HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
PEMBAHASAN Pengujian Mutu Fisik Benih
Dari hasil pengujian mutu fisik benih dengan menggunakan metode berat 1000 butir benih diketahui bahwa benih yang digunakan dalam percobaan ini diklasifikasikan menjadi dua yaitu benih berukuran kecil dan benih berukuran sedang. Benih berukuran kecil yaitu sengon dan randu, hasil perhitungan berat 1000 butir benih yaitu sengon 21,55 g dan randu yang beratnya 61,99 g. Sedangkan benih berukuran sedang yaitu trembesi dan sengon buto. Berat 1000 butir untuk benih yang berukuran sedang ini yaitu trembesi yang beratnya 193,16 g dan sengon buto beratnya 1052,60 g. Pengklasifikasian benih berdasarkan Doust et al., (2006) yang mengutarakan benih berukuran kecil (<0.01–0.099 g); sedang (0.1–4.99 g); besar (>5.0 g).
Dari hasil perhitungan berat 1000 butir benih dan jumlah benih per kilogram (Tabel 1) diperoleh hasil yang hampir sama dengan penelitian yang dilakuan oleh peneliti sebelumnya. Benih sengon jumlah benih per kg sebanyak 46.409 butir, jumlah ini tidak jauh bebeda dengan penelitian Tuheteru (2009), dimana dalam penelitianya jumlah benih per 1 kg sebanyak 42.395 butir. Tetapi jumlah ini jauh berbeda dengan Pramono (2010) yang menyatakan jumlah benih per 1 kg 25.000 – 28.000 butir. Untuk benih sengon buto dan randu hasil pengujian mutu fisik benih jumlah per 1 kg benih sebanyak 950 butir dan 16.145. Jumlah per kg ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya jumlah benih 1 kg sebanyak 900-1000 benih untuk benih sengon buto (Djoker 2003) dan 10.000-45.000 untuk randu (Djoker dan Salazar 2005).
Pengujian Mutu Fisiologis Benih
Selain uji fisik benih, pengujian mutu fisiologis benih juga perlu dilakukan untuk mengetahui daya kecambah benih. Pengujian mutu fisik benih dilakukan disetiap percobaan dengan lama pengamatan 30 hari. Parameter yang diamati yaitu daya kecambah dan laju kecambah.
Hasil pengujian mutu fisiologis Percobaan I pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sengon mempunyai daya kecambah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan 3 jenis lainnya. Daya berkecambah sengon mencapai 86,67%, sedangkan yang lain hanya 77,33% untuk trembesi dan randu. Sengon buto mempunyai ukuran benih yang paling besar namun mempunyai daya kecambah paling kecil yaitu 66,67%. Bertoni dan Juarez (1980) di Mexico Tenggara hasil pengecambahan sengon buto yang dilakukan di rumah kaca sebesar 77%.
Laju perkecambahan dari empat jenis yang diujikan sengon mempunyai laju paling cepat yaitu hanya 6 hari, sementara ketiga jenis tanaman yang lain memiliki laju perkecambahan minimal 10 hari. Laju perkecambahan randu 10 hari, sengon buto 13 hari dan trembesi laju perkecambahan 14 hari. Dari percobaan ini diketahui bahwa benih berukuran kecil mempunyai laju kecambah lebih cepat dari benih yang berukuran sedang.
Pengamatan fisiologis benih pada Percobaan II dilakukan untuk mengetahui adaptasi benih terhadap lahan pasca tambang yang memiliki suhu yang ekstrim. Dari hasil uji fisiologis Percobaan I dengan Percobaan II daya kecambah pada Percobaan II jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Percobaan I. Daya kecambah pada Percobaan II berkisar 11,2% - 31,6%, sedangkan
Percobaan I daya kecambah mencapai 66,67% - 86,67%. Daya kecambah masing-masing tanaman pada Percobaan II ini trembesi 14,4%, sengon 31,6%, sengon buto 11,2% dan randu 19,6%. Pada Percobaan I dan Percobaan II tanaman sengon mempunyai daya kecambah paling tinggi jika dibandingkan dengan ketiga tanaman lainnya. Schmidt (2000;2007) melaporkan bahwa perkecambahan ditentukan oleh kualitas benih, perlakuan awal dan kondisi perkecambahan seperti air, suhu, udara, media, cahaya dan bebas dari hama penyakit. Pada kondisi ini faktor lingkungan perkecambahan sangat berpengaruh, pada Percobaan I kondisi lingkungan dapat terkontrol sedangkan pada areal penananaman kondisi lingkungan tidak dapat terkontrol.
