang, 1999). Tanaman krisan membutuhkan air dalam jumlah yang memadai, namun tanaman krisan tidak tahan terhadap terpaan air hujan. Oleh karena itu menurut BBPP Lembang (1999), untuk budidaya krisan di daerah dengan curah hujan tinggi dibutuhkan bangunan rumah plastik

Tanaman krisan merupakan tanaman hari pendek dengan batas kritis panjang hari (critical daylength) sekitar 14.5 jam (Boodley, 1998). Tanaman krisan akan berbunga bila panjang hari yang diterima kurang dari batas kritisnya dan akan tetap berada dalam fase vegetatif selama panjang hari yang diterima melebihi batas kritisnya. Indonesia merupakan negara tropis dengan panjang siang dan malam yang relatif sama yaitu 12 jam. Oleh karena itu tanaman krisan perlu mendapat perlakuan khusus selama masa pertumbuhannya. Untuk memacu pertumbuhan selama fase vegetatif, biasanya dilakukan pemberian cahaya buatan 3-4 jam setiap malam selama 4-5 minggu (tergantung varietas) dengan menggunakan lampu TL atau lampu pijar (BBPP Lembang, 1999). Menjelang fase generatif, pemberian cahaya buatan dihentikan karena untuk merangsang pembungaan pada krisan dibutuhkan lama penyinaran yang kurang dari titik kritisnya.

Selain dipengaruhi oleh lama penyinaran, pembungaan pada krisan juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Menurut Boodley (1998), untuk pembungaan pada krisan dibutuhkan suhu malam pada kisaran 15.5-16.50C dan suhu siang antara 18.5-210C. Pembungaan krisan akan terhambat pada suhu siang di atas 27.50C. Untuk memperbaiki kualitas warna bunga, biasanya suhu pada malam hari diturunkan hingga 130C pada sepuluh hari menjelang tanaman siap dipanen (Boodley, 1998).

Seperti halnya tanaman hias pada umumnya, tanaman krisan juga memiliki beberapa hama dan penyakit yang sering menyerang. Menurut Boodley (1998) hama yang sering menyerang krisan antara lain kutu daun (Aphid), thrips, kupu- kupu putih (whitefly), mealy bug, dan red spider mites. Penyakit yang sering menyerang tanaman krisan menurut Boodley (1998) antara lain :

- Bercak daun akibat cendawan Septoria chrysanthemella, yang dapat menyebabkan bercak-bercak hitam pada daun dan menghambat proses fotosintesis.

- Bakteri Erwinia chrysanthemi dan cendawan Verticillium alboatrum yang menyebabkan layu pada tanaman. Pencegahannya dapat dilakukan melalui sterilisasi media tumbuh, penggunaan kultivar yang resisten, dan aplikasi kultur meristem.

- Bercak pada petal bunga yang menyebabkan hilangnya nilai keindahan bunga akibat serangan Botrytis cinerea. Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki ventilasi dan pergerakan udara di dalam rumah kaca/plastik serta membuang kuncup bunga yang telah terserang bercak.

Varietas Tanaman Krisan Indonesia

Tanaman krisan diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1800 dan mulai dikembangkan secara komersial pada tahun 1940 (Hadi, 2008). Menurut Hadi (2008), jenis dan varietas tanaman krisan di Indonesia umumnya merupakan hibrida yang berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Jenis krisan yang ditanam di Indonesia antara lain berupa:

a) Krisan lokal (krisan kuno) yang berasal dari luar negeri, tetapi telah lama beradaptasi di Indonesia dan telah dianggap sebagai krisan lokal. Ciri-cirinya ialah mampu berbunga pada hari netral dengan siklus hidup antara 7-12 bulan dalam satu kali penanaman. Contohnya Chrysanthemum maximum berbunga kuning yang banyak ditanam di Lembang.

b) Krisan introduksi (krisan modern atau krisan hibrida). Krisan ini bersifat hari

pendek dan memiliki siklus hidup semusim. Contoh krisan ini adalah

Chrysanthemum indicum var. Dark Flamingo, C. indicum var. Dolaroid, C. indicum var. Indianapolis, dan sebagainya.

