Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa maloklusi yang paling banyak
dialami oleh siswa adalah crowded, yaitu sebesar 44%, dimana pada kedua sekolah,
crowded merupakan jenis maloklusi anterior yang paling banyak dialami oleh siswa. (Tabel 2). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Dewi pada tahun 2007 yang memperoleh hasil bahwa jenis maloklusi terbanyak
adalah gigi berjejal pada segmen anterior bawah (41,89%) dan rahang atas (30,75%).4
Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya faktor penyebab terjadinya maloklusi, yaitu evolusi, keturunan, maupun faktor lingkungan. Menurut Hooten, gigi berjejal merupakan akibat dari evolusi ukuran tengkorak wajah yang semakin mengecil, tanpa disertai oleh penyusutan ukuran gigi. Menurut Brash, gigi berjejal merupakan hasil dari perkawinan antar ras yang terus terjadi. Selain itu, menurut Brash, faktor lingkungan seperti diet makanan lunak mengakibatkan berkurangnya stimulasi otot, yang kemudian mempengaruhi pertumbuhan tulang wajah. Kemudian, menurut Barber, gigi berjejal diakibatkan oleh aktivitas otot yang abnormal, erupsi gigi yang tidak normal, migrasi ke mesial dari gigi-geligi serta berkurangnya panjang lengkung
gigi karena karies.12
Hasil penelitian dampak maloklusi terhadap kepercayaan diri terhadap gigi geligi (Tabel 3 dan 4) menunjukkan bahwa terdapat dampak antara maloklusi anterior terhadap kepercayaan diri terhadap gigi geligi siswa SMA Global Prima Nasional Plus (71,7%), dimana dari seluruh maloklusi anterior yang diperiksa, 100% responden yang mengalami maloklusi protrusi bimaksiler merasakan dampak dari aspek kepercayaan diri ini, sedangkan maloklusi anterior tidak berdampak terhadap siswa SMA Pangeran Antasari (46,7%). Hal ini dikarenakan estetika wajah menjadi
perhatian utama penderita maloklusi ini. Protrusi bimaksiler sering terlihat pada
populasi orang asia. Ciri klinis protrusi bimaksiler adalah menurunnya sudut nasolabial akibat proklinasi anterior dari maksila, semakin dangkalnya sulkus
mentolabial akibat proklinasi anterior mandibula, bibir menjadi inkompeten dan
profil wajah konveks.20 Hal ini mirip dengan hasil penelitian Arsie yang menyatakan
bahwa dampak maloklusi gigi anterior terhadap aspek rasa percaya diri berpengaruh pada remaja dengan karakteristik gigi anterior atas berjejal, diikuti dengan gigi
anterior atas protrusi, kemudian gigi anterior atas bercelah.12 Penelitian Khan dan
Fida juga menunjukkan bahwa aspek yang paling berdampak signifikan adalah aspek
kepercayaan terhadap diri sendiri.19
Penelitian mengenai dampak maloklusi anterior terhadap aspek sosial ternyata tidak berdampak, karena hanya sekitar 41,3% responden SMA Global Prima Nasional Plus dan 40% responden SMA Pangeran Antasari yang merasa terganggu aspek sosialnya (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Arsie, dimana ia juga tidak menemukan adanya dampak maloklusi anterior terhadap
aspek sosial.12 Hal ini mungkin disebabkan karena dalam sosialisasi di lingkungan
siswa-siswi SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari tidak terlalu memperhatikan kondisi gigi-geligi dalam bersosialisasi. Selain itu juga disebabkan karena sebagian besar dari mereka merasa kondisi gigi-geligi yang bukan menjadi penghalang dalam sosialisasi. Meskipun demikian, ada dari antara siswa- siswi tersebut yang sering diolok-olok karena gigi yang protrusi. Selain itu, pada beberapa subjek dengan gigi bercelah juga pernah dikomentari oleh teman karena gigi
berjarak. Ejekan yang dialami oleh remaja dalam penelitian ini serupa dengan yang
dilaporkan dalam penelitian Kilpelainen, yang menemukan hampir setengah dari
remaja dengan jarak gigit yang besar mengalami ejekan karena kondisi ini. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan dengan melihat adanya kenyataan bahwa maloklusi
dengan karakteristik gigi anterior atas protrusi ataupun bercelah berdampak negatif
terhadap kehidupan sosial sehingga penatalaksanaan pasien remaja dengan kondisi