Berdasarkan daya kecambah pada Percobaan I, daya kecambah pada Percobaan II dapat ditingkatkan dengan penambahan jumlah benih yang ditabur. Untuk mendapatkan daya kecambah minimal 60% dapat dilakukan penaburan benih minimal 25 biji untuk trembesi, 10 biji untuk tanaman sengon, 30 biji untuk tanaman sengon buto dan 20 biji untuk tanaman randu.
Sengon buto pada Percobaan II mempunyai laju kecambah paling cepat jika dibandingkan dengan tiga jenis tanaman lainnya yaitu trembesi, sengon dan randu. Laju kecambah sengon buto pada Percobaan II yaitu 8 hari. Hasil penelitian Sahgun et al. (2007) diperoleh laju kecambah sengon buto 8-9 hari. Pada Gambar 5 terlihat bahwa bahwa pada awalnya 3 jenis tanaman lainnya grafiknya berada berada dibawah tanaman sengon buto, namun mulai hari kedua belas perkecambahan sengon buto tersaingi oleh trembesi, sengon dan randu. Laju kecambah sengon mulai terhenti pada hari keenam belas dimana rata-rata daya kecambahnya sebesar 11,2%. Randu yang mempunyai laju pertumbuhan paling lama yaitu hari ketiga belas, namun pada akhirnya rata-rata daya kecambahnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman trembesi hal ini dikarenakan randu lebih toleran terhadap tanah kering jika dibandingkan dengan trembesi. Randu dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan 1000-2500 mm per tahun (Salazar dan Dorthe 2001) sedangkan trembesi mampu tumbuh pada daerah dengan curah hujan 600-3000 mm pertahun (Staples dan Elevitch 2006). Laju perkecambahan trembesi mulai stabil pada hari keenam belas sedangkan randu mulai stabil pada hari kedua puluh empat.
Penambahan pupuk kandang dengan dosis 2 kg pada Percobaan III tidak dapat meningkatkan daya kecambah tanaman pada lahan bekas tambang, karena daya kecambah pada Percobaan III nilainya lebih kecil dari daya kecambah pada Percobaan I dan Percobaan II. Pada Percobaan I daya kecambahnya 66,67- 86,67%, sedangkan pada Percobaan II daya kecambahnya 14,4-31,6%. Daya kecambah pada Percobaan III, tanaman trembesi mempunyai daya kecambah paling tinggi yaitu sebesar 13,2%, randu 12%, sengon 11,6% dan sengon buto 7,2%. Hasil penelitian Priadi (2010) melaporkan bahwa tempat tumbuh mempengaruhi daya kecambah suatu tanaman, daya kecambah sengon pada tanah berumput 61,7% sedangkan daya kecambah pada tanah berpasir 39,0%. Pada Gambar 11 terlihat pada awalanya perkecambahan tanaman trembesi daya kecambahnya paling rendah dari tiga tanaman lainnya. Pada hari keenam belas daya kecambah tanaman trembesi mampu menyaingi tanaman randu dan sengon buto, pada hari kedua puluh delapan trembesi mampu menyaingi daya kecambah sengon.
35
Daya kecambah pada Percobaan III cenderung rendah hal ini diduga karena adanya persaingan dengan tanaman lainnya yang benihnya terbawa oleh pupuk kandang. Benih tanaman lain (gulma) tersebut mulai berkecambah pada hari kelima sampai hari keenam, sedangkan benih yang diuji cobakan mulai berkecambah pada hari kesepuluh. Benih tanaman yang terbawa pupuk kandang antara lain rumput-rumputan, bayam ( Gambar 12). Peningkatan daya kecambah pada Percobaan III dapat dilakukan dengan menambahkan jumlah biji yang ditabur. Untuk mendapatkan daya kecambah mimimal 60%, pada Percobaan III dapat dilakukan penaburan benih minimal 15 biji untuk trembesi, 30 biji untuk sengon, 45 biji untuk sengon buto dan 15 biji untuk tanaman randu.
