• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuesioner penelitian pada bagian pengetahuan terdiri atas 11 pertanyaan berkesinambungan meliputi 2 bagian yaitu pembuka dan inti. Pertanyaan pembuka mengenai pengalaman pernah menerima informasi cedera gigi dan mulut dan sumber informasi. Hasil penelitian menunjukkan 53,2% responden pernah menerima informasi mengenai cedera gigi dan mulut dan yang belum pernah menerima informasi sebanyak 46,8%. Hasil yang berbeda didapati oleh Sanu yaitu 91,1% orangtua di Nigeria belum pernah mendapatkan informasi mengenai cedera gigi dan mulut.22 Mohandas et.al juga menemukan bahwa sebanyak 96% orangtua di Kairo belum pernah menerima informasi mengenai hal tersebut.30 Perbedaan temuan ini kemungkinan disebabkan karena sebagian besar responden di Kecamatan Medan Baru dan Medan Amplas tempat dilakukannya penelitian sudah pernah memperoleh informasi mengenai cedera gigi dan mulut dari tim pelayanan kesehatan masyarakat setempat. Adapun sumber informasi paling banyak diperoleh adalah dari dokter gigi sebanyak 46,8%.

Pertanyaan inti terdiri atas 9 pertanyaan mengenai pengetahuan tentang penanganan darurat trauma avulsi pada gigi permanen anak. Sebanyak 43,3% responden menjawab dengan benar mengenai mengenai tindakan pertama saat cedera gigi dan mulut terjadi. Sae Lim et.al menemukan 63% orangtua mampu menjawab dengan benar mengenai tindakan pertama yang harus dilakukan pada saat cedera gigi dan mulut terjadi, yaitu dengan menenangkan anak, menghentikan perdarahan dengan menggigit kain sambil membawa ke pelayanan medis.31 Hal ini memerlukan perhatian lebih lanjut dari pelayanan kesehatan mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh orangtua bila terjadi trauma avulsi dengan cara penyuluhan baik secara langsung atau pun tidak langsung.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 28,2% responden dapat menjawab dengan benar mengenai jenis gigi yang avulsi berdasarkan ilustrasi yang diberikan.

Jumlah yang berbeda ditemukan Hashim dalam penelitiannya dimana sebanyak 71 orang (44,1%) respondennya dapat membedakan jenis gigi yang terlepas pada anak usia 9 tahun.32 Hal ini kemungkinan terjadi disebabkan karena orangtua anak tidak memiliki pengetahuan yang adekuat terkait masa erupsi gigi permanen anak.

Adapun tindakan yang harus dilakukan pada saat gigi avulsi terlepas dari soketnya adalah dengan mencari gigi, membersihkan gigi dan kemudian meletakkan gigi ke dalam pipi anak. Sebanyak 4,2% responden dapat menjawab dengan benar mengenai hal tersebut. Hashim dalam penelitiannya menemukan 19,3% responden dapat menjawab hal tersebut dengan benar.32 Jumlah yang lebih banyak di temukan oleh Mohandas et.al (22%) dan Abdellatif (85,9%).13,30 Hal ini kemungkinan disebabkan karena orangtua tidak mengetahui bahwa gigi yang terlepas tersebut merupakan gigi permanen dan orangtua berasumsi bahwa gigi yang lepas tersebut akan digantikan oleh gigi pengganti.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 63,4% responden menjawab dengan benar pada saat ditanyakan waktu yang paling tepat untuk dilakukan perawatan gigi yang avulsi. Jumlah tersebut hampir sama dengan yang ditemukan Abdellatif (78,8%).13 Hasil penelitian juga menunjukkan sebanyak 30,6% responden mengetahui perlakuan terbaik yang dilakukan terhadap gigi avulsi yang terjatuh di tempat kotor yaitu dengan membersihkan gigi dibawah air mengalir selama 10 detik. Mohandas et.al dalam penelitiannya mendapati bahwa 45,1% responden menjawab hal tersebut dengan benar.30 Abdellatif menemukan sebanyak 15% responden akan membersihkan gigi yang kotor dengan menyikat gigi dan Adekoya et.al mendapati sebanyak 51,5% responden akan meninggalkan gigi tersebut di tanah. 13,33 Perbedaan pengalaman ini disebabkan karena adanya perbedaan pilihan jawaban yang diberikan dalam kuesioner sehingga jawaban yang diperoleh juga berbeda.