Untuk menghindari ketergantungan hibrid krisan dari luar negeri, maka Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) mulai menghasilkan varietas baru melalui persilangan atau radiasi sinar gamma. Beberapa varietas krisan yang telah

dihasilkan oleh Balithi di antaranya varietas Puspita Nusantara, Dewi Ratih, Candra Kirana, Puspita Asri, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Sakuntala, Purbasari, dan Pitaloka.

Varietas Pitaloka merupakan varietas keluaran Balithi dengan nomor klon Balithi 13.14. Varietas ini merupakan hasil persilangan tetua 880077 dengan Klondike. Varietas ini dirilis pada tahun 2000 berdasarkan S.K. Menteri Pertanian No. 73 tahun 2000, dengan tim pemulia Budi Marwoto, dkk. Varietas Pitaloka memiliki bunga tipe anemone dan jenis bunga spray dengan warna bunga pita ungu dan diameter bunga pita 4.6 cm. Umur tanaman antara 80-100 hari, adaptif pada dataran sedang hingga tinggi, dan bunganya memiliki masa kesegaran hingga 14 hari (deskripsi varietas pada Lampiran 1).

Kultur Jaringan Tanaman

Kultur Jaringan Tanaman

Kultur jaringan tanaman merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan, 1992). Caponetti et al. (2005) menyatakan bahwa prinsip dasar kultur jaringan ialah kemampuan komponen tubuh tanaman (organ, jaringan, atau sel) untuk ditumbuhkan secara terpisah dalam suatu media in vitro menjadi tanaman yang utuh kembali. Menurut Zulkarnain (2009), teknik kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat menghasilkan jutaan klon dalam waktu setahun

Gambar 3. Krisan varietas Pitaloka (Sumber : www.balithi.litbang.deptan.go.id)

hanya dari sejumlah kecil material awal, menawarkan suatu alternatif bagi spesies-spesies yang resisten terhadap sistem perbanyakan vegetatif konvensional, adanya suatu kemungkinan untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di tingkat internasional, dan perbanyakan dengan teknik kultur jaringan tidak bergantung pada musim.

Kultur Jaringan Krisan

Krisan merupakan salah satu jenis tanaman yang telah banyak diteliti perbanyakannya secara kultur jaringan. Kemampuan krisan untuk dapat tumbuh dengan mudah pada media tanam in vitro membuat tanaman ini menjadi topik populer yang diteliti banyak orang selama lima tahun belakangan ini. Selain itu, produk bunga potongnya yang masih mendominasi pasar di Indonesia membuat penelitian kultur jaringan krisan masih terus dikembangkan.

Penelitian kultur jaringan krisan sebagian besar berkisar tentang konsentrasi zat pengatur tumbuh yang efektif terhadap pertumbuhan krisan secara

in vitro. Penelitian lain ialah seputar penggunaan iradiasi sinar radioaktif untuk menghasilkan tanaman krisan yang mengalami variasi somaklonal sehingga diperoleh tanaman krisan dengan warna bunga yang baru. Penelitian ke arah embriogenesis somatik pada krisan sangat jarang dilakukan terutama karena proses embriogenesis membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga dirasakan kurang ekonomis.

Pada tahun 2004, Windasari meneliti tentang pemberian NAA dan kinetin terhadap pertumbuhan krisan varietas Delano Red secara in vitro. Windasari (2004) memperoleh hasil bahwa pemberian NAA pada konsentrasi 0.1 mg/l memberikan hasil yang optimum untuk jumlah daun dan tinggi planlet krisan varietas Delano Red, sedangkan pemberian kinetin hingga 2.5 mg/l menunjukkan pengaruh yang baik bagi jumlah daun, namun pertumbuhan akar planlet menjadi terhambat. Kombinasi NAA 0.1 mg/l dengan kinetin 2.5 mg/l memberikan hasil tertinggi untuk jumlah tunas dan jumlah buku, namun eksplan hanya membentuk kalus pada bagian bawahnya dan tidak mampu berakar.

Maryani dan Zamroni (2005), memperoleh hasil bahwa kombinasi IAA 1 mg/l dengan BAP 1 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada perbanyakan krisan secara in vitro, namun pemberian IAA dan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Penelitian yang dilakukan oleh Syaifan (2010) terhadap dua varietas krisan yaitu Puspita Nusantara dan Puspita Asri menunjukkan bahwa pemberian BA 4.44 μM mendorong terbentuknya jumlah daun per eksplan yang terbanyak, sedangkan pemberian BA 6.66 μM menghasilkan jumlah tunas terbanyak. Pada penelitian yang dilakukan Syaifan (2010), perlakuan kontrol (tanpa ZPT) mampu menghasilkan tunas tertinggi dan panjang ruas terpanjang.