Laju kecambah yang paling cepat pada Percobaan III yaitu tanaman sengon buto, rata-rata laju kecambahnya 10 hari. Sengon mempunyai laju kecambah 12 hari, randu mempunyai laju kecambah 14 hari dan trembesi mempunyai laju kecambah 17 hari. Dengan adanya persaingan antara kecambah tanaman lain (gulma) dengan menghambat proses perkecambahan. Holl (1998) menyatakan bahwa penyebaran dan persaingan spesies lain menjadi faktor utama dalam pertumbuhan semai. Selain menjadi faktor penghambat pertumbuhan gulma dapat menjadi faktor utama dalam peningkatan kematian kecambah pada metode direct seeding (Engel dan Parrota 2001). Persaingan ini memberikan pengaruh terhadap perkecambahan karena adanya persaingan dalam perebutan ketersediaan air yang langka dan unsur hara yang rendah (Chapman et al. 2002). Dari hasil pengujian fisiologis tersebut diketahui bahwa ukuran benih tidak berpengaruh terhadap daya kecambah dan laju perkecambahan. Hal ini terlihat pada pecobaan Winarni dan Eliya (2008) melaporkan bahwa ukuran benih tidak mempengaruhi daya kecambah dan laju perkecambahan, tetapi yang berpengaruh yaiti berat dari masing-masing benih tersebut.
Pertumbuhan Tanaman di Lapangan
Hasil sidik ragam diketahui perlakuan memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman. Dari hasil uji lanjut lanjut Duncan’s Multiple Range Test menunjukkan bahwa tanaman yang mempunyai benih berukuran kecil yakni sengon dan randu mampu beradaptasi pada lahan bekas tambang. Dari hasil uji lanjut bahwa nilai rata-rata pertambahan tinggi pada tanaman randu tidak berbeda nyata dengan sengon buto yaitu 1,44 cm dan 1,43 cm per dua minggu. Sedangkan pertambahan tinggi rata-rata sengon dan trembesi juga tidak berbeda nyata yaitu 0,49 cm dan 0,76 cm per dua minggu.
Pada minggu kedua belas tinggi sengon buto mencapai 18,4 cm, randu 9,6 cm, trembesi tingginya mencapai 7,9 cm dan sengon tingginya 3,6 cm. Meskipun pertambahan rata-rata benih per dua minggu antara sengon buto dan randu tidak berbeda nyata begitu pula trembesi dengan sengon tidak berbeda nyata tetapi pada Gambar 6 tinggi rata-rata tanaman terlihat berbeda. Pertumbuhan sengon buto yang cepat hal ini dikarenakan mempunyai sistem perakaran yang kuat untuk menembus tanah. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Hendromono (2002) sengon buto yang ditanam pada lahan tanpa olah mempunyai pertumbuhan dan persen jadi yang tidak berbeda nyata dengan tanaman sengon buto yang ditanam pada lahan yang telah diolah terlebih dahulu. Pada tanah yang tidak diolah tanahnya cenderung lebih keras jika dibandingkan dengan tanah yang diolah. Daya adaptasi yang konsisten juga terlihat pada tanaman randu, pada uji fisiologis
tanaman ini mampu menyaingi laju perkecambahan tanaman trembesi. Mulai minggu keenam tanaman randu mempunyai tinggi rata-rata lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman trembesi.