Gigi yang tidak langsung direplantasikan sebaiknya di simpan dalam suatu media yang dapat menjaga vitalitas sel ligamen periodontal. Susu merupakan salah satu media yang ideal yang dapat digunakan. Sedikitnya hanya 5,6% responden yang menjawab susu sebagai media penyimpanan yang akan digunakan sebelum gigi di bawa ke dokter gigi. Jumlah yang lebih sedikit di temukan Sanu dalam penelitiannya

dimana hanya 1,1,% responden yang dapat menjawab dengan benar.22 Hasil yang hampir sama juga didapati oleh Hashim dimana 4,3% responden menjawab susu sebagai media terbaik penyimpanan gigi avulsi.32

Waktu ekstraoral terbaik untuk dilakukannya replantasi gigi yang avulsi adalah 30 menit setelah trauma terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 20,1% responden yang dapat menjawab dengan benar. Jumlah tersebut berbeda dengan jumlah yang didapati oleh Mohandas et.al (35,5%) dan jumlah yang lebih sedikit didapati Adekoya et.al dimana sebanyak 16,6% responden menjawab dengan benar bahwa waktu ekstraoral gigi yang avulsi adalah kurang dari 60 menit.30,33 Sebanyak 6,9% responden dalam penelitian Adekoya et.al juga menjawab bahwa waktu untuk gigi replantasikan kembali adalah lebih dari 1 jam dan 13,3% responden menjawab bahwa hal tersebut tidak tergantung pada waktu.33

Berdasarkan hasil penelitian didapati 93,3% responden memilih klinik dokter gigi sebagai tempat untuk mendapatkan perawatan lanjutan. Hasil yang hampir sama didapati oleh Sanu dimana sebanyak 90% responden memilih klinik gigi sebagai tempat untuk mendapatkan perawatan lanjutan.22 Hal ini menunjukkan bahwa orangtua masih meyakini bahwa klinik gigi merupakan tempat terbaik untuk memperoleh perawatan kasus trauma avulsi.

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, maka diperoleh tingkat pengetahuan dari 284 responden dengan tingkat pengetahuan yang baik sebanyak 4 orang (1,4%), tingkat pengetahuan cukup sebanyak 29 orang (10,2%) dan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 251 orang (88,4%) dan dapat disimpulkan bahwa pengetahuan orangtua tentang penanganan darurat trauma avulsi gigi permanen anak di Kecamatan Medan Baru dan Medan Amplas adalah rendah. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh Abdellatif di Kairo bahwa pengetahuan orangtua tentang penanganan darurat trauma avulsi gigi permanen adalah rendah.13 Hal ini kemungkinan disebabkan karena informasi yang diterima kepada orangtua tidak adekuat sehingga orangtua memiliki pengetahuan yang kurang baik terkait trauma gigi dan mulut khususnya avulsi.

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 61,6% responden menyatakan sangat setuju jika setiap orangtua harus mengetahui tentang penanganan darurat cedera gigi dan mulut. Responden juga menunjukkan respon yang positif jika orangtua perlu mencari gigi anak yang hilang segera setelah terjadi dimana sebanyak 36,3% responden menjawab setuju akan hal tersebut.

Prognosis gigi avulsi bergantung pada formasi perkembangan akar dan lamanya gigi berada di luar soket alveolar (extraoral dry time).17 Sebanyak 32,4% responden menjawab setuju jika waktu replantasi gigi yang avulsi harus dilakukan segera setelah terjadi. Jumlah berbeda dengan temuan Abdellatif dimana 78,8% orangtua akan melakukan hal tersebut.13 Lebih dari setengah jumlah responden (62,3%) menjawab setuju jika responden akan membersihkan gigi yang avulsi dari tempat yang kotor dengan menyikatnya sampai bersih. Hal ini berbeda dengan temuan Abdellatif dimana hanya 15% responden yang akan membersihkan gigi yang kotor dengan menyikatnya sampai bersih.13 Hal ini kemungkinan terjadi karena orangtua beranggapan bahwa membersihkan gigi yang avulsi tidak berbeda dengan membersihkan gigi dari debris makanan sehingga orangtua lebih cenderung memilih membersihkan gigi dengan disikat sampai bersih.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 35,2% responden menjawab sangat setuju dan 42,6% responden menjawab setuju jika responden akan membawa gigi yang avulsi ke dokter gigi segera setelah trauma terjadi. Hal yang serupa juga di temukan Young et.al di Hongkong bahwa responden menunjukkan respon yang positif tentang hal tersebut.11 Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya perasaan cemas orangtua ketika terjadi perdarahan pada anak sehingga akan membawa sesegera mungkin untuk mendapatkan perawatan lanjutan. Lebih dari setengah jumlah responden (62,7%) menunjukkan respon yang negatif ketika dianjurkan untuk membawa gigi yang avulsi dengan menggunakan tissue. Adekoya