Penelitian mengenai penggunaan iradiasi sinar gamma secara in vitro

dilakukan oleh Sari (2011) terhadap krisan varietas Puspita Nusantara, Puspita Asri, Cut Nyak Dien, dan Dewi Ratih. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis radiasi sinar gamma 0.5 krad atau lebih ternyata mampu menginduksi keragaman somaklonal pada keempat varietas tersebut. Maharani (2011) juga melakukan penelitian iradiasi sinar gamma secara in vitro pada krisan varietas Puspita Nusantara dan Dewi Ratih. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma 20 Gy mampu meningkatkan keragaman (bentuk, ukuran, dan warna daun) krisan kedua varietas tersebut. Mutan yang dihasilkan memiliki bentuk daun yang kecil, tepi daun tak bergerigi, serta warna daun menjadi variegata.

Penelitian embriogenesis somatik terhadap 23 varietas krisan pernah dilakukan oleh May dan Trigiano (1991) antara lain terhadap varietas Adorn, Ballarina, Iridon, Goldmine, Fortune, Salmon Charm, dan sebagainya. Eksplan yang digunakan berupa potongan daun yang ditanam pada media Murashige dan Skoog (MS) dengan tambahan 2,4-D 1 mg/l dan BAP 0.2 mg/l. Embrio somatik terbentuk secara langsung pada media yang mengandung sukrosa dengan konsentrasi antara 9-18%, dan diinkubasi pada kondisi gelap selama 28 hari dilanjutkan dengan kondisi terang selama 10 hari. Embrio yang diregenerasikan mampu membentuk tanaman dengan karakter yang sama dengan induknya.

Media Kultur Jaringan

Media merupakan salah satu komponen penting dalam kultur jaringan tanaman. Keberhasilan kultur jaringan tanaman sebagian besar bergantung pada ketepatan komposisi media yang digunakan (Evans et al., 2003). Media tersebut akan berperan dalam menyediakan lingkungan fisik bagi pertumbuhan sel dan jaringan atau dengan kata lain, media memiliki fungsi seperti tanah yang menyokong pertumbuhan suatu tanaman. Selain itu, media juga berperan menyediakan nutrisi bagi sel atau jaringan sehingga mampu mengalami pembelahan dan membentuk organ tanaman secara lengkap.

Menurut Chawla (2002), sangatlah penting untuk mengetahui jenis tanaman apa yang digunakan serta tujuan akhir apa yang diharapkan dari eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro tersebut, karena dari pengetahuan akan kedua faktor itulah maka kita bisa menentukan jenis media apa yang dapat digunakan dengan tepat. Selanjutnya, nutrisi dalam media kultur jaringan meliputi komposisi dari garam-garam mineral yang ditambahkan, sumber karbon, vitamin, fitohormon, dan suplemen organik lainnya (Chawla, 2002).

Sel, jaringan dan organ hanya akan tumbuh pada kultur yang disuplai nutrisi yang sesuai (Thomas dan Davey, 1975). Oleh karena itu, kultur jaringan tanaman membutuhkan suplai dari beberapa komponen anorganik secara berkelanjutan (Dodds dan Roberts, 1995). Sumber hara makro dan mikro bagi tanaman diperoleh dari garam-garam anorganik yang ditambahkan ke dalam media. Menurut Zulkarnain (2009) unsur hara nitrogen dapat diberikan dalam bentuk garam KNO3 atau NH4NO3; sedangkan fosfor dapat diperoleh dalam

bentuk NaH2PO4.H2O atau KH2PO4; untuk unsur kalium diberikan melalui garam

KCl, KNO3, atau KH2PO4. Kebutuhan akan magnesium dan belerang dapat

diperoleh melalui MgSO4.7H2O, kebutuhan akan seng diperoleh dari

ZnSO4.7H2O, kebutuhan tembaga berasal dari CuSO4.5H20, kebutuhan mangan

didapat dari MnSO4.H2O, unsur boron dapat terpenuhi melalui penambahan

H3BO3, serta molibdenum diperoleh dari Na2MoO4.2H20 atau dari Molibdenum

trioksida (Evans et al., 2003). Unsur besi memiliki masalah kelarutan sehingga biasanya stok larutan besi disiapkan dalam bentuk kelat sebagai garam natrium ferric ethylenediamine tetra-acetic (NaFeEDTA) (Dodds dan Roberts, 1995).