Hasil uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test menunjukkan sengon buto mempunyai pertambahan rata-rata diameter per 4 minggu paling tinggi yaitu 3,89 mm, sedangkan trembesi dan randu rata-rata diameternya tidak berbeda nyata yakni 1,73 mm dan 1,74 mm, sedangkan sengon mempunyai rata-rata diameter 0,81 mm. Dari hasil ini diketahui bahwa randu mempunyai daya adaptasi yang konsisten sebab randu yang benihnya berukuran kecil mampu beradaptasi dengan lahan pasca tambang. Kemampuan beradaptasi ini terlihat pada rata-rata diameter randu hasil uji lanjut lanjut Duncan’s Multiple Range Test tidak berbeda nyata dengan trembesi dan pada bulan ketiga rata-rata diameternya lebih besar dari trembesi. Rata-rata diameter pada bulan ketiga diameter sengon buto sebesar 4,35 mm, randu sebesar 2,12 mm, trembesi 1,91 mm dan sengon 0,98 mm. Sengon buto mempunyai rata-rata tinggi dan diameter paling besar hal ini disebabkan sengon buto mempunyai ukuran biji paling besar jika dibandingkan yang lain ukuran benih lainnya. Benih masak ditandai dengan warna buah coklat tua dan berisi ± 13 benih. Benih sengon buto berukuran panjang 1,1 – 2 cm dan garis tengah 0,8 – 1,3 cm dan agak gemuk, berwarna coklat tua dengan garis coklat muda ditengahnya (Djam’an 2003). Hasil penelitian Doust et al. (2006;2008) pembenihan langsung pada 16 jenis dengan berbagai ukuran benih (kecil, sedang, dan besar) menunjukan bahwa jenis dengan ukuran benih yang besar memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang yang tinggi.
Pertumbuhan tanaman pada Percobaan II kurang maksimal hal ini dikarenakan minimnya unsur hara pada lahan bekas tambang. Lahan bekas tambang yang digunakan pada percobaan ini mempunyai tekstur liat (Tabel 11), dan mempunyai pH tanah 3,93 dengan kandungan unsur hara karbon 8,98%, nitrogen 0,53%, bulk density pada lahan ini yaitu 1,03 g/cm3 (Tabel 12). Lahan bekas tambang mempunyai kondisi hilangnya profil lapisan tanah, terjadi pemadatan tanah (tingginya tingkat bulk density), kekurangan unsur hara penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah (Setyaningsih 2007; Tamin 2010; Rusdiana et al. 2000). Dengan pH tanah yang rendah menyebabkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun. Pada tanah-tanah masam banyak ditemukan ion-ion Al di dalam tanah, disamping memfiksasi unsur P juga merupakan racun bagi akar tanaman. Disamping itu pada reaksi tanah yang masam, unsur-unsur mikro menjadi mudah larut, sehingga ditemukan unsur mikro yang terlalu banyak. Unsur mikro merupakan hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sangat kecil, sehingga menjadi racun kalau dalam jumlah besar (Hardjowigeno 1995). Dengan pH 3,93 menyebabkan ketersedian unsur hara semakin sedikit, selain itu jika pH tanah kurang dari 4,2 dapat menyebabkan penyerapan kation-kation oleh akar tanaman dapat berhenti (Tamadjoe 1995). Ketersidaan Al yang relatif tinggi yaitu 8,34 dapat meyebabkan tanaman keracunan dan perkembangan akar akan terbatas sehingga serapa unsur hara akan semakin sedikit.
Penambahan pupuk kandang pada Percobaan III merupakan upaya untuk meningkatakan kualitas dari kecambah tanaman dengan metode direct seeding. Penambahan pupuk kandang dapat memperbaiki kondis sifat fisik tanah dan kimia tanah (Rasool et al. 2007). Pupuk kandang yang ditambahkan berasal dari kotoran
37
sapi. Dari hasil analisis kandungan hara yang terkandung dalam pupuk kandang sapi tersebut karbon 23,2%, Nitrogen 1,07%, Phospor 0,51%, Kalium 1,09%, Kalsium 0,41%, Magnesium 0,48%, dan kadar air 11,25%. Pemberian pupuk kandang dosis 2 kg memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman. Penambahan rata-rata tinggi tanaman per 2 minggu pada sengon buto mencapai 6,65 cm, trembesi dan randu masing-masing 2,31 cm dan 2,26 cm, pertambahn tinggi sengon hanya 1,38 cm. Pada minggu kedua belas tinggi rata-rata tanaman sengon buto sudah menacapai 41,5 cm, tinggi tanaman trembesi 15,4 cm, randu 12,4 cm dan sengon 7,4 cm.
