• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian dilakukan terhadap 46 orang mahasiswa non-klinik tentang prosedur pemanfaatan radiografi kedokteran gigi pada salah satu Fakultas Kedokteran Gigi di Sumatera Barat. Hasil penelitian yang diperoleh melalui kuisioner, dapat diketahui sebagai berikut:

Tabel 3. Frekuensi pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang melakukan dahulu pemeriksaan klinis sebelum melakukan pemeriksaan radiografi

Frekuensi Persentase Ya Tidak Tahu 44 2 95,65% 4,35% Total 46 100%

Dari Tabel 3., responden yang menjawab tahu harus melakukan pemeriksaan klinis dahulu sebelum melakukan pemeriksaan radiografi sebanyak 44 orang. Sedangkan yang menjawab tidak tahu sebanyak 2 orang.

Tabel 4. Frekuensi pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang perlunya Surat Izin dari dokter jaga untuk merujuk melakukan radiografi

Frekuensi Persentase Ya Tidak Tahu 33 13 71,74% 28,26% Total 46 100%

Dari Tabel 4., responden yang menjawab tahu perlunya surat izin dari dokter jaga untuk merujuk melakukan radiografi sebanyak 33 orang. Sedangkan yang menjawab tidak tahu sebanyak 13 orang.

Tabel 5. Frekuensi pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang menulis jenis foto roentgen dan elemen gigi yang diinginkan pada order foto

Frekuensi Persentase Ya Tidak Tahu 45 1 97,83% 2,17% Total 46 100%

Dari tabel 5., sebanyak 45 reponden menjawab ya untuk menulis jenis foto

roentgen dan elemen gigi yang diinginkan pada order foto. Sedangkan 1 responden menjawab tidak tahu.

Tabel 6. Frekuensi pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang mengetahui indikasi setiap foto roentgen

Frekuensi Persentase Ya Tidak Tahu 46 0 100% 0% Total 46 100%

Dari Tabel 6., seluruh 46 responden menjawab ya, yaitu untuk mengetahui indikasi setiap foto roentgen yang dirujuk.

Tabel 7. Frekuensi pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang menulis diagnosis sementara pada order foto

Frekuensi Persentase Ya Tidak Tahu 34 12 73,91% 26,09% Total 46 100%

Dari Tabel 7., seramai 34 responden menjawab ya, yaitu harus menuliskan diagnosis sementara pada order foto. Sedangkan yang menjawab tidak tahu sebanyak 12 orang.

Tabel 8. Frekuensi pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang langsung melakukan radiografi ulang tanpa persetujuan dokter jaga yang merujuk

Frekuensi Persentase Ya Tidak Tahu 16 30 34,78% 65,22% Total 46 100%

Dari Tabel 8., responden yang menjawab tidak tahu langsung melakukan radiografi ulang tanpa persetujuan dokter jaga yang merujuk sebanyak 30 orang. Sedangkan yang menjawab ya sebanyak 16 orang.

Tabel 9. Frekuensi pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang radiografer melakukan radiografi kepada pasien tanpa didampingi dokter jaga yang merujuk

Frekuensi Persentase Ya Tidak Tahu 42 4 91,3% 8,7% Total 46 100%

Dari Tabel 9., sebanyak 42 responden menjawab ya, yaitu radiografer dapat melakukan radiografi kepada pasien tanpa didampingi dokter jaga yang merujuk. Tabel 10. Frekuensi pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang melakukan

pengulangan radiografi pada satu pasien yang sama

Frekuensi Persentase Ya Tidak Tahu 40 6 86,96% 13,04% Total 46 100%

Dari Tabel 10., responden yang menjawab ya, boleh melakukan pengulangan radiografi pada satu pasien yang sama, sebanyak 40 orang. Sedangkan yang menjawab tidak tahu sebanyak 6 orang.

Tabel 11. Frekuensi Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Non-Klinik tentang Prosedur Pemanfaatan Radiografi Secara Individu

No. Kategori Tingkat Pengetahuan

Skor Mahasiswa

Nilai Total Persentase Jumlah Persentase

1 Baik 7-8 > 80% 24 52,17%

2 Sedang 4-6 50 – 80% 21 45,65%

3 Kurang < 3 < 50% 1 2,17%

Total 46 100%

Dari Tabel 11., tingkat pengetahuan mahasiswa non-klinik pada salah satu Fakultas Kedokteran Gigi di Sumatera Barat dikategorikan berdasarkan nilai total persentase. Secara individu dikategorikan tingkat pengetahuan baik dengan persentase sebesar 52,17%, tingkat pengetahuan sedang dengan persentase sebesar 45,65%, dan tingkat pengetahuan kurang dengan persentase sebesar 2,17%.