Sebagai sumber karbon biasa digunakan sukrosa atau glukosa (Chawla, 2002). Konsentrasi sukrosa yang biasa digunakan berkisar antara 2-5%. Menurut Gunawan (1992), fruktosa dan galaktosa kurang efektif digunakan sebagai sumber karbon sedangkan manosa dan laktosa merupakan jenis karbohidrat yang paling tidak efektif. Vitamin ditambahkan sebagai penyusun kofaktor bagi enzim yang berperan dalam berbagai prosesmetabolisme (Zulkarnain, 2009). Menurut Evans et al. (2003), peranan vitamin bagi sel tanaman dan kultur jaringan tidaklah terlalu esensial, kecuali vitamin B1 (thiamine), namun sejumlah vitamin seperti

nicotinic acid (niasin), pyridoxine HCl (B6), asam folat (B11), asam panthotenat, biotin, vitamin C, dan vitamin E sering ditambahkan ke dalam media. Senyawa gula alkohol seperti myo-inositol terkadang ditambahkan ke dalam media kultur tanaman monokotil, Gymnospermae, dan beberapa tanaman dikotil (Evans et al., 2003). Penambahan myo-inositol ke dalam media berperan dalam memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis jaringan yang dikulturkan (Gunawan, 1992).

Selain senyawa organik yang konstitusinya jelas, terkadang ke dalam media kultur jaringan juga ditambahkan persenyawaan yang kompleks yang komposisinya berbeda dari sumber yang satu dengan yang lainnya seperti air

kelapa, casein hydrolisate, ekstrak ragi, jus tomat, dan ekstrak pisang (Gunawan, 1992). Bila ditinjau dari sudut ilmiah, Zulkarnain (2009) menyatakan

bahwa penggunaan ekstrak alami masih dapat dianjurkan dan kehadiran senyawa- senyawa tersebut tak dapat diabaikan begitu saja apabila ternyata senyawa- senyawa murni tidak dapat memenuhi apa yang diharapkan.

Zat Pengatur Tumbuh

Hormon tumbuhan (fitohormon) dapat didefinisikan sebagai senyawa organik selain nutrisi yang dihasilkan di suatu bagian tubuh tumbuhan untuk kemudian dipindahkan ke bagian lain dan dalam konsentrasi rendah (< 1 µM) akan memberikan respon secara biokimia, fisiologi, dan morfologi (Moore, 1979; Salisbury dan Ross, 1995). Hormon yang dihasilkan tumbuhan secara alami dapat berupa senyawa golongan auksin, sitokinin, giberelin, etilen, asam absisat, brassinosteroid, asam salisilat, dan asam jasmonat. Senyawa-senyawa tersebut

pada mulanya hanya dapat diisolasi dari jaringan tumbuhan namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa jenis senyawa sintetik yang memiliki aktivitas menyerupai hormon tumbuhan dapat diproduksi di laboratorium. Kondisi inilah yang kemudian mengaburkan definisi mengenai hormon tumbuhan, bahwa senyawa sintetik tersebut juga seringkali disebut sebagai hormon.

Arteca (1996) kemudian membuat batasan mengenai konsep hormon tumbuhan dengan memberikan tiga syarat suatu senyawa dapat digolongkan sebagai fitohormon yaitu :

1. Senyawa tersebut disintesis oleh bagian tubuh tumbuhan dan tersebar secara meluas pada semua anggota kerajaan tumbuhan.

2. Senyawa tersebut menunjukkan aktivitas biologis yang spesifik pada konsentrasi sangat rendah.

3. Senyawa tersebut mampu menimbulkan respon fisiologis selama masa pertumbuhan.

Mengenai senyawa sintetik yang memiliki kemampuan serupa dengan hormon tumbuhan tertentu, Arteca (1996) kemudian menggunakan istilah zat pengatur tumbuh (plant growth regulator) untuk menyebut senyawa-senyawa tersebut berdasarkan definisi dari Johannes van Overbeek bahwa zat pengatur tumbuh merupakan komponen organik selain nutrisi yang pada konsentrasi rendah mampu memacu, menghambat, atau bahkan mengubah proses fisiologis pada tumbuhan.

