• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan di Poli Psikiatri RSUP Haji Adam Malik ini terdapat 17 orang laki-laki dan 15 orang perempuan yang mengonsumsi antidepresan dan mengalami xerostomia. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Kenee tahun 2003 yang menyatakan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki dengan rasio 2,3:1.6 Begitu pula pada tulisan Tan dan Rahardja dalam buku obat-obatan penting yang menyatakan bahwa prevalensi perempuan yang mengonsumsi antidepresan dan mengalami xerostomia sekitar 25%, sedangkan laki-laki sekitar 10%.2 Hasil ini terjadi karena pada saat penelitian di Poli Psikiatri RSUP Haji Adam Malik dilakukan, banyak dari pasien perempuan yang mengonsumsi antidepresan yang berkunjung ke Poli Psikiatri tersebut tidak bersedia untuk menjadi subjek penelitian, pasien perempuan lebih sensitif dan sulit untuk diajak bekerjasama, selain itu pasien yang sudah menopause merupakan eksklusi dari subjek penelitian sehingga juga mempengaruhi jumlah pasien perempuan yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Pasien menopause dieksklusikan karena pada keadaan menopause terjadi perubahan hormonal yang mempengaruhi sekresi saliva sehingga laju aliran saliva berkurang, hal ini dijelaskan pada penelitian Kusumayani tahun 2010.13

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang mengonsumsi antidepresan dan mengalami xerostomia paling banyak adalah umur 50-59 tahun yaitu 15 orang (46,875%) dari 32 subjek penelitian. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Kenee tahun 2003 dan juga sesuai dengan data dari Departemen Kesehatan RI yang menyatakan bahwa pasien yang mengonsumsi antidepresan dan mengalami xerostomia paling banyak rata-rata pada umur 50-59 tahun.1,6 Seiring dengan bertambahnya usia akan terjadi proses aging dimana kelenjar saliva akan mengalami

atrofi sehingga menyebabkan perubahan serta kemunduran fungsi dari kelenjar saliva, hal ini dapat menyebabkan produksi saliva berkurang dan komposisi saliva menjadi berubah.7 Disamping itu pasien juga mengonsumsi antidepresan. Antidepresan memiliki sifat sebagai antikolinergik yang dapat memblokir sistem parasimpatis, sehingga menghambat asetilkolin pada kelenjar ludah dan menyebabkan terjadinya penurunan produksi saliva. Kedua kondisi inilah yang dapat memperparah terjadinya xerostomia.1,6

Penelitian pada subjek yang berjumlah 32 orang mengonsumsi antidepresan ini menunjukkan bahwa semua subjek mengalami xerostomia setelah mengonsumsi antidepresan lebih dari 4 minggu (1 bulan). Hasil ini sesuai dengan penelitian Turner dkk sebelumnya pada tahun 2007, Turner dkk menyatakan bahwa efek xerostomia merupakan salah satu efek dari mengonsumsi antidepresan yang akan muncul 4 minggu atau 1 bulan setelah mengonsumsi antidepresan.5 Jangka waktu efek xerostomia ini berkaitan dengan berkurangnya jumlah dan kepekaan reseptor-reseptor postsinaptis tertentu, yang menyebabkan efek tersebut baru bisa dirasakan setelah 4 minggu mengonsumsi antidepresan.2

Pada penelitian yang melibatkan pasien mengonsumsi antidepresan dan mengalami xerostomia ini diperoleh hasil 19 orang (59,375%) pasien yang dijadikan subjek penelitian mengonsumsi antidepresan golongan heterosiklik jenis trisiklik dan 13 orang (40,625%) mengonsumsi heterosiklik jenis antidepresan generasi kedua. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kenee tahun 2003 yang menyatakan bahwa antidepresan jenis trisiklik lebih sering mengakibatkan efek xerostomia dan paling banyak diresepkan pada pasien depresi.6 Jenis antidepresan trisiklik lebih banyak diresepkan karena obat jenis ini telah terbukti efektif dalam mengobati depresi, sedangkan golongan MAOI sangat jarang dijadikan pilihan karena antidepresan golongan ini diindikasikan untuk pasien depresi yang tidak memberikan respon terhadap antidepresan lainnya.1,6