Penambahan pupuk juga memberikan pengaruh terhadap pertambahan diameter tanaman. Rata rata diameter tanaman sengon buto 5,46 mm. Rata-rata diameter tanaman tiga jenis lainnnya tidak berbeda nyata yaitu trembesi 2,47 mm, randu 2,42 mm dan sengon 1,12 mm. Rata – rata daimeter pada Percobaan III lebih besar daripada rata – rata diameter pada Percobaan II.
Hasil penilitian yang dilakukan Wasis (2011) melaporkan bahwa pemberian bahan organik dalam bentuk kompos memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi rata-rata 6,81 cm, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap diameter tanaman. Penamabahan bahan organik dapat meningkat kandungan hara pada tanah. Menurut Hakim et al. ( 1986) Penambahan kompos pada tanah tailing dapat meningkatkan kandungan hara terutama N dan P, sementara itu kandungan Fe +3 yang bersifat toksik menurun sekitar 3-5 kali. Hal tersebut disebabkan oleh penambahan bahan organik pada media dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah karena memiliki daya jerap kation yang lebih besar. Semakin tinggi kandungan bahan organik maka semakin tinggi pula KTK-nya sehingga Fe+3 berubah menjadi Fe+2 yang lebih tersedia bagi tanaman dan memiliki fungsi penting dalam sistem enzim dan diperlukan dalam sintesa klorofil.
Daya Hidup Tanaman
Daya hidup tanaman pada Percobaan II mengalami peningkatan kecuali tanaman sengon. Tanaman randu mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 29,6%, daya hidup trembesi 19,2%, daya hidup sengon buto 19,2%, sedangkan daya hidup sengon mengalami penurunan 0,8% sehingga daya hidup sengon diakhir pengamatan 30,8%. Berdasarkan lubang tanam, daya hidup tanaman yang diujikan rata-rata lebih dari 50% lubang tanam berkecambah. Benih berukuran kecil yaitu sengon dan randu mempunyai daya hidup lebih tinggi jika di bandingkan dengan benih berukuran sedang yaitu trembesi dan sengon buto. Daya kecambah sengon dan randu 66%, sedangkan daya kecambah trembesi dan sengon buto 58% dan 52%. Daya kecambah berdasarkan lubang tanam ini menunjukkan bahwa benih tanaman kehutanan yang berukuran kecil juga berpotensi untuk dikembangkan dengan metode direct seeding.
Daya hidup sengon mengalami penurunan disebabkan karena tanaman tersebut terkena gangguan yaitu tertimbun tanah yang terbawa erosi dan tanaman terbawa aliran air. Namun gangguan yang ada disebabkan karena timbunan tanah yang terbawa erosi (Gambar 9). Tanaman sengon mudah tertimbun dan terbawa aliran air karena ukuran benihnya kecil sehingga kecambahnya juga kecil. Menurut Seiwa et al. 2002 bahwa ukuran benih memegang peranan penting dalam kehidupan tanaman, salah satunya terhadap perkecambahan benih dan
pertumbuhan awal anakan. Pada Percobaan II ini mempunyai kemiripan dengan percobaan yang dilakukan oleh Turner (2001) yang mengatakan beberapa jenis dari benih yang berasal dari benih berukuran kecil sperti Acacia celse dan Alphito petrei mempunyai daya kecambah yang tinggi tetapi memiliki karakateristik kematian yang tinggi pula.
Penambahan pupuk kandang tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap daya hidup tanaman. Pada Percobaan III daya hidup tanaman cenderung lebih rendah dari pada daya hidup Percobaan II. Daya hidup yang lebih rendah ini disebabkan karena adanya persaingan dengan gulma. Seperti halnya pada Percobaan II, pada Percobaan III ini sengon mengalami penurunan daya hidup sebesar 1,2%. Pada Percobaan III trembesi mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 21,2%, daya hidup randu 13,2%, sengon 10,4% dan daya hidup sengon buto 8%. Daya hidup berdasarkan lubang tanam, trembesi mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 72%, sedangkan sengon dan randu mempunyai daya hidup lebih tinggi dari sengon buto yaitu sebesar 38% dan 40%, sengon buto sebesar 28%.