BAB 5 PEMBAHASAN

Pelaksanaan prosedur pemeriksaan dalam kedokteran gigi ditunjang dengan pemeriksaan radiografis. Pemeriksaan radiografis dapat membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit dan membantu menentukan rencana perawatannya. Penggunaan radiografis ini sendiri tidak hanya terfokus pada dokter gigi dalam praktek klinik saja, namun juga memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan di tingkat fakultas kedokteran gigi, keperluan forensik, survei kesehatan gigi dan mulut, serta kegiatan riset kedokteran gigi.6

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel pada mahasiswa non-klinik pada salah satu Fakultas Kedokteran Gigi Di Sumatera Barat. Untuk memperoleh data responden dilakukan pembagian dan pengisian kuisioner. Jumlah responden yang didapat sebanyak 46 orang mahasiswa non-klinik.

Pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang apakah harus melakukan pemeriksaan klinis dahulu sebelum melakukan pemeriksaan radiografi, diperoleh hasil hanya 4,35% mahasiswa non-klinik menjawab tidak tahu (Tabel 3). Dibanding dengan penelitian sebelumnya oleh Mahdila Ayurian (2013) pada 163 mahasiswa kepaniteraan klinik di salah satu Fakultas Kedokteran Gigi di Malaysia, 11,66% responden tidak mengetahui bahwa radiografi dental dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan klinis harus dilakukan sebelum pemeriksaan radiografi karena pemeriksaan radiografi adalah merupakan suatu pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis dan bersifat mendukung pemeriksaan klinis. Pemeriksaan klinis dalam bidang kedokteran gigi dilakukan melalui 2 tahap, yaitu anamnesis atau pemeriksaan subjektif, dan pemeriksaan objektif. Anamnesis atau anamnesa adalah suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan dokter kepada pasien melalui wawancara, anamnesa untuk mengetahui penyakit apa yang dialami pasien, pengambilan data oleh dokter melalui wawancara. Pemeriksaan objektif yang terbagi kepada pemeriksaan ekstra oral dan pemeriksaan intra oral. Pemeriksaan ekstra oral, adalah pemeriksaan

dari bagian tubuh penderita di luar mulut (muka, kepala, leher). Pemeriksaan intra oral adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang akurat tentang status kesehatan gigi dan mulut pasien serta penentuan jenis penyakit yang diderita pasien di rongga mulut. 6,8

Pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang perlunya meminta izin kepada dokter jaga untuk merujuk radiografi kepada pasien didapatkan hasil sebesar 28,26% mahasiswa menyebut tidak tahu (Tabel 4). Pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang apakah boleh langsung melakukan radiografi ulang tanpa persetujuan dari dokter jaga yang merujuk apabila terjadi kesalahan radiografi didapat hasil 34,78% menjawab ya (Tabel 8). Hasil dari penelitian Emilia Mestika (2012), pada 80 mahasiswa kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara mendapat respon yaitu 33,75% merasa tidak perlu izin dari dokter jaga dan 13,8% pernah melakukan radiografi gigi tanpa izin dokter jaga. Order izin untuk melakukan radiografi harus berasal dan ditandatangani oleh dokter, dokter gigi atau dokter gigi spesialis. Standard Operational Procedure (SOP) akan menciptakan keteraturan pelaksanaan kegiatan dimanapun kegiatan tersebut dilakukan. Pola yang teratur ini selain menaikkan kualitas hasil kegiatan pelayanan juga akan meningkatkan moral petugas untuk melaksanaan setiap kegiatan secara bersungguh-sungguh. Dengan demikian, SOP merupakan suatu keharusan yang perlu dimiliki oleh setiap instansi pengelola radiasi, karena tidak saja akan meningkatkan kualitas pengelolaan radiasi tetapi juga akan meningkatkan manfaat radiasi itu sendiri guna kebutuhan kesehatan masyarakat juga akan meningkatkan derajat keselamatan dan kesehatan pekerja yang mengelola radiasi serta lingkungan dimana sumber radiasi itu manfaatkan.8-10

Pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang perlunya menuliskan jenis foto

roentgen dan elemen gigi yang diinginkan pada order foto roentgen diperoleh hasil hanya 2,17% menjawab tidak tahu (Tabel 5). Pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang perlunya mengetahui indikasi setiap jenis foto roentgen yang dirujuk pula didapatkan hasil 0% menjawab tidak tahu (Tabel 6). Pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang apakah harus menuliskan diagnosa sementara pada order foto, didapatkan hasil sebesar 26,09% mahasiswa non-klinik menjawab tidak tahu (Tabel

7). Dibanding dengan penelitian sebelumnya oleh Mahdila Ayurian (2013), pada 163 mahasiswa kepaniteraan klinik salah satu Fakultas Kedokteran Gigi di Malaysia didapatkan hasil hanya 1,23% tidak mengetahui tentang prosedur radiografi kedokteran gigi. Pemilihan suatu jenis radiografi haruslah sesuai indikasi. Indikasi adalah berbeda bergantung kasus dimana indikasi setiap jenis foto roentgen perlu agar tindakan lanjutan untuk mendapatkan gambaran dari kasus pasien yang dirujuk untuk foto roentgen dapat diketahui. Sebagai contoh, indikasi radiografi panoramik adalah apabila kelainan yang mencakup daerah yang lebih luas, lebih dari 4 gigi seperti Osteomyelitis, abses yang mengenai gigi, fase gigi campuran yang memerlukan evaluasi gigi susu dan pertumbuhan gigi permanen secara keseluruhan dan lain-lain. Selain itu, indikasi radiografi panoramik turut digunakan pada kasus pasien sulit membuka mulut, kurang koperatif atau untuk perawatan orthodonsi. Pengetahuan tentang prosedur radiografi kedokteran gigi dapat mempermudah tahapan kerja radiografi dalam rangka mengatur jenis foto roentgen, mempermudah pembacaan foto

roentgen tersebut, serta demi rekam medis yang lengkap, diagnosa sementara dapat membantu membandingkan gambaran-gambaran lain pada foto roentgen serta menjadi bahan pertimbangan untuk menyimpulkan diagnosa pasti setelah mendapatkan hasil foto roentgen.8

Pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang apakah radiografer dapat melakukan radiografi sendiri kepada pasien tanpa didampingi dokter jaga didapatkan hasil 8,7% mahasiswa non-klinik menjawab tidak tahu, dengan mayoritas responden berpendapat radiografer adalah seorang yang ahli dalam bidangnya dan sudah kompeten dalam melakukan radiografi (Tabel 9). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 375/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Radiografer, radiografer adalah tenaga kesehatan yang diberi tugas, wewenang dan tanggungjawab oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan radiografi dan imaging di unit Pelayanan Kesehatan. Tanggung jawab seorang radiografer secara umum adalah menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bidang radiologi/radiografi dengan tingkat keakurasian dan keamanan yang memadai. Dalam menjalankan tugasnya baik secara mandiri maupun dalam satu tim dengan tenaga

kesehatan lainnya (Dokter, Dokter Spesialis, Dokter Spesialis Radiologi, Dokter Kedokteran Nuklir, dll) memberikan pelayanan kesehatan bidang radiasi kepada masyarakat umum maupun ilmiah sesuai dengan tugas dan fungsinya sebatas kewenanganyang di landasi oleh etika Profesi.16

Secara umum tugas dan tanggung jawab Radiografer, adalah:

1. Melakukan pemeriksaan pasien secara radiografi meliputi pemeriksaan untuk radiodiagnostik dan imejing termasuk kedokteran nuklir dan ultra sonografi (USG); 2. Melakukan teknik penyinaran radiasi pada radioterapi;

3. Menjamin terlaksananya penyelenggaraan pelayanan kesehatan bidang radiologi/radiografi sebatas kewenangan dan tanggung jawabnya;

4. Menjamin akurasi dan keamanan tindakan profesi radiasi dalam mengoperasikan peralatan radiologi atau sumber radiasi;

5. Melakukan tindakan Jaminan Mutu peralatan radiografi.

Tanggung jawab dan tugas tersebut meliputi semua sarana pelayanan kesehatan bidang radiologi mulai dari Puskesmas sampai dengan Rumah Sakit yang menyelenggarakan pelayanan Radiodiagnostik, Radioterapi dan Kedokteran Nuklir.16

Pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang apakah boleh melakukan pengulangan radiografi pada satu pasien yang sama, diperoleh hasil 13,04% mahasiswa menjawab tidak tahu (Tabel 10). Dibanding dengan penelitian sebelumnya oleh Mahdila Ayurian (2013) pada mahasiswa kepaniteraan klinik di salah satu fakultas kedokteran gigi di Malaysia didapati bahwa 25,77% merasa tidak boleh melakukan radiografi yang berulang pada seorang pasien. Suatu pengulangan radiografi biasanya dilakukan apabila radiografi yang diperoleh tidak jelas, tidak dapat diinterpretasi yang disebabkan oleh beberapa kesalahan radiografi. adanya kesalahan foto dan radiografinya elongasi. Dari sudut pandang yang lain, pengulangan radiografi dibutuhkan apabila untuk kelanjutan perawatan dan evaluasi perawatan. Radiografi sebagai evaluasi dapat memperlihatkan status pasien yang terkini. Sebagai contoh, pada kasus dimana kondisi pasien memburuk, tetap tidak berubah, atau telah menunjukkan kesembuhan, seperti dalam perkembangan karies atau penyakit periodontal. Pengulangan radiografi seharusnya tidak melewati

batas paparan radiasi pada seseorang pasien tersebut dan tergantung jenis foto

roentgen yang dilakukan.17

Secara keseluruhan, terdapat perbedaan yang menonjol di antara penelitian ini terhadap pengetahuan mahasiswa non-klinik dengan penelitian sebelumnya pada pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik. Selain itu, terdapat juga perbedaan dari segi jumlah responden. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik adalah lebih baik dibandingkan mahasiswa non-klinik karena mahasiswa kepaniteraan klinik bukan saja telah mempelajari ilmu radiografi kedokteran gigi secara teoritis, bahkan telah dan sedang menjalaninya secara praktikal selama kepaniteraan klinik.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswa non-klinik tentang prosedur pemanfaatan radiografi secara individu di kategori baik sebesar 52,17% atau sebanyak 24 orang, kategori sedang sebesar 45,65% atau sebanyak 21 orang dan kategori kurang sebesar 2,17% atau 1 orang.

BAB 6

Dokumen terkait