Penelitian yang melibatkan dua kelompok perlakuan yaitu kelompok mengunyah permen karet xylitol dan kelompok menghisap permen karet xylitol ini

kelompok mengunyah permen karet xylitol diperoleh rata-rata laju aliran saliva sebelum mengunyah permen karet xylitol sekitar 0,1750 mL/menit dan setelah mengunyah permen karet xylitol laju aliran saliva mengalami kenaikan menjadi 0,4731 mL/menit. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nyoman pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan laju aliran saliva setelah mengunyah permen karet xylitol selama 5 menit.12 Kelompok perlakuan kedua adalah kelompok menghisap permen karet xylitol. Rata-rata laju aliran saliva sebelum menghisap permen karet xylitol diperoleh sekitar 0,1694 mL/menit dan rata– rata laju aliran saliva setelah menghisap permen karet xylitol sekitar 0,3638 mL/menit. Hasil tersebut menunjukkan adanya peningkatan rata-rata laju aliran saliva setelah menghisap permen karet xylitol. Peningkatan laju aliran saliva setelah mengunyah maupun setelah menghisap permen karet xylitol dapat terjadi karena adanya proses mekanik berupa gerakan otot-otot di dalam rongga mulut selama proses mengunyah atau menghisap yang akan menginduksi sistem saraf parasimpatis sehingga kelenjar saliva akan terstimulasi untuk mensekresikan saliva.18 Selain itu, permen karet xylitol sendiri juga dapat menstimulasi sekresi saliva, karena xylitol dapat mempengaruhi persepsi rasa yang diterima oleh kemoreseptor pada taste bud. Kemoreseptor inilah yang menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan neurotransmitter norepinefrin yang akan melepaskan β adrenergik dan menghasilkan saliva yang disekresikan oleh kelenjar submandibular dan sublingual.17

Berdasarkan analisis pengukuran laju aliran saliva sebelum dan sesudah mengunyah permen karet xylitol memperlihatkan adanya kenaikan laju aliran saliva sesudah subjek penelitian mengunyah permen karet xylitol yaitu sekitar 0,29813 mL/menit dan analisis pengukuran laju aliran saliva sebelum dan sesudah menghisap permen karet xylitol menunjukkan kenaikan sekitar 0,19438 mL/menit. Peningkatan laju aliran saliva ini menunjukkan hasil yang signifikan antara laju aliran saliva sebelum dan sesudah mengunyah ataupun menghisap permen karet xylitol pada pasien mengonsumsi antidepresan yang mengalami xerostomia. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kesumayani dkk pada tahun 2010 yang juga menemukan bahwa terjadi peningkatan laju aliran saliva sesudah

mengunyah permen karet xylitol, perbedaan sebelum dan sesudah mengunyah permen karet xylitol tersebut sekitar 0,3 mL/menit.13 Peningkatan laju aliran saliva terjadi akibat adanya proses mekanik dari gerakan ketika mengunyah ataupun menghisap yang menginduksi saraf parasimpatis, sehingga mengakibatkan saraf parasimpatis melepaskan neurotransmitter asetilkolin yang merangsang kelenjar saliva untuk mensekresikan saliva serous.18

Berdasarkan analisis uji T tidak berpasangan terhadap sesudah mengunyah dan sesudah menghisap permen karet xylitol juga dijumpai perbedaan yang signifikan. Sesudah mengunyah permen karet xylitol dapat meningkatkan laju aliran saliva sekitar 0,4731 mL/menit sedangkan sesudah menghisap permen karet xylitol mengalami kenaikan laju aliran saliva sekitar 0,3638 mL/menit, sehingga didapatkan perbedaan laju aliran saliva antara mengunyah dan menghisap permen karet xylitol adalah sekitar 0,1093 mL/menit. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan pernyataan Gupta dkk (2006) sebelumnya bahwa rangsangan mengunyah lebih baik dibandingkan menghisap dalam menstimulasi laju aliran saliva. Ketika mengunyah sekresi saliva lebih banyak karena pada rangsangan mengunyah lebih banyak melibatkan otot-otot mekanik di dalam rongga mulut dibandingkan dengan menghisap, sehingga dapat menimbulkan reflek saliva yang lebih baik sewaktu kemoreseptor atau reseptor pengunyahan di dalam rongga mulut memberi respon terhadap adanya makanan. Sewaktu diaktifkan, reseptor-reseptor tersebut memulai implus di serat saraf aferen yang membawa informasi ke pusat saliva di medulla batang otak. Pusat saliva kemudian mengirim imlpus melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva.18

Dokumen terkait