gigi anterior protrusi perlumendapatkan prioritas serta perhatian yang khusus. Hal ini
disebabkan karenamaloklusi yang berdampak negatif terhadap kehidupan sosial dari
remaja, akan membentuk persepsi diri negatif, yang nantinya dapat mempengaruhi
Hasil penelitian dampak maloklusi terhadap aspek psikososial (Tabel 8) menunjukkan bahwa terdapat dampak antara maloklusi anterior terhadap aspek psikososial siswa SMA Global Prima Nasional Plus (56,5%), dimana dampak yang cukup besar terlihat pada siswa yang mengalami maloklusi protrusi bimaksiler (85,7%), dan berdampak pula terhadap siswa SMA Pangeran Antasari (55,6%) dengan jenis maloklusi anterior yang paling berdampak adalah protrusi (80%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Khan dan Fida, selain berdampak terhadap aspek kepercayaan diri, maloklusi juga berdampak terhadap aspek psikososial. Hal ini mungkin disebabkan remaja memiliki persepsi negatif terhadap maloklusi yang dialami, merasa keadaan gigi lebih buruk dibandingkan teman sebayanya dan
terutama mendapat ejekan dari orang-orang sekitar.19
Penelitian mengenai dampak maloklusi anterior terhadap aspek pertimbangan estetis ternyata tidak berdampak, karena hanya sekitar 43,5% responden SMA Global Prima Nasional Plus dan 42,2% responden SMA Pangeran Antasari yang merasa terganggu estetisnya (Tabel 10). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Arsie yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara oklusi normal
dengan maloklusi dari aspek pertimbangan estetis.12 Hal ini mungkin disebabkan oleh
faktor lingkungan, dimana ketika berada di sekitar orang-orang saja seseorang merasa minder dan merasa lebih jelek dari orang lain.
Pada Tabel 13 terlihat tidak adanya perbedaan dampak yang signifikan antara maloklusi anterior terhadap status psikososial siswa laki-laki dan perempuan, dengan
skor rerata laki-laki 15,42 ± 3,39 dan perempuan 16 ± 2,70 (ρ=0,289). Hal ini sudah
terlihat pada Tabel 11 dan 12 yang menunjukkan di masing-masing sekolah juga
tidak ada perbedaan dampak antara siswa laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian
ini sesuai dengan hasil penelitian Bellot-Arcis yang juga menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan dampak maloklusi yang dialami responden dengan skor rerata laki-laki 31,9 ± 1,55 dan perempuan 32,5 ±
1,65 (ρ=0,66).18 Skor dari penelitian Bellot-Arcis lebih tinggi karena ia menggunakan
skala Likert dengan rentang skala 0-4, sedangkan penelitian ini menggunakan skala Guttman dengan rentang skala 0-1. Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Min-Ho Jung pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa penampilan gigi geligi lebih berpengaruh signifikan terhadap perempuan dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih menganggap penampilan gigi-geligi sebagai hal yang penting. Dalam penelitian di Korea tersebut menemukan bahwa dibandingkan laki-laki, remaja perempuan lebih terpengaruh dengan keadaan gigi-geligi anterior atas yang
berjejal.12 Hasil penelitian ini berbeda mungkin disebabkan karena seluruh siswa
SMA dapat mengalami dampak maloklusi yang sama, baik pada laki-laki maupun perempuan.
Pada Tabel 16 terlihat tidak ada perbedaan dampak yang signifikan antara maloklusi anterior terhadap status psikososial siswa SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari, dengan skor rerata di SMA Global Prima
Nasional Plus 17,16 ± 2,54 dan SMA Pangeran Antasari 14,39 ± 2,63 (ρ=0,898).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil perbandingan antara sesama siswa laki-laki
(ρ=0,849) dan sesama siswa perempuan (ρ=0,833) antara kedua sekolah yang juga
menunjukkan tidak adanya perbedaan dampak yang signifikan (Tabel 14 dan 15). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Bellot-Arcis mengenai perbedaan dampak maloklusi berdasarkan kelas sosial yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan rerata skor untuk kelas sosial rendah 32,6 ± 1,7 , kelas sosial