Pertumbuhan tanaman yang lambat menyebabkan gulma berkembang terlebih dahulu, sehingga unsur hara, air yang tersedia diserap terlebih dahulu. Daya hidup sengon paling kecil hal ini dikarenakan sengon kalah bersaingan untuk mendapatkan nutrisi, air dan hara. Selain itu jika dilihat pada Gambar 9 gulma mempunyai tinggi rata-rata lebih tinggi dari tinggi rata-rata tanaman yaitu 5 cm, sehingga bersaing untuk mendapatkan cahaya matahari. Menurut Hendromono (2002) berkembangnya gulma dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bahkan kematian tanaman. Selain dari faktor tersebut sengon mempunyai syarat tumbuh pada tanah berlapis dalam dan berdrainase baik
(Nurhasybi 2000). Berbeda halnya dengan randu meskipun sama-sama mempunyai benih yang berukuran kecil tetapi masih mampu bersaing dengan gulma karena randu tanaman pioner yang mampu tumbuh pada tumbuh di atas berbagai macam tanah, dari tanah berpasir sampai tanah liat berdrainase baik (Salazar dan Dorthe 2001). Dari hasil analisis tanah yang dilakukan di Universtas Lambung Mangkurat tanah pada lokasi percobaan mempunyai tekstur liat, sehingga cocok terhadap pertumbuahn randu. Pada benih yang berukuran sedang yaitu sengon buto dan trembesi mampu bersaing dengn gulma. Pada Percobaan III perlakuan penambahan pupuk kandang mampu meningkatkan daya hidup trembesi karena trembesi toleran terhadap lahan miskin unsur hara (Staples dan Elevitch 2006) dengan penambahan pupuk kandang yang mempunyai kandungan C 23,20%, N 1,07% , P 0,51%, K 1,09% , Ca 0,41%, Mg 0,49% daya hidup tanaman meningkat 42,4%.
Analisis Biaya
Dari hasil analisis biaya untuk penanaman dengan metode direct seeding
dengan jarak tanam 4 x 4 m dan setiap lubang tanam berisi 5 benih lebih murah jika dibandingkan dengan penanaman dengan menggunakan bibit dari persemaian. Biaya penanaman per ha dengan menggunakan metode direct seeding berkisar Rp. 2.000.000, sedangkan penanaman sengon dengan menggunakan bibit dari persemaian memerlukan biaya penanaman Rp 4.487.500. Penanaman dengan menggunakan metode direct seeding ini memerlukan tenaga kerja 2 orang per hari dengan lama pekerjaan selama 4 hari untuk menyelesaikan
39
1 ha. Pada penanaman dengan menggunakan bibit deperlukan waktu 7 hari dengan pekerja 2 orang. Untuk banyaknya benih yang diperlukan tergantung dari ukuran benih, semakin besar ukuran benih maka jumlah yang diperlukan semakin banyak. Biaya tanam sengon buto paling tinggi karena ukuran benih sengon buto paling besar sehingga kebutuhan benihnya juga paling banyak, biaya penanaman sengon buto Rp.1.981.579. Untuk biaya penanaman tiga jenis lainnya yaitu trembesi sebesar Rp. 1.571.127, sengon sebesar Rp. 1.571.127 dan randu sebesar Rp. 1.553.871. Biaya penanaman ini sangat murah jika dibandingkan dengan menggunakan semai.
Target penanaman PT TIA rata-rata setiap tahun berkisar 110 ha. Reahabilitasi dengan menggunakan metode direct seeding biaya yang dikeluarkan berkisar Rp 220.000.000, sedangkan dengan menggunakan bibit memerlukan biaya Rp 493.625.000. Penggunaan metode direct seeding dapat menghemat biaya rehabilitasi sebesar 44,57%.