Auksin

Auksin berasal dari bahasa Yunani auxein yang berarti meningkatkan dan istilah ini pertama kali digunakan oleh Frits Went yang menemukan bahwa suatu senyawa yang belum dapat dicirikan mampu menyebabkan pembengkokan koleoptil oat ke arah cahaya (Salisbury dan Ross, 1995).Senyawa yang ditemukan oleh Went tersebut kemudian dikenal sebagai indole-3-acetic acid (IAA). Pada tahun 1934, KÖgl dan Kostermans mengisolasi IAA dari khamir dan pada tahun

berikutnya Thimann berhasil mengisolasi IAA dari kultur cendawan

Rhizopus suinus. Haagen-Smit dan koleganya berhasil mengisolasi IAA murni dari endosperma biji padi yang belum masak pada tahun 1946 (Arteca, 1996).

p t k m m m h t o u t b Saat pembentuka terbentuknya keduanya da (a) Gamb Menu mengubah t meristem ta mengapa jar hasil pengu tersebut.Auk oleh enzim umumnya di tinggi antara Tran bawah sepan

Trypto

Indol

pyruvic

Indol

acetald

Indol

acetic

ini asam an IAA (Art a IAA dar apat berfung bar 4. Skema urut Salisbu triptofan me ajuk serta ringan terseb ukuran, kand ksin mudah IAA oksid itambahkan a 1-30 mg/l ( nspor IAA u njang berka

ophan

le3

c acid

le3

dehyde

le3

c acid

amino tri teca, 1996) ri asam am si pada tanam a biosintesis ury dan Ro enjadi IAA daun dan b but diduga dungan auk terdegradasi dase (Salibu dalam medi (Dodds dan R umumnya be s pembuluh Tryptopha transamina Indole pyruvate decarboxyl Indole acetaldehy dehydrogen iptofan dite . Menurut A mino triptofa man (Gamba IAA : (a). Ja oss (1995), banyak terd buah yang sebagai sum ksin paling i oleh cahay ury dan Ro ia kultur jari Roberts, 199 erasal dari d h, bahkan au

T

T

ac

a

an ase e lase yde nase erima seba Arteca (199 fan, baik sa ar 4). (b) alur pertama enzim yan dapat pada j sedang tum mber dari IA tinggi dite ya (Dodds da ss, 1995). ingan pada k 95). daun muda y uksin sintetik

Tryptophan

Tryptamine

Indole3

ethanol

Indole3

cetaldehyd

Indole3

acetic acid

gai prekurs 96) terdapat alah satuny a (b). Jalur ke ng paling ak jaringan mu mbuh.Itulah AA karena b mukan pad an Roberts, 1 Oleh karen konsentrasi y yang berger k yang dibe

n

e

de

d

Try deca Ami Indo o ace dehy sor dalam t dua jalur ya ataupun edua ktif dalam uda seperti sebabnya berdasarkan da jaringan 1995) serta na itu IAA yang cukup ak ke arah erikan pada yptophan arboxylase ine oxidase ole ethanol oxydase Indole etaldehyde ydrogenase

tanaman juga bergerak serupa dengan IAA (Salisbury dan Ross, 1995). Cara pengangkutan auksin tersebut menurut Salisbury dan Ross (1995) memiliki keistimewaan sebagai berikut :

1. Pergerakan auksin berlangsung secara lambat dengan kecepatan 1 cm/jam di akar dan batang.

2. Pengangkutan auksin berlangsung secara polar pada batang, dengan arah basipetal (dari pucuk menuju ke dasar), bahkan sekalipun dasar tersebut berada pada posisi terbalik sedangkan pada akar pengangkutan juga berlangsung secara polar dengan arah akropetal (mencari pucuk).

3. Pengangkutan auksin membutuhkan adanya energi dalam bentuk ATP, sehingga keberadaan senyawa apapun yang mampu menghambat respirasi tanaman ataupun ketidakhadiran oksigen secara otomatis akan menghambat pergerakan auksin.

Menurut Armini et al. (1992) auksin terutama berperan dalam pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan pertumbuhan akar. Efek fisiologi dari auksin

Dokumen terkait