media penyimpanan gigi avulsi.33 Hal ini kemungkinan terjadi karena tissue merupakan media yang paling mudah diperoleh pada saat trauma terjadi.

Sedikitnya 13% responden menjawab setuju jika gigi yang avulsi akan disimpan ke dalam kantong berisi susu sebelum dibawa ke dokter gigi. Hasil yang hampir sama didapati oleh Abdellatif bahwa 15,6% responden akan menggunakan susu sebagai transport media sebelum dibawa ke dokter gigi dan jumlah yang lebih sedikit didapati oleh Hashim (4,3%) dan Sanu (1,1%).13,22,33 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 89,1% responden menunjukkan respon yang positif ketika ditanyakan kesediaan untuk menerima penyuluhan tentang penanganan darurat cedera gigi dan mulut. Mohandas et.al juga menemukan sebanyak 96,6% responden menunjukkan respon yang positif untuk menerima penyuluhan dan hanya 3,4% yang menunjukkan respon negatif tentang hal itu.30 Adanya temuan ini menunjukkan bahwa orangtua di Kecamatan Medan Baru dan Kecamatan Medan Amplas cukup tertarik untuk menerima informasi tentang cedera gigi dan mulut.

Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pendidikan orangtua dengan pengetahuan tentang penanganan darurat trauma avulsi gigi permanen (p=0,020) dan hasil tersebut juga menunjukkan adanya hubungan bermakna antara sosioekonomi dengan pengetahuan orangtua tentang penanganan darurat trauma avulsi gigi permanen (p=0,017). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orangtua dari kategori tingkat pendidikan rendah maupun tinggi memiliki pengetahuan yang kurang baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orangtua dengan tiap kategori sosioekonomi baik, sedang dan kurang memiliki pengetahuan yang kurang baik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena informasi yang diterima orangtua tentang cedera gigi dan mulut secara umum masih rendah, sehingga ada kemungkinan untuk pengetahuan tentang avulsi juga masih sangat rendah.13

Hasil analisis statistik terhadap sikap orangtua menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara faktor tingkat pendidikan terhadap sikap orangtua tentang penanganan darurat trauma avulsi gigi permanen (p= 0,683). Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa faktor sosioekonomi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan sikap orangtua (p=0,492). Berdasarkan data penelitian yang

diperoleh, secara keseluruhan baik orangtua dengan tingkat pendidikan yang tinggi maupun rendah dan orangtua dengan sosioekonomi baik, sedang dan kurang sebagian besar memiliki sikap dengan kategori baik terhadap penanganan darurat trauma avulsi gigi permanen anak.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengetahuan orangtua memiliki hubungan yang bermakna dengan sikap orangtua (p= 0,036). Berdasarkan data penelitian yang diperoleh secara keseluruhan orangtua yang memiliki kategori pengetahuan baik, pengetahuan cukup maupun pengetahuan kurang memiliki sikap yang baik terhadap penanganan darurat trauma avulsi gigi permanen anak.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dilihat bahwa pengetahuan orangtua tentang penanganan darurat trauma avulsi gigi permanen di Kecamatan Medan Baru dan Medan Amplas masih rendah. Program edukasi kesehatan sebaiknya segera dilakukan untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan orangtua tentang penanganan darurat trauma gigi dan mulut. Program edukasi kesehatan yang diusulkan terkait penanganan trauma avulsi gigi permanen juga sebaiknya menitikberatkan pada golden period untuk dilakukan replantasi, media penyimpanan yang spesifik dan juga dampak akan avulsi gigi.

Dokumen terkait